Kamis, September 29, 2022

BAHAYA SEKULARISASI DAN SEKULARISME

 


“One of the major failures of most Arab and Western intellectuals today is that they have accepted without debate or rigorous scrutiny terms like secularism and democracy, as if everyone knew that these words mean.”

―Edward W. Said[1]

PENGANTAR

            Sejak 1974 Prof. Dr. SMN al-Attas (lahir 1931) sudah mengingatkan umat Islam akan bahaya ‘sekularisasi’ (secularization) dan ‘sekularisme’ (secularism) yang datang dari Barat melalui bukunya Islām and Secularism.[2] Sekularisasi dinilai berbahaya karena ia merupakan proses dari ‘pensekularan’ nilai dan zaman. Sementara bahaya yang dikandung ‘sekularisme’ karena ia merupakan sebuah faham yang sudah pasti mengandung worldview Barat sekular. Menurut al-Attas, keduanya sama-sama berbahaya. Karena sejatinya ‘sekularisasi’ itu adalah gerakan dan program filosofis. Inilah yang harus diwaspadai oleh umat Islam. Dan poin ini akan sedikit diulas dalam artikel ini.

           

ISTAC SEBAGAI RESPONS PEMIKIRAN

            Jika dilihat respons keras al-Attas terhadap ‘sekulariasi’ dan ‘sekularisme’ dapat dirujuk ke belakang. Dimana menurutnya, sejak dibuka secara resmi ISTAC pada 1991 diantara tujuan utamanya adalah untuk: to conceptualize (mengkonsep), clarify (mengklarifikasi), dan elaborate (mengelaborasi) problem-problem keilmuan dan epistemologis yang dihadapi oleh umat Islam saat ini dan memberikan respons Islam terhadap tantangan intelektual dan kultural yang datang dari dunia modern (Barat) dan berbagai tantangan pemikiran, agama dan ideologi.[3]

            Dan masalah ‘sekularisasi’ dan ‘sekularisme’ itu merupakan bagian dari tantangan pemikiran dan peradaban yang dihadapi oleh umat Islam. Itulah sebabnya mengapa al-Attas menulis Islām and Secularism. Dan ia ingin mendedikasikan karyanya ini kepada generasi Muslim yang sedang bangkit. “This book originally dedicated to the emergent Muslims. Sehingga mereka dapat bertahan dengan cerdas dalam menghadapi hebatnya arus ‘sekularisasi’ dan mampu memberikan perubahan dalam ranah pemikiran yang dipandang oleh al-Attas dengan “still floundering” (lemah) di tengah lautan kebingungan dan keraguan-diri (self-doubt). Karena ternyata ‘sekularisasi’ nilai dan peristiwa yang telah diramalkan akan terjadi di dunia Islam sudah terlihat dengan momentum dan desakan yang makin meningkat, akibat dari lemahnya kefahaman umat Islam terhadap hakikat sebenarnya dan implikasi sekularisasi, sebagai sebuah program filosofis.[4]

 

HAKIKAT ‘SEKULARISASI’ DAN ‘SEKULARISME’

            Dari penjelasan al-Attas dapat ditangkap bahwa ‘sekularisasi’ adalah sebuah gerakan atau program filosofis (a philosophical program). Dan terjadinya ‘sekularisasi’ serta menguatnya ‘sekularisme’ di dunia Islam didasari oleh ketidak-fahaman umat Islam itu sendiri terhadap hakikat ‘sekularisasi’ dan ‘sekularisme’. Untuk itu penting kiranya memahami apa itu ‘sekularisasi’ dan ‘sekularisme’. Inilah yang akan diulas secara ringkas dalam penjelasan berikut.

