ISLAM (2)
ISLĀM: Mengenal Makna dan Konsep
“Tidak diragukan lagi, bahwa kebenaran Islām tidak membutuhkan banyak bukti-bukti.
Sejak kemunculan pamungkas nabi-nabi, Muhammad s.a.w.,
dengan membawa agama terakhir, maka, universalitas Islām menjadi satu keniscayaan.
Surat-surat Nabi s.a.w. dan para utusannya kepada para Patriakh, raja-raja
dan kaisar-kaisar merupakan titik awal pengenalan akan kebenaran Al-Qur’ān”
~Ahmad HāmidZ
1. Makna dan Konsep Islām
1.1. Makna Islām
Secara etimologis, kata Islām merupakan kata Arab, al-Islām, yakni bentuk mashdar (Inggris: abstract noun) dari kata: أسلم – يسلم (aslama-yuslimu). Al-islām di sini dimaknai dengan “ketundukkan yang tulus” atau “kepasrahan”. Dalam al-Mu’jam al-Wasīth, misalnya, aslama dimaknai dengan inqāda-yanqādu yang bermkana tunduk, patuh. Aslama juga dimaknai dengan mengikhlaskan agama hanya untuk Allah (akhlasha al-dīn li Allāh). Aslama juga diartikan dengan “masuk/memeluk agama Islām”. Kata kerja aslama-yuslimu jika dirunut kembali asalnya adalah kata kerja intransitif dari سلم – يسلم ‘salima-yaslamu’ yang bermakna “damai” atau “kedamaian” (al-salām). Maka, al-salām dimaknai juga dengan al-barā’ah (bebas), jika terhindar dari bahaya dan penyakit. Juga dimaknai dengan al-khalāsh, ‘bebas’.[1]
Secara terminologis, al-islām adalah: إظهار الخضوع والقبول لما أتى به محمد صلى الله عليه وسلم (kepatuhan/ketundukan dan penerimaan terhadap apa (agama dan ajaran) yang dibawa oleh Muhammad s.a.w.). al-Islām juga diartikan dengan: الدين الذى جاء به محمد صلى الله عليه وسلم (satu agama yang dibawa oleh Muhammad s.a.w.).[2] Oleh karena itu, agama islām ini merupakan satu-satunya agama yang langsung disebut namanya oleh Allah s.w.t. di dalam Kitab Suci-Nya, Al-Qur’ān:
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ
“Hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian dan telah Aku sempurnaka (pula) nikmat-Ku kepada kalian dan Aku telah ridhā Islām menjadi agama bagi kalian”[3]
Karena Islām telah menjadi agama yang sempurna dan diridhai oleh Allah, maka Dia mengancam orang-orang yang mencari agama selain Islām akan menjadi orang-orang yang merugi di Akhirat kelak:
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Siapa saja yang mencari agama selain Islām, maka di Akhirat kelak dia termasuk golongan orang-orang yang merugi”[4]
Mengomentari ayat ini, al-Thabarī (224-310 H) menyatakan:
ومن يطلب دينا غير دين الإسلام ليدين به فلن يقبل الله منه (وهو فى الآخـــرة من الخاسرين). يقول : من الباخسين أنفسهم حظوظها من رحمة الله عز وجل.
“Siapa saja yang mencari agama selain agama Islām sebagai pegangan keberagamaannya, maka Allah tidak akan pernah menerimanya (wa huwa fī al-Ākhirati min al-khāsirīn). Allah berkata: mereka tergolong orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dari memperoleh rahmat Allah ‘Azza wa Jalla”[5]
Disebutkan, lanjut al-Thabarī, bahwa ketika ayat di atas turun seluruh agama (millah) mengklaim diri mereka sebagai kaum Muslimin. Lalu, Allah menyuruh mereka untuk melaksanakan ibadah hājji jika mereka benar –dalam klaimnya—, karena salah satu tradisi (sunnah) agama Islām adalah hājji. Mereka pun menolaknya. Dengan begitu, Allah menggugurkan klaim mereka.[6] Yang mengerjakan ibadah hājji akhirnya, menurut ʿIkrimah, adalah orang-orang Islam, sedangkan umat kafir tidak mau melaksanakannya.[7]
Masih menurut riwayat ‘Ikrimah, bahwa ketika ayat Qs. 3: 85 turun, kaum Yahudi mengklaim bahwa mereka adalah Muslim, maka Allah menurunkan Qs. 3: 95 yang memerintahkan ibadah hājji, kemudian mereka menolaknya. Maka gugurlah klaim mereka.
