Selasa, Februari 12, 2008

“Dari Salman Rushdie hingga Tempo”

Dari Salman Rushdie hingga Tempo
(Catatan Kasus Penodaan Agama)

Masih hangat dalam memori umat Islam kasus The Satanic Verses (1988) karangan Salman Rushdie. Novel yang ‘melukai’ hati dan perasaan umat Islam itu masih sangat membekas. Bagaimana tidak, seorang Rasul yang agung, Muhammad SAW, dilecehkan. Tentu saja ini tidak dapat diterima.

Kisah “penodaan agama” ini membangkitkan kembali ‘memori kebencian’ umat Islam terhadap Salman Rushdie. Gelar ‘SIR’ bagi Rushdie tidak dapat dibenarkan oleh umat Islam. Namun begitu pun, masih ada seorang Muslim yang menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Rushdie merupakan aksi “kebebasan berekspresi”. Luthfi Assyaukanie, seorang aktivis JIL, menulis dalam bukunya Islam Benar versus Islam Salah (Depok: Kata Kita, 2007):
“Gelombang protes dari Iran, Pakistan, hingga Malaysia terhadap penganugerahan gelar bangsawan Inggris untuk Salman Rushdie mengejutkan kita, betapa kaum Muslim belum bisa melupakan dan memaafkan pengarang Ayat-Ayat Setan itu. Meski protes itu tidak sebesar 20 tahun silam ketika Rushdie difatwa mati oleh Ayatullah Khomenei, gelombang protes itu tetap menyentak betapa kaum Muslim tak pernah bisa mentolerir hal-hal yang mereka pandang sebagai “penodaan agama”. Nama Salmah Rushdie, bagaimanapun tidak bisa dilelepaskan dengan novelnya yang dinggap telah menghina Islam itu. Reaksi kaum Muslim itu melengkapi daftar panjang kasus-kasus menyangkut hubungan Islam dan kebebasan berekspresi.”
Jadi, menurut Luthfi, The Satanic Verses karya Rushdie adalah salah satu bentuk dari “kebebasan berekspresi”. Karena itu, tidak boleh dicurigai, dilarang dan –tidak boleh—dibredel. Meskipun novel Rushdie melukai dan ‘menyakiti’ perasaan umat Islam, harus tetap dibela dan dijunjung tinggi. Kasus Satanic Verses Rushdie oleh Luthfi dikomparasikan dengan kasus novel The Da Vinci Code karya Dan Brown. Setelah memaparkan bagaimana usaha Karen Amstrong dalam memperbaiki citra Islam, Luthfie memberikan catatan: “Apalagi jika kita membandingkan respon kaum Muslim dengan respon serupa dalam dunia Kristen atau agama-agama lain, kelihatan betul bahwa kaum Muslim tampak sangat berlebihan. Kita tidak pernah mendengar, misalnya, Vatikan atau lembaga-lembaga otoritatif agama Kristen, mengeluarkan semacam fatwa mati pada Dan Brown, pengarang Kode Da Vinci. Kita juga tidak melihat aksi-aksi kekerasan dan kebrutalan yang dipertontonkan kaum Kristen ketika merespon novel itu.” (ibid: 109). Luthfi juga merasa ‘kebakarang jenggot’ ketika Wahid Institute (Jakarta Post, 23/6/2007) yang mengeluarkan pernyataan yang mendukung kemarahan kaum Muslim terhadap pemberian gelar bangsawan terhadap Salman Rushdie. (ibid: 111).
