Menolak Ayat-ayat “Pluralisme” [1]
Konsep pemikiran Barat yang sekular-liberal tampaknya telah menemukan ‘lahan empuk’ dalam ranah pemikiran Islam kontemporer. Terma liberalisme, sekularisme, pluralisme dan “isme-isme” lainnya diterima secara taken for granted. Euporia semacam itu melahirkan “skeptisisme teologis” yang sangat berbahaya. Istilah “pluralisme agama” di Indonesia, misalnya, kian mencuat dan –seolah– mendapatkan legitimasinya secara sah. Munculnya buku Jalaluddin Rahmat, “Islam dan Pluralisme Agama-Akhlak Qur’an Menyikapi Pluralisme” (Serambi, 2006)[1] semakin menguatkan tesis bahwa konsep “pluralisme agama” benar-benar sudah mengakar di kalangan beberapa pemikir Tanah Air. Buku ini hemat menulis cukup problematis, karena menyisakan beberapa hal yang perlu dikritisi. Tidak salah jika dikatakan bahwa Indonesia sedang ‘puber’ pluralisme.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk mengkritisi konsep “pluralisme agama” secara global, yang diusung – dalam konsep kaum pluralis – lewat ‘konsep Qur’ani’ ini. Apakah benar al-Qur’an mendukung konsep ini? Atau malah menolaknya? Tulisan ini hanya akan mengulas Qs. Al-Baqarah: 62, yang juga diklaim oleh beberapa kalangan Islam Liberal-Sekular – termasuk Kang Jalal – sebagai “Ayat Pluralisme”.
Di dalam Qs. 2: 62 Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Ayat ini banyak disalahpahami oleh kalangan yang mengaku sebagai “Muslim-Pluralis”. Mereka menyatakan bahwa orang-orang beriman, Yahudi, Nasrani, dan Shabi’un, jika “beriman kepada Allah” dan Hari Kiamat serta “beramal saleh”, maka mereka sama-sama mendapat keselamatan.
Hemat penulis, pemahaman semacam ini penting untuk diperhatikan, agar tidak keliru dan salah kaprah. Para mufassir – sejak zaman Ibnu Jarir al-Thabari [w. 310 H] → Muhammad Thahir ibn ‘Āsyur [w. 1379 H] – tidak pernah mengklaim bahwa ayat di atas sebagai “ayat pluralisme”. Aneh, semakin banyak konsep-konsep Barat yang diadopsi dan diserap, semakin banyak model penafsiran asing dan nyeleneh. Akibatnya, umat semakin bingung tak karuan.
Ibnu Katsir (700-774 H), misalnya, dengan sangat baik mengulas ayat ini. Beliau menulis:
“Menurut Ibnu Abi Hatim → bapaknya → ‘Umar ibn Abi ‘Umar al-‘Adawî → Sufyan ibn Abi Najih → Mujahid, ia berkata: Salman ra. berkata, “Aku bertanya kepada Nabi saw. tentang orang-orang yang – dahulu – seagama dengan Salman. Lalu Salman menyebutkan tentang shalat dan ibadah mereka, lalu turunlah ayat: (Inna al-ladzina amanu wa al-ladzina hadu wa al-nashara wa al-shabi’ina man amana bi’l-Lahi wa’l-yaumi’l-akhiri wa ‘amila shalihan). Ayat ini turun dalam kisah para sahabat Salman al-Farisi. Dia berkata kepada Nabi saw. bahwa para sahabatnya melakukan shalat, berpuasa, beriman kepada Nabi saw. dan bersaksi bahwa beliau akan diutus sebagai seorang Nabi. Ketika Salman selesai memuji mereka, Nabi Allah saw. berkata: “Wahai Salman, mereka adalah ahli neraka.” Salman terkejut mendengar penjelasan itu. Lalu Allah menurunkan ayat tersebut. “Iman Yahudi” adalah: orang yang berpegang kepada Taurat dan sunnah Musa as. sampai datangnya ‘Isa as. Ketika ‘Isa datang, siapa yang berpegang kepada Taurat dan sunnah Musa, tidak meninggalkannya dan tidak mengikuti ‘Isa, maka dia adalah orang celaka. Dan “iman Nasrani”: siapa yang berpegang kepada Injil dan syariat-syariat ‘Isa, maka dia menjadi seorang yang beriman dan diterima – imannya – sampai datangnya Muhammad saw. Maka, siapa yang tidak mengikuti Muhammad saw. dari mereka, dan meninggalkan sunnah ‘Isa dan Injil dia menjadi orang yang celaka. Ibnu Abi Hatim dan diriwayatkan dari Sa‘id ibn Jubayr seperti riwayat ini.”[2]
