Sabtu, November 13, 2010

SENDI-SENDI PERADABAN ISLAM

Sendi-sendi Peradaban Islam:

Refleksi Terhadap Wahyu Perdana

~Qosim Nursheha Dzulhadi

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,

Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.

Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya

~Qs. al-ÑAlaq [96]: 1-5~

FÓTI×AH

Merupakan kesepakatan (ijmÉÑ) para ulama bahwa Qs. 96: 1-5 merupakan wahyu perdana yang turun kepada Nabi Muhammad s.a.w.[1] Yaitu ayat Al-Qur’an yang diawali dengan kata iqra’ (membaca). Yang merupakan satu perintah agung yang pertama kali diturunkan kepada Rasulullah di gua Hira’. Kelima ayat yang mulia ini, menurut Syeikh SyÉkir, merupakan “rahmat” (kasih-sayang) dan “nikmat” Allah kepada hamba-hamba-Nya. Dimana di dalamnya terdapat warning (tanbÊh) tentang penciptaan manusia dari segumpal darah (Ñalaq).

Ia juga ungkapan dari kemuliaan Allah yang telah mengajari manusia apa-apa yang tidak diketahuinya. Kemudian Allah memuliakannya dan menghargainya dengan “ilmu”. Dimana ilmu ini menjadi karakter kemuliaan Adam – bapak manusia – dibanding para malaikat. Ilmu ini terkadang ada dalam alam pikiran (al-adzhÉn); terkadang dalam lisan (perkataan); terkadang juga dalam bentuk tulisan tangan (al-kitÉbah bil-banÉn). Jadi, ilmu itu dapat disimpulkan dengan tiga kata: tataran ide/konsep (dzihnÊ), lafadz, kemudian tulisan. Dan tulisan (rasm) ini mengharuskan adanya ide dan lafadz, dan bukan sebaliknya.

Oleh karenanya, Allah berfirman: “Baca, dan Tuhanmu Mahapemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan qalam (pena). Dan mengajari manusia apa-apa yang tidak diketahuinya.” Dan di dalam sebuah atsar (riwayat) memang ada disebutkan demikian: “QayyidË al-Ñilm bi’l-kitÉbah” (Ikatlah ilmu dengan tulisan).[2]

Sungguh, Qs. 96: 1-5 di atas merupakan wahyu agung yang perlu mendapat tadabbur yang serius. Karena berkaitan dengan empat hal penting: (i) membaca (iqra’), (ii) konsep ilmu dalam Islam, (iii) pendidikan rabbÉnÊ (rabb, dan (iv) al-qalam (pena). Dan keempat hal ini merupakan fondasi peradaban Islam. Dan berikut ini adalah refleksi sederhana mengenai empat hal penting tersebut.

I. Konsep Iqra’ (QirÉ’ah)

Berkaitan dengan perintah “membaca” ini, Ibn Juzay (w. 741 H) dalam tafsirnya menyatakan bahwa maksudnya adalah: Pertama, membaca Al-Qur’an, sebagai buku yang dibuka, dengan menyebut nama Tuhan (rabb) atau mendulang berkah – dari bacaan Al-Qur’an – dengan nama Tuhan (rabb). Atau, kedua, bacalah lafadz ini, ‘Iqra’ bismirabbika al-ladzÊ khalaq (bacalah atas nama rabb-mu yang telah menciptakan).

Dan perlu dicatat bahwa kata al-ladzÊ khalaqa (yang telah menciptakan) tidak disebutkan objeknya. Hal ini untuk menjelaskan makna umum, yakni: yang telah menciptakan segala sesuatu kemudian dikhususkan tentang penciptaan manusia. Penciptaan manusia dikhususkan, karena: mengandung banyak keajaiban dan pelajaran.

Atau maksud dari yang “telah menciptakan manusia”, adalah firman Allah: (Tuhan) Yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia menciptakan manusia.”[3] Kemudian surat ini ditafsirkan dengan,Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.”[4] Jadi, objek bacaan (qirÉ’ah) yang dimaksud oleh Qs. 96: 1-2 adalah konsep penciptaan manusia (khalq al-insÉn). Dimana penciptaannya berasal dari segumpal darah (Ñalaq). Dan ini menunjukkan keistimewaan manusia.

Berkaitan dengan masalah qirÉ’ah (membaca) di atas, ada satu analisis menarik dari al-BiqÉÑÊ (w. 885 H). Menurutnya, kata iqra’ adalah perintah (al-amr) dan kata Ñalaq adalah penciptaan (al-khalq). Kata iqra’ menunjukkan awal (al-bidÉyah), yaitu: ibadah dan akhir (al-nihÉyah), yaitu: keselamatan di hari pembalasan (yawm al-dÊn). Sementara kata Ñalaq menunjuk kepada akhir kehidupan (al-nihÉyah) kemudian awal. Karena siapa yang mengetahui dengan baik bahwa dia diciptakan dari “darah”, maka dia akan mengetahui bahwa sang penciptanya mampu mengembalikannya ke tanah (turÉb). Karena tanah lebih layak untuk memberikan kehidupan daripada darah. Dan siapa saja yang membenarkan adanya pengembalian dirinya – setelah mati – maka dia akan beramal-saleh untuk menyambutnya. Dan Allah mengkhususkan kata segumpal darah (Ñalaq) ini, karena merupakan unsur penyusun dan pembentuk kehidupan (murakkib al-ÍÉyah).[5]

Dari sana dapat dipahami bahwa seorang manusia harus mengerti awal kehidupannya. Dimana dia diciptakan hanya dari segumpal darah (Ñalaq): yang melekat kuat dalam dinding rahim ibunya, sebelum ia dilahirkan kedunia. Di sini mengindikasikah betapa lemahnya seorang manusia. Sejak awal kejadiannya pun tidak dapat berdiri sendiri. Ia selalu melekat dengan orang lain, dalam hal ini rahim ibunya. Itu mungkin rahasianya mengapa “lintah” dalam bahasa Arab disebut Ñalaq.[6] Karena jika sudah menggigit dan menempel di kulit hewan atau manusia, sangat sukar dilepaskan, karena melekat dengan kuat untuk menghisap darah. Maka, kata “hubungnan” yang erat dalam bahasa Arab juga disebut dengan ÑalÉqah. Satu hubungan yang dikaitkan dengan rasa kejujuran dan kesungguhan yang mendalam dan bersumber dari hati (ÎadÉqah).

Selain itu, seorang manusia pun harus mengakui dan menyadari bahwa dirinya tidak hidup kekal di dunia. Maka kewajibannya adalah beribadah kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Karena itu lah misi dan tujuan hidupnya.[7] Karena nilai, kuantitas, dan kualitas ibadahnya akan dibawa ketika dia menghadap Sang Pencipta (KhÉliq).