            Sekularisasi dikonotasikan sebagai sebuah proses dari mereduksi pengaruh agama, ketika istilah ini digunakan dalam lingkar legal dan eklesiastikal untuk menjelaskan tentang transfer institusi keagamaan atau properti dalam melakukan kepemilikan atau penggunaan yang sifatnya temporal. Misalnya, mengutip dari kamus pertama bahasa Inggris, yang dikomandoi Samuel Johnson (terbit pada 1755), Keane menyelisik bahwa secularism dalam sejarah Inggris, adalah: “worldlinness; attention to the things of the present life” (keduniaan; hanya memberi perhatian kepada segala hal yang sifatnya saat ini, sekarang ini)... untuk pindah dari hal spiritual kepada makna biasa... to make worldy (menjadikannya benar-benar duniawi).

            Sementara Talal Asad, melalui studi antropologis, mendapati bahwa istilah ini ditemukan di sebelah barat laut Eropa pada pertengahan abad ke-16. Ia mencatat bahwa kata “secularism” dan “secularists” pertama kali diperkenalkan oleh para pemikir liberal dalam rangka menghindari serangan ateisme. Hanya saja, di abad ke-20, secularism menjadi kategori kesarjanaan yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial (social sciences) dan dikaitkan dengan karya-karya Auguste Comte, Emile Durkheim, Max Weber, Karl Marx, Ferdinand Toennies, dan Ernst Troeltsch. Nikki Keddie kemudian menggarisbawahi tiga jalan “sekularisasi” yang difahami saat ini, yaitu sebagai: (1) “an increase in the number of people with secular beliefs and practices” (sebuah peningkatan jumlah orang dengan keyakinan dan praktik (keagamaan) yang sekular); (2) “a lessening of religious control or influence over major spheres of life” (mengurangi kontrol atau pengaruh agama dalam bidang kehidupan); dan (3) “a growth in state sparation from religion and in secular regulation of formely religious institutions and customs” (suatu pertumbuhan dalam rangka memisahkan negara dari agama dalam aturan institusi keagamaan dan ritual yang formal).

            Secara sederhana, secularism ini berkaitan dengan tiga disiplin ilmu sosial: filsafat, sosiologi dan ilmu politik. Secara filosofis, secularism menunjuk pada sebuah penolakan terhadap hal yang bersifat transenden dan metafisik sembari fokus pada hal eksistensial dan empirik. Di sini ia ketemu dengan definisi secularism-nya Harvey Cox bahwa secularism itu adalah: “the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other worlds and toward this one.”[5]

            Secara sosiologis, secularism korelatif dengan modernisasi, yaitu: satu proses gradual (perlahan) yang mengarah kepada penghancuran pengaruh agama dalam institusi sosial, kehidupan komunal, dan hubungan antar-manusia. Ini dalam istilah Peter Berger adalah: “a process by which sectors of society and culture are removed from the domination of religious institutions and symbols” (satu proses menghilangkan sektor sosial dan budaya dari dominasi institusi dan simbol-simbol agama). Dan secara politis, secularism itu menyangkut tentang pemisahan bidang publik dan privasi secara khusus dari agama dan negara. Kriteria breakdown ini identik dengan pembagian secularism yang dilakukan oleh Charles Taylor.[6]

            Bagaimanapun, baik sekularisasi maupun sekularisme intinya tetap satu: menghilangkan dan membuang pengaruh agama dari kehidupan masyarakat. Dan inti agama itu tentu adalah ‘metafisika’ (utamanya: Tawhid, keyakinan, aqidah, lalu syariah atau hukum Allah). Di sini jelas bertolak-belakang dengan Islam. Karena jelas diakui oleh sarjana Hindu bahwa: secularism as the product of a particular moment in post-Reformation Christian history, the European Englightenment. It becomes institutionalized as a doctrine with the historical separation of church and state in nineteenth-century liberal society and eventually becomes globalized through colonialism and the disperal of modern forms of governane and of corporate, market, and professional values.”[7]

