Jumat, September 22, 2006

Absurditas Islam tanpa “Jihad”

Pernyataan Paulus Benediktus XVI di Universitas Regensburg, Bavaria Jerman, (Selasa, 12-09-2006) menuai ‘badai kritik’ di mana-mana (www.aljazeera.net), tak terkecuali di Indonesia. Sikapnya yang ‘mengkritisi’ konsep “Jihad” dalam Islam sangat tidak tepat. Sikapnya ini mengindikasikan bahwa Paus sama sekali tidak paham ajaran Islam, khususnya konsep “Jihad”.

Pepatah Arab menyatakan, “al-Nasu a‘da’u ma jahilu,” (Manusia cenderung memusuhi apa yang tidak diketahuinya). Paus benar-benar sosok pemimpin agama yang ‘jahil’ terhadap konse “Jihad” Islam, makanya dia memusuhi konsep ini, bahkan berharap untuk “dicopot” dari Islam. Tentu saja ini merupakan kritik tanpa dasar dan salah kaprah.

Apa yang diinginkan oleh Paus sebenarnya adalah Islam tanpa “Jihad”. Jika konsep ini dibuang, maka Islam tidak sempurna sebagai Islam. Meskipun hukumnya fardhu kifayah, tapi “Jihad” merupakan kewajiban yang kontinuitas. Bahkan, dalam Islam dianjurkan untuk memperbanyak “Jihad”, berdasarkan ayat-ayat dan khabar-khabar yang menerangkan hal itu. Pengarang Kifayat al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar menyatakan bahwa: minimal “Jihad” itu dilakukan setahun sekali – tentu hal ini sesuai dengan kondisi_pen), karena Nabi SAW. setiap tahunnya tidak pernah tidak berjihad. Mengikuti Nabi SAW – dalam hal ini adalah “Jihad” – hukumnya “wajib”. Dalam hal ini Allah SWT. berfirman, “Dan tidaklah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun…” (Qs. Al-Tawbah [9]: 126). Menurut Mujahid, ayat ini turun dalam konteks “Jihad”, karena ia merupakan kewajiban (fardh) yang terus berulang...(Lihat: Imam ‘Allamah Taqiyuddin Abu Bakar ibn Muhammad al-Husayni al-al-Hushna al-Dimasyqiy al-Syafi‘iy, Kifayat al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar, ttp., 743). Maka, konsep “Jihad” tidak mungkin dihapuskan dari tubuh Islam.

Sejak awal, Rasulullah telah memotivasi umatnya untuk berjihad. Dari Abu Hurayrah, bahwa seorang laki-laki datang menemui Nabi SAW dan bertanya, “Tunjukkan padaku satu amal yang – nilainya – menyamai Jihad?” Nabi SAW lalu menjawab, “Aku tidak menemukannya.” Ia bertanya lagi, “Apakah Anda sanggup, jika seorang mujahid keluar – untuk berjihad --- lalu engkau masuk ke masjidmu: engkau shalat terus-menerus, berpuasa terus dan tidak berbuka?” Beliau menjawab, “Siapa yang sanggup melakukannya?” (Imam Zaynuddin Ahmad ibn Abdul Lathif al-Zubaydi, Mukhtashar Shahih al-Bukhariy, 2006: 494, hadits no: 1294).

Mufti negara Mesir, Prof Dr. Ali Jumu‘ah menyatakan bahwa “Jihad” merupakan perang yang legal (harb masyru‘ah) bagi orang-orang yaang berakal. Jihad merupakan perang yang paling bersih dari sisi apa pun: (1) dari sisi tujuan (al-hadf), (2) dari sisi cara (al-uslub), (3) dari sisi syarat dan piranti (al-syuruth wa al-dhawabith), (4) dari sisi ending (al-inha’) dan penyudahan (al-iqaf), dan (5) dari sisi bekas atau konsekuensi yang dihasilkannya. (Prof. Dr. Ali Jumu‘ah, al-Jihad fi al-Islam, Nahdhah Misr, 2005: 3-4).

