Minggu, November 14, 2010

KONSEP IMAN DALAM ISLAM

KONSEP ÔMÓN DALAM ISLAM

(Mengulas Definisi, Pandangan Ulama, dan Aplikasi ÔmÉn)

~Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi

“Ummat Islam saat ini tengah mengalami krisis keyakinan”

~MuÍammad QuÏb

FÉtiÍah

Menurut MuÍammad QuÏb, umat Islam saat ini tengah mengalami krisis keyakinan (al-takhalluf al-ÑaqadÊ).[1] Satu kondisi dimana umat Islam menjadi begitu jauh dari konsep-konsep keimanan kepada Allah: Tuhan semesta alam. Sehingga konsep TawÍÊd menjadi tidak sempurna. Dengan begitu, dia menjadi jauh dari fiÏrah penciptaan dan tujuan hidup dan kehidupannya. Karena sejatinya, iman itu adalah fiÏrah manusia[2] dan intisari dari iman itu adalah TawÍÊd.[3]

Fenomena “krisis” atau “keterbelakangan” keyakinan ini dapat dibaca misalnya dengan semakin menjamurnya ritual yang menjauhkan diri dari konsep LÉ ilÉha illÉ AllÉh. Dimana pada generasi awal konsep ini mencakup seluruh lini dan sisi kehidupan, lambat-laun konsep ini pudar ditelan zaman. Akhirnya, praktik TBC (takhayul, bidÑdah, dan churafat) menjamur dimana-mana. Aliran sesat bermunculan bak cendawan di musim hujan. Maka tak heran jika kemudian banyak yang mengklaim sebagai “nabi”, bahkan mengaku sebagai malaikat JibrÊl.[4]

Fenomena di atas tentu saja bukan fenomena sederhana. Dan itu terjadi akibat dari apa yang disebut oleh MuÍammad QuÏb dengan “keterbelakangan keyakinan”. Karena objek utama dalam Al-Qur’an adalah konsep ÑaqÊdah. Dan inti dari konsep ÑaqÊdah itu adalah masalah ketuhanan (al-qaÌiyyah al-ulËhiyyah).[5] Artinya, kerusakan keberagamaan ummat Islam berasal dari kesalahpahaman – jika bukan ada upaya penyalahpahaman – konsep dalam memahami “Allah” sebagai dzÉt yang berhak secara benar dan hakiki untuk disembah dan diabdi. Untuk kemudian konsep “Allah” ini menjadi darah-daging kehidupan.[6]

Untuk itu, perlu kiranya dilakukan suatu reformasi pemahaman terhadapnya. Karena bagaimana pun pemahaman yang benar terhadap kebenaran satu konsep akan melahirkan persepsi dan asumsi yang benar. Kemudian, persepsi dan asumsi yang benar akan membuahkan paradigma atau – bahkan – pandangan hidup (worldview) yang benar pula.

I. Definisi Iman

Dalam memaknai “iman” tentu saja tidak bisa lepas dari pemaknaan dan konsepsi para ulama. Untuk itu, penulis mencoba untuk mendefinisikan iman ini mengacu kepada pandangan para ulama. Karena menyangkut masalah definisi maka akan dikutip beberapa pandangan ulama lewat kamus-kamus mereka. Maka, poin akan dibagi menjadi dua bagian penting. Pertama, pandangan para ulama yang memaknai kata “iman” secara etimologis dan terminologis. Kedua, pandangan para ulama yang memaknai kata “iman” secara konseptual dan non-leksikal.

a. Makna Iman Leksikal

Dalam kamus MaqÉyis al-Lughah, Ibn FÉris (...-395 H) menyebutkan satu makna dari kata kerja amina adalah al-amÉnah yang merupakan antonim dari kata al-khiyÉnah. Beliau juga memaknainya dengan sukËn al-qalb (ketenangan hati). Disamping juga menyebutkan makna al-taÎdÊq (pembenaran).[7] Sementara Ibn ManÐËr (630-711 H/1232-1311 M) dalam LisÉn al-ÑArab berpandangan bahwa kata kata “iman” adalah antonimnya “kufuf”. Ia juga bermakna pembenaran (al-taÎdÊq) dan antonimnya “pendustaan” (al-takdzÊb).[8]