Riwayat lain, berkenaan dengan Qs. 3: 85, menyatakan bahwa al-Mutsannā dari ‘Abdullāh ibn Shālih dari Muʿāwiyah dari ‘Alī dari Ibnu ‘Abbās, dia berkata menyatakan tentang firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحاً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shābi’īn, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah[57], hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”[8]
Setelah menurunkan ayat di atas, kata Ibnu ‘Abbās, Allah menurunkan Qs. 3: 85. Artinya, siapa saja yang mencari agama selain agama Islām, maka agamanya tidak akan diterima di sisi Allah. Sebagai akibatnya, mereka akan menjadi orang-orang yang merugi di Akhirat kelak.[9] Oleh karena itu, Allah menginformasikan agama-Nya yang benar adalah:
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ
“Satu-satunya agama yang benar di sisi Allah adalah Islām”[10]
Di sini, Islām sudah benar-benar definitif, yaitu nama satu agama Allah yang sudah mutlak kebenaran risālah, perintah dan kandungannya. Menurut Qatādah, Islām adalah kesaksian (syahadat) bahwa tidak ada Tuhan –yang berhak dan pantas disembah secara benar dan hakiki—kecuali Allah dan mengakui apa yang datang dari-Nya. Itu lah agama yang ditetapkan menjadi agama-Nya; dengan agama itu Allah mengutus para rasul-Nya; kepadanya para wali-Nya ditunjukkan; Dia tidak meneriman selainnya (Islām) dan tidak membalas amal kecuali –jika sesuai— dengannya.[11]
Menurut Abū al-ʿĀliyah, seorang tābiʿīn, Islām adalah: keikhlasan kepada Allah semata; mempersembahkan ibadah hanya untuk-Nya, tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain; mendirikan shalat; mengeluarkan zakat; dan seluruh kewajiban mengikut kepada hal-hal tersebut.[12] Dan menurut Muhammad ibn Jaʿfar ibn al-Zubair, Islām maknya: tawhīd yang dijalani oleh nabi Muhammad dan sikap membenarkan para rasul.[13]
Di sinilah hadīts Jibrīl a.s. ketika mengajarkan Islām kepada para sahabat Rasulullah ketika itu relevan untuk dikemukakan. Dalam hal ini, ‘Umar ibn al-Khatthāb berkisah:
“Suatu hari, ketika kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah, datang kepada kami seorang laki-laki yang berbusana sangat bersih (putih), hitam pekat rambutnya, tidak tampak bahwa dia kembali perjalanan jauh (al-safar), dan tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya. Lalu dia duduk di hadapan Nabi s.a.w. dan merapatkan kedua dengkulnya kepada kedua dengkul Nabi s.a.w. lalu bertanya, “Wahai, Muhammad! Beritahukan aku, apakah Islām itu?” Rasulullah kemudian menjawab, “Islām itu: engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan melaksanakan ibadah hājji jika engkau mampu melaksanakannya…”[14]
Melihat dan mencermati definisi dan makna Islām di atas tampak jelas bahwa pandangan kaum pluralis-inklusivis adalah keliru dalam memaknai Islām. Mereka hanya menyebutkan makna Islām secara simplistis dan tidak mendalam. Makna Islām yang mereka sebutkan hanya menyentuh sisi etimologis saja.[15]
1.2. Islām dan Agama Lain
Jika dibandingkan dengan agama-agama lain, kata Islām tidak dapat dibandingkan dengan nama-nama agama yang ada di dunia ini. Sebagai nama agama, Islām sudah ada sejak Rasulullah masih hidup. Tidak seperti nama agama-agama lain. Kristen, misalnya, ada setelah Yesus Kristus wafat. Begitu juga dengan Buddha yang muncul setelah meninggalnya Buddha Gotama, atau pun Konfusianisme setelah wafatnya Confucius. Begitu juga dengan paham Marxisme yang muncul setelah meninggalnya Karl Marx.
Selain itu, Islām tidak dinisbatkan dan (tidak) disandarkan kepada nama orang atau pun daerah. Kristen, dinisbatkan kepada Kristus. Buddha dinisbatkan kepada Buddha, Sidharta Gotama, Judaisme dinisbatkan kepada salah seorang anak nabi Yaʿqūb Yehudzha atau Judah. Bagitu juga dengan Hinduisme yang dinisbatkan kepada daerah Hindus. Islām tidak dinisbatkan kepada nama orang. Maka keliru lah para orientalis yang menyamakan Islām dengan Muhammadanism, ‘agama Muhammad’. Karena Islām bukan buatan Nabi Muhammad s.a.w. Islām juga tidak dinisbatkan kepada nama satu daerah.
Berkenaan dengan hal di atas, Dr. Zaki M. Abdalla menjelaskan:
“Whereas Islam is not called Muhammadanism as sometimes it is mistakenly called by some Western scholars. The idea is that Islam did not start with Muhammad (Allah’s prayer and peace be upon him) but it started as we mentioned before with Adam. All the subsequent prophets were Muslim in the sense that they surrendered their wills in absolute slavery to the will of Allah.”[16]
Jadi, agama Islām bukan agama yang baru muncul ketika Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul. Ia sudah ada sejak kehadiran nabi Adam di permukaan bumi ini. Hal yang sama ditegaskan oleh Sa’īd Hawwā dalam bukunya al-Islām. Hawwā menulis:
الإسلام دين المرسلين والنبيين جميعا, من لدن آدم حتى الرسال المحمدية التى بها ختم الله الرسالات.[17]
“Islam adalah agama seluruh rasul dan para nabi, sejak Ādam hingga risālah Muhammadiyyah yang dengannya Allah mengakhiri seluruh risālah.”
