Kamis, November 27, 2008

“NABI MUHAMMAD, POLIGAMI DAN JIHAD”



NABI MUHAMMAD, POLIGAMI DAN JIHAD:
TELAAH AWAL SOSOK AGUNG NABI AKHIR ZAMAN

Prolog

Kesaksian para sejarawan, teolog dan penulis Barat tidak salah ketika menyatakan bahwa Rasulullah, Muhammad s.a.w. adalah “manusia teragung”. Tak terbatas oleh waktu, bahkan untuk selama-lamanya. Ila an yaritsa Allahu al-ardha wa man ‘alahya, kata orang Arab. Hingga Allah memusnahkan bumi dan siapa saja yang ada di atasnya, Rasulullah akan tetap menjadi “manusia teragung itu”.

Tidak ada yang lebih kuat dari pengakuan Allah s.w.t. “Sungguh, engkau (Muhammad) berada di puncak keagungan moral yang mulia.” Oleh karena itu, beliau layak dijadikan sebagai role model, uswatun hasanah dalam kehidupan ini. “Sungguh, dalam diri Rasulullah itu telah ada suri tauladan yang baik; bagi mereka yang mengharap (karunia) Allah dan Hari Akhirat serta banyak mengingat Allah.” Para pendahulunya, seperti nabi Musa dan nabi ‘Isa a.s. telah “meramalkan” kehadirannya. Nabi Musa a.s. mengatakan bahwa sosoknya “seperti Musa”. Nabi ‘Isa, Ibnu Maryam, menyatakan bahwa dia adalah Paracletos alias Yang Terpuji. Dia juga adalah ‘Sang Penghibur dan ‘Penolong yang Lain’. Dalam Al-Qur’an, nabi ‘Isa meramalkan bahwa namanya adalah “Ahmad”. Sanking kagumnya, Ahmed Deedat, kristolog kaliber internasional menyebutnya The Greatest. Maka, tak salah jika Deedat menyatakan bahwa Rasulullah adalah pengganti alamiah dari Yesus Kristus.

Ia begitu “penyayang” kepada umatnya, bahkan kepada manusia. Ia merasa susah dan gundah, jika umatnya mengalami kesulitan dan kesusahan. Di sinilah Allah menganugerahkan sifat “Ra’uf dan Rahim” kepadanya. Padahal sifat ini adalah sifat Allah. Tapi di sini khusus untuk penutup para rasul ini. Ini pun hanya satu ayat, karena memang special gift, hadiah special untuk Baginda Rasulullah. Shalla Allah ‘alayka ya Habibi ya Rasulallah.

Dia tak rela jika manusia “menyembah” selain Allah. Dalam konteks ini beliau menyatakan “perang” terhadap manusia-manusia yang menuhankan dan memempertuhankan apa dan siapa saja selain Allah. Karena beliau menginginkan manusia seluruhnya dalam Tawhid (monotheism). Karena akan memasukkan mereka ke dalam surga Allah. Meskipun akhirnya misi beliau ini banyak disalahfahami oleh sebagian orang. Tentunya orang-orang kafir, musyrik, atheis dan yang tak paham akan diri, kehidupan, perjuangan, dan dakwahnya. Karena sudah menjadi watak manusia, memang, al-nasu a’dau ma jahilu. “Manusia cenderung untuk memusuhi hal-hal yang tidak diketahuinya”. Maka muncullah fitnah-fitah yang dihembuskan kepada diri dan sosok Rasulullah yang mulia ini.

Hingga hari ini, penghinaan, penistaan, bahkan pelecehan terhadap pribadi yang mulia ini terus bergulir dan berlangsung. Meskipun itu adalah natural, alamiah. Karena ‘meraup’ keridhaan seluruh manusia adalah absurd. Keridhaan manusia adalah tujuan yang tak tersentuh. Ridha al-nas ghayat laa tudrak, ‘Keridhaan manusia adalah tujuan yang tak terjangkau,’ demikian jelas Imam Syafi’i (150-204 H).

Tak heran jika kaum kafir-musyrik Mekkah menyebutnya “tukang sihir”, tukang tenung, penyair. Kitabullah yang dibawanya diragukan. Umat Islam awal yang beriman kepadanya diintimidasi, minimal dijadikan sosok skeptik (selalu ragu, tak yakin). Hujatanpun dilangsungkan oleh para pengikut agama Kristen yang fanatik. Al-Qur’an diserang, pribadi Rasulullah “dihujat”, syari’ah disalah-pahami dan sebagainya. Di bawah ini fakta ini akan disebutkan.

Dari John of Damascus hingga Robert Spencer
Pendeta John of Damascus (Yuhanna al-Dimasyqi) menyatakan bahwa beliau adalah banyak menulis cerita bodoh. Dia, menurut John, melegalkan kawin dengan banyak istri, bahkan seribu selir jika sanggup. Perkawinan beliau dengan Zaynab binti Jahsy “digugat”. Menurutnya, Rasulullah adalah sosok hypersex. Buktinya dia mengawini istri anak angkatnya, Zaid ibn Haritsah. Klaim tak benar ini pun terus bergulir. Diadopsi lagi oleh ‘Abd al-Masih al-Kindi (w. 873) dan orientalis lainnya. Kisah perkawinan beliau dengan Zaynab sampai abad ke-20 masih “diyakini” dan dipegang sebagai fakta oleh orientalis Perancis, Maxime Rodinson. Anehnya, riwayat tak benar itu dikutip lagi oleh Robert Spencer.

