Tasawuf dan Orientalisme
Istilah ‘‘tasawuf’’ pada abad ke-2 H. merupakan sebuah istilah yang belum digunakan sebagai terminologi yang kita kenal saat ini. Istilah yang banyak beredar saat itu adalah zâhid dan nussâk (ubbâd): ahli ibadah. Istilah tersebut banyak disandarkan kepada para sahabat, karena mereka banyak yang melakukan sikap zuhud. Namun, bukan berarti bahwa 'tasawuf' tidak berasal dari Islam, bahkan hal itu bisa dikatakan sebagai refleksi sikap zuhud yang sebagai bentuk keistimewaan spirit Islam (al-rûh al-islâmiyah).
Dr. As'ad al-Sahmarâniy di dalam bukunya Al-Tashawwuf, Mansya’uhû wa Mushtalahâtuhû mengatakan bahwa berbagai literatur menerangkan kepada kita bahwa kata ‘Sufi’ pada mulanya hanya sebagai julukan (dalam sejarah Islam pada paro pertama dari abad ke-2 H) yang diberikan kepada Abu Hasyim al-Zâhid al-Baghdâdî dan seorang ahli kimia (chemist) Islam terkenal, Jabir bin Hayyan al-Kûfî. Oleh karenanya harus diakui bahwa Tasawuf lahir dari Islam (sendiri) sebagai sebuah sistem (manhaj) dan pemahaman yang banyak didukung oleh bebagai ayat Alquran dan Sunnah.
Beliau juga menegaskan bahwa realita sosio-politik pascaekstensi pembebasan wilayah Islam (al-futûhât al-islâmiyah) yang banyak memberikan kontribusi dalam melahirkan madrasah (aliran) Tasawuf, terutama di tangan mereka yang ingin membedakan dirinya dari orang-orang yang hidup sezaman dengan mereka: yang banyak menikmat 'glamour' dan kesenangan hidup. Dalam hal ini ditegaskan oleh Dr. Abdurrahman al-Badawi di dalam bukunya Târîkh Al-Tashawwuf Al-Islâmiy bahwa di samping fondasi akidah Islam (Alquran dan Hadits) yang banyak memberikan bekas dalam aliran Sufisme adalah faktor-faktor sosial atau individual; dari sisi krisis politik atau krisis jiwa (Dr. As‘ad al-Sahmarâniy, Al-Tashawwuf, Mansya'uhû wa Musthalahatuhû, 2000: 43-44).
Dengan demikian tidaklah benar pendapat yang menyatakan bahwa Sufisme Islam berasal dari agama lain, seperti Hindu, Yunani, Kristen dan Yahudi. Meskipun tidak ada yang menyangkal bahwa agama-agama tersebut (juga) memiliki andil dalam memperkaya praktek Sufisme Islam. Namun tetap saja 'cikal bakal' lahirnya Sufisme dalam Islam berasal dari tubuh Islam itu sendiri.
Hal ini dijelaskan oleh seorang Orientalis, Nicholson. Ia berkata; ‘‘Kita tidak melihat dari perkataan para Sufi yang zuhud, seperti Ibrahim bin Adham (w. 161 H), Daud al-Thâ'iy (w. 165 H), Fudhail bin 'Iyâdh (w. 187 H), Syaqîq al-Balkhiy (w. 194 H), yang menunjukkan bahwa mereka terpengaruh oleh Kristianitas atau dengan sumber-sumber asing yang lainnya, kecuali hanya sedikit sekali. Dengan kata lain, tampak jelas bagi kita bahwa jenis ini (Sufisme Islam) adalah –setidaknya ada kemungkinan—lahir dari gerakan Islam itu sendiri. Ia merupakan produk yang lazim dari pemikiran Islam yang berasal dari Allah.’’ (Ibid., hlm. 44).