Secara etimologi, kata “ÊmÉn” merupakan derivasi dari kata kerja (fiÑl) Émana-yu’minu, yang bermakna memiliki rasa aman. Kata ini juga bermakna yakin dan pembenaran.[9] Sedangkan kata al-ÊmÉn sendiri artinya al-taÎdÊq (pengakuan atau pembenaran secara tulus dan jujur). Sedangkan secara syar’i, kata al-ÊmÉn maknanya al-taÎdÊq bi’l-qalbi wa’l-iqrÉr bil’lisÉn (membenarkan dengan hati dan mengikrarkannya dengan lisan).[10]

b. Makna Iman Non-Leksikal

Selain makna-makna leksikal di atas, iman juga memiliki makna non-leksikal (non-kamus). Berkaitan dengan ini, Imam ÑAbd al-×amÊd al-FarÉhÊ[11] menyatakan bahwa kata al-ÊmÉn berasal dari kata al-amn (rasa aman). Jadi, al-ÊmÉn artinya “pegangan” atau “sandaran” (al-iÑtimÉd). Dari sini lah muncul istilah Émana bihi yang bermakna ayqana (“yakin”). Dan perbedaan antara al-ÊmÉn dan al-ÊqÉn adalah: iman adalah pembenaran (taÎdÊq) dan penyerahan diri (taslÊm) dan antonimnya adalah al-takdzÊb (mendustakan), al-juÍËd dan al-kufr (penolakan). Sementara al-ÊqÉn antonimnya adalah al-Ðann wa al-syakk (praduga dan keraguan).

Maka, tidak setiap orang yang yakin dapat membenarkan. Dan bisa saja seseorang mendustakan karena didasari “kesombongannya” (al-mukÉbarah) padahal dia juga meyakini hal tersebut. Dapat diambil buktinya dalam Al-Qur’an adalah ketika Allah menceritakan kisah FirÑaun:

فلما جاءتهم ءايتنا مبصـرةً قالوا هـذا سحـر مبين. وجحدوا بها واستيقنتها أنفسهم ظلما وعلوا فانظـر كيف كان عاقبة المفسدين

Maka tatkala mukjizat-mukjizat Kami yang jelas itu sampai kepada mereka, berkatalah mereka: “Ini adalah sihir yang nyata.” Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.[12]

Sebaliknya, tidak semua orang yang “beriman” itu “yakin”. Karena bisa jadi seseorang beriman karena didominasi banyaknya prasangka. Kemudian dia diberi taufÊq, sehingga dapat keluar dari prasangka tersebut (al-Ðann). Namun demikian, al-ÊmÉn itu tidak sempurna tanpa al-ÊqÉn. Karena iman itu memiliki dua bagian yang tak terpisahkan: Ñilm (ilmu) dan taslÊm (kepasrahan total). Dus, ketika keduanya sempurna, maka sempurnalah “iman” itu.

Dan kata Émana lahË artinya: tunduk kepadanya. Sedangkan Émanahu, bermakna: aÑÏÉhu al-amna (memberikan rasa aman). Ini lah makna dasar secara bahasa untuk kata “iman”. Dan ini merupakan terminologi agama yang sudah ada sejak lama. Karena dalam bahasa Ibrani: אמן (amana) artinya: kejujuran dan sandaran (al-Îidq wa al-iÑtimÉd). Dan kata kerja transitifnya (al-mutaÑaddÊ) adalah: ÊmÉn (keimanan), taÎdÊq (pembenaran), dan tatsabbut (verifikasi). Dan dari kata di atas kemudian muncul kata מּא ן (ÉmÊn)[13], sebagai kata pembenaran (taÎdÊq).