Umat Islam tidak boleh lupa, bahwa The Satanic Verses adalah kisah yang berulang dari “penodaan agama”. Barnaby Rogerson, dalam bukunya The Prophet Muhammad: A Biography (‘ Biografi Muhammad’, (terj) Asnawi, (Jogyakarta: Diglossia, IV, 2007: 103-104), setelah berkisah tentang kewajiban Nabi SAW dalam mendakwahkan Islam, mencatat: “Ini adalah periode yang mengerikan bagi Nabi. Dukungan dan simpati yang telah dengan susah payah dibangunnya selama empat tahun lalu, di Makkah yang dicintainya, menguap dalam semalam. Dia ingin sekali menyatukan Makkah di bawah peringatan-peringatan Ilahinya. Hal terakhir yang diinginkannya ialah menjadi pemimpin sebuah kelompok terpisah di dalam Quraisy. Pada periode kritis inilah insiden yang dikenal di dunia Barat sebagai ‘Ayat-ayat Setan’ mungkin terjadi. Dari empat penulis pertama biografi Muhammad, hanya dua menyebutkannya. Para ulama jarang menyebutnya, tapi setelah novel Salman Rushdie tahun 1988, The Satanic Verses, mustahil kita akan mengabaikannya.”
Tempo Diprotes
Cover majalah tempo paling anyar (4-10 Februari 2008) pun diprotes. Pasalnya, cover tersebut menganalogikan keluarga besar Pak Harto dengan The Last Supper, karya Leonardo Da Vinci. (http://swaramuslim.com/more.php?id=5852_0_1_0_M). Maka wajar dan wajib, jika umat Katolik Indonesia “memprotes” majalah Tempo, karena memang sudah melakukan “penodaan agama”.
Hemat penulis, penodaan agama dalam agama apa pun tidak dapat ditolerir. Dia menyangkut masalah inti ajaran suatu agama. Dalam Islam, pencela dan penghina Nabi SAW hukumannya adalah al-qatl alias bunuh. Jadi, fatwa mati Ayatullah Khomenei benar-benar relevan untuk “kepala Rushdie”. Penulis tidak memungkiri adanya nilai positif di balik kenekatan Rushdie. Rushdie juga ‘berjasa’ dalam membangkitkan kecintaan umat Islam kepada nabi mereka. Kecintaan kepada Nabi SAW harus diutamakan oleh setiap Muslim. Bukankah Nabi SAW bersabda, “Kalian tidak dianggap beriman (sempurna iman kalian) sampai aku lebih dia cintai dari orangtua dan anaknya serta seluruh manusia.” Oleh karena itu, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengekspresikan “kecintaannya” yang mendalam kepada kanjeng Nabi SAW lewat bukunya al-Sharim al-Maslul ‘ala Syatimi al-Rasul (‘Pedang Terhunus atas Penghina Rasul’).
Kebebasan berekspresi tentu sah-sah saja. Tapi jika sampai mengusik ajaran sakral dalam satu agama, maka ia dianggap sebagai “penodaan”. Tentunya tidak ada kebebasan yang tanpa batas. Kebebasan kita selalu dibatasi oleh kebebasan orang lain, hurriyatul mar’i mahdudatun bi hurriyati ghayrihi. Ini kaidah paten dalam “kebebasan”. Dan memang tidak layak “kebebasan” berujung dengan “kebablasan”.
(Medan, Selasa: 12 Februari 2008).