Dari sini, Spencer menggugat konsep poligami dalam bukunya Islam Unveiled. Dia melihatnya dari ketidaksamaan kasih-sayang yang dapat menjadi sebuah penjara kesedihan. Istri-istri Nabi bukanlah kebal, menurutnya. Aisyah mengakui secara jujur terjadinya ketegangan. Ia merupakan salah satu sumber utama pengetahuan kita tentang berbagai peristiwa. Aisyah juga mengisahkan bahwa Nabi Muhammad masih bersenang-senang dengan Mariah al-Qibthiyah padahal hari itu sebenarnya dialokasikan untuk Hafsah. Aisyah juga meriwayatkan bahwa “Zainab bersaing dengan saya (dalam hal kecantikan dan merebut cinta Nabi.” Apakah hakikat “persaingan” Aisyah dengan Hafsah tak diulas lebih lanjut. Padahal sisi perkawinan Rasul ini sangat menarik, karena kecemburuan mereka terhadap istri-istri Nabi yang lain tak melebihi hasrat mereka ingin “meraih” dan “menggapai” cinta Sang Nabi. Tak ada yang negatif, natural dan manusiawi. Konon lagi Aisyah dan Hafsah adalah anak dari dua khalifah, pengganti kepemimpinan Rasulullah s.a.w.

Apa yang diungkit dan diungkap oleh John of Damascus, Maxime Rodinson dan Spencer hanyalah satu kasus. Meskipun tak habis-habis dihembuskan dan disebarkan lagi. Isu poligami tetap menjadi perbincangan ‘hangat’ bari mereka yang tak suka terhadap perkawinan Nabi s.a.w. Usaha yang sama dilakukan oleh pendeta Kristen Koptik (Qibti) Mesir, Zakariya Boutros. Dia mengarang buku yang menyerang poligami Rasulullah. Menurutnya, Rasulullah banyak kawin sepuluh tahun terakhir sebelum wafatnya karena “memiliki kelainan seks”, yaitu lemah seks (al-‘ajz al-jinsi). Usaha menghujat itu pun dilanjutkan oleh Jylland-Posten, koran Denmark (2006). Rasulullah digambarkan sebagai sosok yang hypersex (Arab: syahwani), pembunuh haus darah, dan primitif yang tak memiliki penghargaan dan penghormatan terhadap nilai-nilai dan peradaban manusia. Hal yang sama akhirnya diikuti pula oleh koran Norwegia, Perancis, dll.

Jelas, itu semua adalah tuduhan tak berdasar, rekaan dan penuh kebencian. Isunya sama saja: poligami Rasulullah dan peperangan. Dari sanalah Jylland-Posten menyimpulkan hal tersebut di atas. Isu paling anyar adalah dua situs Indonesia, yang ternyata salah satunya didanai dan dimotori oleh seorang “doktor” dari Canada, yaitu situs indonesian-freedomfaith.org. Di dalamnya murni “penghujatan” terhadap Al-Qur’an dan kehidupan Rasulullah s.a.w. Buku-buku klasik Islam dikutip seenaknya, ayat-ayat Al-Qur’an diplintir ke sana-kemari. Semuanya ingin menghancurkan sendi-sendi keyakinan umat Islam, bahwa Nabi ‘yang kalian agungkan dan elu-elukan’ tak lebih dari apa yang digambarkan oleh Jylland-Posten dan kawan-kawan. Karena memang, seperti diakui oleh Phipps, bahwa dalam agama, seperti juga politik, mencemarkan nama pemimpin lawan biasa dilakukan. Meski lemah, cara ini sering kali efektif untuk mempromosikan kepentingan sendiri. Montgomery Watt, kutipnya, seorang uskup sekaligus ahli biografi kontemporer tentang Muhammad yang dihormati secara luas, mencatat:
“Tidak ada tokoh besar sejarah yang mendapat apresiasi sedemikian menyedihkan kecuali Muhammad. Sebagian besar penulis Barat cenderung mempercayai yang terburuk tentang Muhammad, dan jika interpretasi yang tak menyenangkan, namun kelihatan masuk akal, mereka cenderung menerimanya sebagai fakta”.

“Syahwat” adalah “Natural”
Orang-orang yang menghina “syahwat” adalah orang yang tak menghargai hakikat dirinya. Makanya “kerahiban” dalam Islam disebut bid’ah. Celibacy alias selibet, tak kawin, seperti yang dijalankan oleh para pastor Katholik adalah “tak manusiawi”. Kerahiban adalah kontradiktif dengan kemanusiaan manusia. Singkatnya, “tak manusiawi”. Apapun alasannya. Maka yang terjadi adalah “pelecehan seksual” di Gereja. Ini adalah fakta, dan ini diakui oleh Paus sebagai “kasus yang sangat memalukan”. Bahkan, ratusan biarawati dibungkam dengan dollar agar tak membongkar kebejatan ini. Tapi apa boleh buat, kebejatan ini sudah menjadi rahasia umum.

Islam, sebagai agama yang selaras dan serasi dengan “kemanusiaan” menyatakan sejak awal bahwa “syahwat” adalah “manusiawi”, bahkan fitrah. Maka, supaya tetap menjadi “fitrah”, dia harus dimenej dengan baik agar selaras dengan ajaran agama. Maka disyariatkanlah perkawinan. Dan perkawinan, bukan hanya dalam Islam, dalam kehidupan manusia adalah “bukti” kesempurnaan seseorang. Orang yang tak kawin adalah tak sempurna.

Perkawinan Rasulullah dengan sekian banyak perempuan semuanya berdasarkan khushushiyyat-nya, khusus bagi Nabi s.a.w. Umatnya hanya diperbolehkan oleh Allah hanya 4 orang saja. Ini pun bukan “kewajiban”. Poligami dalam Islam bukan perintah. Ia hanya merupakan “solusi”. Inilah yang sering disalahpahami. Istri-istri beliau pun dimuliakan oleh Allah dan disebut sebagai ibu-ibu orang beriman, Ummahat al-Mu’minin. Sehingga, setelah Rasulullah s.a.w. wafat mereka tak boleh “dinikahi” oleh siapapun.