Kemudian Al-Qur’an mengajarkan kepada kita tentang cabang-cabang dari makna “iman” itu, seperti:

1. Seorang Mukmin harus “tawakkal” kepada Allah:

...زادتهم إيمانا وعلـى ربهم يتـوكلون

“…bertambahlan iman mereka dan hanya kepada Tuhan mereka saja mereka “bertawakkal”[14]

2. Karena iman itu merupakan satu kelaziman dan merupakan bentuk “keyakinan”, maka ia harus membawa pelakunya kepada amal-saleh. Seperti firman Allah di bawah ini:

يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلوة ومما رزقناهم ينفقون

“(Mereka beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka”[15]

Dalam kitab syarÍ ×adÊts, seperti FatÍ al-BÉrÊ karya Ibn ×ajar al-ÑAsqalÉnÊ (773-852 H) disebutkan satu riwayat bahwa ÑUmar ibn ÑAbd al-ÑAzÊz mengirim surat kepada ÑUday ibn ÑUday sebagai berikut:

« إن للإيمـان فـرائض وشـرائع وحـدودا وسننا، فـمن استكملها استكمل الإيمـان، ومـن لـم يستكملها لـم يستكمل الإيـمان. فإن أعش فسأبينها لكم حـتى تعملوا بها، وإن مت وما أنا علـى صحبتكم بحـريص.»

“Iman itu memiliki kewajiban, syariat (keyakinan agama), sanksi (larangan), dan sunnah-sunnah. Siapa saja yang mampu menyempurnakannya, maka imannya menjadi sempurna. Jika tidak, maka imannya pun tidak akan menjadi sempurna. Seandainya aku hidup, ingin rasanya aku menjelaskan hal itu kepada kalian, sampai kalian dapat mengamalkannya. Jika tidak, maka aku tidak punya keinginan sedikitpun untuk dapat bersama-sama dengan kalian.”

Dalam Al-Qur’an, nabi IbrÉhÊm juga berkata: ولـكن ليطمئن قلبـي “…akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)…”[16] MuÑÉdz ibn Jabal juga menyatakan: اجلـس بنا، نـؤمن ساعـة, “Mari duduk bersama kami, agar kita beriman sesaat.” Sementara ÑAbd AllÉh ibn MasÑËd menyatakan: اليقيـن الإيـمان كله , “Yakin itu iman seluruhnya.”[17]

Dari beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa iman itu tidak seperti yang dipahami secara luas bahwa dia memiliki 6 rukun yang begitu ketat. Meskipun 6 rukun tersebut merupakan fondasi yang sangat integral: menyatu dan tak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain.

Dan penjelasan mengenai konsep iman yang ditopang oleh 6 rukun tersebut akan dijelaskan pada pembahasan berikut. Dimana konsepsi iman ini merupakan konsep yang sudah diatur oleh Allah untuk kemudian dijelaskan secara rinci oleh Rasulullah s.a.w. ketika menjelaskan tentang konsep iman kepada para sahabatnya. Berikut ini adalah penjelasan mengenai konsep iman berikut rukunnya dalam sabda Nabi MuÍammad s.a.w.

c. Iman dalam ×adÊts Nabawi

Menurut Rasulullah s.a.w. dalam sabdanya, iman itu disokong oleh enam rukun yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini dijelaskan sangat detail lewat satu riwayat hadits yang dikenal sebagai ×adÊts JibrÊl, yang berbunyi sebagai berikut[18]:

...فأخـبرنـي عن الإيمـان؟ قال : « أن تؤمـن بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخـر، وتؤمن بالقـدر خـيره وشـره»

“…Lalu, beritahukan kepadaku, apakah iman itu? Rasulullah menjawb, iman itu ialah: “Anda beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari Akhirat, dan Anda beriman kepada qadar: baik maupun buruk.”

