Minggu, November 21, 2010

ATAS NAMA KEBANGKITAN

ATAS NAMA KEBANGKITAN:

Membaca Konsep al-QaraÌāwÊ tentang Kebangkitan Islam

~Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi

Obsesi ummat Islam satu-satunya adalah:

berinvestasi dalam mewujudkan satu kebangkitan Islām yang hakiki dan genuine

~ al-QaraÌāwÊ[1]

FÉtiÍah

Beberapa dekade terakhir berbagai pertanyaan muncul mengenai keterbelakangan ummat Islam. Yang paling tegas, misalnya, Shakib Arselan, pernah bertanya, LimÉdā Ta’akhkhara –l-MuslimËn wa LimÉdzā Taqaddama Ghayruhum? (Mengapa Ummat Islam Terbelakang dan (Mengapa) Ummat Lain Maju?).[2] Jelas sekali bahwa ShakÊb ArselÉn sedang mengusik perasaan terdalam ummat Islam, bahwa mereka sedang “terpuruk” dalam segala lini kehidupan: kebodohan, minim ilmu (al-Ñilm al-nÉqiÎ), dekadensi moral (terutama moral para pemimpin dan ulama’), pengecut dan banyak berkeluh-kesah, mudah putus-asa, dan melupakan kegemilangan masa silam.[3]

Fenomena keterpurukan itulah akhirnya yang banyak memicu perdebatan dan menyita pemikiran sarjana Muslim modern-kontemporer. Diantaranya adalah YËsuf al-QaraÌāwÊ, yang dikenal dengan ide-ide dan pemikirannya yang “moderat”. Dan dalam tulisan ini penulis mencoba untuk menampilkan bagaimana sebenarnya visi dan misi al-QaraÌāwÊ dalam ‘meneropong’ dan menyikapi kondisi ummat Islam. Kemudian, apa dan bagaimana sejatinya konsep kebangkitan ummat Islam yang diistilahkannya dengan ÎaÍwah islÉmiyyah itu.

Dengan demikian, kita dapat memahami tujuan dan stasion akhir dari pandangan dan ide-idenya. Berikut adalah pemaparannya.

I. Biografi Singkat al-QaraÌā

Berikut ini akan dipaparkan biografi singkat al-QaraÌÉwÊ, yang meliputi: nama, riÍlah Ñilmiyah, dan karya-karyanya. Ini penting dilakukan untuk melacak geneologi pemikiran sang tokoh. Sehingga bisa dijadikan sebagai “model” untuk memikirkan wacana kebangkitan Islam dalam konteks kekinian.

a. Nama dan RiÍlah Ilmiyah

Nama lengkapnya Dr. YËsuf ibn ‘Abd Allāh al-QaraÌāwÊ. Dilahirkan tahun 1926 di desa ØafÏ Turāb, MaÍallah Kubrā, Propinsi Gharbiyyah, Mesir. Tumbuh dalam keluarga yang agamis dan sederhana yang berprofesi sebaga petani. Ayahnya wafat ketika beliau masih berusia 2 tahun yang kemudian pamannya mengasuhnya dan tumbuh bersama anak-anak pamannya.

Ketika berusia lima tahun beliau mulai mengenyam bangku sekolah di salah satu kuttāb (semacam madrasah dÊniyyah, non-formal) dan pada usianya yang ketujuh tahun baru beliau masuk ke sekolah formal (al-madrasah al-ilzāmiyyah). Di sini beliau memasuki dua sekolah sekaligus: al-kuttāb dan al-madrasah al-ilzāmiyyah). Dan pada fase ini beliau mampu menghafal Al-Qur’ān, padahal usianya belum mencapai sepuluh tahun.

Lulus dari al-madrasah al-ilzāmiyyah, al-QaraÌāwÊ melanjutkan ke pesantren, tingkat ibtidā’iyyah (Indonesia: Tsānawiyyah) di ÙanÏā. Di sini beliau menghabiskan masa studinya selama 4 tahun. Kemudian melanjutkan ke tingkat ‘Óliyah (Ma‘had ÙanÏā al-TsānawÊ) selama 5 tahun. Dari sana kemudian melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar (Jāmi‘ah al-Azhar), di Fakultas UÎËluddÊn. Dari fakultas ini beliau menggondol ijazah strata 1 (1952-1953). Setelah menyelesaikan strata 1-nya, beliau mengambil pendidikan khusus keguruan (takhÎÊÎ al-tadrÊs) di fakultas Bahasa Arab. Selesai dari sana beliau melanjutkan lagi ke Institut Riset dan Studi Bahasa Arab (MaÑhad al-BuÍËts wa al-Dirāsāt al-ÑArabiyyah) di Institut Liga Arab. Dari institut ini al-QaraÌāwÊ mendapat title diploma tinggi dari jurusan Bahasa dan Sastra.

Sepanjang masa di atas, al-QaraÌāwÊ juga melanjutkan studinya ke jenjang magister (Strata 2) di Universtias Al-Azhar, Fakultas UÎËluddÊn, jurusan Al-Qur’ān dan Sunnah yang beliau selesaikan dalam waktu 3 tahun (1957-1960). Kemudian beliau melanjutkan ke tingkat doktoral (Strata 3) dengan disertasi mengenai Zakāt (Fiqh al-Zakāh_pen.) yang diselesaikannya selama 2 tahun (1960-1962). Hanya saja, gelar Dr. (doctor) belum disandangnya, kecuali pada tahun 1973. Hal ini disebabkan oleh beberapa problem yang menimpa organisasi Ikhwān MuslimËn.

Pada tahun 1956, al-QaraÌāwÊ bekerja di bidang pengawasan urusan agama di Kementrian Wakaf Mesir lewat khutbah (al-khiÏābah) dan mengajar (al-tadrÊs) di banyak masjid. Dan pada tahun yang sama, al-QaraÌāwÊ diangkat sebagai pembina di Insitut Para Imam (MaÑhad al-A’immah). Pada tahun 1959, beliau dipindahkan ke administrasi umum untuk kebudayaan Islām di Al-Azhar untuk menangani penerbitannya. Di samping itu, beliau juga bekerja di kantor bidang seni (al-maktab al-fannÊ) urusan dakwah dan penyuluhan.

Pada tahun 1961, al-QaraÌāwÊ ‘dipinjamkan’ ke Qatar untuk menjadi dekan di Institut Menengah Qatar. Dan pada tahun 1973, Fakultas Tarbiyah mengasas Universitas Qatar dan al-QaraÌāwÊ dipindahkan ke sana untuk membuka dan mengepalai departemen Islamic Studies (al-Dirāsāt al-Islāmiyyah). Al-QaraÌāwÊ pun dibebani tugas untuk mengasas Fakultas Syariah dan Islamic Studies (DirÉsÉt IslÉmiyyah) di Universitas Qatar tahun 1977. Di tahun ini pula beliau menjadi direktur Pusat Studi Sunnah dan Sirah Nabi (Markaz BuÍËts al-Sunnah wa al-SÊrah al-Nabawiyyah) di Universitas Qatar disamping bekerja sebagai dekan di fakultas yang sama.[4]

b. Buah Pena al-QaraÌā

Kegiatan dakwah al-QaraÌāwÊ, sebagai akademisi, tidak terbatas pada mengajar di universitas (dosen) dan masjid (penceramah). Tapi dakwahnya beliau salurkan dalam banyak tulisan: artikel, buku, wawancara, dan melalui situs pribadinya.[5] Dan sebagai penulis “produktif” al-QaraÌāwÊ telah menulis seratusan buku lebih, yang berbicara dalam berbagai topik dan isu. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