Masalah yang selalu disinggung: keluarga Nabi juga punya masalah keluarga, itu alami. Kecemburuan, kekurangan nafkah, persaingan cinta antara istri-istrinya kerap mewarnai kehidupan keluarga beliau. Ini adalah dinamika bahkan “romantika”. Tak ada keluarga yang tanpa masalah, sampai pun itu seorang nabi. Nabi juga manusia.

Rahasia “Jihad” Rasulullah
Nabi Muhammad “primitif” dan “haus darah”. Buktinya adalah suka perang. Dia benar-benar “pembunuh berdarah dingin”. Isu negatif dan pejoratif terus bergulir bak bola salju (snow-ball). Dingin, senyap, untuk kemudian pecah kembali. Benar-benar mirip ‘bom waktu’ (time bomb), kapan saja bisa meledak. Tergantung kepentingan dan keuntungan.

George W. Bush ketika ambruk World Trade Center (WTC) 11 November 2001 dia langsung pidato dan menyatakan bahwa ini adalah ‘New Crusade’ (Perang Salib Babak Baru). Lima tahun kemudian, Paus sekarang, Benedict XVI melakukan orasi ilmiah di Jerman dan menyerukan agar umat Islam menghilangkan hal-hal yang berbau kekerasan dan menghapus istilah Perang Suci (The Holy War). Karena, menurut Paus, istilah itu bertentangan dengan sifat Tuhan yang Pengasih dan Penyayang.

Paus lupa bahwa “jihad” adalah inti ajaran Islam. Islam tanpa jihad adalah absurd. Jelas sekali bahwa Paus lupa dengan pendahulunya, Paus Urbanus II yang menyerukan Crusade (Perang Salib). Urbanus II bahkan menyulut kebencian terhadap umat Islam, dengan menyebut mereka sebagai godless monsters (monster-monster tak ber-Tuhan).

Jihad dalam Islam sifatnya “defensi”, bukan ofensif. Ini yang selalu disalahfahami. Hal ini diakui oleh seorang pemikir Kristen Koptik (Qibti) terkenal, Dr. Nabil Luqa Bibawi dalam bukunya Intisyar al-Islam bi al-Saif, bayna al-Haqiqah wa al-Ifitra’ (Penyebaran Islam dengan Pedang: Antara Realitas dan Rekayasa). Di sini, penulis hanya akan mengutip pendapat jujurnya tentang penyebaran Islam di masa Rasulullah s.a.w.

Tentang ini, beliau rinci dalam beberapa poin. Pertama, persaudaraan (al-ta’akhiy) antara umat Islam dan membuat kesepakatan keamanan untuk Yahudi yang diistilahkan dengan ‘aqd al-Shahifah (kesepakatan Sahifah). Poin-poin-nya: Pertama, tentang ta’akhi di antara kaum Muslimin adalah: (a) Rasul menyatakan mereka dari berbabagai kabilah (suku dan puak) yang berbeda menjadi “satu umat”: umat Islam; (b) Rasul meminta kepada kaum Muslimin agar bekerja-sama sampai pun dengan orang yang melakukan makar (al-baghiy) dan zalim (al-zhalim) dari mereka, meskipun itu salah seorang orang-tua dari antara mereka; (c) Setiap kelompok harus berbuat makruf (baik), adil dalam pembagian (al-qisth) dan adil dalam membuat keputusan (al-‘adl) diantara sesama mereka.

Kedua, terhadap kontrak dan kesepakatan dengan Yahudi menyangkut beberapa poin: (1) sebagian orang menyuarakan bahwa Islam tersebar dengan “pedang”, membunuh para pemeluk agama yang berbeda dan memaksa mereka untuk memeluk Islam dipatahkan oleh “perjanjian” yang kita bahas ini, yang ada sejak tahun pertama hijriyah. Yahudi, yang agamanya berbeda, bebas melakukan ibadah dan rutinitas ritual dan harta mereka. Mereka, menurut Rasul, berada dalam perjanjian dan perlindungan Allah. Lalu, dimana letaknya “pemaksaan” (al-ijbar) itu?; (b) dalam kepentingan umum (al-mashlahah al-‘ammah) Yahudi dan umat Islam adalah “sama”. Ini membuka jalan bagi Yahudi dan orang-orang yang suka dengan Islam untuk merasakan hak yang sama seperti yang kaum Muslimin rasakan; (c) dakwah kepada kaum Yahudi dan orang-oang yang tinggal di Madinah jika mereka mau masuk ke dalam Islam dengan tanpa paksaan adalah “hak pilih” yang diberikan Rasulullah: antara tetap berada dalam agama dan syi’ar agama mereka atau masuk ke dalam Islam tanpa paksaan. Mereka di sini diberikan hal penuh untuk memilih. Ini bukti bahwa Islam tidak disebarkan lewat “pedang”; (d) dasar ini, menurut Bibawi, karena Islam memiliki dasar laa ikraaha fi al-din (tak ada paksaan dalam memasuki agama; Islam) dalam Qs. Al-Baqarah [2]: 256); (e) sebagaimana dibuktikan dengan tegas, bahwa dakwah Rasulullah di Mekkah dimulai dari orang terdekatnya, maka diantara mereka memeluk Islam: Abu Bakar, Khadijah, ‘Utsman ibn ‘Affan, Zubyar ibn al-‘Awwam, Sa’ad ibn Abi Waqqash, dan ‘Abd al-Rahman ibn ‘Auf. Kemudian diikuti oleh yang lain, diantaranya adalah suku Aus dan Khajraj, yang selalu bertikai. Penyebaran Islam oleh Rasul di Mekkah dilakukan lewat “musim haji”. Tak ada pedang di sana, yang ada justru sebaliknya: umat Islam diintimidasi oleh musyrikun Mekkah; (f) setelah penyatuan Muhajirin-Anshar di Madinah, barulah Rasulullah bersentuhan dengan “kekuasaan” (al-sulthah). Rasul bertindak sebagai pemimpin agama dan dunia sekaligus (za’im diniy wa dunyawiy); (g) lalu Islam menggantikan entitas kesukuan (al-wahdah al-qabaliyyah) dengan entitas Islam (al-wahdah al-islamiyyah). Dalilnya dikuti oleh Bibawi adalah Qs. Ali ‘Imran [3]: 103, agar umat Islam bersatu-padu dengan tali Allah. Setelah kuat kedudukan Islam di Madinah, barulah Rasulullah menyebarkan Islam ke luar Madinah. Beliau menyeru agar hanya menyembah Allah. Bagi yang agama-agama lain yang “menolak” maka harus “perang” (al-qital). Sedangkan bagi agama samawi, Yahudi dan Kristen, maka Rasululullah memberikan hak pilih: masuk dalam Islam dengan senang hati, al-qital (perang) atau membayar jizyah (pajak pembelaan dan perlindungan untuk mereka juga). Dan jizyah ini nominalnya sangat kecil (mabaligh zahidah), bahkan 70 % dari jumlah pemeluk agama lain tidak dikenakan. Seperti: orangtua, orang lemah, anak-anak, perempuan, dan para rahib. Ini bukan lah “hukuman” bagi mereka, karena tidak memeluk Islam, melainkan pajak fasilitas umum (al-marafiq al-‘ammah) yang diperoleh mereka dan sebagai pajak perlindungan mereka (dharibah al-difa’ anhum) dari bentuk invasi luar, apapun bentuknya. Pilihan ini membuktikan bahwa Islam tidak disebarkan dengan “pedang” sebagaimana yang dihembuskan oleh para orientalis.