 

<<Kembali ke posting terbaru

Senin, Februari 04, 2008

“The Satanic Verses, Liberalisme dan Penodaan Agama”

Isu penodaan agama hingga hari ini masih menjadi isu penting. Bukan hanya banyak ‘penggemarnya’, tapi juga dijadikan komoditi komersial. Kaum orientalis dan para pemikir liberal-sekular merupakan kelompok yang ‘hobi’ melakukannya.

Bahkan, secara terang-terangan mereka membela habis-habisan penodaan terhadap agama ini. Alasan klasik yang selalu mereka tampilkan adalah “kebebasan berekspresi”.

Kisah Klasik The Satanic Verses

Seorang aktivis liberal Indonesia, Luthfie Assyaukanie dalam bukunya Islam Benar versus Islam Salah (Depok: Kata Kita, I, 2007: 107-108) membela Salman Rushdie. Luthfie menyatakan: “Gelombang protes dari Iran, Pakistan, hingga Malaysia terhadap penganugerahan gelar bangsawan Inggris untuk Salman Rushdie mengejutkan kita, betapa kaum Muslim belum bisa melupakan dan memaafkan pengarang Ayat-Ayat Setan itu. Meski protes itu tidak sebesar 20 tahun silam ketika Rushdie difatwa mati oleh Ayatullah Khomenei, gelombang protes itu tetap menyentak betapa kaum Muslim tak pernah bisa mentolerir hal-hal yang mereka pandang sebagai “penodaan agama”. Nama Salmah Rushdie, bagaimanapun tidak bisa dilelepaskan dengan novelnya yang dinggap telah menghina Islam itu. Reaksi kaum Muslim itu melengkapi daftar panjang kasus-kasus menyangkut hubungan Islam dan kebebasan berekspresi.”

Jadi, menurut Luthfi, The Satanic Verses (1988) karya Rushdie adalah salah satu bentuk dari “kebebasan berekspresi”. Karena itu, tidak boleh dicurigai, dilarang dan –tidak boleh—dibredel. Meskipun novel Rushdie melukai dan ‘menyakiti’ perasaan umat Islam, harus tetap dibela dan dijunjung tinggi. Kasus Satanic Verses Rushdie oleh Luthfi dikomparasikan dengan kasus novel The Da Vinci Code karya Dan Brown. Setelah memaparkan bagaimana usaha Karen Amstrong dalam memperbaiki citra Islam, Luthfie memberikan catatan: “Apalagi jika kita membandingkan respon kaum Muslim dengan respon serupa dalam dunia Kristen atau agama-agama lain, kelihatan betul bahwa kaum Muslim tampak sangat berlebihan. Kita tidak pernah mendengar, misalnya, Vatikan atau lembaga-lembaga otoritatif agama Kristen, mengeluarkan semacam fatwa mati pada Dan Brown, pengarang Kode Da Vinci. Kita juga tidak melihat aksi-aksi kekerasan dan kebrutalan yang dipertontonkan kaum Kristen ketika merespon novel itu.” (ibid: 109). Luthfi juga merasa ‘kebakarang jenggot’ ketika Wahid Institute (Jakarta Post, 23/6/2007) yang mengeluarkan pernyataan yang mendukung kemarahan kaum Muslim terhadap pemberian gelar bangsawan terhadap Salman Rushdie. (ibid: 111).

Jika dipertanyakan: prestasi apa dan jasa apa yang dicapai oleh Rushdie, sehingga harus meraih gelar “kebangsawanan”? Apakah “menodai agama” dan “menyakiti perasaan kaum Muslim” merupakan prestasi besar yang harus mendapatkan penghargaan prestisius? Cara berpikir Luthfi ini aneh alias “keblinger”. Dia hanya melihat dari sisi “kebebasan berkespresi”. Dia lupa dengan adagium terkenal, yang juga dikutip oleh pemikir pujaannya, Cak Nur, bahwa hurriyatul mar’i mahdudatun bihurriyati ghayrihi, ‘kebebasaan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain’. Tidak ada kebebasan –di dalam agama apapun—yang tanpa kontrol. Sama sekali tidak ada. Menyikapi isu “heretisme” pun, Kristen Katholik Indonesia ‘menelurkan’ satu buku, Selilit Sang Nabi: Bisik-bisik Aliran Sesat (Jogyakarta: Kanisius, I, 2007). Dalam buku ini penulisnya memaparkan bagaimana aksi Gereja “membungkam” sejumlah aksi gerakan menyimpang (heretic) dan bertentangan dengan doktrin dan dogma Gereja.