Al-×ālāl wa al-×arām; (2) al-‘Ibādah fÊ al-Islām; (3) al-Īmān wa al-×ayāh; (4) al-KhaÎā’iÎ al-‘Ómmah li al-Islām; (5) Musykilat al-Faqr wa Kayfa ‘Ólajahā al-Islām; (6) Fiqh al-Zakāh (2 Jilid); (7) Fawā’id al-BunËk Hiya al-Ribā al-MuÍarram; (8) al-×ulËl al-Mustawradah wa Kayfa Janāt ‘alā Ummatinā; (9) al-×all al-IslāmÊ FarÊÌah wa ÖarËrah; (10) Bayyināt al-×all al-IslāmÊ wa Syubuhāt al-‘AlmāniyyÊn wa al-MutagharribÊn; (11) al-Øabr fÊ al-Qur’ān al-KarÊm; (12) al-Nās wa al-×aqq; (13) Ghayr al-MuslimÊn fÊ al-Mujtama‘ al-IslāmÊ; (14) Tsaqāfah al-Dā‘iyah; (15) al-Tarbiyah al-Islāmiyyah wa Madrasah ×asan al-Bannā; (16) Risālah al-Azhar bayna al-Ams wa al-Yawm wa al-Ghad; (17) Jayl al-NaÎr al-MansyËd; (18) Úāhirat al-Ghuluww fÊ al-TakfÊr; (19) al-ØaÍwah al-Islāmiyyah bayna al-JumËd wa al-TaÏarruf; (20) al-ØaÍwah al-Islāmoyyah wa HumËm al-WaÏan al-‘ArabÊ al-IslāmÊ; (21) al-ØaÍwah al-Islāmiyyah bayna al-Ikhtilāf al-MasyrË‘ wa al-Tafarruq al-MadzmËm; (22) Min Ajli ØaÍwah Rāsyidah; (23) Ayna al-Khalal; (24) al-Islām wa al-‘Almāniyyah Wajah li Wajhin; (25) al-RasËl wa al-‘Ilm; (26) al-Waqt fÊ ×ayāt al-Muslim; (27) WujËd Allāh; (28) ×aqÊqah al-TawÍÊd; (29) al-‘Aql wa al-‘Ilm fÊ al-Qur’ān al-KarÊm; (30) al-Fiqh al-IslāmÊ bayna al-AÎālah wa al-TajdÊd; (31) ‘Awāmil al-Sa‘ah fÊ al-SyarÊ‘ah al-Islāmiyyah; (32) Fatāwā Mu‘āÎirah (2 Jilid); (33) al-Fatwā bayna al-InÌibāÏ wa al-Tasayyub; (34) Madkhal li Dirāsah al-SyarÊ‘ah al-Islāmiyyah; (35) al-Ijtihād al-Mu‘āÎir bayna al-InÌibāÏ wa al-InfirāÏ; (36) Kayfa Nat‘āmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah; (37) Kayfa Nat‘āmal ma‘a al-Qur’ān al-‘AÐÊm; (38) TaysÊr al-Fiqh: Fiqh al-Øiyām; (39) al-Imām al-GhazzālÊ bayna MādiÍÊh wa NāqidÊh. Dan dalam serial NaÍwa WaÍdah Fikriyyah li al-ÓmilÊn li al-Islām, al-QaraÌāwÊ menulis beberapa buku, yaitu: (i/40) SyumËl al-Islām, (ii/41) al-Marja‘iyyah al-‘Ulyā fÊ al-Islām li al-Qur’ān wa al-Sunnah, dan (iii/42) Mawqif al-Islām min al-Ilhām wa al-Kasyf wa al-Ru’ā. Dan karya-karya hasil ceramahnya, dibukukan menjadi: (i/43) Limādzā al-Islām?, (ii/44) Wājib al-Syabāb al-Muslim al-Yawm, (iii/45) Muslimat al-Ghad, (iv/46) al-ØaÍwah al-Islāmiyyah bayna al-Ómāl wa al-MaÍādzÊr, (v/47) al-Islām al-LadzÊ Nad‘Ë Ilayhi, (vii/48) ‘Awāmil NajāÍ Mu’assasah al-Zakāh fÊ al-TaÏbÊq al-Mu‘āÎir, (viii/49) al-Tarbiyah ‘inda al-Imām al-SyāÏibÊ, (ix/50) QÊmah al-Insān wa Ghāyah WujËdihi fÊ al-Islām; (51) al-Islām ×aÌārah al-Ghad; (52) Al-Ummah al-Islāmiyyah: ×aqÊqah lā Wahm; (53) FÊ Fiqh al-Awlawiyyāt; (54) al-Sunnah al-Nabawiyyah MaÎdaran li al-Ma‘rifah wa al-×aÌārah; (55) KhuÏab al-Syaikh al-QaraÌā (2 Jilid). Dan dalam serial TaysÊr Fiqh al-SulËk fÊ Öaw’ al-Qur’ān wa al-Sunnah; (i/56) al-×ayāh al-Rabbāniyyah wa al-‘Ilm, (ii/57) al-Niyyah wa al-IkhlāÎ, dan (iii/58) al-Tawakkul. Dan dalam serial TarsyÊd al-ØaÍwah, al-QaraÌāwÊ menulis beberapa buku: (i/59) al-DÊn fÊ ‘AÎr al-‘Ilm, (ii/60) al-Islām wa al-Fann, (iii/61) Markaz al-Mar’ah fÊ al-×ayāh al-Islāmiyyah, (iii/61) Fatāwā li al-Mar’ah al-Muslimah, (iv/62) al-Niqāb li al-Mar’ah bayna al-Qawl bi Bid‘iyyatihi wa al-Qawl bi WujËbihi, (v/63) JarÊmah al-Riddah wa ‘UqËbah al-Murtadd, (vi/64) al-Aqalliyyāt al-DÊniyyah wa al-×all al-IslāmÊ, dan (vii/65) al-Mubasysyirāt bi IntiÎār al-Islām; (66) Min Fiqh al-Dawlah[6], dan Fiqh al-JihÉd.[7]

Dengan melihat banyaknya karya al-QaraÌāwÊ di atas dapat dipahami bahwa beliau benar-benar penulis yang produktif, inspiratif, inovatif, kaya gagasan, dan responsive terhadap kondisi keumatan dan kekinian. Disamping beliau benar-benar seorang akademisi, penulis, da’i, dan orator yang ulung. Karena keluasan ilmunya itu beliau dijuluki sebagai al-‘Allāmah (orang yang luas ilmunya). Bahkan saat ini beliau diberi gelar sebagai Sayyid al-FuqahÉ’ (Penghulu Para Ahli Fiqh). Karena itu pula beliau mendapat amanah untuk menjadi ketua Persatuan Ulama se-Dunia.[8] Dan sampai saat ini, Al-QaraÌÉwÊ dianggap sebagai ulama terkemuka dalam merespon isu keumatan dan problematika kekinian lewat pemikiran-pemikirannya yang dipandang “moderat” dan akomodatif.

II. Al-QaraÌāwÊ dan Kebangkitan Islam

Menurut al-QaraÌāwÊ, seluruh bangsa pasti mengalami apa yang disebut dengan penyakit ‘hilangnya kesadaran’ (ghiyÉb al-waÑyi) individu. Penyebabnya adalah: ‘tidur’ atau kelalaian, atau “hipnotis” yang berasal dari luar dirinya. Begitu juga dengan ummat Islam. Mereka mengalami: tidur atau pura-pura tidur, kemudian “bangun” sebagaimana yang kita saksikan saat ini.[9] Artinya, orang yang tidur tidak selamanya tidur. Atau orang yang lalai tidak mungkin lalai selamanya. Dengan syarat, ada yang senantiasa mengingatkan.

Dari sana, al-QaraÌāwÊ ingin mengingatkan ummat Islam bahwa kemunduran, keterbelakangan, dan kelalaian adalah satu hal yang wajar terjadi. Hanya saja, fenomena ini perlu diwaspdai. Agar tidak melahirkan dan menimbulkan aksi yang merugikan dan meruskan kemajuan Islam. Di sini pula dapat dipahami bahwa al-QaraÌÉwÊ merupakan seorang pemikir Muslim kontemporer yang sangat concern terhadap kebangkitan IslÉm (ÎaÍwah islÉmiyyah).

Perhatiannya tersebut beliau tuangkan secara real dalam beberapa karyanya yang berbicara khusus mengenai ÎaÍwah islāmiyyah, seperti: al-ØaÍwah al-Islāmiyyah bayna al-JumËd wa al-TaÏarruf[10]; al-ØaÍwah al-Islāmiyyah wa HumËm al-WaÏan al-‘ArabÊ al-Islā[11]; Min Ajli ØaÍwah Rāsyidah[12]; dan al-ØaÍwah al-Islāmiyyah bayna al-Ikhtilāf al-MasyrË‘ wa al-Tafarruq al-MadzmËm.[13] Dan sebenarnya, al-QaraÌā terus mengukuhkan konsep ÎaÍwah islāmiyyah-nya dengan buku-buku yang lain, seperti: Ayna al-Khalal, Awlawiyyāt al-×arakah al-IslÉmiyyah, dan al-ØaÍwah al-IslÉmiyyah min al-MurÉhaqah ilÉ al-Rusyd.

Untuk memperjelas konsep al-QaraÌāwÊ mengenai al-ÎaÍwah al-islāmiyyah di atas, kiranya perlu membaca secara langsung tulisan-tulisannya, setidaknya, dari beberapa buku yang penulis nukil di atas. Berikut ini ulasannya.

a. Kebangkitan Islam: Antara Stagnasi dan Ekstremisme

Al-QaraÌāwÊ tidak mengingkari bahwa fenomena kebangkitan Islam dihiasi oleh aksi-aksi “berlebihan” (al-ghuluww) atau “ekstremisme agama” (al-taÏarruf al-dÊnÊ). Karena kebangkitan ini sangat terkait erat dengan pergerakan Islam. Maka tak heran muncul usaha dari penguasa (negara) untuk membendung fenomena kebangkitan ini. Namun pertanyaannya kemudian adalah: Apakah melawan sikap berlebih-lebihan (al-ghuluww) dan eksremisme dalam agama benar ada dan terjadi? Dan mengembalikan orang-orang ekstrem (al-ghulÉh) kepada manhaj yang moderat (al-iÑtidÉl) memiliki tujuan lain? Seperti ‘memukul’ gerakan Islam (al-taÍarruk al-islā) sebelum ia menjadi “dewasa” dan menguasai masyarakat dan memiliki peran politik yang strategis?[14]

Di sini, al-QaraÌÉwÊ sedang menyoroti fenomena hubungan gerakan Islam dengan negara. Dimana tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang gerakan pemuda Muslim bentrok dengan penguasa. Bahkan, tidak jarang aksi-aksi mereka berakhir dengan ‘berdarah-darah’. Geliat gerakan Islam dan keislaman kerap kali dicurigai oleh negara. Lebih aneh lagi, kata al-QaraÌÉwÊ, ketika gerakan-gerakan itu menjadi “moderat” malah dipukul oleh pemerintah.[15]

