“MUSABAQAH ILA LIBERALISME”
Arus liberalisme sudah sejak lama memang merasuk dan merangsek ke dunia Islam. Dari Maroko sampai Merauke gejala liberalisme sudah semacam doktrin modernitas. Maka muncullah saat ini nama-nama semacam Muhammad Abid al-Jabiri, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Fatimah Mernissi, Amina Wadud-Muhsin, dlsb. Di Indonesia sejak lama dikenal tokoh penarik gerbong pemikiran liberal sekelas Mukti Ali, Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Generasi berikutnya diisi dan diramaikan oleh orang-orang sekelas Gus Dur, Syafi’i Ma’arif, Syafii Anwar, Ulil Abshar-Abdalla, Luthfi Asyaukanie, Moqsith Ghazali, Sumanto Al Qurtuby, dan banyak lagi.
Saat ini, liberalisme itu terus dikembangkan dan dipasarkan ke tengah-tengah masyarakat. Kontributor dan pengasong pemikiran liberal tumbuh di mana-mana. Bahkan perguruan tinggi Islam, seperti IAIN dan UIN, sudah lama dirasuki penyakit berbahaya ini. Perguruan tinggi Islam yang semestinya menjadi pengawal akidah justru merusak dan menghancurkannya.
Seolah tak disadari, banyak pemikir Muslim yang justru bangga menjadi liberal. Kalau tidak liberal tidak terkenal dan kesohor. Jika tidak liberal bukan Muslim sejati. Intinya, mereka ramai-ramai ingin menjadi “Muslim Liberal”. Alasannya sederhana, ‘khalif tu’raf’. ‘Nyelenehlah pasti Anda akan terkenal’. Adagium ini bukan isapan jempol belaka. Tapi benar-benar diperjuangkan. Untuk itu kaum liberal tak segan-segan untuk menghujat hal-hal yang sudah mapan (established) dalam agama.
Menghujat Al-Qur’an
Jika dalam Kristen metode kritik Bible sudah mapan, kaum liberal pun ingin menerapkannya ke dalam Al-Qur’an. Bagi Kristen, Bible sudah lama diragukan otentisitasnya. Oleh karenanya mereka meragukan kebenaran kitab suci mereka. Penelitian 72 pakar Alkitab dalam The Jesus Seminary menyimpulkan bahwa “Eighty-two percent of the words ascribed to Jesus in the Gospels were not actually spoken by him’ (82 persen kalimat yang katanya diucapkan Yesus di dalam kitab-kitab Injil sebenarnya tidak pernah diucapkan oleh Yesus). (Lihat, Masyhud SM, Membuat Tuhan dan Kitab Suci (pengantar editor), dalam Ahmed Deedat, The Real Truth: Meruntuhkan Pilar-Pilar Iman Kristiani, (Surakarta-Jawa Tengah: Kahfi Publishing, 2008: 12).
Orang semacam Arkoun, misalnya, menyayangkan umat Islam yang tak mau ‘mengekor’ kepada sikap dan usaha umat Kristen dalam mengkritisi kitab suci mereka. Dengan nada menyesal, Arkoun menulis: “Sayang sekali bahwa kritik-kriti filsafat tentang teks-teks suci –yang telah digunakan kepada Bible Ibrani dan Perjanjian Baru, sekalipun tanpa menghasilkan konsekuensi negatif untuk ide wahyu—terus ditolak oleh pendapat kesarjanaan Muslim.” (Lihat, Adnin Armas, Kritik Arthur Jeffery terhadap Al-Qur’an, dalam ISLAMIA, Thn. I, no. 2/Juni-Agustus 2004, hlm. 19).
Di Indonesia, ide orientalis dan liberal diadopsi tanpa kritik. Anehnya lagi, kaum liberal merasa bangga dengan apa yang ia kutip. Luthi Asyaukanie, misalnya, menulis: “Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Alquran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa.” (http://islamlib.com/id/index.php/?page=article&ide=447 (17/11/2003).
Ini jelas murni ide dan kajian orientalis. Ini sangat berbahaya, karena dapat merusak konsep wahyu. Dimana merupakan kesepakatan ulama bahwa Al-Qur’an diturunkan oleh Allah secara tanzil (lafadz dan maknanya murni dari Allah). Bahkan, meragukan otentisitas Mushaf Utsmani dihukum “kafir” oleh para ulama. Meskipun begitu, bagi kaum liberal tidak berarti apa-apa. Karena Al-Qur’an bukan hal yang sakral. Disamping keyakinan terhadap sakralitas Al-Qur’an merupakan al-khayal al-dini (angan-angan teologis), juga Al-Qur’an rigid, delicate (rumit), sarat perdebatan bahkan penuh rekayasa.
Oleh karena itu, penghujatan terhadap Al-Qur’an tak berhenti pada tulisan Luthfi. Anak-anak ‘nakal’ dari Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo melanjutkan perjuangan mereka. Tak segan-segan mereka untuk melakukan “desakralisasi” historisitas Al-Qur’an. Al-Qur’an menurut mereka adalah “perangkap Quraisy”. Usaha kodifikasi Al-Qur’an oleh Khalifah III, ‘Utsman ibn ‘Affan, adalah sebuah “fakta kecelakaan sejarah”. Untuk mendukung studi mereka diadopsilah pemikiran John Wansbrough dan Richard Bell. Dedengkot mereka, Sumanti Al Qurtuby, menulis bahwa kesucian Al-Qur’an adalah “palsu”. (Lihat, Jurnal JUSTISIA: Jurnal Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, edisi 23, thn. XI, 2003).