Menyangkut hal di atas, lanjut Hawwā, Allah telah menegaskan makna Islām ini dalam berbagai ayat Al-Qur’ān. Secara berurut, ayat-ayat itu dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Islām lewat lisan nabi Nūh disebutkan: “Aku disuruh (oleh Allah) untuk menjadi orang yang pertama kali menjadi Muslim”[18]
2. Lewat lisan nabi Ibrāhīm dan Ismā’īl Allah menjelaskan Islām: “Dan jadikanlah kami sebagai orang Muslim bagi-Mu.”[19]
3. Dalam wasiat nabi Ya’qūb kepada anak-anaknya disebutkan: “Sungguh, Allah telah memilih untuk kalian satu agama (Islām), maka janganlan kalian mati melainkan dalam keadaan Musli.”[20] Sebelum wasiat Ya’qūb, terlebih dahulu Ibrāhīm memberikan nasehat dan wasiat yang sama kepada anak keturunannya. Oleh karenanya, ayat di atas diawali dengan wa wasshā bihā Ibrāhīmu banīhi wa Yaʿqūb. Menurut al-Thabarī, wasiat itu adalah kata-kata Ibrāhīm : أسلمت لرب العالمين[21] , yaitu agama Islām, yang dengannya Allah memerintahkan Nabi Muhammad, yakni: mengikhlaskan/memurnikan ibadah dan tawhīd hanya kepada Allah, serta menundukkan hati dan seluruh anggota badan untuknya.[22] Menurut Ibnu ‘Abbās, mereka (Ibrāhīm dan Ya’qūb) mewasiatkan “Islām” kepada keturunannya.[23]
4. Ketika berbicara tentang Taurāt, Allah menyatakan, “Dengannya (Taurāt) para nabi dan orang-orang yang sudah Muslim berhukum.”[24]
5. Tentang nabi Yūsuf, Allah menyatakan: “Wafatkanlah aku dalam keadaan Muslim dan pertemukanlah aku dengan orang-orang yang saleh.”[25]
6. Tentang para tukang sihir Fir’aun ketika telah beriman kepada Mūsā, “Ya Tuhan kami, curahkanlah kepada kami kesabaran dan wafatkanlah kami dalam keadaan Muslim.”[26]
7. Tentang para Hawāriyyūn (pengikut setia) ‘Īsā a.s. disebutkan, “Kami telah beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa kami adalah Muslim.”[27]
8. Tentang ratu Saba’ ketika telah beriman, “Dan aku ber-Islām bersama Sulaimān kepada Allah Tuhan semesta alam.”[28]
9. Tentang do’a seorang hamba yang saleh, Allah menyatakan, “Dan perbaikilah aku lewat keturunanku. Aku kembali kepada-Mu dan aku adalah golongan orang Muslim.”[29]
10. Dalam hadīts sahīh disebutkan, “Para rasul adalah satu keluarga. Ibu mereka berbeda namun agama mereka adalah satu.”[30] Itu itu Allah pun berfirman, “Dia Telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nūh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrāhīm, Mūsā dan ‘Īsā yaitu: Tegakkanlah agama (Islām) dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.”[31]
Oleh karena itu, nama kata Judaisme (Judaism) dan Kristianitas (Christianity), misalnya, tidak ditemukan di dalam Bible (Alkitab). Oleh karena itu, kata Judaisme tidak pernah merujuk kepada salah seorang nabi dari Banī Isrā’īl. begitu juga dengan Yesus, dia tidak pernah mengklaim dirinya sebagai orang Kristen. Kata Kristen hanya disebutkan tiga kali di dalam Bible: pertama, oleh kaum pagan dan kaum Yahudi dan Antioch (Antokia), 34 tahun setelah wafatnya Yesus Kristus (Kisah Para Rasul 11: 26). Kedua, kata Kristen disebutkan oleh raja Agrippa II yang dialamatkan kepada Paulus (Kisah Para Rasul 22: 28). Di sini, kata Kristen disebut oleh seorang musuh Kristen, raja Agrippa. Dan ketiga, kata Kristen disebutkan dalam pesan yang dibawa oleh Petrus (Peter) kepada para pengikutnya (Petrus 4: 16).[32]
Saʿīd Hawwā kemudian menggaris-bawahi bahwa Islām mengandung dua makna: pertama, Islām menurut teks-teks wahyu yang dengannya Allah menjelaskan agama-Nya. Kedua, Islām berdasarkan amal manusia: dalam mengimani teks-teks tersebut dan menerimanya.
Berdasarkan makna yang pertama, maka Islām memiliki perbedaan dalam segi cakupan dan komprehensivitasnya dari satu rasul kepada rasul yang lain. Meskipun dari sisi prinsip dan dasar menyatu dan sama. Islām yang diturunkan kepada nabi Mūsā lebih luas daripada Islām yang diturunkan kepada nabi Nūh, karena Allah menyebutkan tentang Taurāt: “Dan Telah kami tuliskan untuk Musa pada luh-luh* (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu…”[33] Dan Islām yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. lebih luas dibandingkan dengan Islām yang dibawa olah nabi sebelumnya. Karena nabi-nabi terdahulu hanya diutus untuk kaumnya. Sementara Nabi Muhammad diutus untuk seluruh manusia. oleh karena itu, Islāmnya harus lebih sempurna dan komprehensif dari setiap Islām yang ada sebelumnya. Dan Allah telah menerangkan Al-Qur’ān: “…dan kami turunkan kepadamu Al-Kitāb (Al-Qur’ān) untuk menjelaskan segala sesuatu…”[34]
ISLĀM adalah mata rantai agama yang tak pernah putus, dari nabi Ādam a.s. hingga Nabi Muhammad s.a.w. Maka wajar dan masuk akal jika agama selain “Islām” adalah menyimpang dan tidak dapat dibenarkan. Apalagi dewasa ini banyak bermunculan slogan dan adagium tak sehat, seperti “Semua agama adalah sama”, “Semua agama mengajarkan kebaikan”, “Bukan hanya Islām agama universal”, dan “Islām bukan agama yang paling benar”. Slogan-slogan ini bukan saja menipun tapi menyesatkan.
2. Konsep Islām
Konsep Islām yang komprehensif dapat dilihat dari hadīts Nabi Muhammad sebelumnya. Dimana Islām tidak hanya sebatas syahadat (kesaksian) seorang hamba akan keesaan Allah (ulūhiyyatullāh). Konsep Islām: shalat (kesalehan individual), zakāt (kesalehan sosial), hājji (wisata hati), dan puasa (pencapaian spiritualitas tinggi, menggapai taqwā). Kesemuanya akan bermuara pada satu hadīts Nabi Muhammad:
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق[35]
“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Karena segala bentuk dan jenis ibadah dalam Islām bermuara pada moral dan akhlak yang mulia (al-akhlāq al-karīmah). Semuanya menyatu dalam satu bentuk bagian kemuliaan manusia tertinggi, akhlāq. Oleh karenanya, seorang Muslim harus menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta lewat moralnya:
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين[36]
“Engkau diutus (wahai Muhammad!) agar menjadi rahmat bagi seluruh alam.”