Jadi, agama Allah yang dibawa oleh Musa dan ‘Isa ‘alayhimassalam ‘belum final’ dan tidak sempurna. Ketika Nabi saw. diutus sebagai “nabi akhir zaman”, barulah Islam itu sempurna sebagai “din”.[3]
Riwayat di atas menurut Ibnu Katsir, tidak menafikan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas: (Inna al-ladzina amanu wa al-ladzina hadu wa al-nashara wa al-shabi’ina man amana bi’l-Lahi wa’l-yaumi’l-akhiri), ia berkata: “Setelah turunnya ayat ini, Allah menurunkan ayat: (Wa man yabtaghi ghyar al-Islâma dînan falan yuqbala minhu wa huwa fi’l-akhirati mina’l-khasirin). Yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas adalah pengabaran (ikhbâr) bahwa tidak diterima dari seseorang satu bentuk “jalan” (tharîqah) atau “amal” kecuali yang sesuai dengan syariat Muhammad saw. setelah beliau diutus. Sebelum diutusnya beliau, siapa yang mengikuti seorang nabi yang ada pada zamannya, dia berada dalam satu petunjuk, jalan kebenaran (sabîl) dan keselataman (najâh).[4]
Ketika Allah mengutus Muhammad saw. sebagai ‘pamungkas’ para nabi dan menjadi rasul bagi seluruh Bani Adam (manusia) secara mutlak, maka mereka wajib membenarkan apa yang beliau kabarkan; menaati apa yang beliau perintahkan serta menahan diri dari apa yang dilarangnya.[5]
Jadi, sahnya keimanan umat Yahudi-Nasrani tergantung keimanan mereka terhadap Nabi Muhammad saw. Jika menolak, maka tidak bisa dikatakan sebagai orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Keimanan kepada Allah memiliki korelasi erat dengan keimanan kepada Nabi saw.
Imam Muslim, meriwayatkan satu hadits Nabi saw. bahwa beliau bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan beriman kepadaku dan apa yang aku bawa. Jika mereka melakukan hal itu, maka mereka telah memelihara kehormatan darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan haknya. Dan perhitungan mereka – ada – pada Allah.”[6]
Analisis kata Āmanû, Hâdû, al-Nashârâ dan al-Shâbi’ûn
Perlu dicatat, bahwa kaum liberal-sekular kerap melupakan bagian terpenting dari ayat di atas, yaitu kata-kata: amanû, hâdu, al-nashârâ dan al-shâbi’în. Seharusnya, ini dibahas terlebih dahulu, sebelum diklaim bahwa ayat tersebut adalah “ayat pluralisme”.
Pertama, kata “âmanû. Menurut al-Thabari (w. 310 H), adalah orang-orang yang membenarkan Rasulullah terhadap kebenaran yang dibawanya dari sisi Allah.[7] Al-Qurthubî juga berpendapat sama. Tapi menurut Sufyân, maksudnya adalah “orang-orang yang munafik”. Seakan-akan Ia menyatakan: orang-orang yang secara zahirnya saja mereka beriman. Oleh karenanya, Allah menggandengkan mereka dengan orang-orang Yahudi, Nasrani dan Sabian (Sabea).[8]
Kedua, kata “hâdû. Orang-orang yang disebut hâdû adalah kaum Yahudi. Arti “hâdû” adalah: tâbû (orang-orang yang bertaubat).[9] Kata al-Yahûd disebut “Yahudi” berdasarkan perkataan mereka: [Innâ hudnâ ilayka] (Qs. Al-A‘râf [7]: 156). Dari al-Qâsim → al-Husayn → Hajjâj → Ibnu Juraij, dia berkata: “Mereka disebut “Yahudi” karena berkata: [Innâ hudnâ ilayka].[10] Menurut Abu ‘Amrû ibn al-‘Alâ’, karena mereka “yatahawwadûn” atau bergerak-gerak ketika membaca Taurat.[11]
Hemat penulis, pendapat al-Thabari lebih dapat diterima, dengan adanya dalil dari Qs. Al-A‘râf [7]: 156). Perlu juga dicatat, bahwa kata “âmanû” dan “hâdû” merupakan bentuk (shighah) fi‘l mâdhî (past-tense). Dengan demikian, kedua kata ini harus diletakkan sepadan dan setara (sama-sama kata kerja).[12]
Ketiga, kata “al-nashârâ. Kata ini penulis anggap sudah jamak diketahui secara otomatis, jadi tidak perlu penjelasan panjang lebar. Dapat dirujuk berbagai buku tafsir, seluruhnya mencatat bahwa mereka adalah pengikut setia nabi ‘Isa as.