Selain hal di atas, mufti negara Syiria Syeikh Badru al-DÊn ×asoun memiliki pandangan yang sangat mendalam tentang konsep qirÉ’ah ini. Menurut beliau, ada tiga kitab (buku) yang harus dibaca oleh setiap manusia.

Pertama, kitab tertulis (al-kitÉb al-mudawwan), yaitu: Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an sudah mencakup seluruh kitab-kitab samawi sebelumnya.[8] Karena bagaimana pun, kita adalah umat yang membentuk dunia ini, maka kitab yang pertama yang kita baca adalah Al-Qur’an.

Kedua, kitab alam (al-kitÉb al-mukawwan). Kemampuan untuk terbang ke langit bukan hanya milik kaum non-Muslim, karena Rasulullah terlebih dahulu terbang menuju langit pada peristiwa IsrÉ’-MiÑrÉj. Maka, kata beliau, persiapkanlah diri kita sebaik-baiknya untuk terbang ber-miÑrÉj. Maka kenapa kita bermalas-malasan? Karena kita belum membaca Al-Qur’an seutuhnya. Karena seharusnya kita menjadikan Al-Qur’an sebagai way of life sekaligus sebagai referensi utama dalam mempelajari ilmu-ilmu kedokteran, teknik, astronomi, pertanian, dan industri. Karena dengan begitu maka Al-Qur’an akan hidup dan dinamis. Dan yang menarik, beliau menyatakan bahwa:

“Sungguh, saya sangat senang membaca tulisan Ibn KatsÊr, al-QurÏubÊ, al-ÙabarÊ, dan al-ZamakhsyarÊ dalam tafsir mereka. Tapi saya jauh lebih senang membaca tulisan Anda semua dengan pembahasan mutakhir dan kontekstual. Kita jadikan apa yang telah ditulis oleh ulama terdahulu sebagai dasar bangunan pemikiran kita. Dengan demikian, kita dapat menghidupan Al-Qur’an secara kontekstual.”

Jika kita telah membaca kitab yang pertama dan kedua, maka kita akan sampai kepada kitab selanjutnya yang lebih penting, yaitu kitab manusia (al-kitÉb al-mu’ansan). Karena pada diri manusia, sebagaimana firman Allah (Qs. FuÎÎilat [41]: 53),Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri…”

Ketahuilah, pesan beliau, bahwa dalamd diri kalian adalah lembaran kitabullah. Maka di bumi ini terdapat tujuh milyar lembar kitabullah. Mampukah saya membacakannya untuk kalian? Dan mampukah kalian membacakannya untuk saya? Itu lah seyogyanya yang kita lakukan. Saya berasal dari Syiria, dari saya Islam yang berkembang di negeri Syam. Sedangkan Anda semua dari Indonesia, dimana sayap Islam berkembang di Asia Tenggara. Tapi hati kita adalah sama: Ka’bah.

Namun beliau memberikan syarat, bahwa untuk membaca ketiga kitab tersebut secara integral, kita harus berpijak pada tiga unsur utama: syarÊÑah, ÏarÊqah, dan ÍaqÊqah. SyarÊÑah adalah hukum ilahi. Maka jika saya mengetahui hukum ilahi, maka saya harus mengetahui tata-caranya. Dan tata-cara itu lah dinamakan ÏarÊqah. Maka mazhab HanafÊ, MÉlikÊ, SyÉfiÑÊ, dan ×anbalÊ adalah ÏarÊqah, sebagai jalan untuk mengamalkan syarÊÑah. Namun sayangnya, sebagian besar dari kita hanya taqlÊd tanpa mengetahui tata-caranya.

Allah menyuruh kita untuk menjadi muttabiÑ, bukan muqallid. Karena itu, Allah berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Jika kalian mencintai Allah, maka ikutlah aku (Rasulullah).”[9] Dan kata ikutilah di sini menggunakan frasa “fattabiÑËnÊ”, bukan faqallidËnÊ.[10]

Allah menciptakan manusia untuk menyembah-Nya. Ini lah jalan yang harus kita tempuh. Kita memiliki syarÊÑah sebagai hukum, dan ÏarÊqah sebagai jalannya: jalan untuk mencapai kesempurnaan.

Abu Bakr al-ØiddÊq menjadikan dagan sebagai sarana dakwah. Saat para pedagang berkumpul, Abu Bakr berkata, “Apa yang kalian lihat dari diriku?” Para pedagang itu berkata, “Engkau adalah pedagang terbaik diantara kami, dan pemimpin kami.” Abu Bakr berkata lagi, “Aku mengetahui satu perdagangan yang takkan merugi.” Mereka berkata, “Ikutkanlah kami dalam perdagangan itu agar kami mendapat untung bersamamu.” Beliau berkata, “Perdagangan itu adalah Islam.” Maka, saat itu juga ÑUtsmÉn ibn ÑAffÉn dan ÑAbdurraÍmÉn ibn ÑAuf masuk Islam.

Jika kita dapat menggabungkan syarÊÑah dan ÏarÊqah dengan baik, maka kita akan sampai kepada cahaya ÍaqÊqah. Dan ÍaqÊqah ini adalah sebagaiman firman Allah dalam Qs. al-QaÎaÎ [28]: 56,Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya…” Dan firman-Nya dalam Qs. al-GhÉsyiah [88]: 21-22, “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.”[11]

Sungguh, bukan satu hal yang “kebetulan” jika Allah menurunkan wahyu perdana-Nya kepada Rasulullah diawali dengan perintah membaca (Iqra’!). Karena perintah membaca merupakan undang-undang awal Islam. Dimana ini menjadi wasilah (media) penting untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan (al-Ñilm wa al-maÑrifah). Dan Islam sejak awal memang sudah memiliki karakteristik penting, yakni: ilmu. Kemudian turun ayat-ayat dalam surah yang lain yang menguatkan dan menjelaskan hakikat ini agar menjadi satu tipologi dan semboyannya.

Jika ayat-ayat pertama turun pada satu malam yang penuh berkah (laylah mubÉrakah)[12] memerintahkan “membaca” sebanyak dua kali dan menyebutkan materi ilmu sebanyak tiga kali, lalu menyebutkan al-qalam (pena) – maka ayat-ayat yang turun setelah itu dimulai dengan satu huruf hijÉ’iyah: NËn, dan memuat sumpah Allah yang pertama dalam Al-Qur’an. Dan sumpah ini dilakukan atas nama al-qalam (pena): ‘NËn. Wa’l-qalami wamÉ yasÏurËn.’[13] Setelah itu, berturut-turut ayat yang turun menjelaskan keutamaan ilmu, perintah menuntut ilmu (belajar) dan memuliakan para ahli ilmu (ÑulamÉ’).[14]

II. Konsep Ilmu

Sebelumnya telah disinggung bagaimana sejatinya konsep iqra’ (bacalah!, membaca) dalam Islam. Dan iqra’ ini merupakan pintu ilmu dan pengetahuan dalam Islam. Ia menjadi media dan wasilah penting untuk sebuah kemajuan. Maka, sebenarnya Allah sedang menjelaskan konsep ilmu di dalam Islam. Karena ternyata konsep iqra’ di dalam Islam harus dikaitkan dengan bismirabbika (atas nama Tuhanmu sebagai rabb).