Dari hadÊts Nabi s.a.w. di atas dapat dipahami bahwa konsep iman itu membumi dengan kehidupan. Karena dikaitkan dengan Allah, malaikat, kitab suci, para nabi, Hari Akhirat, dan pernik perjalanan hidup manusia yang disertai oleh takdir: baik baik maupun buruk. Konsep iman ini kemudian dikembangkan secara detail oleh para ulama kita dan dibingkai dalam makna akidah (al-ÑaqÊdah).[19] Akidah ini lah kemudian yang menjadi spirit kehidupan kaum beriman. Sehingga hidup dan kehidupan mereka benar-benar ÊmÉnÊ (segala sesuatu didasarkan kepada kebenaran iman yang diajarkan oleh Allah dan rasul-Nya).

Mengenai hidup dan kehidupan ÊmÉnÊ ini akan penulis bahas dalam poin tersendiri. Agar pemahamannya lebih detail dan komprehensif. Selain itu, agar dapat dipahami bahwa konsep “iman” merupakan bagian yang integral dengan hidup dan kehidupan. Artinya, seorang Mukmin akan menjadi manusia yang hakiki dan sejati.

II. Iman dalam Pandangan Ulama Salaf

Berikut ini akan dipaparkan pandangan para ulama salaf (klasik) mengenai makna “iman”. Dimana ternyata pandangan mereka tidak tunggal alias beragam dan berbeda. Meskipun perbedaan itu bukan perbedaan yang saling kontradiktif (ikhtilÉf taÌÉÌÌ), melainkan perbedaan keragamaan dan saling menguatkan (ikhtilÉf tanawwuÑ). Berikut ini pandangan-pandangan mereka.

1. Menurut Imam MÉlik, Syuraik, AbË Bakr ibn ÑIyyÉsy, ÑAbd al-ÑAzÊz ibn AbÊ Salmah, ×ammÉd ibn Salmah, dan ×ammÉd ibn Zayd. Mereka menyatakan, “Iman itu adalah: pengenalan (al-maÑrifah), ikrar (pengakuan), dan amal (aksi).”

2. FuÌayl ibn ÑIyÉÌ pernah ditanya tentang iman, dan menjawab, “Iman itu menurut kami adalah “bagian dalam”, sedangkan bagian luarnya adalah: pengakuan lisan, menerima dengan hati, dan mengamalkannya dengan hati pula.”

3. ÑUbayd ibn ÑUmayr al-LaytsÊ berkata: “Iman itu bukan sekadar angan-angan. Ia adalah perkataan yang dapat dicerna oleh akal dan amal yang dipraktikkan.”[20]

Selain beberapa pandangan di atas, beberapa ulama salaf juga menyatakan hal yang sama. Bahwa iman itu adalah: perkataan dan amal. Diantara mereka adalah imam-imam fiqh terkenal (fuqahÉ’), seperti: Imam AbË ×anÊfah (80-150 H), Imam MÉlik (w. 179 H), Imam al-SyÉfiÑÊ (150-204 H), dan Imam AÍmad ibn ×anbal.[21] Selain mereka ada SufyÉn al-TsaurÊ, al-AwzaÑÊ, Ibn Jurayj, MaÑmar ibn RÉsyid, dan yang lainnya.[22]

Hanya saja, menurut Imam Abu ×anÊfah iman itu “tidak bertambah dan tidak berkurang”. Dalam hal ini, beliau berbeda pandangan dari Imam MÉlik, Imam al-SyÉfiÑÊ, Imam AÍmad ibn ×anbal, Imam IsÍÉq, Imam al-BukhÉrÊ, dan imam yang lainnya. Namun demikian, Ibn ÑAbd al-Barr meriwayatkan dalam bukunya al-TamhÊd bahwa AbË ×anÊfah telah meninggalkan pendapatnya tersebut. WallÉhu aÑlamu.[23]

Selain para fuqahÉ’ di atas, para ulama-muÍadditsËn juga berpandangan sama. Bahwa iman itu bukan sekadar perkataan (dalam lisan), tetapi juga amal (aksi) nyata, berupa amal-saleh dan kebaikan yang dianjurkan oleh syariat. Pandangan ini, misalnya, diwakili oleh Imam al-BukhÉrÊ dan Imam Muslim.[24]