Kasus Dan Brown, memang tidak sampai –Vatikan, misalnya—dikeluarkan fatwa mati seperti kasus Rushdie. Tapi gelombang protes terhadapnya tidak kecil. Di Mesir, majalah-majalah dan tulisan-tulisan para pendeta biasanya memulai tulisan mereka dengan kata “Mujarrad al-riwayah”, ‘hanya sekedar novel’. Di sini saja sudah ada ‘pembunuhan karakter’. Dimana para pembaca sudah dicekoki bahwa novel Dan Brown tidak ada apa-apanya, tidak perlu dipercaya karena hanya “sekedar novel”. Di Indonesia, pemikir Kristen yang sangat getol ‘membabat habis’ Dan Brown adalah Bambang Noorsena. Dua tulisannya mengulas tentang The Da Vinci Code.

Kasus Satanic Verses Rushdie sebenarnya perpanjangan tangan dari usaha orientalis dalam menanamkan kebencian mereka terhadap Islam. Kisah gharaniq (tiga dewi yang disembah orang Arab) merupakan cikal-bakal lahirnya Satanic Verses. Barnaby Rogerson, dalam bukunya The Prophet Muhammad: A Biography (‘ Biografi Muhammad’, (terj) Asnawi, (Jogyakarta: Diglossia, IV, 2007: 103-104), setelah berkisah tentang kewajiban Nabi SAW dalam mendakwahkan Islam, mencatat: “Ini adalah periode yang mengerikan bagi Nabi. Dukungan dan simpati yang telah dengan susah payah dibangunnya selama empat tahun lalu, di Makkah yang dicintainya, menguap dalam semalam. Dia ingin sekali menyatukan Makkah di bawah peringatan-peringatan Ilahinya. Hal terakhir yang diinginkannya ialah menjadi pemimpin sebuah kelompok terpisah di dalam Quraisy. Pada periode kritis inilah insiden yang dikenal di dunia Barat sebagai ‘Ayat-ayat Setan’ mungkin terjadi. Dari empat penulis pertama biografi Muhammad, hanya dua menyebutkannya. Para ulama jarang menyebutnya, tapi setelah novel Salman Rushdie tahun 1988, The Satanic Verses, mustahil kita akan mengabaikannya.”

Benar bahwa kisah gharaniq banyak dikritisi oleh para ulama, karena menodai ayat-ayat Al-Qur’an dan kemurnian tauhid Nabi SAW. Hal ini pun diakui oleh penulis simpatik tentang Islam, Karen Amstrong, di dalam bukunya Muhammad: A Biography of the Propet. Amstrong menyatakan bahwa kisah gharaniq (Ayat-ayat Setan) adalah tidak benar, karen buku sirah paling awal dan otentik, al-Sirah al-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam tidak menyebutkannya. Saya sendiri “membolak-balik” lembaran buku sirah yang sangat berharga itu. Dan memang tidak ditemukan kisah gharaniq. Yang mencantumkan kisah tersebut salah satunya adalah Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H). Dan kita tahu, Ibnu Jarir al-Thabari merupakan sejarawan dan penafsir Muslim yang harus diwaspadi buku-bukunya –khususnya sejarah dan tafsir—karena kemungkinan besar mengandung kisah-kisah Isra’iliyat.

Penodaan Agama: dari Watt sampai Gus Dur

William Montgomary Watt merupakan pendukung adanya kisah gharaniq dalam Al-Qur’an. Dia menegaskan hal itu dalam bukunya Muhammad, Prophet and Statesman (Muhammad, Nabi dan Negarawan, (terj) Djohan Effendi, (Depok: Mushaf, I, 2006: 80-88). Setelah bercerita tentang ‘Ayat-ayat Setan’, Watt mencatat: “Baik kita terima cerita itu ataupun kita tolak –dan mungkin di dalamnya terdapat sedikit kebenaran—tampaknya pasti bahwa Muhammad mengucapkan ‘ayat-ayat setan’ sebagai bagian dari Al-Qur’an, dan belakangan membacakan wahyu lain yang menghapuskannya.”