Maka, menjadi satu hal yang luar biasa dan perlu direnungkan secara mendalam bahwa proses membaca (iqra’) di dalam Islam harus dikaitkan dengan rabb, yang dapat diartikan sebagai murabbÊ: sang pendidik. Artinya, apa yang dibaca harus benar-benar dan dapat dipastikan memiliki nilai pendidikan (edukasi). Di sini dapat dipahami dengan baik bahwa Allah tidak menginginkan proses membaca dilakukan sekadar proses taÑlÊm (transfer of knowledge), melainkan tarbiyah (transfer of rabbÉnÊ values). Istilah ini saya kira sangat tepat, jika kita kaitkan dengan iqra’ bismirabbika. Yaitu, membaca itu harus mengandung transfer of rabbÉnÊ values: menyalurkan nilai-nilai ketuhanan. Itu mungkin rahasianya mengapa iqra’ tidak dikaitkan dengan bismillÉh (atas nama Allah).

Dari sana lah akhirnya dapat dibedakan konsep taÑlÊm dan tarbiyah. Istilah pertama hanya disebut sebagai proses transfer of knowledge. Sedangkan yang kedua adalah transfer of rabbÉnÊ values. Tentu saja, tarbiyah adalah satu bentuk proses dan metode pengajaran yang diinginkan oleh Islam. Karena tujuan pendidikan dalam Islam, seperti kata Al-Attas, adalah untuk “mencetak” manusia yang baik, bukan warga negara yang baik.[15]

Untuk itu, sejak wahyu perdana Islam sudah menjelaskan secara definitif bahwa ilmu pengetahuan dalam Islam sumbernya adalah rabb: Tuhan yang memberikan nilai-nilai tarbiyah di dalamnya. Jadi, mafhËm al-mukhÉlafah-nya – dalam istilah UÎËl Fiqh – adalah: ilmu yang tidak bersandar pada rabb atau yang tidak memiliki nilai-nilai tarbiyah rabbÉniyah, maka ilmu ini dapat diklaim sebagai ilmu yang tidak benar. Karena tidak akan mencetak manusia yang baik tersebut.

Itu rahasianya mengapa Allah, dalam Al-Qur’an, senantiasa mengaitkan ilmu dengan ÊmÉn.[16] Karena ilmu adalah amÉnah dan harus mampu – pemiliknya – menciptakan rasa aman di tengah-tengah komunitasnya. Sehingga ilmu itu menjadi nËr al-qalb (cahaya hati), bukan sebatas kognitif an sich. Ia harus membumi. Sehingga, ilmu itu menjadi gizi qalbu yang harus senantiasa diberikan, tanpa henti.

Di sini mungkin mengapa FatÍ al-MËÎulÊ bertanya kepada orang-orang yang ada disekitarnya, “Bukankah jika seorang pasien jika tidak mendapatkan makan dan minum serta obat akan mati?” Mereka menjawab, “Benar, dia akan mati!” al-MËÎulÊ melanjutkan, “Demikan halnya dengan qalbu. Jika dia tidak mendapatkan hikmah dan ilmu selama 3 hari, akan mati. Dan memang benar! Gizi qalbu adalah: ilmu dan hikmah. Karena kehidupan qalbu bergantung kepada keduanya. Sebagaimana gizi badan adalah makan dan minum. Maka, siap saja yang kehilangan ilmu, maka hatinya mati dan kematiannya adalah satu kemestian. Dan dia tidak merasakan hal itu. Karena senantiasa disibukkan oleh dunia. Sehingga radar perasaanya tidak berfungsi. Jika kematian dapat menyingkap kesibukan-kesibukan yang melenakannya itu, dia akan merasakan sakit yang luar biasa dan menyesal tak berkesudahan. Ini adalah makna dan rahasia hadits Baginda Rasulullah: ‘Manusia itu itu semuanya tertidur, dan jika mereka mati barulah sadar’.”[17]

Selain itu, konsep iqra’ yang dikaitkan dengan bismirabbika sejatinya kritik terhadap konsep ilmu yang berkembang di Barat alias secular. Dimana ilmu dalam konsep Barat tidak mesti bersumber dari Tuhan. Ilmu akhirnya diceraikan dari Tuhan. Sehingga sumber ilmu bagi Barat adalah indera dan rasio. Dimana David Hume dan Immanuel Kant sepakat bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah indera. Sementara Réne Descartes (Perancis) meyakini bahwa rasio adalah segalanya dalam menggapai ilmu pengetahuan (Cogito, ergo sum) yang kemudian menjadi aliran rasionalisme di Barat.

Kemudian di Barat juga ada John Locke, yang menolak metafisika. Dimana menurutnya agama harus dibersihkan dari pemikiran-pemikiran mistis dan takhayul. Dan pemikiran sekularisme Barat ini kemudian mencapai titik kulminasinya pada pandangan dan pemikiran August Comte, bapak aliran positivisme di Barat. Pengaruh Comte luar biasa. Karena tahun 1850 pemikirannya mampu memengaruhi Perancis yang dieksprsikan dalam antai-kependetaan dan anti-konservatisme. Maka menjadi jelas, sejak tahun 1850, sebagian besar kaum terpelajar Eropa sudah menganut faham positivisme Comte, yang berarti mereka menjadi empris dan anti-metafisis.[18]

Maka tak heran, seperti dijelaskan oleh Dr. al-MasÊrÊ, adalah hal yang sangat mungkin seorang dosen filsafat di Barat mengajarkan filsafat permisifisme-nihilisme di satu universitas (ini kehidupan umumnya), tetapi dia melarang anak perempuannya untuk berhubungan dengan laki-laki kecuali dalam ikatan perkawinan. Bahkan, dia setiap hari Minggu pergi ke geraja (kehidupan khususnya).[19] Artinya, ilmunya hanya menjadi gizi kognitif, tidak masuk ke dalam qalbu dan tidak berbuah menjadi amal. Sehingga ilmunya, dalam istilah al-GhazÉlÊ, menjadi sakit (saqÊm) dan mandul (ÑaqÊm).[20] Maka sangat wajar dan dapat dipahami jika konsep ilmu di Barat tidak integral dengan amal. Ilmu berada dalam satu ‘jurang’, dan amal berada di ‘jurang’ yang lain.