Oleh karena itu, selama hidup beliau musuh-musuhnya “aman dan tentram”. Hal ini merupakan jaminan Allah s.w.t. di dalam Al-Qur’ān: “Kami tidak akan mengazab mereka selama engkau berada di tengah-tengah mereka.”[37] Meskipun mereka meminta agar azab segera diturunkan, tapi Allah tidak melakukannya. Namun, ketika beliau menghadap Allah s.w.t., barulah terjadi hal-hal tidak baik atas musuh-musuhnya, “Dan jika engkau Kami kembalikan, Kami akan membalas dendam mereka.”[38] Maka musuh-musuh mereka ada yang dibunuh maupun ditawan.
Diceritakan oleh ‘Ibrāhīm ibn ‘Abdillāh dari Muhammad ibn Ishāq dari Qutaibah dari al-Faraj ibn Fadhālah dari ‘Alī ibn Yazīd dari al-Qāsim ibn ‘Abdirrahmān dari Abū Umāmah r.a. dari Nabi s.a.w. bahwa beliau bersabda: “Sungguh, Allah telah mengutusku menjadi rahmat bagi alam semesta dan menjadi petunjuk bagi orang-orang bertakwa.”
Dalam riwayat dari ‘Abdullāh ibn Ja’far dari Ismā’īl ibn ‘Abdillāh dari ‘Alī ibn ‘Abdillāh dari Marwān dari Yazīd ibn Kaisān dari Abū Hāzim dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah ditanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mendoakan agar kaum musyrikin celaka?” Beliau menjawab, “Aku diutus sebagai rahmat bukan diutus sebagai ‘azab.”[39]
Untuk lebih detilnya, berikut penulis paparkan poin-poin rukun Islām yang mengarah kepada pembentukan manusia-manusia moralis, berakhlāq al-karīmah.
a. Syahādat: Memurnikan Konsep ‘Ketuhanan’
Syahādat dalam Islām tidak sekadar pengakuan kosong tanpa makna. Syahādat adalah pengungkapan kesadaran diri bahwa memang tidak ada Tuhan yang berhak dan secara murni benar untuk disembah selain “Allah”.
Di sini tampak bahwa agama tawhīd yang murni saat ini adalah Islam. Islām adalah agama tawhīd, mentawhīd (mengesakan) Allah secara sempurna dalam ulūhiyyah-Nya, rubūbiyyah-Nya, dzat-Nya, sifat-sifat-Nya dan pekerjaan-Nya. Konsepsi tawhīdik (al-tashawwur al-tawhīdī) mencapai punyak pemurniannya. Dimana bahasa manusia tidak mampu mengungkapkan hakikat dan esensinya. Yang dapat dilakukan oleh nalar-nalar manusia –yang serba terbatas itu—hanyalah membuat perumpamaan yang mendekatkan kepada pemahaman. Kesimpulan Islām dan kemurnian Islām adalah tawhīd dalam Qs. Al-Ikhlāsh [112]: 1-4: “Katakanlah: ‘Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah tempat bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.”
Allah s.w.t. dalam konsepsi Islām adalah laysa kamitslihī sya’un[40] (tidak ada yang sesuatu pun yang seperti-Nya). Dimana menurut pernyataan para filsuf Muslim Allah itu adalah:
فكل ما خطر على بالك فالله ليس كذلك
“Segala sesuatu yang muncul dalam benakmu –untuk menggambarkan tentang Allah—maka, Allah tidak seperti itu.”
Di sisi lain, berbagai aliran dan filsafat memandang bahwa Allah memiliki bentuk. Ada yang menggambarkan bahwa Allah menciptakan Ādam menurut bentuknya –bentuk Allah. Maka Islām secara ‘aqīdah dan Islām-Arab secara bahasa merupakan bahasa Kitab Sucinya dan bahasa syarīʿatnya menafsirkan pandangan tersebut: “Allah telah menciptakan Ādam menurut bentuknya.”[41] Maksud dari bentuknya adalah bentuk Ādam, karena kata ganti “nya” dalam bahasa Arab kembali kepada kata yang paling dekat disebutkan. Maha Suci Allah dari berbagai konsepsi, gambar dan penggambaran.[42]
b. Shalat: Membentuk Manusia Bersih
Shalat dalam Islām bukan sekadar gerakan tanpa makna. Shalat adalah tiang agama (Islām). Bagi orang yang tidak mengenal shalat dengan baik bisa jadi terkejut: shalat terdiri dari gerak dan diam, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Shalat adalah jalinan hubungan kuat antara manusia dengan Tuhannya. Shalat adalah wujud kesempurnaan manusia. Bagi Muslim, tidak ada hidup dan kehidupan tanpa shalat. Shalat membersihkan jiwa dari kotoran dan daki jiwa. Dengan shalat, seorang manusia Muslim dapat mencapai kenikmatan dan penawar jasad dan rohani sekaligus. Dari shalat memancar cahaya dan dan kehidupan, kemuliaan dan ketajaman mata hati. Dapat dikatakan bahwa shalat adalah ‘madrasah kedua menuju takwa’ setelah syahādat. Dengan kebersihan jiwa itu lah shalat dapat menjadi alat dan media dalam mencegah segala bentuk kemungkaran:
“…dirikanlah shalat, karena sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar…”[43]
Artinya, shalat menjadi jembatan pembentuk pribadi yang bersih dari segala jenis kotoran jiwa. Bukan hanya jenis perbuatan keji (seperti: perkataan tak senonoh, cabul, tidak sopan, dll) tapi juga shalat menghapuskan perbuatan mungkar (misalnya: mabuk-mabukkan, mencuri, berzina, dll). Oleh karenanya, sebelum membentuk pribadi dan jiwa bersih itu, Allah menganjurkan kaum beriman untuk menjadikan shalat sebagai ‘alat penolong’: “…minta tolonglah (kepada Allah) lewat sabar dan shalat…”[44] Karena, kata Allah, shalat itu merupakan pekerjaan dan kewajiban dari Allah yang amat berat untuk dikerjakan kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. Oleh sebab itu, di lain ayat Allah menyatakan bahwa orang-orang Mukmin yang beruntung adalah mereka yang “khusyuk” dalam shalatnya.[45] Jadi, tidak asal shalat. Agar shalat menjadi “penolong”, maka ia harus terus diingat (dilaksanakan) kapan dan dimana, dalam kondisi seperti apa. “Wahai Musa! Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.”[46]
Dari sini, dapat ditarik satu benang merah bahwa shalat itu tidak dapat dipisahkan dari tiga lingkaran penting: pertama, shalat sebagai dzikir (ingatan), kedua, shalat sebagai penolong, ketiga, sebagai buahnya, shalat membentuk pribadi yang bersih.