Jadi, ia merupakan pengalaman Barat Kristen, sebagaimana dikatakan oleh al-Attas dalam Islām dan Secularism-nya. Dan, memang, di abad Pencerahan (Enlightenment) mayoritas peristiwa intelektual dan budaya terpisah dari etika dan doktrin Kristen.[8] Lebih jauh lagi, akhirnya mereka mengonsep ulang Gospel Kristen, mendefinisikan ulang konsep Tuhan mereka, dan melakukan dehelenisasi dogma Kristen.[9] Karena mereka tidak dapat memungkiri bahwa problem paling serius kaum Kristen, kata Prof. al-Attas, adalah ‘problem Tuhan’ (problem of God).[10]  

Maka, sekali lagi, sekularisasi kata al-Attas didefinisikan sebagai: “pembebasan manusia pertama dari kungkungan agama lalu dari kungkungan metafisika yang mengontrol akal manusia dan bahasanya.”. Dan dimensinya ada tiga: (1) the disenchantment of nature (penghilangan pesona dari alam tabi’i; (2) the desacralization of politics (peniadaan kesucian dan kewibaaan agama dari politik); dan (3) the deconsecration of values (penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan).[11]

Konsekuensi logis dari “penghilangan pesona dari alam tabi’i” adalah: manusia tidak lagi menggap alam ini kudus, sehingga mereka bebas bertindak apa saja terhadapnya. Dan, “peniadaan kesucian dan wibawa agama dari politik” mengakibatkan: penghapusan peran agama dari pada kekuasaan dan otoritas politik. Padahal agama adalah syarat utama bagi perubahan politik. Sedangkan konsekuensi dari “penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan” adalah: menjadikan semua karya budaya dan setiap sistem nilai, termasuk agama dan pandang alam (worldview) yang memiliki makna lahir dan tidak boleh ubah lagi, bersifsat sementara dan nisbi (relative).[12]

Konsekuensi-konsekuensi di atas, kata al-Attas, seluruhnya bertentangan dengan worldview Islam. Karena Islam menilai alam tabi’i kudus, suci, karena diciptakan oleh Allah. Dan agama, dalam Islam, sangat menentukan perjalanan politik dengan cara memperbaikinya melalui nilai-nilai agama. Dan hal-hal yang sifatnya metafisik serta nilai-nilai adalah permanen, bukan relatif atau nisbi.

Demikian sedikit ulasan mengenai konsep ‘sekularisasi’ dan ‘sekularisme’ yang disampaikan oleh Prof. SMN al-Attas dalam karyanya Islām and Secularism. Karena karya ini amat penting maka butuh elaborasi lebih lanjut dan lebih mendalam. Karena, baik sekularisasi dan sekularisme, sangat berbahaya bagi kehidupan manusia. Dan pesan Prof. al-Attas ini harus disambut secara serius melalui program-program pemikiran dan keilmuan, diantaranya adalah melalui ‘islamisasi ilmu-ilmu kontemporer’ yang memang sudah disekularkan oleh peradaban Barat sekular yang sekarang merasuk ke seluruh lini kehidupan manusia. Wallāhu a’lam bis-shawāb.[]

 

Sumber Bacaan:

Elisabeth Shakman Hurd, The Politics of Secularism in International Relations (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2008).

Graeme Smith, A Short History of Secularism (London-New York: I.B. Tauris, 2008).

Harvey Cox, The Secular City (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2013).

Nader Hashemi, Islam, Secularism, and Liberal Democracy: Toward a Democratic Theory for Muslim Societies (Oxford-New York: Oxford University Press, 2009).

Priya Kumar, Limiting Secularism: The Ethics of Coexistene in Indian Literature and Film (Minneapolis-London: University of Minneasota Press, 2008).

SMN al-Attas, Islām and Secularism (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1993).

 

           



[1] Nader Hashemi, Islam, Secularism, and Liberal Democracy: Toward a Democratic Theory for Muslim Societies (Oxford-New York: Oxford University Press, 2009), 103.

[2] SMN al-Attas, Islām and Secularism (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1993).

[3] SMN al-Attas, Islām and Secularism, xiii.

[4] SMN al-Attas, Islam and Secularism, xv.

