Selasa, Agustus 05, 2008

Menolak Relativisme “Iman” dan “Kufur”

Tuesday, 05 August 2008

Paham relativ melahirkan ‘isme’ baru yang disebut dengan “bingungisme”. Paham seperti ini sudah tak mampu membedakan mana haq dan mana bathil

Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi *

Konsep aqidah dalam Islam –Al-Quran dan sunnah—dijelaskan oleh Allah s.w.t. dan Nabi Muhammad s.a.w. dengan sangat detail. Maka istilah ‘iman-kufur’ bukan terminologi relatif. Ia merupakan istilah “final”, tidak bisa dikutak-katik lagi. Keduanya selalu vis-a-vis, laiknya terma-terma yang lain, semisal: haq-batil, thayyib-khabits, dsb.

Oleh karenanya, isu-isu keagamaan yang berkaitan dengan konsep ini sangat mudah untuk diidentifikasi dan dihukumi. Kasus Ahmadiyah, misalnya, sebenarnya tidak ada seorangpun yang meragukan letak “benar-salah”nya. Oleh karenanya, kaum liberal-sekular yang mengusung konsep “relativisme” salah besar ketika menyatakan bahwa Ahmadiyah itu dalam Islam. Karena lewat timbangan Al-Quran-Sunnah saja sudah ‘tidak lulus’. Pada gilirannya, mereka sama sesatnya. Karena ‘man tasyabbaha biqawmin fahuwa minhum’.

Kaum liberal, sangat lihai dalam memanipulasi ayat-ayat yang menurut mereka mendukung konsep pemikirannya. Misalnya, Qs. Al-Baqarah [2]: 256 selalu dijadikan bamper oleh mereka. Kata ‘laa ikraaha fi al-diin’, senantiasa dijadikan entry-point untuk menusukkan ‘jarum’ relativisme ini. Di sini mereka ingin menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Karena agama itu sama, sama-sama benar. Ia ibarat “jari-jari”: banyak tapi menuju satu titik –tengah—yang satu (Allah). Bahkan ada yang menyatakan bahwa perbedaan agama itu letaknya pada tatara eksoteris saja. Pada tataran esoteris’nya semua agama adalah sama.

Jika dilihat secara kritis, kata ‘laa ikraaha’ sebenarnya seperti yang dikatakan oleh Imam al-Harali, seperti yang dikutip oleh al-Biqa’i, bahwa di sana ada “pemaksaan halus” (al-ikraah al-khafiy). (Lihat, Imam Burhan al-Din Abu al-Hasan Ibrahim ibn ‘Umar al-Biqa’i (w. 885 H), Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. 1995), I: 500). Kenapa? Bukan karena agama itu sama-sama benar, tapi karena “kebenaran dan kesesatan” telah jelas (qad tabayyana al-rusyd min al-ghayy). Ini adalah sindiran dari Allah s.w.t.

Iman-kufur dalam Islam jelas konsekuensinya, tidak kabur. Karena jika ada iman, maka akan ada kufur. Jika ada kebenaran maka ada kesesatan. Tidak mungkin semua agama itu “benar” atau seluruhnya “salah”. Ini justru merancukan konsep agama dan ajarannya. Dengan sangat gamblang, Allah s.w.t. menjelaskan bahwa siapa yang secara “lapang dada” kufur (menjadi kafir), maka ia akan mendapat murka Allah dan mendapat azab yang pedih (Qs. Al-Nahl [16]: 106). Mereka itulah yang menurut Allah: (1) lebih mencintai dunia daripada akhirat; (2) dikunci hati, pendengaran dan penglihatannya, sehingga menjadi lalai (ghafil); (3) dan di akhirat merugi (Qs. Al-Nahl [16]: 107-109). Jika kekufuran itu “relatif”, maka Allah akan menjadikan konsekuensinya juga “relatif”, tidak mutlak seperti yang kita lihat di atas.

Masalah “iman-kufur” tidak sesederhana yang dikemukakan oleh kaum Sepilis (penganut sekularisme, pluralisme dan liberalisme, red). Apa yang mereka kemukakan adalah ‘kulit-kulit’ konsep iman. Maka wajar jika hasilnya relatif. Maka ketika ada zikir ‘Anjinghu Akbar’, dalam pandangan mereka tidak bermasalah. Karena itu adalah lisan, bukan hati, katanya. Bisa jadi hatinya penuh dengan keimanan kepada Allah s.w.t.

Ini bisa dibalikkan dengan: bagaimana jika hati pengucapnya penuh dengan ‘Anjinghu Akbar’? Karena menurut Imam al-Biqa’i –ketika menjelaskan surat al-Nahl di atas—, hakikat iman-kufur itu berkaitan dengan hati, bukan lisan. Lisan hanya sekadar pengekspresi (mu’abbir) dan penerjemah serta pengenal (tarjuman mu’arrif) apa yang ada dalam hati...(Ibid., II: 314). Nah, jika yang keluar dari lisan itu bersih, indikasi bahwa hati itu bersih. Sebaliknya, jika setiap yang keluar dari lisan itu adalah kata-kata keji, kotor, hujatan, ini mengindikasikan bahwa sang hati ketika itu sedang ‘sakit kronis’.

Maka, fenomena munculnya aliran-aliran sesat di Indonesia tidak harus melahirkan perdebatan panjang di kalangan umat Islam. Karena masalahnya jelas, masalah aqidah. Dan aqidah timbangannya adalah Al-Quran-Sunnah.

Salamullah Lia Eden; Ahmadiyah –baik Qadyaniyah maupun Lahore—; al-Qiyadah al-Islamiyah Ahmad Moshaddeq, dsb adalah aliran-aliran sesat. Dan kesesatan ini adalah fixed price, tidak mungkin ditawar lagi apalagi direlatifkan. Kenapa? Karena jelas bertentangan dengan Al-Quran-Sunnah. Dan pada gilirannya, relativisme ini melahirkan ‘isme’ baru yang disebut dengan “bingungisme”. Sehingga kaum Sepilis yang menyatakan bahwa semua agama itu benar sebenarnya terjebak oleh self-relativism mereka sendiri. Bukankah ini membingungkan?

* Penulis adalah staf pengajar di PP. Ar-Raudhatul Hasanah, Medan-Sumatera Utara. Peminat dan intens dalam Qur’anic-Hadith Studies & Christology. Sekarang sedang mengikuti Program Kaderisasi Ulama (PKU) di Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS) di Institut Studi Islam Darussalam, Gontor-Ponorogo, Jawa Timur.

http://hidayatullah.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=7350&Itemid=76

 

<<Kembali ke posting terbaru

"BERPIKIRLAH SEJAK ANDA BANGUN TIDUR" (Harun Yahya)