c. Zakāt: Bukti Kesalehan Sosial Islām
Zakat di dalam Islām memiliki fungsi yang sentral dan fundamental. Ia merupakan bukti pemutus dan pemisah kesenjangan sosial. Zakat dalam Islām bukan hanya mengambil mengambil harta tanpa makna dan tanpa tujuan. Menurut Allah, zakat itu fungsinya untuk membersihkan jiwa sang muzakkī (pemberi zakat) dan mensucikannya. “Ambillah (wahai Muhammad!) sebagian harta mereka sebagai bentuk sedekah yang dapat membersihkan dan mensucikan mereka. Dan berdo’alah untuk (kebaikan) mereka. sungguh, do’amu itu dapat menentramkan jiwa-jiwa mereka.”[47]
Menurut al-Qaradhāwī, zakat merupakan kewajiban kedua setelah shalat. Ia disandingkan dengan shalat dalam sepuluh tempat di dalam Al-Qur’ān.[48] Ia terkadang disebut sebagai zakāt, sedekah atau infāq.[49]
Jika shalat disebut ranah kesalehan individual, maka dapat dikatakan bahwa zakat merupakan ranah kesalehan sosial. Kesalehan individual tidak akan bermakna apa-apa jika mengabaikan kesalehan sosial ini. Ini mungkin satu rahasia agung dibalik penyandingan shalat-zakati dalam sepuluh tempat ayat Al-Qur’ān tersebut di atas. Karena zakat, sejatinya, merupakan aksi sosial dalam Islām sebagai bentuk aksi kemanusiaan. Karena manusia tidak diciptakan dalam satu level kekayaan dan kehidupan, maka Allah memberikan perintah agung kepada mereka yang diamanahi kelebihan harta untuk berzakat. Karena Islām bahwa manusia benar-benar mulia. Pemuliaan Islām ini tidak dikenal dalam agama samawi dan aliran filsafat mana pun.[50]
Karena manusia diciptakan tak sama dalam level ekonomi (harta), maka Allah mewajibkan zakat bagi mereka yang kaya. Karena Islām memandang kefaqiran merupakan bahaya dan ancaman terhadap ‘aqīdah, moral, kesehatan berpikir, keluarga, dan ancaman bagi masyarakat. Islām memandang bahwa kefaqiran merupakan bala dan musibah yang harus disingkirkan. Karena bahaya itu lah Rasulullah bermohon kepada Allah agar dijauhkan dari kefaqiran:
“Ya Allah, aku berlindunga kepada-Mu dari fitnah api neraka; dari azab neraka. Dan aku berlindung kepadamu dari fitnah kekayaan. Dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kefaqiran.”[51]
Karena bahaya kefaqiran itu lah, Sufyān al-Tsaurī menyatakan, “Sekiranya aku mengumpulkan 40 dinar hingga mati lebih aku sukai daripada merasakan faqir satu hari dan hina dalam meminta-minta kepada manusia.” Dia juga berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang bakal terjadi terhadapku, sekiranya aku diuji dengan kefaqiran atau penyakit. Bisa saja aku kufur sementara aku tak sadar –bahwa aku telah kufur_pen.”[52]
Oleh karena itu, Allah menggariskan distribusi zakat tersebut. Dimana ia harus dibagikan kepada delapan golongan (ashnāf) manusia: (1) fuqarā’ (orang-orang fakir), (2) orang-orang miskin, (3) ‘āmil (petugas zakat), (4) para mu’allaf, (5) hamba sahaya, (6) orang-orang yang berhutang (al-ghārimīn), (7) para mujāhid fī sabīlillāh, (8) para penuntut ilmu (ibn al-sabīl).[53]
Hal itu disebabkan zakat merupakan rukun dan penopang Islām. Lebih dari itu, zakat merupakan bukti nyata dari ukhuwwah (persaudaran) kaum Muslimin terhadap mereka yang masuk ke dalam Islām; mendirikan shalat lalu menunaikan zakat.[54] Karena zakat merupakan kewajiban yang harus ditunaikan. Siapa yang mengingkarinya dicap kafir. Dan siapa yang menolaknya disebut fasiq. Dan orang-orang yang memprovokasi kaum Muslimin untuk meninggalkannya harus diperangi. Hal ini telah dipraktekkan oleh khalīfah Abū Bakr al-Shiddīq. Beliau menyiapkan sebelas bendera (panji) untuk memerangi mereka yang menolak untuk mengeluarkan zakat. Karena zakat dalam Islām bukan sumbangan biasa (tabarruʿ). Dia merupakan bagian vital dalam sistem ekonomi Islām. Sistem satu-satunya dalam mendiagnosa problem kefaqiran dan problem harta secara umum, sebelum dunia mengetahui sistem dalam mengelola sisi sentral dari kehidupan manusia ini.[55]
d. Puasa: Tangga Spiritualitas Menuju Taqwā
Menurut Allah, puasa (khususnya Ramadhān) bukan muncul sejak lahirnya Islām. Ia merupakan kewajiban dari Allah yang ada dalam setiap kurun manusia lewat para nabinya.[56] Karena Allah menginginkan manusia mengerti hakikat penciptaannya. Manusia bukan jasad an sich. Manusia seutuhnya adalah manusia rabbānī, yang diliputi oleh unsur-unsur ketuhanan. Manusia memiliki unsur langit (samawi). Hakikat ini diingatkan oleh Allah lewat ibadah puasa. Meskipun tidak semua manusia mau diajak berpuasa, karena puasa murni panggilan “iman”.[57]