Kesaksian mana yang lebih jujur daripada kesaksian pihak outsider (orang luar). Bahkan berbeda agama. Justru yang selama ini hujatan terhadap “jihad Rasul” datang dari para orientalis dan missionaris Yahudi dan Kristen. Fakta ini membalikkan hujatan mereka secara “sungsang”. Bibawi mengakui “keagungan” Rasulullah dalam berinteraksi dengan para penganut agama lain, khususnya Yahudi dan Kristen. Bukan saja atas dasar kedua agama ini sebagai agama Ahli Kitab, juga berdsarkan pertimbangan “manusiawi”. Rasulullah, agung dan humanis dalam fakta ini.

Jika yang dimaksud dengan phrase “Islam adalah agama pedang” jika dimaknai di dalamnya adalah kewajiban berjihad, maka ini benar, menurut almarhum al-‘Aqqad. Karena perintah jihad salah satunya adalah dengan “senjata” (al-silah). “Salah”, jika dimaksudkan: Islam disebarkan dengan “pedang” atau Islam menjadikan “jihad” sebagai alat untuk “pemaksaan” (al-iqna’).

“Jihad: Qur’ani, Haditsi Ijma’i dan Rasional”
Jihad dasarnya jelas dalam Islam. Allah bahkan membeli “jiwa” dan “harta” kaum beriman, karena mereka telah berjihad (berjuang) dan akhirnya dibunuh. Ganjarannya adalah “surga”. Surga bagi para para mujahid adalah janji Allah yang termaktub dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Syaratnya pun diatur dengan jelas: wala ta’tadu, “jangan melampaui batas”. Hadits Rasul s.a.w. menjelaskan bahwa amal yang paling dicintai Allah s.w.t. adalah “jihad fi sabilillah”.

Perang dalam Islam pun ada aturannya, kata Syeikh Musthafa al-Siba’i. Aturan perang dalam Islam adalah “jelas”, tak diragukan. Karena ia berdiri di atas konsep yang juga dilakukan oleh setiap syari’at real (syari’ah waqi’iyyah). Dimana semuanya mengakui konsep perang (al-harb): bahwa di tengah-tengah manusia ada yang tak jera melakukan permusuhan dan tiran (al-‘udwan wa al-thugyan) lewat pendidikan (al-tarbiyah), tidak pula hukum (al-qanun). Dan dalam konteks bangsa-bangsa (al-umam) terdapat kelompok yang mendemonstrasikan kekuatannya dan memperlihatkan kelemahan tetangganya dengan cara melakukan aksi permusuhan (al-‘udwan) dan kolonialisme (al-isti’mar). Alangkah baiknya saat ini dilegalkan penggunaan kekuatan (al-quwwah)...” Jadi, Islam bukan agama pertama yang melegalkan “perang”.

Fase-Fase Perang dalam Islam
Dalam perang, Islam tidak “membabi-buta”. Semuanya diatur secara sistematis. Karena perang dalam Islam bukan tujuan utama untuk menguasai umat dan bangsa lain. Berikut adalah fase-fase perang dan melakukan tindak kekerasan dalam Islam.

Fase pertama, tak boleh. Larangan ini benar-benar “instruksi langsung” dari Rasulullah. Fakta historisnya adalah kasus seorang sahabat yang bernama Khabab ibn al-‘Arat. Khabab adalah saksi mata “kegetiran” penindasan umat Islam di awal-awal kemunculannya. Dia merasa tak tahan dan akhirnya mengadu kepada Rasulillah s.a.w:

“Tidakkah bisa engkau membantu kami? Tidakkah engkau berdoa kepada Allah untuk kami? Jawaban Rasulullah sangat mencengangkan: “Orang-orang sebelum kalian ada yang “dibenamkan” ke dalam tanah; ada yang digergaji dan tubuhnya dibelah menjadi dua bagian. Hal itu tidak memalingkannya dari agama yang diyakininya. Ada juga yang disisir pakai “sisir besi”. Dagingnya terkelupas. Yang ada hanya tulang dan urat saja. Hal itu tak memalingkannya dari agamanya. Dan Allah akan menyelesaikan perkara ini. Sehingga seorang penunggang kuda dapat dengan mudah berjalan dari Shan’a’ ke Hadramaut. Tidak ada yang ditakutinya –ketika itu—selain Allah. Begitu juga, tak dikhawatirkan srigala akan menerkam dombanya. Tapi, kalian terlalu cepat meminta hal itu.”