Dan tentu saja konsep ilmu Barat di atas sangat berbeda dengan konsep ilmu dalam Islam. Karena ilmu dalam Islam bukan hanya menjadi gizi kognitif, melainkan jembatan menuju Allah. Ia menjadi media taqarrub (mendekat) ke sisi-Nya. Karena sebaik-baik ilmu, kata ×ujjat al-IslÉm, Imam al-GhazÉlÊ, adalah ilmu mengenal Allah (tawÍÊd).[21] Dan ternyata dalam iqra’ yang dikaitkan dengan bismirabbika Allah tengah menjelaskan satu konsep tawÍÊd ini, yakni: tawÍÊd rubËbiyyah. Dimana hanya Allah Sang Pendidik (murabbÊ) yang hakiki dan sejati. Dan sumber ilmu pengetahuan adalah rabb, bukan yang lain: bukan indera maupun rasio an sich. Dan sejatinya pun, indera dan rasio adalah “karunia” agung dari sang rabb tersebut. Karena keduanya hanya wasilah yang diberikan oleh Allah untuk memahami tanda-tanda (ÉyÉt) keagungan dan kebesarn Allah sebagai rabb al-ÑÉlamÊn (pendidik dan pengatur jagad raya).

III. Konsep Tarbiyah RabbÉniyyah

Telah disinggung sebelumnya bahwa keterkaitan antara kata iqra’ (membaca) dengan kata rabb (Tuhan Sang Pendidik Agung) sangat erat sekali. Dimana iqra’ menunjukkan wasilah atau media pendidikan terpenting dalam menemukan ilmu dan pengetahuan, sementara kata rabb merupakan asal dan sumber dari ilmu dan pengetahuan tersebut. Ini lah – sebagaimana disinggung pada bagian terdahulu – sebagai konsep ilmu (mafhËm al-Ñilm) dalam Islam.

Dari sana kemudian dapat dipahami bahwa sejak awal, Islam sudah mengajarkan satu konsep pendidikan kepada manusia yang begitu agung, yakni pendidikan nilai-nilai ketuhanan (qiyam rabbÉniyah). Dimana konsep ini sudah mulai hilang dari bentuk dan model serta praktik pendidikan yang ada. Dimana dalam konsep Islam, tarbiyah itu lebih penting dan utama daripada taÑlÊm (transfer of knowledge).

Meskipun yang lebih penting dari tarbiyah, dalam konsep Al-Attas, adalah ta’dÊb. Satu model pendidikan yang benar-benar melahirkan manusia-manusia yang baik (good man) dan bukan mencetak warga negara yang baik (good citizen). Lebih tegasnya, kata Al-Attas adalah,The aim of education in Islam is to produce a good man[22], not good citizen.”[23] Dan ini lah sebenarnya yang sudah disunnahkan oleh Allah (Sang Rabb) sejak hampir 15 abad silam. Ketika wahyu perdana diturunkan.

Dan sebelum Al-Attas, Syeikh MuÍammad ÑAbduh menyatakan satu pandangan penting mengenai konsep tarbiyah ini. Dimana menurutnya bahwa tarbiyah merupakan ‘tongkat sihir’ (al-ÑaÎÉ al-siÍriyyah) yang dapat mengubah segala hal. Dia dapat mengganti segala hal yang negatif menjadi positif, menyamakan yang kurang menjadi sempurna, dan membebaskan yang terkekang menjadi bebas. Dan konsep ini, telah banyak dilupakan dalam banyak sisi dan lini kehidupan masyarakat. Di samping banyak problem yang harus diselesaikan oleh para pembaru atau kaum reformis yang – sejatinya – harus berdampingan dengan reformasi pendidikan (al-iÎlÉÍ al-tarbawÊ) dan bangkit bersama konsep pengajaran (al-nahÌÉh bi al-taÑlÊm).

Namun begitu, ÑAbduh mengingatkan bahwa tarbiyah tidak memadai, jika ditopang dengan adanya satu kehidupan keluarga yang bahagia dan langgeng. Karena harus ada upaya untuk menyelesaikan problematika masyarakat, ekonomi, dan hukum yang merintangi keluarga. Selain itu, banyak pula onak dan duri dalam merealisasikan kebahagiaan dan kelanggengan keluarga tersebut. Ini lah yang perlu diselesaikan.[24]

Artinya, tarbiyah itu berkaitan erat dengan ajaran ketuhanan (rabbÉnÊ) dalam menyelesaikan problem kemasyarakatan, ekonomi kerakyatan, dan hukum yang menjadi pilar kebahagian dan kelanggengan pranata-sosial. Dan ini lah salah satu sasaran dari konsep pendidikan rabbÉnÊ. Satu konsep pendidikan yang tak terpisahkan dari nilai-nilai ketuhanan.

Dan memang, salah satu cara untuk menanamkan dan menumbuh-kembangkan nilai-nilai ketuhanan itu adalah tarbiyah. Dan konsep tarbiyah ini – jika dikaitkan dengan pandangan ÑAbduh sebelum ini – berlaku: pertama, di rumah dan kedua, di sekolah. Dan ini dilakukan dengan media yang paling baik dan paling metode yang paling afektif.[25]

Keluarga dan sekolah ini lah yang bertanggungjawab dalam mengajarkan konsep TawÍÊd yang benar kepada anak didik. Dan ini dilakukan sejak anak berusia 7 tahun. Karena sekolah yang tidak menanamkan nilai-nilai TawÍÊd kepada anak didik hanya akan ‘meneluarkan’ generasi-generasi “bingung” dan memiliki kepribadian yang terbelah. Dimana mereka menaikan bahtera kehidupan dan mengarungi samuderanya yang penuh ombak tanpa awak kapal dan kapten, tanpa peta dan tanpa “kompas”. Kapal ini, sudah barang tentu, tidak akan sampai ke pulau idaman dan tidak punya harapan untuk sampai ke sana.

Karena sejatinya, tarbiyah dan taÑlÊm merupakan “misi kenabian”. Dan merupakan karunia Allah yang besar kepada orang-orang Arab ketika mengutus seorang nabi dari kalangan mereka untuk, “membacakan ayat-ayat Allah kepada mereka, mensucikan jiwa mereka, dan mengajarkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan al-Íikmah.”[26] Dan tentunya hal ini menjadi dasar Rasulullah untuk mengajarkan konsep tarbiyah yang benar bagi kemunduran ummat. Dan target ini dapat dicapai tanpa mengetahui dasar-dasar tarbiyah Islam ini.