Apa yang dilakukan oleh Watt jelas penodaan agama. Dan ketika berbicara tentang kisah gharaniq (Ayat-ayat Setan) itu, tampaknya sengaja dia tidak mengutip al-Sirah al-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam. Kemudian, kisah palsu ‘Ayat-ayat Setan’ (gharaniq) itupun akhirnya diluruskan oleh Karen Amstrong.

Berbeda dengan Watt, penulis liberal wanita yang paling berani adalah Irshad Manji. Penulis asal Kanada itu menganjurkan kepada Barat agar tidak takut untuk mengkritik Islam. Hal itu tampak jelas dalam bukunya The Trouble With Islam Today: A Muslim’s Call for Reform in Her Faith. (http://swaramuslim.net/more.php?id=A5364_0_1_0_M). Seperti biasa, ide-ide miring seperti ini akan mendapat dukungan dari kaum liberal. (Lihat, Ulil Abshar-Abdalla, Irshad Manji di: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=828).

Ide konyol tentang free-sex pun diasongkan oleh Muhammad Syahrur. Menurutnya “kumpul kebo” adalah “legal”, yang penting “sama-sama mau”. (http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=6266&Itemid=1). Beberapa waktu lalu, Gus Dur sempat membuat heboh umat Islam Indonesia. Dia menyatakan bahwa kitab suci paling “porno” adalah “Al-Qur’an”. Hanya karena Al-Qur’an menyebutkan cara “menyusui”, dengan enteng Gus Dur menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah “Kitab Porno”.

Hemat saya, kasus-kasus penodaan terhadap agama tidak bisa didiamkan begitu saja. Salah kaprah orang yang menganggap bahwa penodaan terhadap agama sebagai “kebebasan berekspresi”. Islam tidal melarang umatnya untuk berekspresi. Syaratnya adalah “kebebasan” yang tidak “kebablasan”. Kasus-kasus di atas sejatinya “imbas negatif” dari liberalisasi dan liberalisme pemikiran. Dengan ‘modal’ kebebasan berekspresi setiap orang dianjurkan untuk mengatakan apa saja tentang Islam, meskipun “menodai” ajaran-ajarannya.

Akhirul kalam, saya kutipkan bait-bait syair Jalaluddin Rumi (w. 1273 M) dalam bukunya Matsnawi: Senandung Cinta Abadi, (terj) Abdul Hadi W.M, (Yogyakarta: Bentang, I, 2006, vol. I: 121-122):

“Dia yang membuat mencong mulutnya sendiri dan menyebut nama Ahmad (Muhammad) sambil mengejek Rasulullah: mulutnya kelak akan terus mencong.

Dia kembali sambil berkata, “Maafkan aku, ya, Muhammad, wahai kau pemilik karunia pengetahuan rahasia dari Tuhan.

Dalam ketololanku aku telah mengejekmu, tapi sebenarnya aku sendirilah yang patut diejek dan mendapat hukuman.”

Jika Tuhan berkehendak mengoyak cadar penutup muka seseorang (membuat merasa malu), maka Dia balikkan sifat-sifat hati orang itu sehingga berani mencerca orang suci.

Jika Tuhan berkehendak menolong kita, maka Dia balikkan sifat-sifat hatinya sehingga meratap dalam kehinaan.

O, berbahagialah mata meratap karena melayani kehendak-Nya! O, beruntunglah kalbu yang terbakar demi kehendak-Nya!

Punya setiap ratapan ialah tawa riang; orang yang melihat ke depan ialah hamba yang diberkahi.

Di mana air mengalir, tetumbuhan mengembang hijau; ke mana air tercurah, kasih Tuhan akan tumbuh.

Mengeranglah dan sirami mata seperti kisi-kisi air, agar rumpun hijau tumbuh dari taman jiwamu.