Rasulullah bukan tak merasa bahaya dan ancaman penyiksaan itu. Beliau sangat tahu dan mengerti keadaan para sahabat dan umatnya. Tapi bukan masanya melakukan kekuatan. Yang penting ketika itu adalah pendidikan iman (tarbiyah imaniyah). Karena ini adalah kunci kekuatan yang sangat penting.

Fase kedua, izin perang. Hal ini dilakukan pasca-migrasi (hijrah) ke Madinah. Seperti sudah ditulis dan dijelaskan oleh Bibawi pada bagian sebelumnya. Fase ini pun tidak asal perang. Syaratnya menurut Allah adalah yuqatalun (lebih dulu diperangi dan diserang). Hal ini juga sebagai aksi menteror (irhab) orang-orang munafik (hypocrit) yang ada di Madinah yang dipimpin oleh ‘Abdullah ibn Ubay. Di sinilah awal terjadinya perang Badar dan Uhud.

Fase ketiga, perintah memerangi. Perintah ini dijelaskan oleh Allah: “perangilah orang yang memerangi”. Di sini pun defensif. Kaum Muslimin tak dibenarkan menyerang lebih dahulu. Karena itu bertentangan dengan ajaran “kemanusiaan”.

Fase keempat, perintah memerangi seluruh orang kafir. Bagaimana sistemnya? “Perangilah orang-orang kafir seluruhnya, sebagaimana mereka memerangi kalian seluruhnya. Ketahuilah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang bertakwa.” Di sini pun “defensif”. Karena orang-orang musyrik memerangi kaum Muslimin “habis-habisan”. Maka tak benar jika umat Islam ‘mengalah’, tak melawan. Ini namanya “mati konyol”.

Contoh kasus adalah Bani Qaynuqa’. Mereka diperangi karena melanggar perjanjian, pasca-perang Badar Kubra dan mencemarkan kehormatan seorang wanit Anshar. Begitu juga dengan suku Gathfan. Mereka diperangi karena Banu Tsa’lab dan pasukan perang Ghathfan melakukan “koalisi” untuk menginvasi Madinah, yang dipimpin oleh Da’tsur al-Muhribi...

Di sini, Islam menjelaskan dan memaparkan betapa perang dalam Islam itu dasarnya jelas dan sangat rasional. Satu hal yang sangat sulit untuk ditemukan di dalam agama yang lain. Kita lihat, misalnya, dalam Perjanjian Lama disebutkan:
“Makaseluruh penduduk kota itu beserta ternaknya harus dibunuh. Kota itu harus dimusnahkan sama sekali. Seluruh hartabenda penduduk kota itu harus dikumpulkan dan ditimbun di tanah lapang, lalu kota dan segala harta bendanya harus dibakar sebagai kurban bagi TUHAN Allahmu. Sesudahnya semua itu harus ditinggalkan menjadi puing dan tak boleh dibangun kembali.” (Ulangan 13: 16-17).

Dalam kitab yang sama disebutkan: ”Apabila kamu pergi untuk menyerang sebuah kota, berilah dahulu kesempatan kepada penduduknya untuk menyerah. Kalau mereka membuak pintu-pintu gerbang dan menyerah, mereka semua harus menjadi hamba-hambamu dan melakukan kerja paksa untukmu. Tetapi kalau penduduk kota itu tidak mau menyerah dan lebih suka berperang, kamu harus mengepung kota itu. Kemudian, apabila TUHAN Allahmu memungkinkan kamu merebut kota itu, kamu harus membunuh seluruh penduduknya yang laki-laki. Tetapi kamu boleh mengambil kaum wanita, anak-anak; ternak dan apa saja yang ada di kota itu. Segala harta benda musuh-musuhmu itu
boleh kamu pakai. TUHAN Allahmu menyerahkan itu kepadamu. Begitulah harus kamu perlakukan kota-kota yang jauh dari negeri kediamanmu. Tetapi kalau kota itu ada dalam wilayah yang diberikan TUHAN Allahmu kepadamu, seluruh penduduknya harus dibunuh. Seperti yang diperintahkan TUHAN Allahmu, kamu harus membinasakan orang-orang Het, Amori, Kanaan, Feris, Hewi dan Yebus. (Kitab Ulangan 20: 11-17). Dus, bisa jadi ajaran Bible ini banyak menginspirasi orang-orang tak manusiawi untuk menyerang dan menghancurkan musuh-musuhny, tanpa ada pertimbangan kemanusiaan.

Penghormatan Islam terhadap Daerah Perang
Keagungan konsep Islam dalam perang ditunjukkan dengan fakta yang sangat mengagumkan dan mencengangkan. Islam datang bukan “menghancurkan” tapi memelihara daerah dan tempat terjadinya peperangan. Di Mesir, gubernur ‘Amru ibn al-Ash tidak berniat sedikitpun untuk menghancurkan Pyramid, Sphynx dan benda-benda bersejarah lainnya. Fakta historis ini kekal dan menjadi saksi yang tak terbantahkan.

Dalam sejarah perang dalam Islam, wasiat Abu Bakar Shiddiq kepada Yazid ibn Abi Sufyan sangat menarik dipaparkan di sini. Bahwa menurut Yahya ibn Sa’id, Abu Bakar mengutus satu pasukan di bawah komando Yazid ibn Abi Sufyan. Sebelum berangkat, beliau berwasiat:
“Aku berwasiat kepada kalian tentang sepuluh hal: ‘Jangan menghancurkan bangunan, jangan membunuh domba atau unta kecuali untuk satu kali makan, jangan merobohkan pohon kurma, jangan pula membakarnya, jangan menipu/berbuat curang, jangan menjadi pengecut, jangan membunuh bayi, jangan membunuh perempuan, jangan membunuh orangtua (lansia), dan jangan menebang pohon yang sedang berbuah.”

