Andai Aku jadi Musdah Mulia
Di situ www.islamlib.com Musdah Mulia (pembela “lesbianisme” dan “homoseksualitas”) menorehkan pengalamannya mengikuti persidangan Habib Rizieq Shihab. (http://islamlib.com/id/artikel/pengalaman-mengikuti-persidangan-rizieq-shihab/) Siapa saja yang membaca tulisannya akan terpingkal-pingkal. Karena ternyata wanita relativis-feminis semacam Musdah masih bisa menceritakan sikap para pembela Habib. Masalah ratiban dikritik. Karena dia tak setuju anggota FPI membacanya dengan suara. Bahkan ada kesan “menyentak-nyentak”.
Biasanya orang liberal, feminis, relativis bersikap fair melihat fenomena yang tak sejalan dengan ide dan pikirannya. Tapi tidak dengan Musdah. Melihat hal seperti itu hatinya terusik, bahkan berontak. Dia tak setuju.
Andai aku jadi Musdah, aku tidak akan banyak komentar....
Aku akan diam saja. Toh Allah yang akan menerima amalan masing-masing. Mau baca ratiban dengan suara atau tidak. Lebih baik baca ratiban diam-diam dan tidak perlu dibicarakan, apalagi dibandingkan dengan cara membaca ratiban orang lain. Karena mengurangi keikhlasan, kata para ulama.
Ketika anggota FPI membaca doa, kata Musdah, ucapan “amin” mereka terkesan memaksa Tuhan untuk mengabulkannya. Seolah-olah Musdah menyelami benar apa yang ada dalam hati mereka. Musdah sepertinya sedang belajar ‘menghakimi’ hati orang. Padahal kata Allah, ‘wallahu ‘alim bi dzatis shudur’. Allah yang mengetahui apa yang terbertik di dalam qalbu setiap orang.
Andai aku jadi Musdah, aku pun tidak ingin membeberkan apa yang aku saksikan. Aku malah ingin berdoa, ‘semoga Allah mendengar doa mereka dan mengabulkannya’. Siapa tahu mereka belum mengerti cara berdoa yang baik dan benar. Jika Musdah lebih tahu, tidak usah menyalahkan orang lain. Kan “relativis”: semua doa adalah benar. Kecuali yang tidak benar.
Aku tidak ingin banyak mengomentari tulisan Musdah. Siapa saja bisa menikmatinya di situs JIL. Musdah kemudian membuat dua catatan penting.
Pertama, “pertanyaan paling rinci terhadap saksi adalah soal motivasi yang melatarbelakangi aksi Monas. Sepertinya, ada upaya untuk memutarbalikkan fakta bahwa itu adalah aksi membela Ahmadiyah. Setahu saya, tujuan satu-satunya aksi damai di Monas adalah memperingati hari lahir Pancasila. Peringatan ini dilakukan demi memperkuat ikatan kebangsaan dan keindonesiaan yang semula dirajut oleh para founding fathers kita dengan memilih Pancasila sebagai ideologi negara. Kalau dipikir secara mendalam, pilihan itu tentu tidak mudah, tetapi sangat bijaksana.
Muncul pertanyaan, mengapa tidak memilih ideologi Islam? Bukankah sebagian besar para founding fathers itu adalah tokoh-tokoh Islam yang sangat dikenal juga? Jawabnya tegas: memilih agama sebagai ideologi negara akan sangat problematik. Bicara soal agama berarti bicara soal tafsir, dan bicara soal tafsir pasti sangat beragam; tidak pernah tunggal. Pertanyaannya lalu, tafsir mana yang akan dipedomani pemerintah? Sungguh tidak mudah dan pasti sangat problematik. Saya memuji, betapa cerdas dan bijaknya para pendahulu bangsa ini memilih Pancasila.”
Aku tidak tahu, mana yang benar. Memperingati Hari Kesaktian Pancasila atau membela sekte sesat Ahmadiyah. Padahal Kapolri sendiri sudah membuat pernyataan bahwa AKKBB tidak diberi izin pergi ke Monas. Di sini Musdah malah menuduh ada pemutarbalikkan fakta sebenarnya.
Pembicaraan Musdah pun merambat ke mana-mana. Bangganya terhadap Pancasila membuat dia harus menyatakan bahwa “agama” sebagai pilihan dasar negara adalah “problematik”. Para founding fathers Indonesia bisa jadi benar ketika memilih Pancasila sebagai “landasan” negara. Tapi apakah sampai hari ini pernahkah diberi kesempatan Islam sebagai “dasar” negara? Kalau mau adil, kenapa Piagam Jakarta terus dijegal. Kalau mau adil, mengapa Islam tidak dicoba dulu menjadi landasan bangsa ini. Setelah membandingkan konsep Pancasila dan Islam dalam negara ini, baru bisa menyimpulkan. Muhammad Natsir sendir berdebat dengan Soekarno tentang landasan negara ini. Perdebatan sengit, dan kubu sekularlah yang dimenangkan.