Keempat, kata al-Shâbi’ûn atau al-shâbi’în. Al-Shâbi’ûn adalah bentuk plural dari kata “shâbi’”: yang membuat agama baru yang bukan agamanya, seperti orang yang murtad dari agama Islam. Setiap orang yang keluar dari satu agama, maka dia berada dalam agama itu hingga melenceng kepada akhir agama lainnya. Orang Arab menyebutnya dengan shâbi’.[13] Para mufassir sepakat, bahwa al-shâbi’în atau al-shâbi’ûn adalah orang-orang yang menyimpang dari satu agama, bahkan tidak beragama sama sekali.[14]
Bagi kaum pluralis, pendapat-pendapat itu tidak penting. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana agar teks al-Qur’an itu ‘ditekuk’ lehernya agar tunduk kepada realitas dan konteks yang tengah berlaku. Dengan sangat aneh, Alwi Shihab di dalam bukunya Islam Inklusif mengartikan Qs. Al-Baqarah [2]: 62 di atas seperti di bawah ini:
“Sesungguhnya mereka telah beriman, Yahudi, Kristen, dan Kaum Shabiin; Mereka percaya pada Tuhan dan hari akhir dan berbuat kebaikan, akan menerima pahal dari Tuhan mereka. Mereka tidak akan merugi dan tidak akan berduka cita.”[15]
Tentu saja, Alwi terlalu berani untuk mengartikan ayat di atas secara serampangan. Muhammad Yusuf Ali, yang cukup baik dalam menerjamahkan al-Qur’an, mengartikan ayat di atas seperti di bawah ini:
“Those who believe (in the Qur’ân). And those who follow the Jewish (scriptures), and the Christians and the Sabians, any who belive in Allah and the last Day, and work righteosness, shall have their reward with their Lord on them shall be no fear, nor shall they grieve.”[16]
Jadi, ada aturan dalam berinteraksi dengan teks al-Qur’an, tidak asal terjemah dan – asal – pahami. Menyatukan umat Islam, Yahudi, Nasrani dan Shabi’in dalam satu kata “âmanû” adalah ‘pemerkosaan’ terhadap semantik ayat, dan ini tidak bisa dibenarkan. Al-Thabari sendiri, ketika menjelaskan kata ‘man âmana bi’l-Lâhi’ menyebutkan pendapat yang menyatakan bahwa ‘mereka adalah orang beriman dari Ahli Kitab, yang – sempat – mengenal Rasulallah saw.’[17] Dengan demikian, ‘syubhat’ yang menyatakan bahwa kaum Yahudi dan Nasrani juga akan masuk surga, harus dilihat kembali. Karena Nabi saw. merupakan nabi akhir zaman, maka dia merupakan satu-satunya jalan untuk menuju kepada kebenaran iman kepada Allah, hari akhir dan cara beramal saleh yang benar.
Islam; Agama Universal
Dengan melihat penjelasan di atas, semakin kuat bukti bahwa Islam merupakan agama ‘pamungkas’: agama akhir zaman dan agama yang universal.[18] Jika agama Yahudi yang dibawa oleh nabi Musa as. banyak membawa konsep hukum, dan Kristen yang dibawa oleh nabi ‘Isa as. (Yesus Kristus) banyak membawa konsep ‘kasih-sayang’, maka Islam datang membawa keduanya. Oleh karena itu, Nabi saw. menyatakan bahwa beliau adalah ‘rahmat yang dihadiahkan untuk sekalian alam’. Beliau menyatakan: “Ana rahmatun muhdâh”.[19]
Oleh karena itu, al-Sayyid Sâbiq memberikan tiga alasan penting kenapa Islam disebut sebagai risalah (misi) yang universal.