Hal itu dilakukan karena ajaran Rasulullah, agar dalam perang pun tidak melakukan tindakan yang “berlebih-lebihan” dan tak beretika. Hal ini diceritakan oleh Shafwan ibn ‘Assal. Bahwa ketika Shafwan diutus oleh Rasulullah untuk memimpin pasukan perang, beliau berpesan: “Berperanglah atas nama Allah (Bismillah) dan dalam jalan Allah (fi sabilillah). Dan kalian jangan bertindak berlebih-lebihan (la taghlu) dan jangan berkhianat (wa la taghdiru).”

Jika dibandingkan dengan perang yang dilakukan negara-negara Barat sekarang, maka jauh sekali perbandingannya. Bukan isapan jempol belaka, jika banyak wanita Muslimah di Irak diintimidasi dan diperkosa oleh tentara Amerika. Bahkan banyak yang sudah berbadan dua. Semuanya tak punya etika dan moralitas. Dan mayoritas tentara itu adalah Kristen, yang diutus oleh George W. Bush, seorang Kristen fundamentalis-radikal.

Epilog

Luar biasa, sungguh agung Rasulullah s.a.w. Dalam diam dan geraknya. Dalam keluarga dan di luar rumahnya. Dalam perangnya pun benar-benar mengedapankan moral yang baik. Pantas jika Allah memberikan predikit ‘wa innaka la’ala khuluqin azhim’.

Rasulullah adalah “jenius”, simpul al-Aqqad. Oleh karenanya, dia benar-benar “Muhammad” (terpuji) dan jenius dalam perannya sebagai: suami, pemimpin militer, administator perang, bapak, tuan, hamba, dan sebagai laki-laki. Maka tak heran, jika Michael T. Hart dalam bukunya The Greatest Hundred in History (The Top 100) meletakkan Rasulullah s.a.w. di peringkat “pertama” sebagai tokoh berpengaruh di dunia. Yesus sendiri diletakkan setelah Paulus. Padahal yang menjadi nabi kaum Kristen –secara khusus—adalah Yesus Kristus, bukan Paulus.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan pengakuan jujur seorang penulis Eropa, Marcus Dodds, dalam bukunya Mohamed, Buddha and Christ ketika membandingkan nabi Muhammad, Buddha dan Kristus dan bertanya: “Bukankah Muhammad itu benar-benar Nabi? Dia kemudian memberikan jawaban di bawah ini:
“Sungguh, secara meyakinkan, dia adalah pemilik dua kemuliaan sekaligus dari seluruh keutamaan para nabi. Dia benar-benar telah mengerti tentang Allah, dimana orang-orang di sekitarnya tidak mengetahuinya. Dan tertanam kuat dalam dirinya kecenderungan batin yang tak tertandingi untuk menyebarkan kebenaran itu. Dia benar-benar tercipta untuk kemuliaan ini dan tepat untuk disebut sebagai nabi yang paling berani dan pahlawan diantara Bani Israil. Karena dia korbankan hidupanya di jalan kebenaran; dan selama bertahun-tahun sabar dalam penderitaan; dia menerima pembuangan, isolasi dan kebencian yang luar biasa serta kehilangan cinta para sahabatnya. Namun seluruhnya dihadapi dengan penuh kesabaran, sehingga dia muncul sebagai sosok luar biasa. Satu kesabaran dalam titik terendah yang dialami oleh seorang manusia dalam ancaman kematian yang akhirnya selamat lewat “hijrah”. Meski demikian, dia berjalan terus untuk menyebarkan risalahnya dimana iming-iming dunia, ancaman dan “rayuan” –apapun bentuknya—tak dapat membungkamnya. Mungkin para penyembah berhala (Pagan) banyak yang kembali kepada monotoisme (tawhid), hanya saja orang lain selain Muhammad tidak pernah melakukan seperti yang dilakukannya dari sisi keimanan terhadap keesaaan (Allah) yang konstan dan terhujam kuat. Hal itu diberikan kepadanya, karena kemurniaan niat kuatnya untuk membawa orang lain kepada keimanan. Dan jika seseorang bertanya: “Apa yang mendorong Muhammad untuk meyakinan orang-orang yang bertawhid (kaum beriman kepadanya) untuk melakukan ibadah ‘uzlah –maksudnya adalah hidup dalam kesederhanan dan bahkan rela diusir oleh keluarga dan masyrakatnya dari kampung halamannya: hijrah--? Maka tidak ada jalan lain bagi kita untuk menerima bahwa: kedalaman dan kekuatan iman terhadap kebenaran yang dibawa oleh Muhammad.”

Dan memang, orang-orang yang membenci nabi Muhammad adalah mereka yang belum mengerti tentang dirinya. Atau, pura-pura tak mengerti sisi kehidupannya yang penuh dengan ragam dan macam prestasi yang tak pernah dicapai oleh siapapun, baik sebelum maupun sesudah kehadirannya di panggung sejarah manusia dan kemanusiaan. Untuk mengerti sosok mulia ini lah al-Qadhi Abu al-Fadhl ‘Iyadh ibn Musa ibn ‘Iyadh al-Yahshubi (486-544 H) mengarang satu buku yang sangat indah, al-Syifa’ al-Ta’rif bi Huquq al-Mushthafa. Semuanya dilakukan agar semua orang menilai secara jujur dan adil terhadap sosok yang agung dan mulia ini. Dan, simpul Nabil al-Mu’adh, agar orang-orang mengerti, How to Love the Prophet Muhammad. Karena orang yang tahu dan mengerti lah yang dapat mengagungkan dan mencintainya. Karena sebenarnya, Prophet Muhammad a Blessing for Mankind, al-Nabiyy Muhammad Ni’mat ‘ala al-Basyaraiyyah. Wallahu a’lamu bi al-shawab. [Q]