[5] Lihat, Harvey Cox, The Secular City (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2013), 21. Harvey Cox juga mengutip seorang teolog Belanda, C. A. van Peursen, yang menyatakan bahwa secularization itu adalah “the deliverence of man “first from religious and then from metaphysical control over his reason and his language”. (The Secular City, 2).

[6] Lihat, Nader Hashemi, Islam, Secularism and Liberal Democracy, 105-106.

[7] Priya Kumar, Limiting Secularism: The Ethics of Coexistene in Indian Literature and Film (Minneapolis-London: University of Minneasota Press, 2008), 3. Lihat juga, Elisabeth Shakman Hurd, The Politics of Secularism in International Relations (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2008).

[8] Graeme Smith, A Short History of Secularism (London-New York: I.B. Tauris, 2008), 7.

[9] SMN al-Attas, Islām and Secularism, 5.

[10] SMN al-Attas, Islām and Secularism, 8.

[11] SMN al-Attas, Islām and Secularism, 17.

[12] SMN al-Attas, Islām and Secularism, 18.

 

<<Kembali ke posting terbaru

Koreksi Kritis atas Pluralisme Agama

 Oleh M. Anwar Djaelani,

Dosen The elKISI Institute

Judul buku    : Islam Vs Pluralisme Agama
Penulis          : Qosim Nurseha Dzulhadi
Penerbit        : Pustaka Al-Kautsar – Jakarta
Tahun terbit : Oktober 2019
Tebal            : xxxviii + 298 halaman

Pertarungan antara yang haq dan yang bathil akan terus berlangsung. Misal, terasa kencang dirasakan bahwa mulai awal 2000-an dihembus-hembuskan Pluralisme Agama, sebuah faham yang munkar karena mengusung konsep “kesamaan agama”. Maka, mengingat daya rusaknya yang hebat, MUI mengeluarkan fatwa keharamannya pada 2005.

Pluralisme Agama, menurut MUI adalah “Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga”. Maka, -sekali lagi, pada 2005- MUI bersikap tegas: Pluralisme Agama, haram!

Meski begitu, tetap saja ada yang membela dan bahkan –langsung atau tidak langsung- mengampanyekan ajaran sesat itu. Salah satunya, adalah disertasi Abd. Moqsith di UIN Jakarta yang berjudul ”Pluralitas Umat Beragama dalam Kitab Al-Qur’an: Kajian terhadap Ayat-ayat Pluralis dan Tak Pluralis”. Penulisan disertasi bertahun 2007 itu dibimbing oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat. Sementara, sebagai penguji, antara lain adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra dan Prof. Dr. Zainun Kamal. Lalu, pada 2009, disertasi tersebut diterbitkan sebagai buku dengan judul: “Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an”.

Untuk merespon buku yang disebut terakhir itu, maka buku berjudul “Islam Vs Pluralisme Agama” ditulis oleh Qosim Nurseha Dzulhadi. Sebenarnya, karya lulusan Al-Azhar Kairo dan ISID –kini Unida- Gontor ini sudah selesai ditulis pada 2009. Sayang, karena sejumlah kendala, baru bisa terbit pada 2019.

Lewat Kata Pengantar sepanjang 18 halaman, Qosim langsung menukik. Pertama, “Dipuji Berlebihan”, demikian bunyi sebuah sub-judul. Mengapa? Hal ini karena, pujian sejumlah tokoh atas isi buku Moqsith “Melebihi kandungan buku yang sebenarnya, yang banyak mengandung manipulasi pendapat ulama dan referensi”. Terasa sekali, “Terkesan dipaksakan” (h. xxv).

Azyumardi Azra, misalnya. Dia bilang, “Salah satu kekuatan utama buku ini adalah penguasaan penulis yang mendalam atas khazanah Islam klasik”. Padahal, kata Qosim, banyak ditemukan pembacaan terhadap buku-buku tersebut yang benar-benar bias; Bias pemikiran liberal, pluralis, dan akhirnya tak toleran terhadap pendapat orang lain (h. xxix).