Pertama, tidak ada perkara yang sulit untuk diyakini di dalam risalah Islam, atau sulit untuk diamalkan. Allah swt. berfirman, “Allah tidak membebani seseorang di atas kemampuannya.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 286); “Allah menginginkan kemudahan untuk kalian, dan tidak menginginkan kesusahan.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 185); dan “Allah tidak menjadikan di dalam agama – Islam – itu satu perkara yang menyulitkan.” (Qs. Al-Hajj [22]: 78). Di dalam Bukhari, dari hadits Abu Sa‘îd al-Muqbarî, dari Abu Hurayrah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya agama ini – Islam – adalah mudah. Tidak seorang pun yang mempersulit dirinya – dalam beramal dan beribadah – kecuali dia akan dikalahkan oleh agama itu.”[20]
Dalam Muslim disebutkan secara marfû‘: “Agama yang paling dicintai oleh Allah adalah ‘yang lurus dan penuh toleransi’ (al-hanîfiyyah al-samhah).”[21]
Kedua, hal-hal yang tidak berbeda meskipun berubah zaman dan tempat, seperti akidah dan bentuk-bentuk peribadatan muncul secara rinci dan sempurna serta dijelaskan dengan teks-teks yang melingkupinya. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk menambahinya atau menguranginya. Dan apa saja yang berbeda menurut – perbedaan zaman dan tempat – seperti maslahat-maslahat sipil, urusan politik dan perang, muncul secara global (mujmal); agar sesuai dengan maslahat manusia sepanjang zaman dan agar para pemimpin mendapatkan cara dan jalan dalam menegakkan kebenaran (al-haqq) dan keadilan (al-‘adl).
Ketiga, bentuk-bentuk pengajaran yang ada di dalam risalah Islam, tujuannya adalah untuk: memelihara (menjaga) agama (al-dîn), jiwa (al-nafs), akal (al-‘aql), keturunan (al-nasl) dan harta (al-mâl). Maka, merupakan hal aksiomatik jika hal itu sesuai dengan fitrah, sejalan – mudah diterima – dengan akal, sejalan dengan perkembangan dan sesuai dalam setiap zaman dan tempat. Allah swt. berfirman, “Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. Al-A‘râf [7]: 32-33); dan “...Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Al-A‘râf [7]: 156-157).[22]
Dengan begitu, sebenarnya Islam adalah agama yang bisa ‘inklusif’ dan ekslusif. Dalam masalah universalitas misi (‘umûm al-risâlah) Islam adalah inklusif; masalah akidah Islam adalah ekslusif. Secara ringkas, dalam hal-hal yang sifatnya tsawâbit (ajaran-ajaran agama yang permanen), Islam itu ‘ekslusif’. Dan dalam hal-hal yang sifatnya mutaghayyirat atau mutahawwilat, Islam adalah agama yang sangat ‘inklusif’. Dengan demikian, al-Qur’an sejatinya menolak konsep ‘Pluralisme Agama’. Di dalam al-Qur’an tidak ada satu ayat pun yang mengakui bahwa Yahudi dan Kristen itu “murni” benar. Universalits Islam sudah membuktikan bahwa ia merupakan satu-satunya agama yang benar.
Dan merupakan hal yang wajar, jika setiap pemeluk agama mengklaim bahwa agamanya yang ‘paling benar’ dan agam di luar agamanya ‘salah’. Setiap agama dalam masalah truth-claim adalah sama. Yang tidak boleh adalah memaksakan ekslusivisme itu kepada pemeluk agama lain. Masalah benar-salah dalam tataran umum dan global, serahkan saja kepada ‘nalar-nalar’ sehat dan ‘dewasa’ untuk mencernanya secara baik dan benar. Bukankah ini lebih fair dan bijaksana? Wallahu a‘lamu bi al-shawab. [] (Cairo, 22 Maret 2007).
[1] Sebelum Kang Jalal – julukan Jalaluddin Rakhmat – dua orang yang paling getol mengusung konsep “pluralisme agama” ini adalah Budhy Munawar-Rachman lewat bukunya Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) dan Alwi Shihab lewat bukunya Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999).