Memang, Sufisme merupakan salah satu dari ladang spiritual (majâlât al-ruhiyah) sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah banyak menyita perhatian para Orientalis. Concern mereka terhadap Sufisme Islam ini banyak dibuktikan dengan berbagai studi yang dilakukan oleh sebagian Orientalis ternama, seperti Brown (Inggris), Goldziher (Hongaria), Hortaman, Hartan (Jerman) dan Garradi Vaex yang banyak menggandrungi Al-Farabi dan aliran tasawufnya serta pengaruh Sufisme dalam sastra Timur. Selain itu adalah MacDonald (Amerika), yang banyak menjelaskan pendapat-pendapat sufisme Al-Ghazali (Dr. Adil al-Alûsiy, Al-Turâtas Al-‘Arabiy wa Al-Mustasyriqûn, 2001: 100).
L. Massignon dan Nicholson merupakan tokoh Orientalis yang paling banyak memiliki perhatian atas sufisme Islam. Keduanya merupakan Orientalis terkenal dalam menulis seputar Sufisme Islam dengan gaya penulisan kontemporer. Massignon sendiri telah menulis dan mencurahkan perhatiannya terhadap al-Hallâj. Ia kemudian menerbitkan sebuah buku (tentang al-Hallâj) pada tahun 1922. Ia juga banyak memberikan pengaruh yang konkret dalam perjalanan studi Sufisme Islam. Kiranya buku tersebut sebuah buku yang sangat baik dan penting untuk menjadi sebuah rujukan valid dan luas tentang al-Hallâj. Buku tersebut menunjukkan tentang kedalaman Orientalis tersebut dalam studinya tentang al-Hallâj (al-dirâsât al-hallâjiyah) (Ibid., hlm. 101-102).
Kontirbusi para Orientalis dalam Sufisme Islam sangat besar dan terasa. Nicholson sendiri pada tahun 1821, menurut Dr. Adil al-Alûsiy, telah menulis sebuah studi yang cukup berharga tentang pengaruh-pengaruh asing dalam Sufisme Islam. Sebagaimana dia juga banyak berbicara (mendiskusikan) seputar masalah-masalah penting Sufisme ketika menganalisa tentan wahdatul wujûd menurut al-Hallâj, Ibn Faridh dan Ibn Arabi.
Selain itu, para Orientalis juga banyak yang melakukan tahqîq (verifikasi) tentang literatur-literatur Sufisme, seperti verifikasi L. Massignon atas Rasâ'il al-Hallâj yang ditulis oleh Abu Mughîts Husain bin Mansur, J. Von Hammer yang menerjemahkan buku Al-Tâ'iyah Al-Kubrâ karya Ibn Faridh (Abu Hafsh Umar bin Ali bin Mursyid) ke dalam syair. Ia kemudian menerbitkannya di Purgstal pad tahun 1853, dan banyak lagi.
Apa yang dilakukan oleh para Orientalis tersebut setidaknya menggugah kita untuk bisa berbuat lebih baik dan lebih kritis. Dalam artian bahwa kekaguman kita atas usaha mereka tidak serta merta membuat kita 'lengah' dan 'merasa terbantu'. Karena bagaimanapun kita harus tetap bisa mengkritisi kontribusi mereka. Karena masih ada tokoh semacam Dr. Luthil (Dekan Islamic Studies, Universitas Mc. Gill, Canada) yang menyatakan bahwa tidak semua kaum Sufi itu masuk dalam bingkai Islam, bahkan diantara mereka ada yang amat berlebih-lebihan yang digolongkan kafir (dikafirkan) oleh sebagian umat Islam (Dr. M. Qadari Ahdal, Wawancara dengan Sepuluh Tokoh Orientalis, 1991: 166).
Otomatis, pernyataan tersebut 'menyulut' semangat kita untuk mengkritisi adagium yang dibawa oleh al-Hallâj dengan wahdatul wujud-nya dan Syeikh Siti Jenar (Indonesia) dengan manunggaling kawula gusti-nya, dan yang lainnya. (Cairo, 26 Maret 2005)
0 Comments:
Posting Komentar
<<Kembali ke posting terbaru