Rabu, September 06, 2006

Menyoal Teks dan Historisitas Al-Qur’an (Membaca Kritik D. Muhammad ‘Imarah)

Diskursus seputar Alquran, yang dalam hal ini sering disebut-sebut sebagai teks, memiliki historisitas dan sebagainya memang sedang hangat dibicarakan. Tak terkecuali di Indonesia. Sejak banyaknya penulis-penulis lokal memberikan wacana ke-Quranan yang dikaitkan dengan hermeneutika, wacana tersebut semakin mengkristal.
Sejak dihadirkannya seorang pemikir liberal asal Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd ke Indonesia oleh JIL, geliat ide pemikiran teks dan historisitas Alquran semakin mendapat angin segar di Indonesia. Ide inilah yang disebut oleh Dr. Muhammad Imarah (1995) dengan “Interpretasi Marxisme atas Islam (al-tafsîr al-marksiy li al-islâm).

Alquran Teks Manusia?
Nasr Hamid Abu Zayd dalam sebuah artikelnya Al-Islâm wa Al-Gharb: Harb al-Karâhiyah yang dimuat dalam jurnal Wijhah al-Nazhar (1992) sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Muhammad Imarah dalam bukunya Al-Khithâb Al-Dîniy; Bayna al-Tajdîd al-Islâmiy wa al-Tabdîd al-‘Amrîkâniy (2004) menyatakan bahwa teks Alquran merupakan teks manusia (nash basyariy) dan wacana historis (khithâb târîkiyh) yang tidak mengandung arti perbedaan yang substansial dan konstan. Sejatinya, Alquran adalah ‘produk budaya’ (muntâj tsaqâfiy) yang terbentuk dalam lingkaran realita (al-wâqi`) dan kebudayaan (al-tsaqâfah) dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun. Selama itulah ia dipengaruhi; pertama oleh realita, kedua realita, dan ketiga realita. Teks Alquran adalah kumpulan dari teks-teks. Misalnya, jika susunannya mirip dengan struktur syair sebagaimana tampak jelas dari mu‘allaqât (karya sastra Arab terbaik yang biasa digantungkan di dinding Ka‘bah). Maka, perbedaan Alquran dengan mu’allaqât tersebut (dari sudut yang terbatas itu) hanya terletak pada kurun waktu yang dibutuhkan oleh Alquran itu dalam pembentukan teksnya, yang cenderung berpihak –untuk menyeru wanita—pada teks-teks yang lemah (sha`âlîk).

Dr. Imarah kemudian mengomentari bahwa apa yang kita harapkan dan apa yang diharapkan oleh Islam dari orang yang menafikan ‘wahu langit’ melalui penafsiran marxisme, menggunakan standar-standar materialisme-dialektika. Ia melihatnya sebagai teks manusia dan struktur super, yang dibentuk oleh struktur bawah-sosial dan kebudayaan.
Kemudian Abu Zayd berkomentar lagi bahwa Alquran belum memiliki wujud awal dalam proses keterpengaruhannya di dalam realita. Keterpengaruhan tersebut itulah yang dibuat oleh struktur ekonomi, sosial dan politik. Itulah dialektika yang muncul dari realita bumi, bukan dialektika yang turun dari langit.

Seolah-olah ia telah menemukan keterkaitan teks Qurani dengan syair mu‘allaqât yang belum ditemukan oleh pemilik mu`allaqât itu sendiri. Sebagaimana ia juga telah menemukan keberpihakan Alquran kepada syair yang lemah itu, yang belum ditemukan (diungkap) oleh para penyair lemah itu sendiri. Sehingga syair-syair lemah tersebut melebihi syair-syair orang-orang terdahulu (Dr. Muhammad Imarah, Al-Khithâb Al-Dîniy; Bayna al-Tajdîd al-Islâmiy wa al-Tabdîd al-‘Amrîkâniy, 2004: 33-34)

Masalah “rongrongan” terhadap Alquran bukanlah barang baru bagi umat Islam. Sejak zaman Nabi saw, orang yang menyuruh beliau untuk mencari Alquran model lain atau menggantinya sudah ada (QS. Yunus: 15). Hanya saja, bentuk rongrongan dewasa ini memang lebih berbahaya, karena datangnya bukan hanya dari luar, bahkan dari dalam (baca: umat Islam) sendiri.