27 Novemper 2008
Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), Gontor-Ponorogo, Jawa Timur

 

<<Kembali ke posting terbaru

Selasa, November 11, 2008

“MUSABAQAH ILA LIBERALISME”

Arus liberalisme sudah sejak lama memang merasuk dan merangsek ke dunia Islam. Dari Maroko sampai Merauke gejala liberalisme sudah semacam doktrin modernitas. Maka muncullah saat ini nama-nama semacam Muhammad Abid al-Jabiri, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Fatimah Mernissi, Amina Wadud-Muhsin, dlsb. Di Indonesia sejak lama dikenal tokoh penarik gerbong pemikiran liberal sekelas Mukti Ali, Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Generasi berikutnya diisi dan diramaikan oleh orang-orang sekelas Gus Dur, Syafi’i Ma’arif, Syafii Anwar, Ulil Abshar-Abdalla, Luthfi Asyaukanie, Moqsith Ghazali, Sumanto Al Qurtuby, dan banyak lagi.

Saat ini, liberalisme itu terus dikembangkan dan dipasarkan ke tengah-tengah masyarakat. Kontributor dan pengasong pemikiran liberal tumbuh di mana-mana. Bahkan perguruan tinggi Islam, seperti IAIN dan UIN, sudah lama dirasuki penyakit berbahaya ini. Perguruan tinggi Islam yang semestinya menjadi pengawal akidah justru merusak dan menghancurkannya.

Seolah tak disadari, banyak pemikir Muslim yang justru bangga menjadi liberal. Kalau tidak liberal tidak terkenal dan kesohor. Jika tidak liberal bukan Muslim sejati. Intinya, mereka ramai-ramai ingin menjadi “Muslim Liberal”. Alasannya sederhana, ‘khalif tu’raf’. ‘Nyelenehlah pasti Anda akan terkenal’. Adagium ini bukan isapan jempol belaka. Tapi benar-benar diperjuangkan. Untuk itu kaum liberal tak segan-segan untuk menghujat hal-hal yang sudah mapan (established) dalam agama.

Menghujat Al-Qur’an

Jika dalam Kristen metode kritik Bible sudah mapan, kaum liberal pun ingin menerapkannya ke dalam Al-Qur’an. Bagi Kristen, Bible sudah lama diragukan otentisitasnya. Oleh karenanya mereka meragukan kebenaran kitab suci mereka. Penelitian 72 pakar Alkitab dalam The Jesus Seminary menyimpulkan bahwa “Eighty-two percent of the words ascribed to Jesus in the Gospels were not actually spoken by him’ (82 persen kalimat yang katanya diucapkan Yesus di dalam kitab-kitab Injil sebenarnya tidak pernah diucapkan oleh Yesus). (Lihat, Masyhud SM, Membuat Tuhan dan Kitab Suci (pengantar editor), dalam Ahmed Deedat, The Real Truth: Meruntuhkan Pilar-Pilar Iman Kristiani, (Surakarta-Jawa Tengah: Kahfi Publishing, 2008: 12).

Orang semacam Arkoun, misalnya, menyayangkan umat Islam yang tak mau ‘mengekor’ kepada sikap dan usaha umat Kristen dalam mengkritisi kitab suci mereka. Dengan nada menyesal, Arkoun menulis: “Sayang sekali bahwa kritik-kriti filsafat tentang teks-teks suci –yang telah digunakan kepada Bible Ibrani dan Perjanjian Baru, sekalipun tanpa menghasilkan konsekuensi negatif untuk ide wahyu—terus ditolak oleh pendapat kesarjanaan Muslim.” (Lihat, Adnin Armas, Kritik Arthur Jeffery terhadap Al-Qur’an, dalam ISLAMIA, Thn. I, no. 2/Juni-Agustus 2004, hlm. 19).

Di Indonesia, ide orientalis dan liberal diadopsi tanpa kritik. Anehnya lagi, kaum liberal merasa bangga dengan apa yang ia kutip. Luthi Asyaukanie, misalnya, menulis: “Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Alquran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa.” (http://islamlib.com/id/index.php/?page=article&ide=447 (17/11/2003).

Ini jelas murni ide dan kajian orientalis. Ini sangat berbahaya, karena dapat merusak konsep wahyu. Dimana merupakan kesepakatan ulama bahwa Al-Qur’an diturunkan oleh Allah secara tanzil (lafadz dan maknanya murni dari Allah). Bahkan, meragukan otentisitas Mushaf Utsmani dihukum “kafir” oleh para ulama. Meskipun begitu, bagi kaum liberal tidak berarti apa-apa. Karena Al-Qur’an bukan hal yang sakral. Disamping keyakinan terhadap sakralitas Al-Qur’an merupakan al-khayal al-dini (angan-angan teologis), juga Al-Qur’an rigid, delicate (rumit), sarat perdebatan bahkan penuh rekayasa.

Oleh karena itu, penghujatan terhadap Al-Qur’an tak berhenti pada tulisan Luthfi. Anak-anak ‘nakal’ dari Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo melanjutkan perjuangan mereka. Tak segan-segan mereka untuk melakukan “desakralisasi” historisitas Al-Qur’an. Al-Qur’an menurut mereka adalah “perangkap Quraisy”. Usaha kodifikasi Al-Qur’an oleh Khalifah III, ‘Utsman ibn ‘Affan, adalah sebuah “fakta kecelakaan sejarah”. Untuk mendukung studi mereka diadopsilah pemikiran John Wansbrough dan Richard Bell. Dedengkot mereka, Sumanti Al Qurtuby, menulis bahwa kesucian Al-Qur’an adalah “palsu”. (Lihat, Jurnal JUSTISIA: Jurnal Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, edisi 23, thn. XI, 2003).