Oleh karena itu, manusia mulia bukan karena jasadnya, melainkan karena ruhnya. Karena spiritualitasnya. Dus, salah satu cara untuk menggapai spiritualitas itu adalah lewat puasa. Dimana manusia-manusia Mukmin digembleng sebulan penuh dalam satu ‘madrasah’ dan ‘universitas’ bernama Ramadhān. Hakikat spiritualitas itu diingkatkan oleh Allah:
“Ingatlah, ketika Allah berfirman, “Sungguh, Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah. Jika telah Kusempurnakan ciptaannya dan Aku tiupkan sebagian roh-Ku, maka sujudlah kalian seluruhnya.”[58]
Manusia-manusia yang kehilangan spiritualitasnya adalah manusia-manusia topeng. Bentuknya manusia tapi hakikatnya adalah binatang ternak, kata Allah s.w.t. Kenapa? Karena dia telah menuhankan hawa nafsunya. Dia telah meninggalkan ketinggian unsur langit dan unsur ketuhanannya:
“Tidakkah engkau lihat orang yang menjadikan nafsunya sebagai tuhannya. Apakah engkau akan menjadi wakil (penolong) mereka? Apakah engkau mengira kebanyakan mereka mendengar dan berpikir? Mereka, tidak lain, laksana binatang-binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi dari binatang ternak itu.”[59] Maka benarlah seorang penyair ketika menyatakan:
أقبل على النفس واستكمل فضائلها
فأنت بالنفس لا بالجسم إنسان
#Peliharalah jiwamu dan hiasilah ia dengan berbagai keutamaan#
#Engkau disebut manusia karena –kesempurnaan—jiwamu, bukan karena jasadmu#
e. Hājji
Ibadah hājji dalam Islām merupakan puncak dari rukun Islām. Ibadah ini menggabungkan seluruh potensi yang ada diri setiap Muslim: qalbu, harta dan fisik sekaligus. Meskipun pelaksanaannya berkaitan erat dengan kemampuan (istithā’ah) pelakunya.[60] Sama seperti puasa Ramadhān, hājji pun menjadi jemabatan peraihan derajat dan peringkat taqwā. Karena ternyata kaum beriman itu terbagi dua: ada yang taqwā dan ada yang lebih bertaqwā (atqā).[61]
Hājj menurut Allah adalah untuk menetralisir jiwa-jiwa kerdil dan gersang manusia. Karena dia dilakukan pada bulan-bulan tertentu (Syawwal, Dzulqaʿdah dan Dzulhijjah), maka ia harus dimamfaatkan benar oleh para pelakunya, agar tujuannya tercapai. Secara gambling Allah menjelaskan:
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwā dan bertaqwālah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”[62]
Dalam melaksanakan ibadah hājji dibuanglah sifat-sifat buruk, seperti rafats, yaitu mengeluarkan kata-kata yang menimbulkan berahi yang tidak senonoh atau bersetubuh. Begitu pula dengan perbuatan maksiat lainnya (fusūq) dan berbantahan (berdebat tak bermanfaat). Semuanya akan mengurangi fadhilah hājji.
Setelah mencapai ijazah taqwā dalam ibadah ini, Allah memberikan satu kelebihan bagi mereka yang telah mencapainya:
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang (hari-hari tasyrīq; tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah). Brangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, Maka tiada dosa baginya. dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), Maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa, dan bertakwalah kepada Allah, dan Ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.”[63]
Lewat ibadah yang mulia ini, Allah menginginkan kaum beriman menjadi pembenar dan penyaksi; menjadi orang bertaqwā yang bijaksana dan menjadi manusia seutuhnya. Mari kita lihat bagaimana perhatian Allah kepada manusia-manusia hājji ini:
“…maka apabila kamu Telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masyʿarilharam[64] dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu[126], atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” Mereka Itulah orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”[65]
Subhānallāh! Itu masih manfaat yang akan diperoleh oleh para pelaku hājji. Sebagai bukti kebenaran risalah Islām yang pernah dipetakan oleh sang khalīlullāh, nabi Ibrāhīm a.s. Karena salah satu fungsi hājji adalah untuk mengambil manfaat dari beberapa daerah yang ada di Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah.[66]
Sebagai aksi sosial-kemanusiaannya, Allah mewajibkan kepada para hujjāj untuk menyembelih hewan ternak untuk dimakan dan dibagikan kepada yang membutuhkan, seperti para faqīr.[67] Disamping beberapa perintah lainnya, untuk memurnikan kemanusiaan dan tawhīd, seperti: menghindari hal-hal yang berbau najis (al-rijs) dan kesyirikan paganisme dan menghindari perkataan dusta. Itu lah bukti pengagungan syiʿar agama Allah. Dan itu lah bukti ketaqwa’an hati.[68] Karena tanpa ketaqwa’an qalbu, hewan sembelihan (kurban) tidak akan diterima oleh Allah. Karena Dia tidak menerima daging dan darah, melainkan ketawqaan.[69]
Itu lah konsep-konsep Islām yang terkandung di dalam kelima rukunnya yang sangat luar biasa dan agung itu. Dan itu semua membuktikan akan keagungan agama Islām ini. Wallahu a’lamu bi al-shawab.