Kedua, “Tidak Metodologis”. Moqsith “Hanya mengambil pendapat yang sesuai  dengan paham pluralisme agama yang sedang diusungnya,” tulis Qosim  (h. xxxiii).

Lebih lanjut, mari rasakan semangat Qosim dalam mengritisi buku Moqsith, dalam empat bahasan utama. Bab I: “Manipulasi Fakta Sejarah Dakwah, Mencomot Ibnu Arabi dan Jalaluddin Ar-Rumi”. Di sini ada subjudul: “Ibnu Arabi Tidak Pluralis”. Juga, “Jalaluddin Ar-Rumi Bukan Pluralis”.

Bab II, berjudul: “Mendudukkan Tiga Pandangan terhadap Pluralitas Agama”. Di bab ini, ada subjudul: Misi Agama versi Liberal”. Bab III, berjudul: “Manipulasi Seputar Al-Qur’an dan Kemajemukan Agama”. Di sini ada subjudul: “Beragam Syariat Satu Tujuan: Bagaimana?” Juga, “Tiga Agama, Satu Tuhan; Maksudnya?” Terakhir, bab IV, “Meluruskan Pandangan Al-Qur’an terhadap Agama lain”.

Meski hadir terlambat, buku Qosim ini tetap penting sebagai bagian dari usaha merawat tradisi ilmiah. Bahwa, di dunia keilmuan, mengritisi sebuah karya adalah hal yang sangat lazim. Contoh, sebuah artikel bisa kita “lawan” dengan artikel dan bahkan dengan buku. Sebuah buku bisa kita respon lewat buku atau bahkan melalui karya ilmiah semisal skripsi.

Aktivitas kritik keilmuan seperti yang tersebut di atas, itu sehat dan wajar serta merupakan warisan budaya dari para ulama terdahulu. Landasan teologisnya, juga ada: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS An-Nahl [16]: 125).

Buku Qosim ini berharga, sedemikian rupa Dr. Anis Malik Thoha turut memberi Kata Pengantar. Anis adalah penulis buku “Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis” (terbit 2005, berasal dari disertasinya di Islamic International University – Islamabad). Dia mengungkapkan sebuah keanehan: “Apa yang harus ditoleransi kalau semuanya sama dan tak ada perbedaan yang hakiki dan mendasar?” (h. xiv).

Selanjutnya, secara tak langsung, Anis mengapresiasi kritik Qosim yang disalurkannya lewat buku. Bahwa, buku Moqsith “Secara kasat mata judulnya saja sudah mengundang perdebatan …., belum lagi argumen-argumen yang dibangun di dalam lembaran-lembaran buku itu yang tentu diduga kuat sangat sarat dengan akrobat-akrobat nalar, sehingga kehadiran kritik seperti ini bukan hanya menjadi wajar, tapi bahkan memang diperlukan” (h. xvi).

Alhasil, tak berlebihan jika di epilog buku Qosim ini, Dr. Adian Husaini juga memberikan penghargaan. Adian menulis, bahwa buku Qosim menjadi penting dibaca, karena secara khusus mengkritik disertasi doktoral Moqsith -secara ilmiah- sebagai upaya “Meluruskan pemahaman yang keliru terhadap Islam” (h. 283).

Alhamdulillah. Mari, selalu-lah bersikap kritis. Selamat membaca! []

 

<<Kembali ke posting terbaru

Sesat Pikir “Orientalis” Indonesia

 

SEORANG sahabat penulis yang tengah menempuh pendidikan di sebuah universitas Islam pernah bercerita: “Kami ketika belajar filsafat Barat dosen pengampunya memberi pesan, agar sebelum memulai belajar, kita menyimpan keyakinan kita dulu, supaya bisa menilai filsafat Barat dengan objektif.”