[2] Imam Hâfizh ‘Imâd al-Dîn Abu al-Fidâ’ Ismâ‘îl ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî (700-774 H), Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, tahqîq: Muhammad Nâshir al-Dîn al-Albânî, takhrîj hadits: Mahmûd ibn al-Jamîl, Walîd Muhammad ibn Salâmah dan Khâlid Muhammad ibn ‘Utsmân, (Cairo: Maktabah al-Shafa, cet. I, 2004), 1: 128.
[3] Qs. Al-Mâ’idah [5]: 3.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Imam al-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, tahqîq dan takhrîj hadits: ‘Ishâm al-Dhabâbithî, Hâzim Muhammad dan ‘Imâd ‘Āmir, (Cairo: Dâr al-Hadîts, cet. IV, 2001, kitâb al-Imân – bâb: al-amr biqitâl al-nâs, no. hadits: 32-36), 1: 232-234. Hadits-hadits tersebut berbeda-berbeda redaksinya, tapi dalam satu makna.
[7] Abu Ja‘far Muhammad ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi‘ al-Bayân ‘an Ta’wîl Āyi al-Qur’ân, tahqîq: Ahmad ‘Abd al-Razzâq al-Bakarî, Muhammad ‘Ādil Muhammd, Muhammad ‘Abd al-Lathîf Khalaf, dan Mahmûd Mursî ‘Abd al-Hamîd, (Cairo: Dâr al-Salâm, cet. I, 2005), 1: 443.
[8] Abu ‘Abdullâh Muhammad ibn Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, pengantar: Hânî al-Hâj, tahqîq dan takhrîj hadits: ‘Imâd Zakî al-Bârûdî dan Khayrî Sa‘îd, (Cairo: al-Maktabah al-Tawfîqiyyah, ttp), 1: 412.
[9] Al-Thabarî, loc. cit.
[10] Ibid.
[11] Ibnu Katsîr, op. cit., hlm.
[12] Menurut al-Zamakhsarî (467-538 H), [“wa al-ladzî hâdû”] artinya “al-ladzîna tahawwadû” (menjadi Yahudi). Maka disebutkan: [hâda-yahûdu]. Dan tahawwada, jika masuk ke dalam Judaisme (al-Yahûdiyyah), maka – ism al-fi‘l – adalah hâ’id, bentuk pluralnya “hûd”. Lihat, al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq Ghawâmidh al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl, (Beirut-Lebanon: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1995), 1: 148. Sebagai informasi bagi para pembaca, tafsir ini memuat empat buku – sebagai hâsyiah (catatan kaki) – : pertama, al-Intishâf karya imam Ahmad ibn al-Munîr al-Iskandarî; kedua, al-Kâfî al-Syâf fi Takhrîj Ahâdîts al-Kasysyâf karya Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalânî; Hâsyiah syeikh Muhammad ‘Alyân al-Marzûqî atas tafsir al-Kasysyâf; dan keempat, Masyâhid al-Inshâf ‘alâ Syawâhid al-Kasysyâf karya syeikh Muhammad ‘Alyân juga.
[13] Al-Thabarî, op. cit., hlm. 444. Menurut al-Qurthubî juga, al-shâbi’în adalah bentuk plural dari kata shâbi’. Disebutkan pula dengan shâba. Oleh karena itu, huruf hamzah-nya menjadi perdebatan. Maka, mayoritas ulama menyatakan bahwa akhir katanya adalah huruf hamzah, kecuali Nâfi‘. Pihak yang meng-hamzah-kan huruf akhirnya, berarti diambil dari kalimat shaba’at al-nujûm, jika bintang-bintang itu terbit. [Al-Qurthubî, op. cit., hlm. 413]. Dan pihak yang tidak menjadikan huruf akhirnya hamzah, diambil dari kalimat shabâ-yashbû, yang bermakna mâla (miring atau condong). Maka, kata al-shâbi’ secara etimologi artinya: orang yang keluar dari satu agama kepada agama lain. Oleh karena itu, orang-orang Arab menyebut orang yang memeluk agama Islam dengan ungkapan qad shaba’a: ‘dia telah condong’ – berpaling dari agama nenek moyangnya, dan condong untuk memeluk Islam. jadi, al-shâbi’ûn adalah: orang-orang yang keluar – murtad – dari agama Ahli Kitab. [Ibid.]