Untuk itu, Dr. al-×ÉzimÊ menyatakan bahwa fondasi tarbiyah Islam itu ada beberapa poin, yaitu sebagai berikut:

Pertama, RabbÉniyah. Dimana pemikiran, nilai, dan konsepnya berdasarkan hukum Islam yang sumbernya adalah Al-Qur’an. Dimana sumbernya ini menjadikan peserta didik yang mampu dan sanggup melaksanakan segala bentuk perintah dan larangan. Sehingga niatnya murni karena Allah.[27]

Kedua, komprehensif dan integral (al-syumËl wa al-takÉmul). Dimana pendidikan Islam begitu “objektif”. Yakni, dia tidak memisahkan antara agama (sacral) dan dunia (profane). Bahkan, menggabungkan antara urusan dunia dan akhirat. Pendidikan Islam juga dianggap zamÉnÊ (lokalis), karena merupakan legislasi yang kekal hingga hari kiamat. Dia juga merupakan pendidikan yang “humanis”, karena menyapa seluruh manusia. Disamping dianggap sebagai pendidikan yang fitri, karena mengusung sinkronitas antara kebutuhan spiritual dan material (jasmani). Dia juga dianggap sebagai pendidikan yang senantiasa sesuai bagi waktu dan tempat (sÉliÍ likulli zamÉn wa makÉn).

Ketiga, balance (al-tawÉzun). Karena pendidikan Islam sesuai dengan fitrah manusia.[28] Maka, konsep pendidikan ini sangat concern terhadap seluruh sisi kehidupan manusia, baik dari sisi fisik, psikis, dan rasio. Juga, merealisasikan keserasian antara kebutuhan-kebutuhan jasadi manusia dengan spiritualitasnya.[29]

Keempat, konstan dan fleksibel. Dimana dalam Islam ada yang menjadi unsur-unsur yang tidak dapat dimodifkasi dan diubah-ubah, seperti: kewajiban melakukan amr maÑrËf dan nahy munkar, mengembalikan harta orang lain yang diambil secara zalim kepada pemiliknya, keharaman mencuri dan melakukan penipuan (al-ghissy), dan praktik riba.

Namun demikian, terdapat banyak hal yang diputuskan dan diubah berdasarkan maslahat (kepentingan yang baik). Dimana para ulama dapat mengeluarkan pandangan dan ijtihad mereka dalam berbagai hal dan peristiwa parsial yang berada dalam frame kaidah-kaidah umum, nilai, dan prinsip-prinsip yang konstan (tetap): yang tidak berubah dan tak bertukar.[30]

Kelima, realistik. Hal ini tampak jelas dalam perkara-perkara objektif dan sesuai dengan fitrah serta kemampuan manuasia. Dan berkaitan dengan konsep-konsep rasional yang masih abstrak. [31]

Dengan kelima fondasi ini lah kemudian pendidikan Islam dimuarakan pada fondasi pertam: rabbÉniyyah. Karena muara akhir dari konsep pendidikan Islam itu adalah transfer of rabbÉnÊ values (menyampaikan dan menanamkan nilai-nilai ketuhanan). Karena Islam, dalam bahasa Chapra, menempatkan pendidikan dan pembinaan yang tepat bagi anak-anak sebagai tujuan penting dari syariah, untuk memastikan bahwa generasi masa depan mampu memikul beban pembangunan selanjutnya.[32] Karena memang tujuan pendidikan Islam itu adalah untuk memanusiakan manusia sebagai wakil Allah (khalÊfatullÉh) dalam memakmurkan bumi ini. Maka pendidikan dan keilmuannya harus didasarkan pada konsep rabbÉniyyah tersebut.

Namun demikian, konsep pendidikan Islam tidak bisa berdiam diri. Ia harus keluar dan dihubungkan dengan manusia. Itu makanya Allah mengaitkan konsep membaca (iqra’) dengan Ñallama bi’l-qalam (Allah mengajarkan ilmu kepada manusia melalui perantaraan “pena”). Artinya, ilmu itu harus disebarkan ke seantero dunia, agar dapat dimanfaatkan oleh orang banyak. Dan ulasan untuk poin ini dapat dibaca lebih lanjut dalam penjabaran berikut.

IV. Pena: Jihad Tinta

Kata al-qalam (pena) dalam Qs. 96: 4 merupakan lambang atau simbol dari perintah Allah agar seorang Muslim yang terdidik lewat ilmu Allah mampu menyimpan ilmu dan pengetahuannya dalam bentuk tulisan. Dan menurut QatÉdah, “Pena itu merupakan satu nikmat agung dari Allah. Jika tidak ada pena, maka agama tidak akan berdiri tegak dan kehidupan tidak akan baik.”[33]

Hal itu, menurut al-QurÏubÊ, merupakan buah dari kemuliaan (kemurahan) Allah s.w.t. Dimana Dia mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya hal-hal yang belum mereka ketahui. Allah memindahkan mereka dari pekatnya “kebodohan” kepada cahaya “ilmu”. Disamping itu, Allah menegaskan akan urgensi ilmu kepenulisan, karena di dalamnya terkandung manfaat yang besar yang tidak seorang pun mengetahuinya kecuali Dia. Dan ilmu tidak dikodifikasi, hikmah-hikmah tidak dapat ‘diikat’, kabar dan cerita-cerita orang terdahulu tidak dapat dibaca dan diwarisi, begitu pula dengan kitab-kitab suci Allah kecuali diabadikan lewat “tulisan” (al-kitÉbah). Dan jika bukan karena tulisan (al-kitÉb), maka segala bentuk urusan agama dan dunia tidak akan berdiri dengan baik.[34]

Dapat dipahami dari penjelasan di atas bahwa ilmu yang dimiliki oleh setiap Muslim harus diajarkan kepada orang lain (al-taÑlÊm).[35] Oleh karena itu, menurut al-RÉzÊ (544-604 H) diriwayatkan bahwa nabi Sulayman bertanya kepada jin ÑIfrÊt mengenai satu perkataan. Sang jin kemudian mengatakan, “Angin yang tidak berbekas.” Kemudian nabi Sulayman bertanya lagi, “Kalau begitu, apa pengikatnya?” “Pengikatnya adalah tulisan,” jawab ÑIfrÊt. Jadi, pena adalah pemburu: yang memburu berbagai ilmu. Dia bisa menangis dan tertawa. Ketika dia ruku’ seluruh manusia tunduk. Dan karena gerakannya ilmu-ilmu bisa dijaga siang dan malam.[36]

Pena itu, tambah al-RÉzÊ, tidak pernah berbicara. Namun ia dapat di dengar di Timur dan di Barat.[37] Karena pena merupakan “fondasi” manusia. Dan manusia adalah fondasi mata. Dia juga merupakan “wakil lisan”. Karena pena dapat menjadi ‘duta’ lisan, sementara lisan tidak dapat mewakili pena.[38]