Setelah mendiskusikan fenomena benturan antara kekuasaan pemerintah dan gerakan Islam al-QaraÌāwÊ menyatakan bahwa, memang, ekstremisme agama sedang menjadi “tertuduh” (qafaÎ al-ittihām), dimana “lisan” dan pena menyerang dari berbagai penjuru untuk menyudutkan fenomena ini. Dan al-QaraÌāwÊ sendiri mengaku tidak mau condong ke pihak kuat (pemerintah) dan pihak lemah (gerakan Islam). Pihak lemah semakin diperlemah ketika tidak bisa membela diri. Karena bagaimana mungkin dia bisa membela diri sementara dia tidak punya ‘halaman’ dan ‘kolom’ dalam suatu surat kabar; tidak memiliki – atau dukungan dari – terminal penyiaran; tidak memiliki channel tv; bahkan mimbar masjid pun tidak bisa memberikan pembelaan apapun terhadapnya. Bahkan, tegas al-QaraÌāwÊ, orang-orang yang mengamalkan Islam mendapat tuduhan macam-macam: seperti konservatif (al-rajÑiyyah), fanatik (al-taÑaÎÎub), teroris (al-irhÉb), bahkan “antek-antek” – asing – (al-ÑummÉlah). Padahal, orang yang memperhatikan atau mempelajari hal itu dapat melihat dan merasa bahwa Timur dan Barat, Kanan dan Kiri “memusuhi” dan “mengawasi” mereka.[16]

Apa yang dikatakan oleh al-QaraÌāwÊ benar belaka. Apalagi jika tuduhan miring di atas dikaitkan dengan fenomena runtuhnya gedung kembar WTC pada tanggl 11 September 2001. Dimana semua tudingan dan tuduhan miring ‘singgah’ di wajah Islam dan kaum Muslimin. Meskipun tidak bisa dikaitkan secara diametrik dengan ekstremisme agama dan gerakam kaum ekstremis, seperti yang diduga banyak kalangan.[17] Namun yang jelas, upaya untuk menghadang gerakan kebangkitan Islam tampak nyata dan kentara. Bahkan tuduhan itu kerap kali dipahami sebagai upaya Barat mendiskreditkan Islam dan ummatnya.[18]

Namun apakah benar gerakan Islam itu “ekstrem” dan “melampaui batas” (al-ghuluww)? Dan apakah Islām mengajarkan kekerasan dan ekstremisme atas nama agama (al-taÏarruf al-dÊnÊ)? Ini lah, penulis kira, poin penting untuk menjelaskan bagaiman pemikiran al-QaraÌÉwÊ mengulasnya dengan baik. Berikut ulasannya!

b. Islam dan Ekstremisme

Sejatinya, manhaj Islam adalah wasaÏiyyah (moderat, moderatisme), bukan al-taÏarruf (ekstrem). Karena wasaÏiyyah merupakan salah satu “petunjuk umum” agama Islam yang dengannya Allah membedakan antara ummat Islam dengan ummat yang lain:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ

“Dan Kami menjadikan kalian (ummat Islam) sebagai ummat pertengahan agar kalian menjadi saksi bagi seluruh manusia…”[19]

Jadi, ummat Islam adalah ummat yang adil (al-Ñadl) dan moderat (al-iÑtidÉl), yang akan memberi kesaksian di dunia dan di akhirat tentang segala bentuk “penyimpangan”: menyimpang ke kanan atau ke kiri dan keluar dari jalan tengah yang lurus (al-wasaÏ al-mustaqÊm). Mempetegas ini, berikut akan diberikan penekanan (stressing) terhadap konsep wasaÏiyyah dan al-i‘tidÉl dalam Islam:

1. Imām AÍmad dalam al-Musnad, al-Nasa’Ê dan Ibn Mājah dalam Sunan mereka, dan al-×ākim dalam al-Mustadrak-nya meriwayatkan dari Ibn ‘Abbās bahwa Rasulullah bersabda:

إياكم والغـلو فـى الدين، فإن هلك من قبلكم الغلو فى الدين

(Hindarilah bersikap berlebih-lebihan dalam beragama, karena ummat sebelum kalian binasa karena sikap berlebih-lebihan dalam agama mereka). Yang dimaksud dengan ummat sebelum kita adalah ummat-ummat terdahulu, khususnya kaum Ahl al-KitÉb, dan lebih khusus adalah ummat Kristen yang diseru langsung oleh Allah dalam Al-Qur’ān:

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُواْ أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيراً وَضَلُّواْ عَن سَوَاء السَّبِيلِ

“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan MuÍammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.”[20]

Jadi Allah melarang kita untuk bersikap berlebih-lebihan sebagaimana yang mereka lakukan dalam agama mereka. Dan orang yang “bahagia”, tegas al-QaraÌāwÊ, adalah yang bisa mengambil pelajaran dari orang lain.[21]

2. Imām Muslim meriwayatkan dalam ØaÍÊÍ-nya, dari Ibn MasÑËd:

قالها ثلاثا «هلك المتنطعون» (Celakalah orang-orang mutanaÏÏiÑËn/berlebih-lebihan).

Dan menurut Imām al-NawawÊ, al-mutanaÏÏiÑËn adalah mereka yang suka “berdalam-dalam” (al-mutaÑammiqËn) dan melampaui batas (al-mujÉwizËna al-ÍudËd) dalam perkataan dan perbuatan mereka. Dan kedua ×adÊts ini dan sebelumnya menegaskan kepada kita bahwa akhir dari sikap berlebih-lebihan itu adalah “kebinasaan” (al-halÉk). Dan kehancuran ini mencakup kehancuran agama dan dunia. Dan sejatinya tidak ada kerugian yang lebih besar daripada kehancuran ini. Semoga ini menjadi warning (peringatan) bagi kita.

3. AbË YaÑlā dalam dalam Musnad-nya meriwayatkan dari Anas ibn Mālik bahwa Rasulullah bersabda:

لا تشددوا على أنفسكم، فيشدد عليكم، فإن قوما شددوا على أنفسهم، فشدد عليهم، فتلك بقاياهم فى الصوامع والديارات: «رهبانية ابتدعوها ما كتبناها عليهم»[22]

“Jangan mempersulit diri, nanti kalian akan dipersulit. Dan satu kaum yang suka mempersulit diri mereka akhirnya benar-benar dipersulit. Dan buktinya masih tersisa di sinagog dan gereja: (Dan mereka mengada-adakan rahbāniyyah (kerahiban, khususnya: tidak mau beristri dan tidak mau bersuami alias selibet) padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya)”

Dari tiga poin di atas dapat dilihat bagaimana “gigihnya” Rasulullah melawan sikap berlebih-lebihan atau ekstrem dalam beragama (al-ghuluww fÊ al-tadayyun). Beliau juga menolak para sahabatnya yang mencoba untuk berlebih-lebihan dalam “ibadah” – sampai mempersulit diri – dan zuhud –hingga kelewat batas, biasa disebut al-taqasysyuf).[23]

c. Tanda-tanda Ekstremisme (al-TaÏarruf)

Menurut al-QaraÌāwÊ ada beberapa bukti dan ciri sikap ekstrem, seperti:

1. Fanatik terhadap pendapat pribadi dan tidak mau menerima pendapat orang lain. Ringkasnya, tidak menerima ruang untuk dialog (al-Íiwār).[24]

2. Selalu bersikap terlalu ketat (al-iltizÉm al-syadÊd) sementara ada faktor yang juga mengharuskan bersikap “mempermudah” (al-taisÊr). Artinya, terkadang kita harus bersikap “ketat/tegas” namun juga ada kalanya kita harus untuk bersikap fleksibel.[25]

3. Bersikap “keras” (al-tasydÊd) tidak pada tempatnya, seperti berada di bukan negara Islām, atau bersikap dengan orang yang baru mengenal Islām, dslb. Orang-orang model ini harus disikapi dengan segala bentuk kemudahan –bukan mempermudah—dalam hal-hal yang farËÑiyyah (cabang, bukan hal-hal yang fundamental dalam agama). Namun demikian, harus dipahamkan hal-hal yang fundamental sebelum cabang (al-uÎËl qabla al-furËÑ) dan membenarkan keyakinan mereka terlebih dahulu.[26]

4. Kasar dalam berinteraksi (al-ghilÐah fÊ al-taÑÉmul), mengeluarkan gaya bahasa yang kasar pula (al-khusyËnah fÊ al-uslËb), minim akhak dalam berdakwah (al-faÐÉÐah fÊ al-daÑwah), yang kesemuanya bertentangan dengan petunjuk Allah dan rasul-Nya. Karena Allah menganjurkan kepada kita untuk mengajak manusia dengan hikmah (bijaksana), bukan dengan ‘kebodohan’ (al-ÍamÉqah); dengan nasehat yang baik (al-mawÑiÐah al-Íasanah), bukan dengan ungkapan yang kasar (al-ÑibÉrah al-khasyinah); dan berdebat/berdialog dengan cara yang lebih baik (aÍsan).[27] Karena anjuran untuk bersikap “kasar” dan “keras” hanya dianjurkan dua kali oleh Allah, dalam dua tempat di Al-Qur’ān: pertama, dalam peperangan dan menghadapi musuh[28] dan kedua, melaksanakan hukum syariat kepada yang berhak menerimanya.[29]

5. Berprasangka buruk kepada orang lain (sË’u al-ÐÐann bi al-nÉs), atau melihat mereka dengan menggunakan kacamata hitam (minÐÉr aswad) yang: menyembunyikan kebaikan-kebaikan mereka sembari memperbesar kejelekan-kejelekannya.[30]