[14] Al-Thabari menyebutkan banyak riwayat dalam memaknai kata ini. Sebagian ulama, menurutnya, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang keluar dari satu agama kepada – satu keyakinan –yang “bukan agama”. Mereka juga menyatakan menyatakan bahwa yang dimaksud oleh Allah, adalah mereka yang tidak memiliki satu agama. Hal ini disebutkan oleh:
1. Muhammad ibn Bisyâr → ‘Abd al-Rahmân ibn Mahdî → al-Hassan ibn Yahya, dikabarkan oleh ‘Abd al-Razzâq seluruhnya dari Sufyân → Layts → Mujâhid, dia berkata: firman Allah: [wa al-shâbi’în]: bukan golongan Yahudi, bukan golongan Nasrani dan mereka tidak memiliki agama.
2. Ibnu Bisyâr → ‘Abd al-Rahmân → Sufyân → al-Hajjâj ibn Arthâh → al-Qâsim ibn Abi Bazzah → Mujâhid seperti riwayat di atas – no. 1.
3. Ibnu Humayd → Hakkâm → ‘Anbasah → Hajjâj → Qatâdah → al-Hassan, seperti riwayat sebelumnya.
4. Muhammad ibn ‘Amrû → Abû ‘Āshim → ‘Isa → Ibnu Abi Najîh: al-Shâbi’în berada di antara Yahudi dan Majusi, dan mereka tidak memiliki satu agama.
5. al-Mutsannâ → Abû Hudzayfah → Syibl → Ibnu Abî Najîh → Mujâhid, seperti riwayat di atas.
6. al-Qâsim → al-Husayn → Hajjâj → Ibnu Najîh → Mujâhid: “al-Shâbi’în berada diantara Yahudi dan Majusi, mereka tidak memiliki satu agama.” Ibnu Jurayj berkata: “Saya bekata kepada ‘Athâ’ “al-Shâbi’în” adalah satu kabilah yang mengklaim berasal dari arah al-Sawâd. Mereka bukan Majusi, bukan Yahudi dan bukan Nasrani. ‘Athâ’ kemudian berkata: “Kami sudah mendengar hal itu. Orang-orang Musyrik sendiri telah mengatakan kepada Nabi saw. – karena dianggap berpaling dari agama nenek moyang mereka: membawa agama Islam – dia telah ‘shaba’a’ (telah berpaling dari agama nenek moyang kita).
7. Yûnus ibn ‘Abd al-A‘lâ → Ibnu Wahb → Ibnu Zayd tentang firman Allah: [wa al-Shâbi’în], ia mengatakan bahwa [al-Shâbi’ûn] adalah [pemikil, ahl] salah satu agama. Tempat mereka adalah di jazirah Mosul, mereka mengatakan: “Laa ilaaha illa Allah.” Mereka tidak memiliki satu amalan, tidak punya satu kitab dan tidak punya seorang nabi, kecuali lafadz “Laa ilaaha illa Allah”. Mereka tidak beriman kepada Rasulillah. Oleh karena itu, orang-orang musyrik menyebut Nabi saw. dan para sahabatnya sebagai “al-Shâbi’ûn”. Mereka menyerupakan mereka dengan kelompok “al-Shâbi’ûn” itu.
8. Satu pendapat lagi menyatakan: mereka adalah para penyembah malaikat dan melakukan shalat ke arah kiblat. Yang mengatakan pendapat ini adalah:
9. Muhammad ibn ‘Abd al-A‘lâ → al-Mu‘tamir ibn Sulayman → bapaknya → al-Hassan → Ziyâd, dia mengatakan bahwa “al-Shâbi’în” adalah: melakukan shalat ke arah kiblat dan shalat sebanyak lima waktu. Dia berkata: maka ia berkehendakan untuk tidak dibebani jizyah. Kemudian dikabarkan bahwa mereka “menyembah para malaikat”.
10. Busyr ibn Mu‘âdz → Yazîd → Sa‘îd → Qatâdah tentang firman Allah: [wa al-Shâbi’în] ia berkata: “al-Shâ’ibûn adalah satu kaum yang menyembah para malaikat, melaksanakan shalat ke arah kiblat dan membaca Zabur.”