Jika kauinginkan air mata, milikilah rasa kasih pada orang yang mengucurkan air mata; jika kau menginginkan kasih sayang, tunjukkanlah kasih sayangmu kepada si lemah.” [] (Medan, 4 Februari 2008)

 

<<Kembali ke posting terbaru

Sabtu, Februari 02, 2008

“Islam Perdana atawa Islam ala Orientalis”

“Islam Perdana” atawa Islam ala Orientalis? Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail
Kamis, 24 Januari 2008

Dalam sebuah buku, aktivis liberal menggunakan istilah “Islam Pedana”. Padahal, yang ada padanya adalah “Islam ala orientalis”

Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi


Hidayatullah.com--Kalangan penganut liberal dalam beragama dikenal pintar ‘bersilat kata’ dan ‘mengutak-atik’ istilah. Baru-baru ini, dalam sebuah buku “Islam Benar versus Islam Salah” tulisan aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), Luthfi Assaukanie menulis satu refleksi dengan judul ‘Islam Perdana’. Apa yang dia maksud dengan “Islam Perdana”?

“Selama ini, kajian-kajian Islam awal, saya lebih suka menyebutnya sebagai “Islam Perdana”, banyak dilakukan oleh para orientalis. Sejak awal abad ke-19, para orientalis berusaha menyuguhkan asal-usul agama ini dari berbagai aspeknya, dari sejarah Muhammad (Arthur Jeffrey), sejarah Al-Quran (Theodor Noldeke), sejarah Hadis (Nabia Abott), dan sejarah Fikih (Joseph Schacht). Karya yang agak komprehensif tentang Islam perdana adalah buku Montgomery Watt berjudul The Formative Period of Islamic Thought.” (Luthfi, 2007: 41).

Luthfi seakan ‘menyesal’ karena banyak kajian tentang Islam perdana yang dilakukan kaum Muslim umumnya bersifat apologetis. Menurutnya, jika ada persoalan serius yang dikhawatirkan bakal mengganggu ketentraman beragama, kajian itu akan dihentikan atau ditafsirkan sedemikian rupa agar sesuai dengan keyakinan ortodoksi Islam. Dari kacamata ilmiah, pendekatan seperti ini tentu saja tak ada gunanya sama sekali.

Tapi dia memberikan pujian kepada beberapa penulis --yang menurut saya liberal, bahkan merusak konstruk pemikiran Islam--yang dia kagumi sebagai ‘orang-orang yang objektif’ dalam mengkaji Islam.

Luthfi menulis:

“Untunglah situasi ini berubah. Sejak beberapa tahun terakhir mulai muncul sarjana Muslim yang memiliki dedikasi kesarjanaan yang tinggi dan tumbuh dari latar belakang Islam yang kuat. Para sarjana Muslim seperti Mahmud al-Qumni, Khalil Abdul Karim, dan Zakaria Ouzon, adalah beberapa nama di antara puluhan nama lain yang mulai mengkaji dan membaca Islam perdana.” (hal 43).

Tentang Ouzon, dia menulis: “Trilogi yang ditulis Ouzon, Jarimah al-Syafi‘i, Jarimah al-Bukhari, dan Jarimah al-Sibawaih, merupakan studi rintisan tentang para tokoh penting era pembentukan Islam yang dilakukan lewat pendekatan kritis. Selama ini tulisan-tulisan tentang Imam al-Syafi‘i atau Imam al-Bukhari dilakukan secara tidak kritis sama sekali. Buku-buku tentang tokoh-tokoh Islam ditulis sebagai karya hagiografi ketimbang biografi.” (hal 43).

Saya melihat, Luthfi memposisikan dirinya sebagai pengkaji ‘Islam Perdana’ lewat tangga-tangga yang dibangun oleh para orientalis dan pemikir liberal Arab. Dia lebih banyak menuduh kaum Muslim yang mengkaji sejarah awal Islam, ketimbang mengkritisi kajian beberapa sarjana Barat (orientalis) tentang Islam. Maka tidak heran, jika dia menyanjung Jeffrey, Schacht, Noldeke, dan Abott. Alih-alih mau bersikap “kritis” malah terjebak dalam logika para muqallid.