6. Ini poin puncak, bahwa ciri ekstremisme itu adalah: mengkafirkan orang lain (al-takfÊr). Ini diakibatkan satu paham salah bahwa orang lain sudah keluar dari Islam. Ini lah yang pernah dilakukan oleh sekte KhawÉrij di awal kedatang Islam (fajr al-IslÉm). Padahal mereka adalah orang-orang yang sangat “ketat” dalam memegang syiar-syiar ibadah (al-syaÑÉir al-taÑabbudiyyah): puasa, qiyÉm al-layl dan membaca Al-Qur’ān. Karena yang rusak dari mereka adalah konsep berpikirnya (fasÉd al-fikr), bukan nuraninya (lÉ min fasÉd al-ÌamÊr).[31]

d. Sebab-sebab Munculnnya Ekstremisme

Tentunya, aksi dan sikap ekstremisme itu tidak muncul begitu saja. Pasti ada sebabnya. Ibarat pepatah, “Ada api ada asap.” Atau, dalam bahasa yang lebih tegas adalah: ada aksi, ada reaksi. Oleh karenanya, al-QaraÌāwÊ memberikan tawaran bahwa hal tersebut harus dicaritahu penyebabnya. Dan menurutnya, penyebab hal itu adalah: lemah dalam membaca hakikat agama (ÌaÑf al-baÎÊrah bi ÍaqÊqah al-dÊn), pandangan literalis terhadap teks-teks (al-ittijÉh al-ÐÉhirÊ fÊ fahm al-nuÎËÎ), sibuk dengan urusan pinggiran dan lupa dengan masalah besar (al-isytighÉ bi –l-maÑÉrik al-jÉnibiyyah Ñan al-qaÌÉyÉ al-kubrÉ), terlalu mudah mengatakan “haram” terhadap sesuatu (al-isrÉf fÊ al-taÍrÊm), kerancuan pemahaman/konsep (iltibÉs al-mafÉhÊm), mengikuti ayat-ayat mutasyÉbihÉt dan meninggalkan yang muÍkamÉt (ittibÉÑ al-mutasyÉbihÉt wa tark al-muÍkamÉt), tidak mau berdiskusi (berdialog), lemah pengetahuan mengenai sejarah, realitas dan sunnah alam dan kehidupan. Islam yang dipandang aneh di negerinya sendiri (ghurbah al-islÉm fÊ dÉrihi)[32], serangan terang-terangan dan konspirasi terselubung terhadap ummat Islam, pemasungan kebebasan dakwah Islam, melakukan tindak kekerasan (al-Ñunuf) dan melakukan penyiksaan (al-taÑdzÊb), tidak memerangi ekstremisme, malah menciptakannya.[33]

Dari sebab-sebab di atas dapat dilihat bahwa ekstremisme sangat berbahaya. Apalagi sebab-sebab munculnya tidak cepat dibendung dan dihambat. Oleh karena itu, penyakit ini butuh cara dan trik yang tepat dalam mendiagnosanya. Dan tentu saja, nurani ummat Islam tidak bisa dibohongi. Bahwa di sana terdapat aksi maupun konspirasi untuk “menggeser” dan “menggusur” eksistensi ummat Islam. Maka ini, khususnya setiap pemerintah dan pemegang otoritas, harus hati-hati dalam menyikapi hal ini. Karena tidak bisa suatu tindakan dipandang sebagai aksi “ekstremisme”, tanpa melihat sebab dan faktor yang memengaruhinya.

Namun demikian, tentu saja aksi “esktremisme” yang kebablasan, tanpa sebab yang dibenarkan tidak boleh dibiarkan. Ia harus cepat dicarikan solusinya, agar tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban pranata sosial yang ada dalam masyrakat. Fenomena ekstremisme di atas tentu saja butuh “obat” yang manjur dan mujarab.

e. Cara Mengobatinya

Merespon hal di atas, al-QaraÌāwÊ memberikan tawaran cara mengobati fenomena di atas, agar tidak sampai ‘mengotori’ spirit kebangkitan Islam. Maka, menurutnya, tiga pertanyaan yang perlu dijawab adalah: bagaimana mengobatinya? Bagaimana caranya? Dan, siapa yang harus melakukannya?[34] Karena yang perlu diobati adalah gerakan kebangkitan Islam yang banyak dimotori oleh para pemuda, maka cara mengobatinya adalah sebagai berikut:

Pertama, revitalisasi peran masyarakat Muslim (dawr al-mujtamaÑ). Yaitu, masyarakat harus benar-benar berafiliasi dan benar-benar konsisten terhadap ajaran Islam dengan benar. Dan masyarakat ini harus riÌā dalam menerima hukum Allah dan rasul-Nya dalam setiap lini kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan pemikiran.[35]

Kedua, para penguasa Muslim harus kembali kepada syariat (hukum Allah). Artinya, menurut al-QaraÌāwÊ, para penguasa Muslim, yang mengatur masyarakat Muslim harus mengatur mereka sesuai ÑaqÊdah (keyakinan) mereka.[36] Di sini seorang pemimpin harus memahami benar keadaan masyarakatnya. Dari segi psikologi, agama, dan keyakinannya. Karena tanpa unsur ini, sang pemimpin tidak akan mampu mengatur masyarakat Muslim.

Ketiga, berinteraksi lewat spirit kebapakan dan penuh rasa persaudaraan (rËÍ al-ubuwwah wa al-ukhuwwah). Agar mereka merasa bahwa mereka bagian dari kita dan kita bagian dari mereka. Dengan demikian, mereka menjadi buah hati kita, harapan hidup kita, dan masa depan ummat kita. Oleh karenanya, kita harus masuk kepada mereka lewat “pintu cinta” (bÉb al-Íubb) dan kasih sayang, bukan lewat pintu tuduhan dan penuh kesombongan.[37]

Keempat, tidak ekstrem ketika menggambarkan ekstremisme. Artinya, dia harus berikap netral dan seimbang (al-iÑtidÉl wa al-ittizÉn)[38], jujur, objektif dan netral. Karena sikap yang tidak netral dan tidak objektif hanya akan menimbulkan kesan “keberpihakan” yang akhirnya muncul kecurigaan. Jangan sampai sikap ummat Islam dicurigai secara berlebihan. Akhirnya, kebenaran dan keagungan ummat Islam tidak dapat diakses dengan lebih terbukan dan lebih baik. Yang muncul kepermukaan adalah, istilah Edward Said, covering Islam (upaya menutup-nutupi hakikat Islam).[39] Seperti yang selama ini dilakukan oleh media, intelek, dan orang-orang Barat yang ingin merusak citra Islam.

Kelima, membuka jendela kebebasan – bukan liberalisme atau liberalisasi_pen. Artinya, harus ada kebebasan yang dikawal dengan kritik dan menghidupkan ruh nasehat dalam agama. Kita harus berani mengatakan seperti kata-kata ÑUmar ibn al-KhaÏÏÉb, “MarÍaban bi al-nÉsiÍ abada al-dahr, marÍaban bi al-nÉsiÍ ghuduwwan wa Ñisyiyyan…raÍima AllÉhu ‘m-ra’an ahdÉ ilayya ÑuyËba nafsÊ” (Selamat datang sang pemberi nasehat selamanya! Selamat datang sang pemberi nasehat, pagi dan petang! Allah merahmati seseorang yang menunjukkan aib-aib diriku kepadaku).[40]

Dan terakhir, tidak membalas pengkafiran dengan pengkafiran. Juga, tidak membalas ekstremisme pemikiran (al-taÏarruf al-fikrÊ) dengan esktremisme pemikiran yang sama.[41] Dengan keenam poin ini diharapkan fenomena ekstremisme dapat dibendung dan diarahkan dengan baik.

Namun demikian, kewajiban untuk memenej para pemuda tidak hanya dengan enam poin di atas. Yang lebih penting, menurut al-QaraÌāwÊ, para pemuda itu harus dipahamkan kewajiban mereka. Dan starting point untuk itu adalah: kebenaran metode (salÉmah al-manhaj) yang harus mereka lalui dalam memahami Islam; berinteraksi dengan diri mereka sendiri, dengan sesama manusia dan dengan kehidupan. Di sini pentingnya konsep-konsep yang terkandung di dalam ilmu UÎËl al-Fiqh.[42] Ini yang pertama.