11. al-Mutsannâ → Ādam → Abû Ja‘far → al-Rabî‘ → Abû al-‘Āliyyah, ia berkata: “al-Shâbi’ûn adalah satu kelompok (firqah) dari Ahli Kitab yang membaca Zabur.” Abu Ja‘far al-Râzî juga menyatakan: “Sampai satu kabar kepadaku bahwa al-Shâbi’în adalah satu kaum yang menyembah para malaikat, membaca Zabur dan melakukan shalat ke arah kiblat.” Penapat lain menyatakan: “Mereka itu adalah satu kelompok dari Ahli Kitab.” Yang menyatakan ini diantaranya:
12. Sufyân ibn Wakî‘ → bapaknya → ‘Utsmân, dia berkata: “al-Suddî ditanya tentang al-Shâbi’în, lalu ia menjawab: “Mereka adalah satu kelompok dari Ahli Kitab.” Lihat: al-Thabari, op. cit., hlm. 444-445. Dari beberapa pendapat yang dikumpulkan oleh al-Thabari ini tampak nyata bahwa banyak ‘kesan negatif’ terhadap kelompok “al-Shâbi’ûn” ini. Penulis sendiri lebih setuju kepada pendapat yang melakukan pendekatan linguistika, bahwa mereka adalah “kelompok yang menyimpang” dari Ahli Kitab. Al-Shâbûni di dalam tafsirnya – ketika membahas kata “al-Shâbi’în” – menyatakan: “Satu kaum yang menyimpang dari Judaisme (al-Yahûdiyyah) dan Kristianitas (al-Masîhiyyah) dan menyembah para malaikat.” Lihat: Syeikh Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî, Shafwah al-Tafâsîr, (Cairo: Dâr al-Shâbûnî, cet. IV, ttp), 1: 63. Kaum pluralis jelas tidak mau menerima model pendekatan nash seperti yang dilakukan oleh al-Thabari, al-Qurthubi, Ibnu Katsir maupun al-Shabuni. Mereka lebih mendahulukan ‘nalar’ mereka, karena bagi mereka nash adalah segalanya dan ‘akal’ merupakan satu-satunya ‘pisau analisis’ yang harus diperankan. Oleh karena itu, jika diteliti dengan ‘adil’, kesimpulan-kesimpulan yang muncul dari tulisan mereka sama sekali jauh dari [semangat] al-Qur’an dan sunnah, yang jelas-jelas menolak pluralisme agama.
[15] Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999), 108. Lihat bantahan terhadap pemikiran Alwi ini dalam: Khalif Muammar, Atas Nama Kebenaran: Tanggapan Kritis Terhadap Wacana ISLAM LIBERAL, (Selangor-Malaysia: Akademi Kajian Ketamadunan, cet. I, 2006), hlm. 58-61.
[16] Abdullah Yusuf Ali, The Glorious Qur’an, corrected and revised by: F. Amira Zrein Matraji, (Beirut-Lebanon: Dâr el-Fikr, 2000), p. 34-35.
[17] Al-Thabari, op. cit., hlm. 447.
[18] Dalam satu dialog dengan seorang teman dari Jakarta, dia agak keberatan dengan ungkapan salah seorang pemikir Islam Liberal Indonesia yang menyatakan bahwa konsep “universalisme Islam” harus ditinjau kembali. Saya menjelaskan bahwa dari sisi apa Islam dan agama-agama yang lain akan dibandingkan? Islam adalah universal dari segala sudut. Dari sisi interaksi sosial – muamalat – Islam adalah universal: al-Qur’an mengajarkan bagaimana etika jual-beli yang benar, hadits-hadits Nabi saw. banyak yang menjelaskan bagaimana cara melakukan “khiyar” (menentukan pilihan untuk meneruskan jual-beli atau tidak) dalam berjual-beli. Dengan begitu, dalam Islam muncul konsep khiyar: khiyar majelis dan khiyar aib. Nabi saw. sangat keras melarang umatnya melakukan jual-beli buah-buahan yang masih di atas pohon, ikan di dalam kolam atau anak hewan yang masih di dalam kandungan induknya. Bahkan, lanjut saya dalam dialog itu, sampai pada hal-hal yang private pun Islam sudah mengatur umatnya secara detail. Islam mengatur bagaimana seorang wanita yang haid, nifas dan wiladah harus bersuci dari hadats besarnya. Dalam Bibel dan ajaran Yahudi, orang yang berhadas besar tidak boleh didekati. Ini adalah konsep aneh dalam pergaulan suami-istri. Lihat, bagaimana Nabi saw. mengajarkan etik – maaf – bersetubuh dengan istri. Semuanya diatur oleh Islam – dari konsep keimanan kepada Allah sampai masalah private; yang hanya boleh diketahui oleh suami-istri. Lalu dimana letak ketidakuniversalan Islam itu?