Jeffrey (1893-1959) bukan hanya menulis tentang Nabi Muhammad SAW. Sumbangannya yang sangat mahal, menurut para orientalis lain, adalah kajiannya tentang Al-Qur’an. Dia dianggap sebagai salah seorang orientalis yang menerapkan biblical criticism ke dalam studi Al-Qur’an dengan sederetan orientalis lainnya. (Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Quran: Kajian Kritis, (Bandung: GIP, I, 2005). Begitu juga dengan William Montgomery Watt.

Jeffrey berpendapat bahwa sebagaimana manuskrip-manuskrip kuno Bibel memiliki berbagai perbedaan yang mendasar antara yang satu dan yang lainnya, dia menyimpulkan sebenarnya terdapat berbagai mushaf tandingan (rival codices) terhadap mushaf ‘Utsmani. (Adnin, 53). Sama dengan Jeffrey, Noldeke, seorang orientalis asal Jerman juga melakukan studi tentang sejarah Al-Quran, Geschichte des Qorans. Sama dengan studi Jeffrey, studi Noldeke pun tidak luput dari usaha ambisius dan tendensius. Kebanyakan para orientalis --menurut Luthfi sedikit jumlahnya--mengkaji Al-Qur’an tidak murni ilmiah. Mayaritas mereka menyembunyikan ‘niat busuknya’ lewat tameng ‘studi ilmiah’.

Kajian Abott tentang hadis tidak jauh berbeda dengan para pendahulunya. Ignaz Goldziher dan Schacht, dalam mengkaji hadis lebih ‘ilmiah’ dibanding Abott. Meskipun begitu, Schacht juga masih ‘mengekor’ kepada studi Goldziher. Pandangan Goldziher tentang sunnah Nabi SAW pun “keliru”. (Lihat, Fazlur Rahman, Islam, (terj): Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1984: 54). Setelah Goldziher adalah D.S. Margoliouth, yang kemudian, menurut Rahman, diasumsikan oleh Schacht yang menyatakan bahwa nabi hampir-hampir tidak meninggalkan warisan apapun selain Al-Qur’an. (Lihat, Rahman, ibid: 56-57).

Di Indonesia, pemikir yang “ditembus” otaknya oleh orientalis adalah Harun Nasution. Gaya orientalisnya dalam memandang sunnah dapat dilihat dalam bukunya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Penerbit UI Press, cet. kelima, 1985, jilid 1, hlm. 28-30).

Tentang hadis Nabi SAW, Harun mencatat:

“Karena hadits tidak dihafal dan tidak dicatat dari sejak semula, tidaklah dapat diketahui dengan pasti mana hadits yang betul-betul berasal dari Nabi dan mana hadits yang dibuat-buat. Abu Bakar dan Umar sendiri, walaupun mereka sezaman dengan Nabi, bahkan dua sahabat terdekat dengan Nabi tidak begitu saja menerima hadits yang disampaikan kepada mereka. Abu Bakar meminta supaya dibawa seorang saksi yang memperkuat hadits itu berasal dari Nabi, dan Ali bin Abi Thalib meminta supaya pembawa hadits bersumpah atas kebenarannya.

Dalam pada itu, jumlah hadits yang dikatakan berasal dari Nabi bertambah banyak sehingga keadaannya bertambah sulit membedakan mana hadits yang oriosinil dan mana hadits yang dibuat-buat. Diriwayatkan bahwa Bukhari mengumpulkan 600.000 (enam ratus ribu) hadits, tetapi setelah mengadakan seleksi, yang dianggapnya hadits orisinil hanya 3.000 (tiga ribu) dari yang 600.000 itu, yaitu hanya setengah persen.