Kedua, konsep fiqh parsial dalam bingkai fiqh general (fiqh al-juz’iyy t fÊ Ìaw’ fiqh al-kulliyyÉt). Artinya: memahami syariat secara komperhensif, lewat teks-teks parsial sekaligus teks-teks uÎËl (pokok).[43] Ketiga, fiqh mengenai urutan hukum dan etika berbeda pendapat (fiqh marÉtib al-aÍkÉm wa ÉdÉb al-khilÉf).[44] Di sini yang menjadi urgen dan penting dipelajari adalah etika berdialog dengan pihak yang berbeda pandangan.[45] Keempat, mengetahui nilai-nilai amal dan urutannya (al-Ñilm biqiyam al-aÑmÉl).[46] Kelima, menghargai keadaan manusia dan kelemahan (kekurangan) mereka.[47] Keenam, fiqh mengenai sunnatullāh dalam penciptaan-Nya. Khususnya dalam sunnah gradualitas (al-tadarruj). Ini artinya dalam hidup ini yang dituntut adalah “kesabaran” (al-Îabr).[48] Ketujuh, dialog seputar sunnah kemenangan dan syarat-syaratnya (Íiwār Íawla sunnah al-naÎr wa syurËÏihi).[49]

Ketujuh poin ini penting agar para pemuda tidak salah kaprah dalam berinteraksi dengan Islām. Ini belum cukup, karena al-QaraÌāwÊ masih memberikan poin penting, yaitu para pemuda harus dibimbing oleh spirit kebapakan (nasehat bapak/orangtua). Dan mengenai poin ini dapat dibaca lebih jelas dalam poin di bawah ini.

f. Nasehat Bapak kepada Pemuda Islam

Nasehat-nasehat yang harus diberikan kepada para pemuda Islam adalah berupa “ dialog konstruktif”. Dan dialog ini harus mencakup printi-piranti penting berikut:

1. Menghargai spesialisasi.[50]

2. Mengambil ilmu dari ahli wara‘ dan netral/bijaksana (iÑtidÉl).[51]

3. Mempermudah, bukan mempersulit (yassirË walÉ tuÑassirË).[52]

4. Berdakwah dengan penuh bijaksana dan cara yang baik.[53]

5. Bergaul dengan masyarakat.[54]

6. Berprasangka baik kepada ummat Islam.[55]

Dengan beberapa poin penting yang diberikan oleh al-QaraÌāwÊ mengenai kebangkitan Islam tersebut di atas, para pemuda dapat dihindarkan dari aksi-aksi yang berlebihan (al-ghuluww) dan ekstremisme (al-taÏarruf). Dan tentunya penting juga untuk dibahas bagaimana sebenarnya kebangkitan yang menjadi obsesi Islam. Dan berikut pandangan al-QaraÌāwÊ mengenai hal ini.

III. Kebangkitan Islam: Obsesi Bangsa Arab-Islam

Dalam bukunya al-ØaÍwah al-IslÉmiyyah: HumËm WaÏan al-ÑArabÊ al-IslÉmÊ al-QaraÌāwÊ mengagas konsep kebangkitan Islam dengan lebih konkret dan sangat mendasar. Dalam bukunya ini dia membahas beberapa poin penting: a) konsep kebangkitan, karakteristik, dan faktor-faktornya; b) Islam menurut konsep kebangkitan dan aliran moderatnya; c) pandangan komprehensif mengenai kebangkitan Islam, d) analisis terhadap kebangkitan Islam; dan e) masa depan kebangkitan Islam. Dan untuk pemahaman lebih detail, poin-poin tersebut akan diulas berikut ini.

a. Konsep Kebangkitan dan Karakteristiknya

Kebangkitan Islam yang dimaksud oleh al-QaraÌāwÊ adalah kesadaran kembali ummat Islam setelah mereka terlena, tertidur, atau pura-pura tidur.[56] Artinya, selama ini ummat Islam tidak sadar akan keterbelakangan dan kemunduran peradaban mereka. Sehingga, mereka ‘tertidur pulas’, berleha-leha, dan acuh tak acuh dengan kondisi yang menimpa Islam dan ummatnya. Namun demikian, menurut al-QaraÌÉwÊ, ummat Islam sudah “bangkit”. Dan kebangkitan ini menurutnya memiliki karakteristik tersendiri, yaitu:

a. Kebangkitan nalar dan ilmu (ÎaÍwah Ñaql wa Ñilm). Cirinya: beredarnya buku-buku Islami dan fenomena penerjemahan buku-buku Islam ke dalam bahasa lain.[57]

b. Kebangkitan qalbu dan perasaan (ÎaÍwah qalb wa masyÉÑir). Cirinya: menanjaknya religiusitas para pemuda, terutama dalam ranah: ‘aqÊdah, syariat dan negeri Islam. Dalam ranah syariat Islam, misalnya, sekarang banyak suara-suara dari kalangan pemuda yang menyerukan diterapkannya syariat Islam. Dan dalam ranah negeri-negeri Islam kita melihat banyak perhatian terhadap isu-isu Islam, seperti: penyelenggaraan muktmar, siomposium, atau seminar-seminar mengenai Islam, keislaman, dll.[58]

c. Kebangkitan konsistensi dan amal (ÎaÍwah iltizÉm wa Ñamal). Seperti: banyaknya ummat Islam yang sudah menjauhi khamar, rokok, dll. Contoh lain adalah semangat saudara-saudara kita di Filipina yang menentang kedengkian kaum Salibis.[59]

d. Kebangkitan pemuda yang berwawasan luas (ÎaÍwah al-syabÉb al-mutsaqqaf). Karena pemuda merupakan “tulang punggung” (al-ÑamËd al-faqrÊ) kebangkitan dan perjalanannya, baik pemuda ini laki-laki maupun perempuan. Ini dilihat dari gerakan para pemuda itu dalam berbagai universitas dan jurusan yang ada di dalam setiap universitas yang ada.[60]

e. Kebangkitan kaum Muslimin dan Muslimat. Seperti fenomena pemakaian jilbab (al-ÍijÉb).[61] Dan ini berasal dari kesadaran mereka akan perintah Allah[62], bukan mengikuti trend yang ada. Meskipun tidak sedikit yang demikian. Sehingga banyak para Muslimah yang memakai jilbab asal jadi. Tentu ini tidak bisa dianggap sebagai model kebangkitan Islam.

f. Kebangkitan universal (ÎaÍwah ÑÉlamiyyah). Artinya, kebangkitan ini tidak hanya terjadi di negeri-negeri Arab, tapi juga terjadi di Asia dan Afrika, di Timur dan di Barat, dalam dunia Islam dan di luarnya.[63]

b. Apa yang Telah Diberikan oleh Kebangkitan Ini?

Menurut al-QaraÌÉwÊ, pertanyaan di atas adalah keliru. Dan orang-orang yang mempertanyakannya terjebak dalam kekeliruan. Dan kekeliruan ini dapat dilihat dari beberapa poin berikut:

a. Kebangkitan ini adalah starting poin, awal kebangkitan seorang manusia. Jadi tidak mungkin orang yang baru sadar diminta berperan lebih banyak ketimbang orang yang sudah “bangun sejak lama”.

b. Kebangkitan bukan hal yang terpisah dari kita. Artinya, peran kita pun diharapkan untuk mewujudkan kelanggengan kebangkitan ini.

c. Kebangkitan ini tidak serta-merta dapat mewujudkan tuntutan dan keinginan. Disamping kebangkitan ini tidak dapat mengharap apa-apa dari kita, kalau terus-menerus menjadi “tersangka”.

d. Kebangkitan ini adalah gerakan nalar, hati dan kemauan. Artinya, harus ada usaha yang berkelanjutan dan berkesinambungan (kontinuitas) ke arah yang lebih baik dan bermanfaat. Ringkasnya, diperlukan ijtihÉd di dalamnya.[64] IjtihÉd yang mencoba menemukan solusi-solusi untuk membongkar kejumudan berpikir dalam mendiagnosa factor kebangkitan dan keruntuhan kebangkitan Islam.

c. Faktor-faktor Kebangkitan

Faktor-faktor yang melahirkan kebangkitan Islam banyak sekali. Ada yang mengatakan “pemicunya” adalah kekalahan ekonomi. Ada juga pendapat yang menyatakan sebabnya adalah: psikologis, terutama setelah kekalahan tahun 1967, setelah diawali kekalahan pada tahun 1948. Dimana Israel menduduki Palestina.[65] Maka tak heran jika banyak bermunculan gerakan pembaruan dan dakwah yang memberikan pengaruh terhadap kebangkitan.

Artinya, kebangkitan Islam merupakan perpanjangan tangan dan pembaruan dari berbagai gerakan Islam dan aliran pemikiran yang pernah ada sebelumnya. Contoh-contoh dapat dicantumkan di sini, seperti:

a. Pembaharu Jazirah Arabia dan pembangkit dakwah salafiyah serta alumnus Mazhab ×anbalÊ, Syeikh MuÍammad ibn ÑAbd al-WahhÉb (w. 1206 H/1792 M);

b. Pendiri gerakan SanËsiyah di Libiya, Syeikh MuÍammad ‘AlÊ al-SanËsÊ (w. 1276 H/1859 M);

c. Dai dan MujÉhid Sudan, MuÍammad AÍmad al-MahdÊ (w. 1302 H/1885 M)[66];

d. Musuh Imperialis/Kolonialis dan Dai Universitas Islām, Jamāl al-DÊn al-AfghānÊ (w. 1314 H/1897 M);

e. Musuh Despotisme Politik, Syeikh ‘Abd al-RaÍmān al-KawākibÊ (w. 1320 H/1902 M)[67];

f. Murid al-AfghānÊ yang sama-sama menggagas jurnal al-Urwah al-Wutsqā, MuÍammad ‘Abduh (w. 1323 H/1905 M)[68];

g. Murid ‘Abduh, sahabat sekaligus penyebar ilmunya, Sayyid RasyÊd RiÌā (w. 1354 H/1935 M). Beliau adalah pemilik jurnal al-Manār dan TafsÊr al-Manār[69];

h. Penentang sekularisme Kamālian dan seorang tiranik Attatürk, Syaikh BadÊ‘ al-Zamān Sa‘Êd al-NursÊ;

i. Imām al-SyahÊd ×asan al-Bannā (w. 1367 H/1949 M);

j. Abul AÑlā Maududi (w. 1399 H/1979 M);

k. Syeikh ÑAbd al-×amÊd ibn BÉdÊs (w. 1359 H/1940 M);

l. Syeikh Dr. MuÎÏafā al-SibÉÑÊ (w. 1385 H/1965 M);

m. Al-SyahÊd Sayyid QuÏb; dll.[70]

d. Aliran Moderat Islam dan Karakteristiknya

Salah satu aliran penting dalam kebangkitan Islam adalah “aliran moderat Islam” (tayyÉr al-wasaÏiyyah al-islÉmiyyah). Ini penting dibicarakan karena beberapa hal:

a. Aliran ini memerankan kaidah yang jelas dalam kebangkitan Islam;

b. Aliran ini merupakan aliran yang paling awal dalam sejarah kebangkitan dan pembaruan Islam;

c. Aliran yang sangat diharapkan kontinuitasnya, karena aliran ekstrem biasanya singkat usianya;

d. Aliran ini menurut al-QaraÌāwÊ adalah aliran yang benar. Karena menggambarkan moderatisme metode Islam yang disebut oleh Al-Qurān sebagai “jalan yang lurus” (al-ÎirÉÏ al-mustaqÊm) sekaligus sebagai moderatisme ummat Islam.[71]