Apa yang dikatakan Paus hanya sekedar mengulang-ulang perkataan pendahulunya. Bukan hal yang baru. “Syubhat” seperti itu sudah biasa dihadapi oleh umat Islam. Tapi, kondisi dan situasinya memang berbeda. Di saat Islam sedang membangun multi-dialog dengan Barat, Paus muncul dan meruntuhkan ‘jembatan dialog’ yang sudah hampir terbangun dengan kokoh itu.

“Syubhat” yang sering muncul memang, Islam adalah “agama pedang”. Ini benar menurut Abbas el-Akkad, jika yang dimaksud adalah bahwa agama ini – Islam --- jika yang mengatakannya bermaksud bahwa agama ini mewajibkan “Jihad”, diantaranya jihad dengan menggunakan senjata. Tapi, statemen itu salah, jika yang dimaksud: Islam itu disebarkan lewat “pedang”. Atau, Islam menjadikan perang sebagai alat untuk melakukan “bujukan”. (Abbas Mahmoud el-Akkad, Haqa’iq al-Islam wa Abathil Khushumihi, Nahdhah Misr, 2002, hlm. 166).

Konsep Jihad dalam Islam pun disebut dengan Jihad defensif (harb difa‘). Contoh nyata adalah Perang Banu Qaynuqa’: Yahudi Madinah. Umat Islam memerangi mereka, karena mereka membatalkan perjanjian (al-‘ahd) pasca Perang Badar Kubra, dan karena mereka mencemarkan kehormatan seorang wanit Anshar. Sedangkan perang Banu Ghathfan, kasusnya berbeda. Umat Islam tidak memerangi mereka, kecuali mereka – umat Islam – mengetahui bahwa Banu Tsa‘labah dan petempur (muharib) dari Banu Ghathfan berkumpul di bawah pimpinan Da‘tsur, untuk menyerbu Madinah. (Ibid., hlm. 166-167).

Bagi umat Islam, menolak “syubhat” seperti memang tidak bisa “sembrono” agar tidak salah kaprah, sehingga bisa memperkeruh keadaan. Menurut Prof. Ali Jumu‘ah, seorang sejarawan Perancis, Gustav Lobon, dalam bukunya Hadharat al-‘Arab (Peradaban Arab), berbicara tentang tersebarnya Islam di masa Nabi SAW dan masa pembebasan (‘ashr al-futuhat) setelah beliau. Ia menyatakan bahwa sejarah telah mencatat dengan jelas bahwa agama-ama tidak disebarkan dengan kekuatan.... Jadi, Al-Qur’an tidak disebarkan dengan pedang, tapi disebarkan hanya lewat dakwah. Dengan dakwah ini pula bangsa-bangsa yang menguasai Arab akhirnya memeluk Islam, seperti Turki dan Mongol. Kemudian Al-Qur’an tersebar di India – di mana Arab di India hanya melintas saja – yang umat Islam tidak lebih dari lima puluh juta jiwa. Al-Qur’an juga tidak kalah tersebarnya di Cina, yang tidak pernah dibuka bagiannya oleh orang Arab. Dan akan tampak lajutnya dakwah di sana. Dan sekarang penduduk Muslimnya lebih dari dua puluh juga jiwa. (Prof. Dr. Ali Jumu‘ah, op. cit., hlm. 5).

Jadi, konsep Jihad dalam Islam sangat tegas dan jelas. Maka, seharusnya Paus memahami dulu konsep ini, agar tidak “kepeleset” dan “tergelincir” dalam mengeluarkan statemen.
Wallahu a‘lamu bi al-shawab. [] (Cairo, 16 September 2006).

 

<<Kembali ke posting terbaru

"BERPIKIRLAH SEJAK ANDA BANGUN TIDUR" (Harun Yahya)