Sumanto Al Qurtuby, karena ruang kritik terbatas dan singkat dalam Jurnal JUSTISIA, dia “tumpahkan” kegeramannya kepada sakralitas Al-Qur’an dalam bukunya Lubang Hitam Agama. “Di sinilah maka tidak terlalu meleset jika dikatakan, Al-Qur’an dalam batas tertentu, adalah “perangkap” yang dipasang bangsa Quraisy (a trap of Quraisy). Artinya, proses awal “turunnya” ayat-ayat Al-Qur’an tidak lepas dari jaring-jaring kekuasaan Quraisy yang dulu berjuang keras untuk menunjukkan eksistensinya di tengah suku-suku Arab lain.” (Sumanto Al Qurtuby, Lobang Hitam Agama: Mengkritik Fundamentalisme Agama, Menggugat Islam Tunggal, (Jogyakarta: Rumah Kita, 2005: 65). Sumanto pun menambahkan hujatannya, “Kita tahu, Al-Qur’an yang dibaca oleh jutaan umat Islam sekarang adalah teks hasil kodifikasi untuk tidak menyebut “kesepakatan terselubung” antara Khalifah Usman (644-656 M) dengan panitia pengumpul yang dipimpin Zaid ibn Tsabit, sehingga teks ini disebut Mushaf Usmani.” (ibid.).
Jadi, ada jalur “kesepakatan” antara orientalis, Arkoun hingga kaum liberal di Indonesia untuk meruntuhkan otentisitas Al-Qur’an ini. Mereka bahu-membahu dalam merusak konsep Kitab Suci umat Islam. Mereka tak sadar bahwa kritisisme mereka terjebak dalam jaring-jaring pemikiran orientalisme Barat yang liberal-sekular. Sebenarnya, mereka tak sadar dan tertipu oleh hawa nafsu mereka sendiri. Alih-alih ingin bersikap kritis terhadap Al-Qur’an malah tidak kritis terhadap pemikiran yang diadopsinya. Sehingga mereka berlomba-lomba untuk mencomot pendapat orientalis secara taken for granted. Yang paling “mirip” dengan gaya penulisan dan pemikiran orientalis, dialah yang paling ilmiah dan kritis.
Menghujat Syariah
Tak puas menghujat Al-Qur’an, kaum liberal menghujat syariah Islam. Menurut mereka tidak ada ulama fiqh yang bisa dianggap paling “otoritatif”. Mereka menolak otoritas ulama. Bagi mereka otoritas identik dengan “otoritarianisme”. Hasilnya adalah apa yang sekarang mereka suarakan dan perjuangan. Dimana-mana homoseksualitas dan lesbianisme dibela habis-habisan.
Ini jelas konsep keilmuan Barat yang sekular. Dimana seorang Robinson yang homoseks diangkap sebagai “Bishop”. Itu tak masalah bagi Barat. Ilmu tidak inheren dalam amal. Atau ilmu tak memiliki hubungan integral-diametral dengan amal memang sudah menjadi konsep hidup Barat. Ini pula yang dipuja, dipuji, disanjung dan diagungkan oleh kaum liberal. Maka tak heran jika ada seorang professor bahkan seorang “hajjah” yang mendukung lesbianisme.
Kawin sesama jenis bagi mereka adalah “sebuah keindahan” dan kenikmatan tersendiri. Konsep “zina” tak ada dalam kamus mereka. Semua mau disama-ratakan dengan budaya dan peradaban binantang. Ini lah mungkin titik kulminasi ‘binatangisme syariah’ ala kaum liberal-sekular Indonesia. Makanya mereka berjuang habis-habisan untuk “menyelamatkan” kaum homoseks dari penindasan agama. Landasan filosofis pun dikejar kemana-mana untuk melegetimasi ide konyol dan laknat ini. Karena mereka ingin menyimpulkan bahwa syariah menjadi biang masalah dalam masalah homoseksualitas. Sehingga agama semena-mena terhadap mereka yang ingin menikmatinya. (Lihat, Jurnal JUSTISIA, “Indahnya Kawin Sesama Jenis”, edisi 25, thn. XI, 2004).
Dalam masalah ini mereka yashuddu ba’dhuhum ba’dhan. Saling tolong-menolong. Benar-benar wata’wanu ‘alal itsmi wal ‘udwan. ‘Mujtahid’ mereka adalah Irshad Manji. Seorang wanita dan pengidap virus “lesbian” tapi benar-benar punya ruh ‘ijtihad’ yang luar biasa. Irshad Manji pun dielu-elukan di Indonesia, karena membawa ruh pencerahan bagi kaum lesbian. “Irshad Manji: Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad,” begitu puja-puji Nong Darol Mahmada. (Lihat, Nong Darol Mahmada, Irshad Manji: Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad, dalam Jurnal PEREMPUAN, edisi58, Maret, 2008, hlm. 137-145).
Dimana doktrin agama dan syariah? Semuanya tak ada dalam kamus mereka. “Karena Allah hanya melihat taqwa, bukan orientasi seksual manusia,” jawab Siti Musdah Mulia enteng. (Ibid., hlm. 122-127). Dan perlu dicatat bahwa ini bukan rantai akhir dari agenda liberalisme di Indonesia. Masih banyak generasi yang sedang ngantri di belakang mereka. Dan mereka sudah benar-benar siap untuk “ramai-ramai menjadi liberal”.
(Minggu, 9 Nopember 2008 di Centre of Islamic and Occidental Studies (CIOS), Siman-Ponorogo, Jawa Timur)
0 Comments:
Posting Komentar
<<Kembali ke posting terbaru