Aliran ini juga memiliki karakteristik yang penting untuk dicermati dan diaplikasikan, seperti: (a) menyatukan Salafisme dan Pembaruan[72]; (b) keseimbangan antara tsawÉbit (konstan) dan mutaghayyirÉt (berubah).[73] Hal-hal yang tsawābit (tak berubah dan tidak bisa diubah) adalah dalam 4 ranah penting: (1) ÑaqÊdah, (1) ibadah, yaitu rukun Islām, (3) nilai-nilai akhlak yang tinggi, seperti: keterhubungan manusia dengan Tuhannya dalam ibadah lewat keikhlasan, dan (4) dalam hukum-hukum qatÑÊ (tegas dan pasti), semisal: warisan, kewajiban memberi nafkah keluarga dan lain-lain; (c) mewaspadi adanya pembekuan, pengerdilan dan pemecah-belah Islam[74]. Tiga aliran ini penting untuk dijelaskan, sebagai berikut.

Pertama, trend pembekuan Islam ditampilkan oleh dua kelompok yang saling bertentangan: (1) kelompok yang berpegang kepada pendapat ulama klasik, seperti imam mazhab yang empat. Seakan-akan para iman ini tidak menghendaki pendapat lain. Mereka yakin bahwa ulama salaf itu tidak meninggalkan apapun untuk – ijtihād – ulama kemudian (khalaf). Intinya, kelompok ini menolak ijtihÉd; dan (2) kelompok yang sangat literalis, khususnya teks-teks Sunnah. Dimana mereka menolak pendapat ulama klasik maupun ulama muta’akhkhirÊn (belakangan). Ini disebut oleh al-QaraÌāwÊ dengan al-ÚÉhiryyah al-Judad (Neo-ÚÉhiriah).

Kedua, trend pengerdilan atau pengosongan Islam dari kandungannya yang tsÉbit (konstan, tetap) dan hukum-hukumnya yang abadi. Tujuan trend ini adalah mendistorsi hakikat (kebenaran) Islām. Oleh karenanya, ada satu aliran yang disebut dengan tanÎÊr al-IslÉm (Kristenisasi Islam), karena menyamakan antara TawÍÊd dan trinitas, antara Al-Qur’ān yang terpelihara dengan InjÊl yang sudah didistorsi. Dan trend ketiga adalah pemecah-belah atau pengebirian Islam. Islam adalah jalan hidup (way of life) yang integral: material-spiritual, individual-masyarakat, agama-duniawi, idealisme-realisme, dlsb.

Namun ada yang ingin memecah-mecah dan memisah-misahkannya (dikotomik). Oleh karenanya ada yang berpandangan bahwa ibadah tanpa akhlak tidak apa-apa. Atau akhlak tanpa ibadah, tidak jadi masalah. Padahal Allah sudah menggariskan kewajiban jin dan manusia adalah beribadah (Qs. al-DzÉriyÉt [51]: 56). Bahkan Nabi pun bersabda, “InnamÉ buÑitstu li’utammima makÉrima ‘l-akhlÉq” (Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia);[75] (d) pemahaman yang komprehensif terhadap Islam.[76]

Karakteristik keempat (d) ini dapat dilihat perannya dalam empat dimensi penting: (a) dimensai iman (al-buÑdu al-ÊmÉnÊ), yang berkaitan erat dengan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs); (b) dimensi sosial (al-buÑdu al-ijtimÉÑÊ), yang berkaitan erat dengan masyarakat dan hanya dapat diperbaiki dengan konsep keadilan (al-ÑadÉlah); (c) dimensi politis (al-buÑdu al-siyÉsÊ), ini berkaitan dengan hukum dan hanya dapat diperbaiki dengan konsep syËrÉ; (d) dimensi hukum (al-buÑdu al-tasyrÊÑÊ), ini berkaitan dengan sistem dan hanya dapat diperbaiki dengan hukum Allah (al-tasyrÊÑ); dan (e) dimensi peradaban (al-buÑdu al-ÍaÌÉrÊ), yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan dan hanya dapat diperbaiki dengan lima hal penting: (1) ilmu/sains, (2) pemakmuran bumi (ÑimÉrat), (3) harta (al-mÉl), (4) kesehatan (al-ÎiÍÍah), dan (5) menikmati semerbak minyak wangi dan perhiasan (al-zÊnah).[77]

Kelima hal di atas merupakan konsep-konsep seminal yang diajukan oleh al-QaraÌÉwÊ dalam memahami Islam secara komprehensif (al-fahm al-syÉmil li al-IslÉm). Karena tanpa pemahaman yang benar, holistik, dan komprehensif terhadap Islam maka cita-cita kebangkitan Islam hanya “isapan jempol belaka”. Dia tidak pernah mewujud menjadi sebuah kenyataan.

IV. KhÉtimah

Wacana kebangkitan Islam memang sudah lama dibincangkan oleh para pemikir, intelek, dan sarjana Muslim. Dan ini menjadi tanggungjawab secara “estafet” bagi ummat Islam. Al-QaraÌÉwÊ. Dan mengenai ini, al-QaraÌÉwÊ pernah menggantungkan harapannya kepada gerakan Islam. Dan beliau pernah memberikan nasehatnya kepada gerakan Islam agar melakukan gerakan penyadaran terhadap Islam. Karena memang ummat Islam pernah tertidur pulas – untuk tidak mengatakan hari ini pun mereka sedang tertidur pulas. Meskipun di sana-sini mulai terdengar suara-suara kebangkitan ini – sekian lama. Maka perlu disadarkan kembali.[78] Namun mayoritas suara itu masih bersifat lokal. Paling jauh regional. Padahal, seharusnya suara kebangkitan itu bergema secara internasional, seperti yang diinginkan oleh FatÍÊ Yakan.[79]

Dan kebangkitan ini harus ditopang juga dengan pemahaman yang komprehensif terhadap makna dan hakikat Islam. Karena “salah faham” terhadap Islam dapat melahirkan tindakan yang salah atas nama Islam. Maka penting untuk memahami hakikat Islam ini.[80] Selain itu, kesadaran kolektif ummat Islam perlu dibangkitan, agar sadar bahwa mereka adalah sebuah ummat.[81] Sehingga mereka mereka merasa “senasib-sepenanggungan”. Dan satu hal penting juga adalah memupuk kembali loyalitas setiap individu Muslim terhadap Islam.[82] Disamping harus ada diagnosa yang serius tentang kondisi ummat Islam hari ini. Agar tidak salah melakukan ‘pengobatan’.[83] Dengan begitu, kebangkitan Islam akan terwujud-mendunia. Dan memang Islam akan kembali menguasai bumi, seperti yang dijanjikan oleh Kanjeng Nabi.[84]

~Wa AllÉh min WarÉ’ al-QaÎd, wa Minhu al-ÑAwn wa Bihi al-TawfÊq~






[1]YËsuf al-QaraÌāwÊ, Min Ajli ØaÍwah Rāsyidah, (Cairo: Dār al-SyurËq, cet. I, 1421 H/2001 M), hlm. 7.

[2]Lihat, ShakÊb Arselān, Limādā Ta’akhkhara’l-MuslimËn wa Limādzā Taqaddama Ghayruhum?, (Beirut-Lebanon: Dār Maktabah al-×ayāh, t.t.p.).

[3]Ibid., hlm. 75-77.

[4]Sulaiman ibn ØāliÍ al-KhurāsyÊ, Al-QaraÌāwÊ fÊ al-MÊzān, (RiyāÌ-Saudi Arabia: Dār al-Jawāb li al-Nasyr wa al-TawzÊ‘, cet. I, 1419 H/1999 M), hlm. 9-11.

[5]Situs pribadi al-QaraÌāwÊ dapat diakses di http://www.qaradawi.net/. Di situs pribadinya ini, para pembaca akan menemukan berbagai informasi mengenai aktivitas al-QaraÌāwÊ, seperti: diskusi, muktamar, seminar, khutbah, penulisan artikel, fatwa dan ulasan sebagian buku-bukunya. Selamat berkunjung dan menikmati sajiannya!