Bentuk desakralisasi Alquran saat ini begitu beragam. Muhammad Said al-‘Asymawi di dalam bukunya Al-Khilâfah Al-Islâmiyah (1990) menyatakan bahwa di dalam Alquran hingga saat ini masih terdapat beberapa kesalahan gramatikal (al-nahwiyah) dan linguistik (al-lughawiyah). Selain itu, al-‘Asymawiy juga menyatakan tentang entitas teks Alquran yang memiliki perbedaan dengan berbagai riwayat teks-teks agama lain. Hal ini ia nyatakan dalam bukunya Hashâd al-‘Aql (Musim Panen Nalar, 1992); ‘‘Seluruh umat Islam bersatu dalam satu bacaan. Teks Alquran telah dihapal. Namun, teks tersebut menghilangkan seorang ‘insan Muslim’. Sehingga melemahlah kobarannya dan padamlah api peradaban. Akhirnya masuk ke dalam fase kejumudan, taklid dan hilangnya peran ijtihad. Karena dari teks tersebut hanya menjadikan sosok manusia teks, bukan makna; insan penukil, bukan nalar dan insan huruf, bukan ruh (spirit). Oleh karenanya, di dalam Islam ada sastra, namun tidak ada ide (pemikiran). Bagi Arab –secara umum—sepanjang sejarah belum ada studi pemikiran (dirâsât fikriyah).
Seolah-olah Alquran yang mulia itu –dengan adanya entitas teksnya dan menyatunya umat Islam dalam satu bacaan terpadu (disatukan) dalam teks tersebut—merupakan sebab timbulnya “malapetaka” yang menghalangi orang Arab dan umat Islam dari nalar, ijtihad, pemikiran, ruh (spirit) dan peradaban semenjak mereka bersatu dalam satu entitas teks Qurani –pada masa ‘Utsman bin ‘Affan (47 SH-35 H/577-565 M)—sepanjang sejarah tersebut sebagaimana yang disinyalir oleh ungkapan cabul tentang Alquran yang mulia itu (Dr. Muhammad Imarah, Maqâlât al-Ghuluww al-Dîniy wa al-Lâdîniy, 2004: 93-94).

Adakah Historisitas Alquran?
Umat Islam percaya bahwa di dalam Alquran terdapat ayat yang muhkam dan mutasyâbih. Ayat yang mutasyâbih tersebut dipahami dan ditafsirkan dengan cara mengembalikannya kepada ayat yang muhkam, karena satu bagian menafsirkan bagian yang lain. Dan ‘asbâb al-nuzûl memposisikan pembaca dan mufassir dalam frame kondisi (keadaan) dan semantik yang orisinil. Sehingga dapat ditentukanlah pemahaman tersebut dalam ‘payung’ masa penurunannya (‘ashr al-tanzîl). Dan pemahaman semantik Alquran harus menggunakan semantik lafazh-lafazhnya dalam masa wahyu, bukan melalui semantik yang dilontarkan atas lafaz-lafazhnya pada pasca penurunan (al-tanzîl) tersebut.
Umat Islam percaya bahwa metode (al-minhâj) ini, yang dihadirkan ketika memahami Alquran dan menafsirkan semantik orisinilnya dan konteks awalnya sesuai dengan iman mereka bahwa bahwa Alquran itu merupakan wahyu penutup bagi syariat penutup pula. Jadi, tidak ada istilah “temporal” dan “historisitas” dalam memahami dan menafsirkannya. Karena istilah “temporal” dan “historisitas”, keduanya bertentangan dengan keabadian Alquran (khulûd al-qur’ân) atas keabadian syariat yang dibawanya.
Nah, dengan menggunakan metode ini dalam memahami Alquran dan menafsirkannya –tidak ada yang menentangnya kecuali kelompok yang berlebih-lebihan (al-ghulâh) dari aliran kebatinan—Imam Muhammad Abduh berkata: “Bagi peneliti (mudaqqiq) hendaknya menafsirkan Alquran sesuai dengan makna yang digunakan pada masa diturunkannya. Dan lebih baik lafazhnya dipahmi lewat Alquran itu sendiri. Dengan cara mengumpulkan lafazh yang banyak diulang dalam beberapa tempat kemudian dicermati secara kritis. Mungkin ia dipakai dalam beberapa arti yang berbeda, seperti lafazh “al-hidayah” dan yang lainnya. Dan (kemudian) diverifikasi bagaimana ia sesuai (maknanya) dengan makna yang lain. Dengan demikian dapat diketahui makna yang diinginkan di antara makna-makna yang ada itu. Sesungguhnya, Alquran itu saling menafsirkan satu sama lainnya. Dan sebaik-baik konteks dari arti sebuah lafazh adalah kesesuaiannya dengan apa yang telah dibicarakan lebih dulu, kesesuaiannya dengan keseluruhan makna dan keserasiannya dengan tujuan kedatangan Kitab (Alquran) itu secara keseluruhannya.