Oleh karena itu, sejak awal Nabi Muhammad menganjurkan kepada para penulis wahyu untuk belajar “baca-tulis”. Agar mereka dapat mengkodifikasi ayat-ayat Allah (Al-Qur’an) dan sabda beliau (hadits). Maka sejak masa Nabi Muhammad Al-Qur’an al-KarÊm telah dituliskan secara sempurna. Meskipun tidak seperti yang tertata rapi ketika di zaman khalÊfah ÑUtsmÉn ibn ÑAffÉn.[39] Begitu juga dengan kodifikasi hadÊts Nabi MuÍammad s.a.w. Yang dilakukan sejak awal oleh para sahabat beliau.[40] Meskipun pada mulanya beliau “melarang” para sahabatnya untuk menuliskan hadÊts-hadÊts beliau.[41]

Itu sebabnya para ulama menyatukan dua konsep penting dalam dunia pendidikan: belajar dan mengajar (al-taÑallum wa al-taÑlÊm). Sehingga, ilmu itu menjadi “bermanfaat”, berguna, dan dapat membangun satu tatanan masyarakat yang mengenal Tuhan. Sehingga lahir satu kesadaran bahwa belajar merupakan kewajiban yang dikaitkan dengan sumber ilmu, yakni Allah (sebagai Rabb dan ÑAlÊm).

Maka tidak heran bila seorang Imam al-SyÉfiÑÊ (150-204 H) menulis buku fiqh al-Umm demikian tebal. Belum lagi buku-buku lainnya, semacam al-RisÉlah, al-Musnad dan yang lainnya. Begitu juga dengan gurunya, Imam MÉlik ibn Anas yang mengumpulkan hadits-hadits fiqh dalam al-MuwaÏÏa’ yang akhirnya menjadi master piece-nya hingga ke zaman kita sekarang. Belum lagi Imam AÍmad ibn ×anbal yang menulis buku al-Musnad yang sangat mengagumkan. Kemudian dilanjutkan oleh imam-imam yang lain, seperti Imam al-BukhÉrÊ, Imam Muslim, Imam Ibn MÉjah, Imam al-TirmidzÊ, dlsb.

Demikian juga di bidang TafsÊr, ada Imam Ibn JarÊr al-ÙabarÊ, Imam Ibn al-ÑArabÊ, Imam al-BaghawÊ, Imam al-ZamakhsyarÊ, Imam Ibn KatsÊr, Imam Fakhr al-DÊn al-RÉzÊ, Imam al-SuyËÏÊ, Imam al-QurÏubÊ, Imam Ibn ÑAÏiyyah, Imam Ibn al-JawzÊ, dan Imam Ibn Taimiyyah. Dari kalangan muta’akhkhirÊn, kita bisa mengenal beberapa mufassirËn, misalnya: Syeikh MuÍammad ÑAbduh, Syeikh MuÍammad RasyÊd RiÌÉ, ×usayn al-ÙabÉÏabÉ’Ê, MuÎÏafÉ al-MarÉghÊ, Sayyid QuÏb, dan masih banyak lagi.

Selain dalam cabang ilmu ×adÊts dan TafsÊr, kita juga dapat mengenal sederetan ulama dan ilmuan dalam teologi atau Ilmu KalÉm, misalnya beberapa nama filsuf besar Muslim, seperti al-FÉrÉbÊ, Ibn SÊnÉ, Imam AbË ×Émid al-GhazÉlÊ, Ibn Rusyd, al-SuhrawardÊ, dan banyak lagi. Belum lagi para ilmuan kita dalam bidang sains, seperti: Musa al-KhawÉrizmÊ dalam bidang Matematika dan Ibn SÊnÉ, AbË al-QÉsim al-ZahrÉwÊ (Abulcacis, dan Ibn al-NafÊ dalam bidang Kedokteran.[42]

Intinya, mereka dapat kita kenal, dapat kita pelajari dan kita telusuri perjalanan ilmiahnya karena mereka melakukan satu hal penting: menulis. Lewat ketajaman mata pena, mereka berdakwah menyampaikan ilmunya masing-masing ke tengah-tengah kehidupan manusia. Karena mereka sadar benar bahwa pena dapat berubah menjadi lebih ‘tajam’ daripada lisan. Dan ini dapat dibenarkan dan dibuktikan. Dan bentangan sejarah dapat menjelaskannya kepada kita dengan gamblang.

Itu semua dapat terjadi karena kesadaran penuh, bahwa “menulis” adalah kehidupan. “Jika Anda ingin hidup selamanya, maka menulislah,” demikian mungkin kata mereka. Sehingga, peradaban Islam yang begitu gemilang bisa terbangun dan berdiri kokoh di atas dunia ini.

KHÓTIMAH

Untuk itu, kiranya sangat tepat jika kita kembali membuka lembaran kitab suci Al-Qur’Én dan memulainya dengan Qs. al-ÑAlaq [96]: 1-5. Agar kita kembali memiliki kesadaran kolektif bahwa kita selama ini telah: melakukan kesalahan besar terhadap ajaran Islam. Secara tak sadar kita telah lama meninggalkan spirit peradaban kita sendiri. Akhirnya, kita melupakan titah ilahi: tidak membaca dan tidak menulis. Sehingga, sadar atau tidak, kita lah yang meruntuhkan dan merobohkan bangunan peradaban Islam selama ini. Karena sejatinya, Islam bukan sekadar agama. Dia adalah agama, sekaligus sejarah dan peradaban.[43] Maka, penting kiranya kita melakukan Zikir, sebagai nafas peradaban modern, seperti yang ditawarkan oleh Charles Le Gai Eaton.[44] Agar Islam kembali memimpin dunia. Dan ini telah dijanjikan oleh Rasululullah. Masalahnya adalah: like or dislike! [Q]

~Wa AllÉh min WarÉ’ al-QaÎd, wa Minhu al-ÑAwn wa Bihi al-TawfÊq~

*) Makalah ini disampaikan di Masjid Taqwa, Universitas Medan Area, Sumatera Utara, Jum’at 5 Dzulhijjah 1431 H/12 November 2010 M.



[1]Lihat, JalÉl al-DÊn al-SuyËÏÊ, al-ItqÉn fÊ ÑUlËm al-Qur’Én, tashih: KhÉlid al-ÑAÏÏÉr, 2 Jilid (Beirut-Lebanon: DÉr al-Fikr, 1428-1429 H/2008 M), 1: 33. Lihat juga, ÑAbd al-ÑAÐÊm al-ZarqÉnÊ, ManÉhil al-ÑIrfÉn fÊ ÑUlËm al-Qur’Én, taÍqÊq: AÍmad ibn ÑAlÊ, 2 Jilid (Cairo: DÉr al-×adÊts, 1422 H/2001 M), 1: 81-82.