Begitulah pandangan ilmuwan Barat, mereka mengajak kita menilai Islam, mengkaji Islam –bahkan mengkritik Islam menggunakan “kaca-mata” dan “pisau analisis” keyakinannya— padahal orang Barat (yang kafir) sendiri ketika mempelajari Islam tidak melepaskan keyakinannya. Maka, sangat keliru jika ada seorang Muslim, apalagi yang disebut sebagai intelektual, ketika mengkaji agama lain malah meninggalkan keyakinannya. Bahkan, lebih parah lagi, dia mengkaji agama lain dengan menggunakan kaca-mata agama yang dia kaji itu. Ini justru salah kaprah dan keblinger. Maka sangat wajar jika kemudian banyak “orientalis Indonesia” yang sesat pikir.

Bukti dari sesat pikir itu banyak contohnya. Misalnya, sudah ada yang berani mengatakan bahwa makna “kafir” bukan tidak beriman kepada Allah, tapi maknanya adalah: tidak beretika, tidak menghormati tamu, tidak baik kepada tetangganya. Ini jelas sesat sekaligus menyesatkan. Istilah “kafir” dalam Al-Qur’an maknanya adalah: tidak beriman kepada Allah dan menolak risalah Rasulullah. Sehingga kata Prof. Izutsu, “Kufr as oppossed to Īmān.”[1]

Artinya, tidak boleh memaknai kāfir sebatas makna etimologis (bahasa), karena kata kāfir memiliki makna terminilogis (istilah) dan ia termasuk “kata-kunci” (key-word) yang memiliki makna konseptual. Maka, ketika seorang “Prof. Dr.” di sebuah perguruan tinggi Islam menyatakan bahwa perkawinan sejenis sebagai hal yang alami karena tujuan pernikahan adalah “sakīnah-mawaddah-warahmah” berarti bangunan ilmu syariat dan fiqihnya sudah runtuh. Dan di saat sekelompok mahasiswa Muslim menegaskan bahwa perkawinan sejenis itu “indah” sehingga hak-hak kaum homoseksual dan lesbian harus diadvokasi dapat dipastikan mereka sedang hilang arah dan minus-adab dalam berilmu dan beragama.

Di sini doktrin orientalis-missionaris Barat tengah merayakan kemenangan karena berhasil “memurtadkan” pikiran sekaligus keyakinan. Akhirnya, yang terjadi, serangan kepada ajaran Islam tidak perlu orang kafir lagi. Cukup kaum terpelajar Islam yang sudah mengalami westernized minded (minda alias nalar yang di-Barat-kan). Akhirnya, Mereka menjadi para “orientalis Indonesia”; baik secara sadar maupun terpaksa.

Inferiority Complex

Penting dicatat bahwa para ulama dan pemikir Muslim sudah banyak yang mengingatkan tentang kondisi yang menimpa umat Islam hari ini. Khususnya, bencana yang menimpa worldview (pandangan alam/pandangan hidup”) mereka. Dalam bahasa Anwar al-Jundī, mereka telah banyak “minum racun” orientalisme dan orientalis (sumūm al-istisyrāq wa al-mustasyriqīn).[2] Karena terlalu banyak “minum racun orientalisme dan orientalis” akhirnya “orientalis Indonesia” banyak juga yang minder. Agar Islam maju dan terkesan moderat, maka liberalisme perlu “dihidupkan” kembali, kata salah seorang dari mereka. Berarti sebenarnya kaum liberal mengakui bahwa wacana mereka sudah lama pudar, bahkan mati.