Maka, akan terpelihara kontinuitas dalam membaca Alquran, memahami perintah dan larangannya, nasehat dan i’tibar-nya, sebagaimana dibacakan kepada orang-orang yang beriman dan orang-orang kafir pada masa turunnya wahyu.
Dan “metode unhistorisitas” yang menolak pengikatan makna (arti) dengan sejarah itu sendiri fleksibel dalam lembarannya, yang sejalan dengan roda sejarah tersebut –sebagaimana yang kita jelaskan di atas—menurut umat Islam itulah “agama”, bukan pilihan manusia atas satu metode dalam berinteraksi dengan teks. Dikarenakan adanya keterkaitan dengan Alquran sebagai penutup bagi wahyu Tuhan dengan kepamungkasan Islam sebagai pamungkas atas syariat-syariat langit kepada manusia. Dengan artian itulah pemeliharaan Tuhan atas Alquran.
Alquran adalah susunan lafazh-lafazh, sistem (metode) dan semantik. Dan di dalamnya tidak akan pernah ada nilai pemikiran, jika pemeliharaannya benar-benar berada pada batasan lafazh-lafazhnya bersamaan dengan menyia-nyiakan makna dan melampaui batasannya. Dan ketika Allah berfirman: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Alquran dan Kami (pula) yang memeliharanya” (QS. Al-Hijr: 9), sesungguhnya Ia menetapkan keabadian Alquran –secara lafazh, metode dan semantik—agar akidah terus kokoh dan syariat tetap abadi serta warna (shibghah, celupan) Islam itu terus berkesinambungan bagi peradaban Islam sepanjang zaman dan tempat (Dr. Muhammad Imarah, Al-Tafsîr Al-Markisiy Li Al-Islâm, 1995: 61-61).

Lalu bagaimana dengan interpretasi atas ayat-ayat mutasyâbihât di atas?
Dalam masalah ini, banyak yang menyikapi bahwa ayat-ayat tersebut harus diinterpretasikan dengan ilmu baru yang dikenal dengan “hermeneutika”. Pada hakikatnya, itu adalah ide yang tidak benar dan tidak memiliki dasar sama sekali. Menurut Dr. Imarah bahwa ayat-ayat mutasyâbihât harus ditafsirkan dengan cara mengembalikannya kepada ayat-ayat yang muhkamât, bukan ditafsirkan sendiri atau mencari alat penafsir dalam memahaminya. Inilah yang disebut oleh Dr. Mahdi Bunduq (2003) sebagai interpretasi kontradiktif (al-ta’wîl al-mu‘âkis).

Para mufassir konservatif (tradisional) menolak untuk menafsirkan ayat-ayat mutasyâbihât tersebut. Bukan hanya dalam perhitungan zhahir teks tersebut, namun berdasarkan dari interpretasi kontradiktif tersebut. Hal ini menurut Dr. Mahdi Bunduq, selama ayat-ayat mutasyâbihât itu tidak diketahui interpretasinya kecuali oleh Allah, maka tidak ada alasan bahwa manusia dikatakan tidak mampu untuk memahami mayoritas ayat-ayat Alquran yang penuh hikmah itu. Hal ini dianggap menyia-nyiakan konteks ayat yang mulia. Karena Alquran itu diturunkan bagi manusia untuk ditadabburi maknanya, bukan untuk dialihkan menjadi sebuah icon yang diperhatikan seperti mereka memperhatikan hal yang membingungkan dan penuh teka-teki yang tidak bisa dicapai oleh nalar mereka.