[2]Syeikh AÍmad SyÉkir, ÑUmdat al-TafsÊr, 3 Jilid (Mesir-Mansoura: DÉr al-WafÉ’, 1426 H/2005 M), 3: 706. Buku tafsir karya Syeikh AÍmad SyÉkir ini merupakan “ringkasan” dari tafsir Ibn KatsÊr, TafsÊr al-Qur’Én al-ÑAÐÊm.

[3]Qs. al-RaÍmÉn [55]: 1-3.

[4]Qs. al-ÑAlaq [96]: 2. Lihat, AbË al-QÉsim MuÍammad ibn AÍmad ibn Juzay al-KalbÊ, al-TashÊl li ÑUlËm al-TanzÊl, taÎÍÊÍ dan takhrÊj ayat: MuÍammad SyÉlim HÉsyim, 2 Jilid (Beirut-Lebanon: DÉr al-Kutub al-ÑIlmiyah, 1415 H/1995 M), 2: 589.

[5]BurhÉn al-DÊn AbË al-×asan IbrÉhÊm ibn ÑUmar al-BiqÉÑÊ, NaÐm al-Durar fÊ TanÉsub al-ÓyÉt wa al-Suwar, takhrÊj ayat dan ÍadÊts: ÑAbd al-RazzÉq GhÉlib al-MahdÊ, 8 Jilid (Beirut-Lebanon: DÉr al-Kutub al-ÑIlmiyah, 1415 H/1995 M), 8: 478.

[6]Disebutkan bahwa jika dikatakan aÑlaqa al-rajulu artinya waÌaÑa (meletakkan). Misalnya, waÌaÑa al-rajulu al-Ñalaqa ÑalÉ mawÌiÑi al-dam liyamtaÎÎahu (Orang itu meletakkan “lintah” di bagian tubuh yang mengandung darah agar mengisapnya). Lihat, al-MuÑjam al-WasÊÏ (Cairo: Maktabah al-SyurËq al-Dawliyyah, 1425 H/2004 M), hlm. 622.

[7]Qs. al-DÉriyÉt [51]: 56, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” Mengenai konsep ibadah di dalam Islam, lebih luas dan komprehensif dan dibaca dalam karya Dr. Yusuf al-Qaradhawi, al-ÑIbÉdah fÊ al-IslÉm (Cairo: Maktabah Wahbah, cet. XXIV, 1416 H/1995 M).

[8]Dalilnya menurut beliau adalah Qs. al-FatÍ [48]: 29, “…Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil….” Dan dalam Qs. al-Baqarah [2]: 285, Allah juga menyatakan dengan tegas:Rasul telah beriman kepada Al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya.”

[9]Qs. Óli ÑImrÉn [3]: 31.

[10]Lihat “Pidato Syeikh Dr. Ahmad Badruddin Hassoun, Grand Mufti Syiria, di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor”, dalam Wardun (Warta Dunia Pondok Modern Darussalam Gontor), (Vol. 61, Sya’ban 1429 H), hlm. 126-127.

[11]Ibid., hlm. 127.

[12]Cermati Qs. al-DukhÉn [44]: 1-8. Lihat juga Qs. al-Qadar [97]: 2-5.

[13]Lihat, Qs. al-Qalam [68]: 1.

[14]Dr. ÑAbd al-×alÊm MaÍmËd, al-Qur’Én wa al-Nabiy (Cairo: DÉr al-MaÑÉrif, 1991), hlm. 141-142.

[15]Al-Attas menyatakan, “The aim of education in Islam is to produce a good man, not a good citizen.” Lihat, Syed Muhammad Naquib Al-Attas Al-Attas, The Concept of Education in IslÉm: A Frame Work of An Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1996), hlm. ix. Lihat juga Al-Attas (ed.), Aims and Objectives of Islam Education, (Jeddah: Hodder and Stoughton King Abdul Aziz University, cet. I, 1979), hlm. 1 (dalam pengantar).

[16]Cermati Qs. al-MujÉdalah [58]: 11.

[17]Lihat, AbË ×Émid MuÍammad al-GhazÉlÊ, MukhtaÎar IÍyÉ’ ÑUlËm al-DÊn, taÎÍÊÍ dan komentar: ÑAlawÊ AbË Bakr MuÍammad al-Seggaf (Jakarta: DÉr al-Kutub al-IslÉmiyah, 1425 H/2004 M), hlm. 9-10.

[18]Lihat, Ismail Fajrie Alatas, Sungai Tak Bermuara: Risalah Konsep Ilmu dalam Islam (Jakarta: Diwan Publishing, 2006), hlm. 47-48.

[19]Dr. ÑAbd al-WahhÉb al-MasÊrÊ, al-ÑAlmÉniyyah al-Juz’iyyah wa al-ÑAlmÉniyyah al-SyÉmilah, 2 Jilid (Cairo: DÉr al-SyurËq, 1426 H/2005), 1: 37.

[20]Al-GhazÉlÊ, BidÉyat al-HidÉyah (suplemen buku MinhÉj al-ÑÓbidÊn) (Jakarta: Jeddah-Singapura,

[21]Al-GhazÉlÊ, MukhtaÎar, hlm. 16.

[22]Syed Muhammad Naquib Al-Attas (ed.), Aims and Objectives of Islam Education, (Jeddah: Hodder and Stoughton King Abdul Aziz University, cet. I, 1979), hlm. 1 (in introduction).

[23]Lihat juga, Al-Attas, The Concept of Education in IslÉm: A Frame Work of An Islamic Philosophy of Education, (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1996), hlm. ix.

[24]Dr. ÑAbd al-RaÍmÉn BadawÊ, al-ImÉm MuÍammad ÑAbduh wa al-QaÌÉyÉ al-IslÉmiyyah (Cairo: al-Hay’ah al-MiÎriyyah al-ÑÓmmah li al-KitÉb, 2006), hlm. 77.

[25]Dr. Yusuf al-Qaradhawi, al-KhaÎÉÎ al-ÑÓmmah li al-IslÉm (Cairo: Maktabah Wahbah, cet. IV, 1409 H/1989), hlm. 28.

[26]Qs. Óli ÑImrÉn [3]: 164. Lihat ibid., hlm. 28-29.

[27]Dalilnya adalah Qs. 6: 162, “Katakanlah bahwa Shalatku, ibadahku, hidup dan matiku tanpa sadar mereka mengeluarkan diri oleh Pak Wahid.”

[28]Cermati firman Allah ini, “(Yaitu) fitrah Allah, yang dengannya Allah menciptakan manusia. Tidak ada perubahan dalam penciptaan Allah. Dan itulah “agama” yang lurus.” (Qs. al-RËm [30]: 30.