[6]Daftar buku-buku al-QaraÌāwÊ dapat dicek di setiap cover belakang buku-bukunya, seperti cover belakang buku Fawā’id al-BunËk Hiya al-Ribā al-MuÍarram, (Cairo: Dār al-ØaÍwah li al-Nasyr wa al-TawzÊÑ, cet. II, 1415 H/1994 M); al-Islām ×aÌārat al-Ghad, (Cairo: Maktabah Wahbah, cet. I, 1416 H/1995 M); al-ÑAql wa al-ÑIlm fÊ al-Qur’ān al-KarÊm, (Cairo: Maktabah Wahbah, cet. I, 1416 H/1996 M); al-ØaÍwah al-Islāmiyyah wa HumËm al-WaÏan al-‘ArabÊ al-IslāmÊ, (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, cet. II, 1414 H/1993 M); atau al-×ayāh al-Rabbāniyyah wa al-ÑIlm, (Cairo: Maktabah Wahbah, cet. I, 1416 H/1995 M).

[7]Lengkapnya, judul buku ini adalah Fiqih al-JihÉd: DirÉsah MuqÉranah li AÍkÉmihi wa Falsafatihi fÊ Öaw’ al-Qur’Én wa al-Sunnah (Cairo: Maktabah Wahbah, 2009). Dan buku merupakan karya paling anyar dari al-QaraÌÉwÊ. Buku ini ditulis oleh beliau selama 6 tahun. Ia menyatakan bahwa bukunya ini merupakan masterpiece-nya. Buku ini lahir dari kegelisahan-intelektual YËsuf al-QaraÌÉwÊ akan maraknya berbagai aksi kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Kemudian, buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Irfan Maulana Hakim, Arif Munandar Riswanto, Saifuddin, Irwan Kurniawan, dan Aedhi Rakhman Saleh, kemudian diterbitkan oleh Mizan (cetakan I, RabÊÑ TsÉnÊ 1431 H/April 2010 M) dengan judul Fiqih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihad Menurut Al-Qur’an dan Sunnah.

[8]Namun demikian, bukan berarti pemikiran dan ide-ide al-QaraÌāwÊ ‘sepi dari kritik’. Karena suatu ide, pemikiran atau konsep, tidak semuanya disepakati oleh pihak lain. Dua diantara buku yang mengkritik al-QaraÌāwÊ, adalah: (1) Sulaiman ibn ØāliÍ al-KhurāsyÊ, al-QaraÌāwÊ fÊ al-MÊzān, (RiyāÌ-Saudi Arabia: Dār al-Jawāb li al-Nasyr wa al-TawzÊ‘, cet. I, 1420 H/1999 M) dan (2) AÍmad ibn MuÍammad ibn ManÎËr al-‘AdÊnÊ, RafÑu al-Litsām Ñan Mukhālafah al-QaraÌāwÊ bi SyarÊÑah al-Islām, (ØanÑā’-Yaman: DÉr al-Ótsār, cet. II, 1422 H/2001 M).

[9]al-QaraÌāwÊ, al-ØaÍwah al-Islāmiyyah wa HumËm al-WaÏan al-‘ArabÊ al-IslāmÊ, (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, cet. II, 1414 H/1993 M), hlm. 11.

[10]Diterbitkan oleh Dār al-SyurËq, (Cairo, cet. I, 1421 H/2001 M). Sejatinya, menurut al-QaraÌāwÊ, buku yang pertama sekali ditulisnya mengenai al-ÎaÍwah al-islāmiyyah adalah bukunya al-ØaÍwah al-Islāmiyyah bayna al-JumËd wa al-TaÏarruf. Kemudian konsep al-ÎaÍwah al-islāmiyyah-nya dipertegas dengan buku-bukunya yang lain, yang kesemuanya penulis cantumkan dalam tulisan ini. Lihat, al-QaraÌāwÊ, al-ØaÍwah al-Islāmiyyah bayna al-JumËd wa al-TaÏarruf, (Cairo: Dār al-SyurËq, cet. I, 1421 H/2001 M), hlm. 5-6. Buku ini, menurut al-QaraÌāwÊ terbit pertama kali pada tahun 1402 H di Jurnal al-Ummah, Qatar. [ibid., hlm. 7). Selanjtunya, buku ini akan disingkat dengan al-JumËd wa al-TaÏarruf.

[11]Diterbitkan oleh Mu’assasah al-Risālah, (Beirut,cet. II, 1414 H/1993 M). Buku ini kembali diterbitkan oleh Maktabah Wahbah, (Cairo, cet. II, 1417 H/1997).

[12]Diterbitkan oleh Dār al-SyurËq, (Cairo, cet. I, 1421 H/2001 M).

[13]Diterbitkan oleh Dār al-SyurËq, (Cairo, cet. I, 1421 H/2001 M).

[14]Al-QaraÌāwÊ, al-JumËd wa al-TaÏarruf, hlm. 16.

[15]Ibid., hlm. 17.

[16]Ibid., hlm. 18.

[17]Lihat misalnya, John L. Esposito, Islam Warna Warni: Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus (al-ØirāÏ al-MustaqÊm) [Islam: The Straight Path], terjemah: Arif Maftuhin, (Jakarta: Paramadina, cet. I, 2004), hlm. 313.

[18]Lihat, al-QaraÌāwÊ, Kita dan Barat: Menjawab Berbagai Pertanyaan yang Menyudutkan Islam (NaÍnu wa al-Gharb: As’ilah Syā’ikah wa Ajwibah ×āsimah), terjemah: Arif Munandar Riswanto & Yadi Saeful Hidayat, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, cet. I, 2007), hlm. 67-84.

[19]Qs. al-Baqarah [2]: 143.

[20]Qs. al-Mā’idah [5]: 77. Untuk memperjelas larangan Allah untuk berbuat al-ghuluww (berlebih-lebihan) dalam ayat ini – mengenai ummat Kristen – lihat ayat-ayat sebelum (sibāq) ayat 77 (dari ayat 72-76) dan ayat-ayat berikutnya (liÍāq), dari ayat 78-82 dalam surah al-MÉ’idah.

[21]Al-QaraÌāwÊ, al-JumËd wa al-TaÏarruf , hlm. 24.

[22]Ayat di atas adalah penggalan dari Qs. al-×adÊd [57]: 27. Lihat, al-QaraÌāwÊ, al-JumËd wa al-TaÏarruf, hlm. 25.

[23]Ibid., hlm. 25.

[24]Lebih detil, lihat ibid., hlm. 35-36.

[25]Ibid., hlm. 36-38.

[26]Ibid., hlm. 38-40.

[27]Cermati Qs. al-NaÍl [16]: 125, al-Tawbah [9]: 128 dan Āli ÑImrÉn [3]: 159.

[28]Cermati Qs. al-Tawbah [9]: 123.

[29]Cermati Qs. al-NËr [33]: 2. Lihat, al-QaraÌāwÊ, al-JumËd wa al-TaÏarruf, hlm. 40-42.

[30]Ibid., hlm. 43-45.

[31]Ibid., hlm. 46-46. Pembahasan rinci mengenai bahaya al-takfÊr ini dapat disimak dalam karya al-QaraÌāwÊ, ÚÉhirah al-Ghuluww fÊ al-TakfÊr, (Cairo: Maktabah Wahbah, cet. III, 1411 H/1990 M). Lihat juga, ÑAbd Allāh ibn ÑAbd al-ÑAzÊz al-JibrÊn, Vonis Kafir dalam Timbangan Islam (ÖawābiÏ al-TakfÊr al-MuÑayyan), Terj. Thohir Abdul Aziz Attamimi, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, cet. I, 1428 H/2007 M).

[32]Buku yang sangat baik mengulas mengenai “ghurbah” adalah karya Dr. Salman al-ÑAudah, Generasi Ghuraba’: Mengapa Islam Menjadi Asing dan Bagaimana Keluar dari Keterasingan, Terj. Sarwedi M. Amin Hasibuan (Solo: Aqwam, cet. I, 1418 H/2007 M).

[33]Lihat lebih detil, al-QaraÌāwÊ, al-JumËd wa al-TaÏarruf, hlm. 51-101.

[34]Ibid., hlm. 103.

[35]Lebih detil, ibid., hlm. 104-105. Mengenai bagaimana konsep masyarakat Muslim yang ideal, al-QaraÌÉwÊ telah menulis satu buku penting, MalÉmiÍ al-MujtamaÑ al-Muslim al-LadzÊ Nansyuduhu (Cairo: Maktabah Wahbah, cet. I, 1414 H/1993 M).

[36]Ibid., hlm. 105-107.

[37]Ibid., hlm. 107-109.

[38]Ibid., hlm. 109-113.

[39]Lihat, Edward W. Said, Covering: Bias Liputan Barat atas Dunia Islam, Terj. A. Asnawi & Supriyanti Abdullah (Yogyakarta: Ikon Teralitera, cet. I, 2002).

[40]Ibid., hlm. 113-115.

[41]Ibid., hlm. 115-118.

[42]Ibid., hlm. 118-119. Karena harus diakui dengan jujur dan baik, bahwa ilmu UÎËl al-Fiqh fondasari dasar dalam membentuk paradigm berpikir yang benar. Untuk itu, cara berpikir yang sangat falsafi dapat ditemukan secara mendasar dan fundamental dalam ilmu yang diasas oleh Imam MuÍammad IdrÊs al-SyÉfiÑÊ ini lewat bukunya al-RisÉlah.

[43]Ibid., hlm. 119-124.

[44]Ibid., hlm. 124-136.

[45]Mengenai etika berbeda pendapat ini dapat simak lebih detil dan jelas dalam AbË MuÑÉdz MËsÉ ibn YaÍyÉ al-FÊfÊ, al-×iwÉr: UÎËluhu wa ÓdÉbuhu wa Kayfa NurabbÊ AbnÉ’anÉ ÑAlayhi (al-MadÊnah al-Munawwarah: DÉr al-KhuÌayrÊ li al-Nasyr, 1427 H). Lihat juga, Sayf al-DÊn SyÉhÊn, Adab al-×iwÉr fÊ al-IslÉm (Jeddah: Racem li al-DiÑÉyah wa al-IÑlÉn, cet. I, 1413 H/1992 M).