Z Ahmad Hāmid, al-Islām wa Rasūluhū fī Fikr Hāu’lā’, (Cairo: Dār al-Sya’b, ttp.), hlm. 7.
[1] Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasīth, (Mesir: Maktabah al-Syurūq al-Dawliyyah, cet. IV, 1425 H/2004 M), hlm. 446.
[2] Ibid.
[3] Qs. Al-Mā’idah [5]: 3.
[4] Qs. Ali ‘Imrān [3]: 85.
[5] Abū Jaʿfar Muhammad ibn Jarīr al-Thabarī, Jāmiʿ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, tahqīq: Dr. ‘Abdullāh ibn ‘Abdil Muhsin al-Turkī, (Cairo: Hagar li al-Thibāʿah wa al-Nasyr wa al-Tawzīʿ wa al-Iʿlān, cet. I, 1422 H/2001 M), 5: 555.
[6] Ibid.
[7] Ibid., hlm. 556.
[8] Qs. Al-Baqarah [2]: 62.
[9] Ibid., hlm. 556-557.
[10] Qs. Ali ‘Imrān [3]: 19.
[11] Al-Thabarī, Jāmiʿ al-Bayān, 5: 282.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Imām Hāfizh Abū al-Husain Muslim ibn al-Hajjāj al-Qusyairī al-Naisābūrī (206-261 H), Shahīh Muslim, Kitāb: al-Īmān, Bāb: Maʿrifat al-Īmān wa al-Islām wa al-Qadar wa ‘Alāmat al-Sāʿah, (Saudi Arabia-Riyādh: Dār Thaibah, cet. I, 1427 H/2006 M), hlm. 33.
[15] Lihat, misalnya, (1) Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, cet. II, 1992), hlm. 178-179 dan 181. Bandingkan juga dengan Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Dian Rakyat, 2008), 176, (2) Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 47, (3) Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, (Jakarta: Serambi, 2005), hlm. 25.
[16] Lihat lebih lanjut, Dr. Zaki M. Abdalla, Islam from A Contamporary Perspective, (Mesir- Mansoura: Publishing House for Universities, cet. I, 1421 H/2001 M), hlm. 80.
[17] Saʿīd Hawwā, al-Islām, (Cairo: Dār al-Salām, cet. IV, 1421 H/2001 M), hlm. 5.
[18] Qs. Yūnus [10]: 72.
[19] Qs. Al-Baqarah [2]: 128.
[20] Qs. Al-Baqarah [2]: 132.
[21] Qs. Al-Baqarah [2]: 131.
[22] Al-Thabarī, Jāmiʿ al-Bayān, 2: 583.
[23] Ibid. Dan ketika menafsirkan kata falā tamūtunna illā wa’antum muslimūn (Qs. 2: 132), al-Thabarī mengomentari, “Janganlah kalian tinggalkan agama ini –yaitu Islām—semasa kalian hidup. Karena, tidak seorang pun tahu kapan maut menjemputnya. Oleh karenanya, Ibrāhīm dan Yaʿqūb berkata kepada anak keturunannya ‘janganlah kalian mati melainkan dalam keadaan Muslim’. Karena kalian tidak tahu kapan maut menjelang kalian, siang atau malam. Maka, janganlah kalian tinggalkan Islām, lalu maut menjemput kalian sedangkan kalian sedang berada pada selain agama yang telah dipilih Tuhan kalian untuk kalian. Lalu kalian mati, dalam keadaan demikian, dalam keadaan dimurkai oleh-Nya, maka kalian akan binasa.” Lihat, al-Thabarī, Jāmiʿ al-Bayān, 2: 585.
[24] Qs. Al-Mā’idah [5]: 44.
[25] Qs. Yūsuf [12]: 101.
[26] Qs. Al-Aʿrāf [7]: 126.
[27] Qs. Āli ‘Imrān [3]: 52.
[28] Qs. Al-Naml [27]: 44.
[29] Qs. Al-Ahqāf [46]: 15.
[30] HR. al-Bukhārī, Muslim dan Abū Dāwud.
[31] Qs. Al-Syūrā [42]: 13. Lihat, Saʿīd Hawwā, al-Islām, hlm. 5.
[32] Lihat, Dr. Zaki M. Abdalla, Islam, hlm. 79.
* al-Alwāh adalah bentuk jamak dari kata lauh, yang artinya kepingan batu atau kayu yang di dalamnya tertulis isi Taurāt setelah nabi Mūsā bermunajat di bukit Thursina (Sinai).
[33] Qs. Al-A’rāf [7]: 145.
[34] Qs. Al-Nahl [16]: 89. Saʿīd Hawwā, al-Islām, hlm. 7.
[35] HR. Muslim.
[36] Qs. Al-Anbiyā’ [21]: 107.
[37] Qs. Al-Anfāl [8]: 33.