[29]Lihat lebih lanjut, Dr. KhÉlid ×Émid al-×ÉzimÊ, UÎËl al-Tarbiyah al-IslÉmiyyah (Riyadh: DÉr ÑÓlam al-Kutub, cet. I, 1420 H/2000 M), hlm. 45, 47, 49.

[30]Ibid., 49-51.

[31]Ibid., hlm. 52-54. Mengenai fondasi tarbiyah Islam ini, dapat disimak juga dalam karya Yusuf al-Qaradhawi, al-Tarbiyah al-IslÉmiyah wa Madrasah ×asan al-BannÉ (Cairo: Maktabah Wahbah, cet. III, 1412 H/1992 M).

[32]Dr. M. Umar Chapra, Peradaban Muslim: Penyebab Keruntuhan dan Perlunya Reformasi, Terj. Ikhwan A. Basri (Jakarta: Penerbit Amzah, cet. I, 2010), hlm. 49.

[33]AbË JaÑfar MuÍammad ibn JarÊr al-ÙabarÊ, JÉmiÑ al-BayÉn Ñan Ta’wÊl Óy al-Qur’Én, taÍqÊq: Dr. ÑAbd AllÉh ibn ÑAbd al-MuÍsin al-TurkÊ, 26 Jilid (GÊzah-Mesir: DÉr Hajr, cet. I, 1422 H/2001 M), 24: 527. Lihat juga, AbË ÑAbd AllÉh MuÍammad ibn AÍmad ibn AbÊ Bakr al-QurÏubÊ, al-JÉmiÑ li AÍkÉm al-Qur’Én, taÍqÊq: Dr. ÑAbd AllÉh ibn ÑAbd al-MuÍsin al-TurkÊ, 23 Jilid (Beirut-Lebanon: Mu’assasah al-RisÉlah, cet. I, 1427 H/2006 M), 22: 277.

[34]al-QurÏubÊ, 22: 277.

[35]Fakhr al-DÊn al-RÉzÊ, al-TafsÊr al-KabÊr wa MafÉtÊÍ al-Ghayb, 32 Jilid (Beirut-Lebanon: DÉr al-Fikr, cet. I, 1401 H/1981 M), 32: 17.

[36]Ibid., 32: 17.

[37]Ibid., 32: 17.

[38]Ibid., 32: 17.

[39]Lihat AbË ÑAbd AllÉh al-JanzÉnÊ, TÉrÊkh al-Qur’Én (Sepehr, Tehran-Iran: Islamic Propagation Organization, 1404 H/1984), hlm. 48-54.

[40]Lihat lebih detail, misalnya,

[41]Belum dikodifikasinya hadÊts pada zaman Rasululullah seperti yang berlaku pada Al-Qur’an disebabkan oleh dua hal: Pertama, berpatokan kepada kekuatan hafalan para sahabat, ‘keenceran’ otak mereka, dan belum tersedianya alat tulis-menulis ketika itu. Kedua, adanya larangan Rasulullah untuk menuliskan hadÊts beliau. Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari AbË SaÑÊd al-KhudrÊ bahwa beliau bersabda, “Janganlah kalian tulis sesuatu pun dari (hadÊts). Dan siapa saja yang menulisnya, hendaknya dia menghapuskan.” Tetapi, zahir larangan tersebut adalah: Rasulullah khawatir jika para sahabat juga menulis hadÊts akan bercampur dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Atau, larangan tersebut berlaku bagi yang kuat hafalannnya dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, bagi yang hafalannya tidak kuat, maka dibolehkan untuk menulisnya.

Hal ini diperkuat dengan beberapa dalil dari sabda Rasulullah sendiri. Juga, dibolehkannya beberapa sahabat untuk menulis sabda beliau. Misalnya, satu riwayat yang ada dalam ØaÍÊÍ Imam al-BukhÉrÊ dari Abu Hurayrah bahwa dia berkata, “Tidak ada seorang sahabat nabi pun yang lebih banyak haditsnya dariku, kecuali ÑAbd AllÉh ibn ÑAmr ibn al-ÑÓÎ. Hanya saja, dia menulis sedangkan aku tidak menuliskannya.” Selain itu, sabda Rasulullah dalam ØaÍÊÍ Imam al-BukhÉrÊ dan Muslim juga menyebutkan bahwa Rasulullah memberikan izin penulisan hadÊts untuk AbË SyÉh, “Tuliskan sabdaku untuk AbË SyÉh.” Lihat lebih detail, lihat Dr. MuÍammad MuÍammad AbË Syahbah, FÊ RiÍÉb al-Sunnah: al-Kutub al-ØiÍÍÉÍ al-Sittah (Al-Azhar-Mesir: Silsilah al-BuÍËts al-IslÉmiyyah, 1415 H/1995), hlm. 23-24. Lihat juga, Prof. Dr. MuÍammad MuÎÏafÉ Al-AÑÐamÊ, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Terj. Ali Mustafa Yaqub (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. III, 2006), hlm. 106-440. Aslinya karya Al-AÑÐamÊ ini dalam bahasa Inggris, Studies in Early Hadits Literature (Indianapolis-Indiana: American Trust Publications, 1978). Kemudian diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Arab dengan judul DirÉsÉt fÊ al-×adÊts al-NabawÊ wa TÉrÊkh TadwÊnihi (Beirut: al-Maktab al-IslÉmÊ, 1400H /1980 M. Bandingkan dengan MuÍammad ÑAjjÉj al-KhaÏÊb, al-Sunnah Qabla al-TadwÊn (Cairo: Umm al-QurÉ li al-ÙibÉÑah wa al-Nasyr, cet. II, 1408 H/1988 M), hlm. 29-74.

[42]Lebih jauh, simak Ehsan Masood, Ilmuwan-Ilmuwan Muslim: Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern, Terj. Fahmy Yamani (Jakarta: Gramedia, 2009). Judul asli dari buku ini adalah Islam & Science: A History.

[43]Demikian kata Seyyed Hossein Nasr dalam Islam: Religion, History, and Civilization. Diterjemahkan oleh Koes Adiwidjajanto dengan judul Islam: Agama Sejarah, dan Peradaban (Surabaya: Risalah Gusti, 2003).

[44]Charles Le Gai Eaton, Zikir: Nafas Peradaban Modern, Terj. Zaimul Am (Bandung: Pustaka Hidayah, 1424 H/2003 M). Judul asli buku ini adalah Remembering God: Reflections on Islam, terbitan ABC International Group, Inc., 2000.

 

<<Kembali ke posting terbaru

"BERPIKIRLAH SEJAK ANDA BANGUN TIDUR" (Harun Yahya)