Dan “orientalis Indonesia” yang lain menyatakan bahwa sebagian ayat mengenai agama lain (utamanya Yahudi dan Kristen) amat problematis. Maka, kata mereka, perlu menghadirkan pandangan Islam yang toleran dan humanis.[3] Lalu ada kaum liberal yang harus menyimpulkan bahwa Al-Qur’an adalah “kitab toleransi”. Untuk mendukung pandangannya dia menyatakan bahwa ayat-ayat tentang Taurāt dan Injīl dalam Sūrah al-Mā’idah menunjukkan bahwa Islām amat toleran terhadap kedua kitab itu.[4] Tapi, penulisnya melupakan sekian banyak ayat yang mengkritik Taurāt, Injīl dan dogma agama mereka (misal: tentang nabi Uzair/Ezra, penyembahan patung anak sapi, dogma Trinitas, dogma ketuhanan Yesus, tuduhan keji kaum Yahudi terhadap ibunda nabi Isa, sikap Yahudi yang mendustakan para nabi bahkan membunuhnya, rasisme Taurāt dan Talmūd, dan banyak lagi).[5] Dan, amat sulit untuk membuktikan otentisitas Taurāt dan Gospel. Apalagi karena adanya kebiasaan kaum Ahli Kitab merusak kitab suci.[6]

Butuh Belajar Worldview

Jika sudah banyak mengidap dan minum “racun orientalisme dan orientalis” maka harus segera diobati. Dan obat yang paling mujarab adalah kembali belajar worldview (pandangan hidup) Islām, sebagaimana yang diformulasikan oleh banyak para pemikiran Muslim.[7] Karena dengan mempelajari worldview dengan baik dan benar segala macam keraancuan berpikir akan terobati. Lebih dari itu, para ulama dan intelektual umat ini mampu mendiagnosa masalah umat dan penyakit yang tengah menjangkiti mereka.

Di fungsi pentingnya belajar worldview Islam adalah agar mampu memahami konsep-konsep penting dalam Islām, seperti: konsep Islām, konsep dunia-akhirat, konsep Tuhan, konsep wahyu, konsep ilmu, konsep pendidikan, konsep manusia, konsep alam, konsep dīn (agama), dan konsep-konsep seminal lainnya. Sehingga tidak ada lagi “orientalis Indonesia” yang mengklaim pakar Al-Qur’an dan Tafsir malah mengkritik Al-Qur’an para ulama. Karena ternyata banyakan diantara mereka menggunakan metode hermeneutika dalam menafsirkan Al-Qur’an, meskipun sampai sekarang belum ada hasilnya yang nyata. Padahal Josef van Ess, profesor emeritus dan pakar sejarah teologi Islām dari Universitas Tuebingen, Jerman menyatakan:

We should, however, be aware of the fact that German hermeneutica was not made for Islamic studies as such. It was originally a product of Protestant theology. Scheiermarcher applied it to the Bible. Later on, Heidegger and his pupil Gadamer were deeply imbued with German literature and antiquity. When such people say ‘text’ they mean a literary artifact, something aesthetically appealing, normally an ancient text wich exists only in one version, say a tragedy by Sophocles, Plato’s dialogues, a poem by Hölderlin. This is not necessarily so in Islamic studies.”

Maksudnya, perlu diketahui bahwa hermeneutika yang berasal dari Jerman itu sebenarnya memang bukan ditujukan untuk kajian keislaman. Pada asalnya ia merupakan produk teologi Protestan. Dipakai untuk mengkaji Bibel oleh Schleiermarcher, dan belakangan oleh Heidegger dan Gadamber dalam kajian kesusteraaan Jerman maupun klasik. Yang mereka maksud dengan ‘teks’ ialah karya tulis buatan manusia, sesutu yang indah lagi menarik, biasanya sebuah naskah kuno yang hanya terdapat dalam satu versi, seperti kisah tragedi karangan Sophocles, dialog-dialog karya Plato, atau pun puisi yang ditulis oleh Hölderlin. Ini jelas tidak sama dengan konsep teks dalam kajian Islām.[8]

Padahal konsep ilmu Tafsir dan Takwil dalam Islām sudah mapan (established). Tidak butuh kepada hermeneutika itu. Buku-buku studi Al-Qur’an (‘Uūm al-Qur’ān) yang ditulis dan diwariskan lebih patut dan lebih utama untuk dibaca, dipelajari dan diajarkan. Dan karya mereka sudah terbukti menghasilkan karya-karya tafsir yang hebat dan membangkitkan peradaban ilmu sampai saat ini. Sebut saja, misalnya, kitab ‘al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān’ karya Imam az-Zarkasyī (745-794 H); kitab ‘al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān’ karya Imam as-Suyūthī (w. 911 H); kitab ‘Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān’ karya Syekh Muhammad ‘Abd al-‘Azhīm az-Zarqānī (w. 1367 H/1948 M); dan banyak lagi.