Sumanto Al Qurtuby, karena ruang kritik terbatas dan singkat dalam Jurnal JUSTISIA, dia “tumpahkan” kegeramannya kepada sakralitas Al-Qur’an dalam bukunya Lubang Hitam Agama. “Di sinilah maka tidak terlalu meleset jika dikatakan, Al-Qur’an dalam batas tertentu, adalah “perangkap” yang dipasang bangsa Quraisy (a trap of Quraisy). Artinya, proses awal “turunnya” ayat-ayat Al-Qur’an tidak lepas dari jaring-jaring kekuasaan Quraisy yang dulu berjuang keras untuk menunjukkan eksistensinya di tengah suku-suku Arab lain.” (Sumanto Al Qurtuby, Lobang Hitam Agama: Mengkritik Fundamentalisme Agama, Menggugat Islam Tunggal, (Jogyakarta: Rumah Kita, 2005: 65). Sumanto pun menambahkan hujatannya, “Kita tahu, Al-Qur’an yang dibaca oleh jutaan umat Islam sekarang adalah teks hasil kodifikasi untuk tidak menyebut “kesepakatan terselubung” antara Khalifah Usman (644-656 M) dengan panitia pengumpul yang dipimpin Zaid ibn Tsabit, sehingga teks ini disebut Mushaf Usmani.” (ibid.).

Jadi, ada jalur “kesepakatan” antara orientalis, Arkoun hingga kaum liberal di Indonesia untuk meruntuhkan otentisitas Al-Qur’an ini. Mereka bahu-membahu dalam merusak konsep Kitab Suci umat Islam. Mereka tak sadar bahwa kritisisme mereka terjebak dalam jaring-jaring pemikiran orientalisme Barat yang liberal-sekular. Sebenarnya, mereka tak sadar dan tertipu oleh hawa nafsu mereka sendiri. Alih-alih ingin bersikap kritis terhadap Al-Qur’an malah tidak kritis terhadap pemikiran yang diadopsinya. Sehingga mereka berlomba-lomba untuk mencomot pendapat orientalis secara taken for granted. Yang paling “mirip” dengan gaya penulisan dan pemikiran orientalis, dialah yang paling ilmiah dan kritis.



Menghujat Syariah

Tak puas menghujat Al-Qur’an, kaum liberal menghujat syariah Islam. Menurut mereka tidak ada ulama fiqh yang bisa dianggap paling “otoritatif”. Mereka menolak otoritas ulama. Bagi mereka otoritas identik dengan “otoritarianisme”. Hasilnya adalah apa yang sekarang mereka suarakan dan perjuangan. Dimana-mana homoseksualitas dan lesbianisme dibela habis-habisan.

Ini jelas konsep keilmuan Barat yang sekular. Dimana seorang Robinson yang homoseks diangkap sebagai “Bishop”. Itu tak masalah bagi Barat. Ilmu tidak inheren dalam amal. Atau ilmu tak memiliki hubungan integral-diametral dengan amal memang sudah menjadi konsep hidup Barat. Ini pula yang dipuja, dipuji, disanjung dan diagungkan oleh kaum liberal. Maka tak heran jika ada seorang professor bahkan seorang “hajjah” yang mendukung lesbianisme.

Kawin sesama jenis bagi mereka adalah “sebuah keindahan” dan kenikmatan tersendiri. Konsep “zina” tak ada dalam kamus mereka. Semua mau disama-ratakan dengan budaya dan peradaban binantang. Ini lah mungkin titik kulminasi ‘binatangisme syariah’ ala kaum liberal-sekular Indonesia. Makanya mereka berjuang habis-habisan untuk “menyelamatkan” kaum homoseks dari penindasan agama. Landasan filosofis pun dikejar kemana-mana untuk melegetimasi ide konyol dan laknat ini. Karena mereka ingin menyimpulkan bahwa syariah menjadi biang masalah dalam masalah homoseksualitas. Sehingga agama semena-mena terhadap mereka yang ingin menikmatinya. (Lihat, Jurnal JUSTISIA, “Indahnya Kawin Sesama Jenis”, edisi 25, thn. XI, 2004).

Dalam masalah ini mereka yashuddu ba’dhuhum ba’dhan. Saling tolong-menolong. Benar-benar wata’wanu ‘alal itsmi wal ‘udwan. ‘Mujtahid’ mereka adalah Irshad Manji. Seorang wanita dan pengidap virus “lesbian” tapi benar-benar punya ruh ‘ijtihad’ yang luar biasa. Irshad Manji pun dielu-elukan di Indonesia, karena membawa ruh pencerahan bagi kaum lesbian. “Irshad Manji: Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad,” begitu puja-puji Nong Darol Mahmada. (Lihat, Nong Darol Mahmada, Irshad Manji: Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad, dalam Jurnal PEREMPUAN, edisi58, Maret, 2008, hlm. 137-145).

Dimana doktrin agama dan syariah? Semuanya tak ada dalam kamus mereka. “Karena Allah hanya melihat taqwa, bukan orientasi seksual manusia,” jawab Siti Musdah Mulia enteng. (Ibid., hlm. 122-127). Dan perlu dicatat bahwa ini bukan rantai akhir dari agenda liberalisme di Indonesia. Masih banyak generasi yang sedang ngantri di belakang mereka. Dan mereka sudah benar-benar siap untuk “ramai-ramai menjadi liberal”.

(Minggu, 9 Nopember 2008 di Centre of Islamic and Occidental Studies (CIOS), Siman-Ponorogo, Jawa Timur)

 

<<Kembali ke posting terbaru

"BERPIKIRLAH SEJAK ANDA BANGUN TIDUR" (Harun Yahya)