Tidak ada kesepakatan kita antara umat Islam tentang keorisinalan semua hadits dari Nabi. Jadi berlainan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang semuanya diakui oleh seluruh umat Islam adalah wahyu yang diterima Nabi dan kemudian beliau teruskan kepada umat Islam. Oleh karena itu, kekuatan hadits sebagai sumber ajaran-ajaran Islam tidak sama dengan kekuatan Al-Qur’an.”

Al-A’zami dan Orientalis

Pendapat dan kajian orientalis tentang sunnah sebenarnya sudah ‘dibabat habis’ oleh Prof. Dr. M.M. Al-A‘zami dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature (Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Pustaka Firdaus, III, 2006), [terj]: Prof. Dr. H. Ali Mustafa Ya’kub, M.A). Karyanya ini pun dipuji oleh Prof. A. J. Arberry dari Universitas Cambridge, Inggris. Beliau memberikan catatan: “No doubt the most important field of research, relative to the study of Hadith, is the discovery, verification, and evaluation of the smaller collections of Traditions antedating the six canonical collections of al-Bukhari, Muslim and the rest. In this field, Dr. Azmi has done pioneer work of the highest value, and he has done it according to the exact standards of scholarship. The thesis wich he persented, and for which Cambridge conferred on him the degree of Ph.D., is in my opinion one of the most exciting and original investigations in this field of modern times.” (Azami: vi).

Studi Abott tentang pernikahan Rasul SAW dan A‘isyah dijadikan sebagai landasan orang-orang tak faham sunnah dalam mencerca Islam. (Lihat Abott, Aishah-The Beloved of Mohammed, Al-Saqi Books, London, 1985). Inikah yang dimaksud oleh Luthfi sebagai kajian yang baik tentang kajian terhadap ‘Islam Perdana’?

Kajian-kajian Ouzon terhadap Imam Syafi‘i, Imam al-Bukhari dan Sibawaih pun hanya dipenuhi oleh tuduhan tak berdasar. Sama dengan Nasr Hamid Abu Zayd dalam bukunya al-Imam al-Syafi‘i wa Ta’sis al-Aydiyulujiyah al-Wasathiyyah. Yang ada hanya tuduhan saja.

Kata-kata yang digunakan oleh Ouzon pun adalah “jarimah”, kejahatan atau tindak kriminal. Apa benar ketiga ilmuwan hebat Muslim tersebut dianggap melakukan tindak kriminal karena telah membangun ilmu Islam (Ushul Fiqh, hadis dan Nawhu)? Sebelum Ouzon pun sudah terbit di Mesir (2004) satu buku yang berjudul Saqatha Sibawaih.

Tapi itulah, para pemikir (orientalis atau Muslim) yang disukai oleh Luthfi. Setiap pemikir yang mencoba mengobok-obok ajaran Islam, tetap dianggap sebagai pemikir ‘yang baik’. Karena menurutnya, itu memberikan kajian yang bermanfaat bagi ‘Islam Perdana’. Maka dipujilah para penulis liberal dan Marxis, seperti Ouzon, Nasr Hamid, Khalil Abdul Karim. Mungkin karena tulisannya dianggap bersifat “refleksi”, Luthfi tak bisa melihat pendapat para orientalis itu secara kritis dan objektif. Jadi sebenarnya, Islam yang disuguhkan Luthfi dan kawan-kawan adalah “Islam ala Orientalis”, bukan ‘Islam Perdana’ yang diinginkannya.

Penulis adalah Alumnus Universitas Al-Azhar. Sekarang menjadi staf pengajar di Pon. Pes. Ar-Raudhatul-Hasanah, Medan-Sumatera Utara.

http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=6236&Itemid=60

 

<<Kembali ke posting terbaru

"BERPIKIRLAH SEJAK ANDA BANGUN TIDUR" (Harun Yahya)