Sebagai penutup, mari renungkan nasihat penting dari Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, rektor Universitas Darussalam (Unida), Gontor sekaligus pakar kajian worldview Islām (karena salah seorang murid Prof. Dr. SMN al-Attas) berikut ini:

“Mendemo pembakar Al-Qur’an sangat perlu, supaya mereka toleran dan menghormati apa yang dianggap suci oleh orang Islām itu. Namun, yang lebih perlu adalah mendemo tulisan orientalis dan murid-muridnya yang merusak akidah, menafikan syariat, dan merendahkan status Al-Qur’an dari Wahyu menjadi sekadar “karangan” Nabi Muhammad Saw. Karena, menyerang ajaran Al-Qur’an itu lebih dahsyat dari sekadar membakar Mushaf Al-Qur’an.”[9]

Memang, ajaran Islām saat ini tengah diserang habis-habisan: dari Maroko hingga Merauke, dari Al-Qur’an hingga Tasawuf, dan pernikahan hingga moral. Semuanya memang sedang diuji dan dicoba.

Tapi, dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah serta dekat dengan para ulama yang istiqāmah, umat Islām akan bertahan dengan kebenaran Islām dan ketinggian nilai-nilainya yang memang sesuai dengan fitrah manusia. Semoga umat menyadarinya dan segera ambil langkah. Wallāhu a‘lam bis-shawāb. []



[1] Lebih luas, lihat Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’ān (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2002), 119-127).

[2] Lihat Anwar al-Jundī, Sumūm al-Istisyrāq wa al-Mustasyriqīn fī al-‘Ulūm al-Islāmiyyah (Beirut: Dār al-Jayl/Kairo: Maktabah at-Turāts al-Islāmī, cet. II, 1405 H/1985 M).

[3] Lihat Mun’im A. Sirry, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi atas Kritik Al-Qur’an terhadap Agama Lain (Jakarta: Gramedia, 2013).

[4] Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil‘Alamin (Jakarta: Pustaka Oasis, 2017), 258-264).

[5] Tentang Judaisme, lihat ‘Abd al-Fattāh Husayn az-Zayyāt, Mādzā Ta‘rif ‘an al-Yahūdiyyah (Markaz ar-Rāyah li an-Nasyr wa al-I‘lām, 1998).

[6] Lihat Abu Ferik Ibn Muttalib, Sedjarah Singkat tentang Bijbel dan Al-Qur’an dan Hubungan Antaragama (Sebuaj Studi Perbandingan) (Djakarta: Jajasan Lembaga Penjelidikan Islam, 1962; lihat juga dua karya Dr. Munqidz as-Saqqār, Hal al-‘Ahd al-Qadīm Kalimat Allāh? (Kairo: Maktabah an-Nāfidzah, cet. I, 2006) dan Hal al-‘Ahd al-Jadīd Kalimat Allah? (Kairo: Maktabah an-Nāfidzah, cet. I, 2006).

[7] Lihat Sayyid Qutb, Khashā’ish al-Tashawwur al-Islāmī (Kairo: Dār al-Syurūq, . Lihat juga Syed Muhammad Naquib al-Attas,  Islām and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993).

[8] Lihat Dr. Syamsuddin Arif, “Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an”, dalam Dr. Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran (Jakarta: GIP, 1429 H/2008 M), 183).

[9] Lihat Harda Armayanto (ed.), Hamid Fahmy Zarkasyi: Nasihat-Nasihat Peradaban (Ponorogo: Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), cet. I, 2021), 16).

 

 

<<Kembali ke posting terbaru

"BERPIKIRLAH SEJAK ANDA BANGUN TIDUR" (Harun Yahya)