[19] Mustadrak al-Hâkim (1/35) lafadznya adalah: “Yâ ayyuha al-nâsu, innamâ ana rahmatun muhdâh.” Al-Hâkim menyatakan bahwa hadits ini adalah hasan-sahîh menurut syarat Bukahri-Muslim. Hadits ini dijadikan hujjah (dalil) oleh Malik dan Sa‘îd ibn Jubayr, dan sikap menyendiri – dalam meriwayatkan satu hadits – dari para perawi yang tsiqât itu adalah maqbûl (diterima), dan ini disepakati oleh Syamsuddin al-Dzahabi. Beliau menyatakan: “Hadits ini berdasarkan syarat Bukhari-Muslim dan sikap tsiqah yang menyendiri – dalam meriwayatkan hadits – adalah maqbûl.” Hadits ini juga dikeluarkan oleh al-Bayhaqî di dalam Syu‘ab al-Imân (2/164), Ibnu Sa‘d di dalam al-Thabaqât (3/192) dan di-sahîh-kan oleh al-Albânî di dalam Ghâyah al-Marâm, no: 1, dan Silsilah al-Ahâdîts al-Sahîhah (490). Lihat: al-Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, tashîh dan takhrîj hadits: Syeikh Muhammad Nâshir al-Dîn al-Albânî, (Cairo: Dâr al-Fath li al-I‘lâm al-‘Arabîy, cet. II, 1999), 1: 10.
[20] Bukhari, kitâb “al-Imân” – bâb “al-Dînu yusrun” (1/116); al-Nasa’i: kitâb al-Imân – bâb al-Dînu yusrun (5034), (8/122) dan al-Bayhaqî, al-Sunan al-Kubrâ, kitâb al-Shalâh (3/18).
[21] Syarh al-Sunnah (4/48). Dikomentari oleh Bukhari dalam: kitâb al-Imân – bâb al-Dînu yusrun, dan sabda Nabi saw.: “Ahabbu al-dîni ila Allâhi al-hanîfiyyah al-samhah.” Ibnu Hajar menyatakan: “Hadits ini adalah mu‘allaq, penulis – baca: Bukhari – tidak menyampaikan sanad-nya di dalam kitab ini – sahîh Bukhari – karena bukan menurut syaratnya. Ya, dia – Bukhari – menjadikan sebagai hadits yang bersambung (mawshûl) di dalam buku ‘al-Adab al-Mufrad’, juga di-mawshûl-kan oleh Ahmad ibn Hanbal dan yang lainnya lewat jalur Muhammad ibn Ishâq, dari Dawud ibn al-Hushayn; dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbâs. Isnad-nya adalah hasan dan digunakan oleh penulis di dalam biografi, karena – dianggap – mutaqâshir (tidak sampai menjadi syarat) dalam syarat yang menjadi standarnya. Dia menguatkanya berdasarkan maknanya, dan kesesuain kemudahannya.” Lihat, Fath bal-Bârîy (1/93). Al-‘Irâqî berkata: “al-Thabrânî memiliki satu hadits dari Ibnu ‘Abbâs yang berbunyi: ‘Ahabbu al-dîni ila Allâhi al-hanîfiyyah al-samhah.” Di dalamnya terdapat Muhammad ibn Ishâq, diriwayatkan olehnya secara ‘an-‘anah (menggunakan kata-kata ‘an) (4/149). Hadits ini tidak memiliki dasar di dalam sahîh Muslim dan di-hasan-kan oleh al-Albânî di dalam ‘Silsilah al-Ahâdîts al-Sahîhah’ (881). Seluruh takhrij hadits penulis kutip dari buku al-Sayyid Sâbiq.
[22] Al-Sayyid Sâbiq, op. cit., hlm. 8-9.
0 Comments:
Posting Komentar
<<Kembali ke posting terbaru