[46]Ibid., hlm. 136-144. Dengan amat praktis, mengenai amal ini dipaparkan oleh Ibn QudÉmah al-MaqdisÊ dalam bukunya TawzÊÑ al-ÑIbÉdÉt ÑalÉ MaÉdÊr al-AwqÉt. Diterjemahkan oleh Abu Umar Abdillah dengan judul Amal Yaumi: Panduan Amal Sehari Semalam (Klaten: Wafa Press, cet. I, 2010 M).

[47]Ibid., hlm. 144-149.

[48]Ibid., hlm. 149-152.

[49]Ibid., hlm. 152-155.

[50]Ibid., hlm. 158-161.

[51]Ibid., hlm. 161-163.

[52]Ibid., hlm. 163-165.

[53]Ibid., hlm. 165-169.

[54]Ibid., hlm. 169-174.

[55]Ibid., hlm. 174-177.

[56]Al-QaraÌāwÊ, al-ØaÍwah al-IslÉmiyyah: HumËn al-WaÏan al-ÑArabÊ al-IslÉmÊ, (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, cet. II, 1414 H/1993 M), hlm. 11-13. Selanjutnya buku ini disingkat dengan al-ØaÍwah al-Islāmiyyah. Dalam konteks dunia Islam, khususnya Indonesia – yang mayoritas penduduknya Muslim – fenomena kebangkitan Islam sudah begitu kentara. Ini jika dikaitkan dengan pandangan al-QaraÌÉwÊ di atas, yang ditandai dengan maraknya gelombang penerjemahan buku-buku Islami. Belum lagi buku-buku Islam karya penulis lokal yang begitu banyak beredar.

[57]Ibid., hlm. 13-15.

[58]Ibid., hlm. 15-18.

[59]Ibid., hlm. 18-20.

[60]Ibid., hlm. 21-23.

[61]Ibid., hlm. 18.

[62]Ibid., hlm. 20.

[63]Ibid., hlm. 26-27.

[64]Ibid., hlm. 28-32.

[65]Ibid., hlm. 33-38.

[66]Lebih detil mengenai dakwah dan gerakan pemikiran MuÍammad AÍmad al-MahdÊ dapat disimak dalam karya Dr. ÑAbd al-WadËd SyalabÊ, al-UÎËl al-Fikriyah li al-MahdÊ al-SËdÉnÊ wa DaÑwatihi (Cairo: Maktabah al-ÓdÉb, cet. II, 1422 H/2001 M).

[67]Al-KawākibÊ memiliki dua buku yang sangat penting dan berharga, (1) Umm al-Qurā dan (2) Ùabā’i‘u ‘l-Istibdād wa MaÎāri‘u ‘l-Isti‘bād. Lihat biografinya dalam MaÍmËd ÑAbbās al-ÑAqqād, ÑAbd al-RaÍmān al-KawākibÊ, (Cairo: NaÍÌah MiÎr, 1986).

[68]Lihat biografinya dalam Dr. MuÍammad ÑImārah (muÍqqiq dan pengantar), al-AÑmāl al-Kāmilah li ‘l-Imām MuÍammad ‘Abduh, 5 Jilid, (Cairo: Dār al-SyurËq, 1414 H/1993 M). Lihat juga, al-‘Aqqād, ÑAbqariyy al-IÎlāÍ, (Cairo: NaÍÌah MiÎr, t.t.p.). Pandangan-pandangannya bersama al-AfghānÊ dalam dilihat dalam al-‘Urwah al-Wutsqā, (Cairo: Maktabah al-SyurËq al-Dawliyyah, 1423 H/2002 H). Bandingkan dengan al-‘Urwah al-Wutsqā, TaÍqÊ: ØalāÍ al-DÊn al-BustānÊ, (Cairo: Dār al-‘Arab, cet. III, 1993).

[69]Ulasan tafsirnya dapat disimak dalam karya Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’ān: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manār, (Jakarta: Lentera Hati, 2006). Sebagai contoh penafsiran RasyÊd RiÌā dapat disimak dalam bukunya TafsÊr al-FātiÍah: Menemukan Hakikat Ibadah, terjemah: Tiar Anwar Bachtiar, (Bandung: Penerbit Al-Bayan, cet. IV, 1428 H/2007 M). Buku ini dicetak pertama kali tahun 1426 H/2005 M.

[70]Al-QaraÌāwÊ, al-ØaÍwah al-IslÉmiyyah, op.cit., p. 39-46.

[71]Cermati Qs. al-Baqarah [2]: 143, 185 dan al-×ājj [22]: 78. Dalam sebuah ×adÊtsnya, Rasulullah juga menyatakan, “Sungguh, kalian diutus sebagi orang-orang yang memberi kemudahan bukan pembuat kesulitan” (HR. al-TirmidzÊ). Lihat, al-QaraÌāwÊ, al-ØaÍwah al-IslÉmiyyah, hlm. 49-50.

[72]Ibid., hlm. 51-67.

[73]Ibid., hlm. 68-78.

[74]Ibid., hlm. 79-88.

[75]HR. al-BukhārÊ dalam al-Adab al-Mufrad. Di-ÎaÍÊÍ-kan oleh al-×ākim dari AbË Hurairah.

[76]Al-QaraÌāwÊ, al-ØaÍwah al-IslÉmiyyah, hlm. 89-124.

[77]Lihat lebih detil dalam al-QaraÌÉwÊ, HumËm al-WaÏan al-ÑArabÊ al-IslÉmÊ, hlm. 66-91.

[78]Mengenai ini, simak dalam karya al-QaraÌÉwÊ, Ayna al-Khalal. Buku ini diterjemahkan oleh Rusydi Helmi dengan judul Titik Lemah Ummat Islam: Sebuah Studi Kritis Reformatif Menuju Kesadaran & Kebangkitan Islam (Jakarta Timur: Penebar Salam, cet. I, 1421 H/2001 M).

[79]FatÍÊ Yakan, NaÍwa ×arakat IslÉmiyyah ÑÓlamiyyah WÉÍidat (Beirut-Lebanon: Mu’assasah al-RisÉlah, cet. X, 1414 H/1993

[80]Lihat lebih lanjut, Syed MuÍammad Naquib Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: Institut Antarbangsa Pemikiran dan Tamadun Islam, 2001). Lihat juga karyanya, Prolegomena to the Methaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1995).

[81]al-QaraÌÉwÊ, al-Ummah al-IslÉmiyyah: ×aqÊqat, lÉ Wahm? (Cairo: Maktabah Wahbah, cet. I, 1415 H/1995 M).

[82]FatÍÊ Yakan, MÉdzÉ YaÑnÊ IntimÉ’Ê li al-IslÉm (Mesir: DÉr al-BasyÊr li al-TsaqÉfah wa al-ÑUlËm, cet. III, 1417 H/1997 M).

[83]Ini membutuhkan pemahaman terhadap konsep-konsep dasar mengenai Islam. Untuk itu, kiranya dapat disimak penjelasannya dalam MuÍammad al-MubÉrak, NiÐÉm al-IslÉm: al-ÑAqÊdah wa al-ÑIbÉdah (Beirut-Lebanon: DÉr al-Fikr, cet. II, 1405 H/1984 M). Lihat juga, Syeikh MuÍammad al-GhazÉlÊ, Kayfa Nafham al-IslÉm (Alexandria: DÉr al-DaÑwah, cet. I, 1411 H/1991 M).

[84]Mengenai ini, lihat karya al-QaraÌÉwÊ, al-MubasysyirÉt bi IntiÎÉr al-IslÉm (Cairo: Maktabah Wahbah, cet. III, 1424 H/2004 M).

 

<<Kembali ke posting terbaru

4 Comments:

At 12:21 PM, Anonymous Anonim said...

keren mas qosim..tp banyak jg ulama (salafi) yg meragukan bahkan menafikan keulamaan Qardhawi..mereka mengatakan bahwa ide2 Qardhawi sangat tdk masuk akal, misalnya dalam buku al-halal wal haram fil islam..

Allahu A'lam

 
At 7:10 PM, Blogger kang.qosim@gmail.com said...

Bismillahirrahmanirrahim,

Begitu lah Mas. Ada memang pandangan seperti itu. Dan itu kok dikembangkan. Padahal, keilmuan beliau luar biasa, subhanallah!

Sebelum menolak, atau mendukung, menurut saya kita baca dahulu karya-karya beliau yang sekian banyak itu. Baru akan ketemu saripatinya. Bahkan, saat ini ulama sedunia memilih beliau sebagai "sayyidul fuqaha" (pemuka para faqih).

Semoga bermanfaat Mas, semoga bisa disebarkan kepada teman-teman kita.

Akhukum,
Qosim

 
At 9:24 PM, Blogger nawolowati said...

assalamualaikum,

bagus sekali sudut pandang dan ulasannya. saya boleh ijin mengcopy sebagian...

wassalamualaikum

 
At 11:48 PM, Blogger kang.qosim@gmail.com said...

Silahkan

 

Posting Komentar

<<Kembali ke posting terbaru

"BERPIKIRLAH SEJAK ANDA BANGUN TIDUR" (Harun Yahya)