Dalam hal ini juga terdapat semacam sentraliasai fragmatis atas sebuah sebab teleologi (‘illah ghâ’iyah), yaitu pemisahan agama dari dunia dan membatasinya dalam lingkup simbol-simbol dan ritual. Sehingga tidak ada media untuk melakukan perubahan. Dan itu semua demi kepentingan kondisi politik yang sedang berlaku. Pada akhirnya, penafsiran ini dianggap serupa dengan ide yang menyatakan bahwa Allah –maha suci Allah—berbicara dengan kalam-Nya kepada siapa yang memiliki keterbatasan –secara alaminya—untuk dapat memahami kalam-Nya tersebut. Ini tentu saja hal yang absurd, maha suci Allah dari hal yang demikian. Namun keraguan untuk mengidentifikasikan diri dengan orang lain dengan pemilik teks (Allah), Dia-lah yang menggambarkan bagi seorang mufassir yang absurd ini bahwa pemilik teks seperti dia, berbicara dengan apa yang tidak dapat dipahami.

Dengan demikian kita dapat mengontrol berbagai konklusi negatif yang berbahaya dari interpretasi kontradiktif tersebut, jika kita telah mengalanisa mekanisme penafsiran kontervatif (al-tafsîr al-taqlîdiy) atas ayat itu sendiri: “…tidak ada yang mengetahui ta’wilnya, kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. Dan tidak ada yang mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal” (QS. Ali Imran: 7). Ayat ini sendiri menerangkan bahwa Kitab (Alquran) yang diturunkan memuat dua varian; muhkam dan mutasyâbih. Ayat itu sendiri mengkritisi orang-orang yang di dalam hatinya terdapat kecondongan kepada kesesatan (zaygh). Karena mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyâbih itu untuk menimbulkan fitnah, atau bermaksud untuk menta’wilkannya agar sesuai dengan hawa nafsu mereka. Seperti mereka mena’wilkan peminum khamr. Khamr dita’wilkan dalam dengan “rendaman anggur yang sudah menjadi ragi tanpa yang lainnya”, agar ia membolehkan (untuk dirinya) meminum shampania –Kamput, Bir, dsb_pen)! Interpretasi kontradiktf yang memiliki sebab teleologi fragmatis itu bertentangan dengan maksud sang pembuat hukum (Allah) yang bermaksud untuk memberikan kejelasan manfaat, pencerahan akal dan menghilangkan segala macam bentuk penutup dari akal tersebut. Maka, ta’wil yang benar adalah mengharamkan segala jenis yang memabukkan dan apa yang menghilangkan akal sehat, sedangkan ta’wil kontradiktif akan membuka berbagai bentuk khamr-khamar yang lain. Bagaimana mungkin para mufassir konservatif menempatkan orang-orang yang berakal dalam “sarang tuduhan” yang di dalamnya ada para pencari fitnah dan pemilik hawa nafsu. Padahal orang-orang yang berakal juga menjadi sasaran kritik di dalam ayat tersebut?! (Dr. Mahdi Bunduq, Hadâtsatunâ Al-Muhasharah, 2003: 55-56).

Hemat penulis, para pengusung ide teks Alquran dan historisitasnya serta berbagai pemikiran yang ingin “mengutak-atik” kewahyuan Alquran dan keabadiannya, bak melempar bola ke dalam ruangan hampa. Karena sejatinya, ide yang dilemparkan oleh mereka sama sekali tidak memiliki alasan dan argumentasi yang kuat. Ia tidak jauh beda dengan laba-laba yang membangun rumahnya yang indah dan megah, namun ternyata sangat lemah dan mudah untuk dihancurkan. (Cairo, 24 Nopember 2004).

 

<<Kembali ke posting terbaru

"BERPIKIRLAH SEJAK ANDA BANGUN TIDUR" (Harun Yahya)