[38] Qs. Al-Zukhruf [43]: 41.
[39] Lihat, Abū Nuʿaim al-Ashbahānī (w. 430 H), Dalā’il al-Nubuwwah, tahqīq: Dr. Muhammad Rawwās Qalʿahjī dan ‘Abdul Barr ‘Abbās, (Beirut: Dār al-Nafā’is, cet. II, 1406 H/1986 M), hlm. 39-30.
[40] Qs. Al-Syūrā [42]: 11.
[41] HR. al-Bukhārī, Muslim dan Ahmad.
[42] Lihat lebih detil, Dr. Muhammad ‘Imārah, al-Islām fī ‘Uyūn Gharbiyyah, bayna Iftirā’ al-Juhalā’ wa Inshāf al-‘Ulamā’, (Cairo: Dār al-Syurūq, 2005), hlm. 5. Bandingkan dengan Dr. ‘Abdul Wadūd Syalabī, Islam Religion of Life, (Cairo: Dār al-Syurūq, 1993), hlm. 8-24.
[43] Qs. Al-‘Ankabūt [29]: 45.
[44] Qs. Al-Baqarah [2]: 45.
[45] Qs. Al-Mu’minūn [23]: 1-2, “Telah beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu, mereka yang khusyuk dalam shalatnya.” Selain khusyuk, Allah juga menambahkan, “Orang-orang yang memelihara (kesempurnaan) shalat mereka.” (Qs. Al-Mu’minūn [23]: 9).
[46] Qs. Thāhā [20]: 14.
[47] Qs. Al-Tawbah [9]: 103.
[48] Lihat dan cermati Qs. Al-Baqarah [2]: 3, 83, 110, dan 277, al-Anbiyā’ [21]: 73, Maryam [19]: 31 dan 55, Qs. Al-Mā’idah [5]: 12 dan al-Bayyina [98]: 4-5. Lihat juga, Qs. Al-Tawbah [9]: 5 dan 11.
[49] Yūsuf al-Qaradhāwī, al-‘Ibādah fī al-Islām, (Cairo: Maktabah Wahbah, cet. XXI, 1416 H/1995 M), hlm. 248.
[50] Lebih detil, lihat Yūsuf al-Qaradhāwī, Daur al-Zakāt fī ‘Ilāj al-Faqr wa Syurūth Najāhihā, (Cairo: Dār al-Syurūq, cet. I, 1422 H/2001 M), hlm. 18. Ayat yang paling masyhur tentang pemuliaan manusia di dalam Islām adalah Qs. 17: 70, “Sungguh, telah Kami muliakan anak Ādam. Kami telah mengangkat mereka di daratan dan di lautan serta memberi rezki kepada mereka dari yang baik-baik. Dan, Kami telah memuliakan di atas makhluk-makhluk Kami dengan semulia-mulianya.” Karena kemuliaan ini, Allah menjadikan manusia sebagai khalīfah di muka bumi (Qs. Al-Baqarah [2]: 30). Karena kemuliaannya itu pula seluruh isi langit dan bumi ditundukkan oleh Allah untuknya. Dan Allah mencurahkan seluruh nikmat-Nya, baik yang tampak (zahir) maupun yang tak tampak (batin) [Qs. Luqmān [31]: 20).
[51] HR. al-Bukhārī, dari ‘Ā’isah r.a.
[52] Lebih lanjut, lihat: al-Qardhāwī, Daur al-Zakāt, hlm. 18-19.
[53] Qs. Al-Tawbah [9]: 60. Dalam Qs. 9: 103 ini, Allah menyebutkan kata sedekah secara mutlak, tidak terikat. Menurut al-Qurthubī (w. 671 H), jika kata sedekah disebutkan secara mutlak, itu artinya sedekah wajib (shadaqah al-fardh). Nabi s.a.w. bersabda, “Aku diperintahkan untuk mengambil zakat dari tangan orang-orang kaya dari kalian dan menyerahkannya kepada orang-orang fakir diantara kalian.” (Lihat, Abū ‘Abdullāh Muhammad ibn Abī Bakr al-Qurthubī, al-Jāmiʿ li Ahkām al-Qur’ān, tahqīq: Dr. ‘Abdullāh ibn ‘Abdil Muhsin al-Turkī, (Beirut-Lebanon: Mu’assasah al-Risālah, cet. I, 1427 H/2006 M), 10: 245.
[54] Cermati, Qs. Al-Tawbah [9]: 5 dan 11.
[55] al-Qaradhāwī, al-‘Ibādah fī al-Islām, hlm. 252-253.
[56] Ibid., hlm. 287. Cermati, Qs. Al-Baqarah [2]: 183. Tentang kemuliaan bulan suci Ramadhān, silahkan cermati Qs. Al-Baqarah [2]: 185.
[57] Cermati kembali Qs. Al-Baqarah [2]: 183.
[58] Qs. Shādh [38]: 71-72.
[59] Qs. Al-Furqān [23]: 43-44.
[60] Qs. Āli ‘Imrān [3]: 97.
[61] Qs. Al-Lail [92]: 17.
[62] Qs. Al-Baqarah [2]: 197.
[63] Qs. Al-Baqarah [2]: 203.
[64] Masyʿaril harām adalah bukti Quzah yang ada di Muzdalifah.
[65] Qs. Al-Baqarah [2]: 198-202.
[66] Qs. Al-Hājj [22]: 28.
[67] Qs. Al-Hājj [22]: 28.
[68] Cermati, Qs. Al-Hājj [22]: 29-32.
[69] Cermati, Qs. Al-Hājj [22]: 33-37.
0 Comments:
Posting Komentar
<<Kembali ke posting terbaru