Andai aku jadi Musdah, aku tidak akan menuduh agamaku (Islam) sebagai agama yang “problematis”. Karena aku belum mencobanya. Sungguh, satu kesimpulan yang ‘prematur anti-klimaks’.
Kedua, “hal menarik dari massa FPI adalah sikap kepatuhan, kedisiplinan, dan loyalitas yang sangat kuat pada pimpinan mereka. Dalam ruang sidang, saya mengamati setiap kali pimpinan mereka memberi aba-aba, walau hanya dengan isyarat tangan, serentak mereka beraksi. Misalnya, jika diberi aba-aba takbir, serentak mereka takbir. Diberi aba-aba diam, serentak mereka diam. Sungguh menakjubkan! Jadi, mereka juga bisa sangat disiplin. Sayangnya, disiplin itu bukan muncul karena kesadaran kemanusiaan, melainkan karena diperintah oleh pimpinan.
Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan masyarakat dapat dipolakan ke dalam dua kategori: corak yang otoritarian dan humanistik. Agama yang humanistik memandang manusia dengan pandangan positif dan optimis, serta menjadikan manusia sebagai makhluk yang penting dan memiliki pilihan bebas. Dengan kemauan bebasnya, manusia dapat memilih agama yang diyakininya benar. Manusia harus mengembangkan daya nalarnya agar mampu memahami diri sendiri, untuk selanjutnya membangun relasi positif dan konstruktif dengan sesama manusia, serta menjaga kelestarian alam semesta.
Sebaliknya, unsur hakiki dari agama otoritarian adalah sikap penyerahan diri secara mutlak kepada Tuhan. Ketaatan menjadi kekuatan utama, dan sebaliknya, ketidaktaatan dianggap dosa paling besar”.
Aneh catatan Musdah ini. Tentu saja kesadaran manusia, makanya taat kepada manusia. Aku jadi mengkhayal, bagaimana jika pemimpin FPI itu menyuruh pendukungnya untuk “memukul” Musdah. Musdah sedang bermain-main api di luar kandang.
Kesimpulannya tentang agama humanistik paradoks dengan pernyataanya sendiri. Kalau agama yang dipahami olehnya “humanistik”, maka biarkan FPI berbuat berbeda. Itulah namanya “pilihan bebas”. Kenapa mesti disalahkan. Begitu juga dengan agama otoritarian. Ketidaktaatan kepada siapa? Kepada Tuhan? Kepada manusia? Kepada Tuhan, jelas “dosa besar”.
Kesimpulan akhir pengalaman Musdah dalam menyalahkan anggota FPI adalah:
“Ironisnya, ketaatan kepada Tuhan, dalam implementasinya diwujudkan dalam bentuk ketaatan kepada pimpinan. Jadi, sebetulnya mereka taat kepada manusia yang mengklaim diri sebagai wakil Tuhan, bukan kepada Tuhan yang sesungguhnya. Tidak heran, jika pengikutnya sangat tergantung kepada pemimpin dan sangat loyal pada organisasi. Agama otoritarian selalu melahirkan bentuk kultus, radikalisme, dan fundamentalisme. Pemimpin kelompok ini sangat mungkin berlaku sewenang-wenang dan pengikutnya pun mampu melakukan kekerasan dan kekejaman. Lagi-lagi, atas nama Tuhan, dan atas nama agama. Mengerikan! Saya tidak menginginkan corak agama demikian.”
Apakah pemimpin FPI mengklaim dirinya sebagai “wakil Tuhan”? Aku tak pernah mendengarnya. Aku baru tahu dari tulisan Musdah ini bahwa mereka memiliki klaim “keji” seperti itu.
Kultus, radikalisme, fundamentalisme. Ini sangat mengerikan, simpul Musdah. Tapi “lesbianisme” dan “homoseksualitas” ala binatang tidak mengerikan. Aneh. Tabiat binatang kok diamalkan. Tidak tahu malu. Tak punya ‘iffah dan ‘izzah. Ini justru lebih “mengerikan”.
Andai aku jadi Musdah, aku akan menyuruh kerabat-kerabatku dan keluargaku untuk meniru gaya binatang itu. Setelah itu aku menghimbau kepada masyarakat luas untuk meningkatkan “ketakwaan” kepada Allah. Itu pun jika Allah membenarkan aksiku. Karena aku yakin, Allah tidak melihat orientalis seksualku. Allah kan hanya melihat hati-hati kita. Semoga hati kita pun tidak hati binatang. Dan semoga kita tidak seperti orang-orang “munafik” yang disindir oleh Allah, ‘yaquuluuna bi’afwaahihim maa laysa fii quluubihim’. Mereka hanya mengatakan dengan mulut-mulut mereka (ide, konsep, pemikiran), tapi hatinya menolak. [Q] (Minggu, 31 Agustus 2008)
Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), ISID, Gontor Ponorogo.
0 Comments:
Posting Komentar
<<Kembali ke posting terbaru