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menurut para imam (baik fuqahÉ’ maupun muÍadditsËn) bahwa iman itu dapat bertambah dan dapat berkurang. Bertambah dengan “ketaatan” dan berkurang dengan “maksiat”. Oleh karena itu, ciri naiknya iman seseorang itu adalah menanjaknya amal saleh dan ketaatan seseorang kepada Allah. Dan tanda-tanda menurunnya imam seseorang adalah: munculnya kemalasan dalam beribadah yang – dalam batas tertentu – dilanjutkan dengan perbuatan maksiat kepada Allah s.w.t.

III. Iman Menurut MutakallimËn

Para mutakallimËn memiliki pandangan yang berbeda dari ulama salaf mengenai konsep iman. Pandangan mereka ini dapat kita lihat dari beberapa sekte yang ada dalam Islam berikut ini. Dengan adanya pandangan dari sekte-sekte ini, akan dapat dilihat bahwa konsep iman itu begitu luas. Meskipun demikian, setiap sekte boleh saja berbeda dengan sekte yang lain, berdasarkan pandangan dan hasil ijtihÉd masing-masing. Meskipun terkadang ada juga pandangan teologis dari sekte-sekte ini didasari dan dipengaruhi oleh kepentingan politis.[25]

1. KhawÉrij[26]

Sekte ‘tertua’ dalam Islam ini memiliki pandangan yang sama dengan ulama salaf, bahwa “iman” itu terdiri dari tiga komponen penting: pembenaran dengan hati (taÎdÊq bi al-janÉn), ikrar dengan lisan (iqrÉ billisÉn), dan mengaplikasikannya dengan anggota tubuh (Ñamal bi al-jawaÉriÍ). Mereka juga menyatakan bahwa seluruh bentuk dan jenis ketaatan disebut “iman”. Di sini mereka sepakat dengan pendapat salaf. Titik perbedaan mereka dengan ulama salaf terletak pada pandangan mereka bahwa ketiga komponen tersebut “menyatu” dan tak terpisah.[27]

Mereka juga berpandangan bahwa iman selamanya tidak bertambah dan tidak berkurang. Karena, dalam pandangan mereka, satu perbuatan maksiat “memusnahkan” seluruh amal saleh yang dikerjakan seumur hidup.[28] Di sini kelompok ini pandangannya berbahaya. Karena mencap kafir para pelaku maksiat dan memvonis mereka “kekal” dalam neraka. Bahkan, darah dan harta pelaku maksiat menjadi “halal” untuk ditumpahkan dan dirampas.[29]

Meskipun demikian, dalam masalah TawÍÊd – karena ini erat kaitannya dengan iman – sekte KhawÉrij sepakat untuk menyucikan dzat Allah (al-dzÉt al-ilÉhiyyah) dari segala bentuk penyerupaan dengan makhluk yang baharu (al-muÍdatsÉt). Dan di dalamnya terdapat penafian atas perbedaan (mughÉyarah) antara sifat Allah terhadap dzat-Nya. Atau, penafian adanya penambahan terhadap dzat. Hal ini dilakukan, agar tidak membuka pintu masuknya syubhat (keraguan) yang menimbulkan keraguan pemahaman mengenai banyaknya dzat yang qadÊm (taÑaddud al-qudamÉ’).[30]

2. Murji’ah[31]

Menurut al-BaghdÉdÊ (w. 429 H/1037 M), sekte ini disebut “Murji’ah” karena mereka mengakhirkan iman dari amal. Karena al-irjÉ’ maknanya al-ta’khÊr (mengakhirkan).[32]

Sedangkan menurut al-SyahrastÉnÊ, arti al-irjÉ’ ada dua. Pertama, artinya al-ta’khÊr, sebagaimana dalam firman Allah, “arjih wa akhÉkhu”[33]yang berarti tangguhkan (amhilhu) atau akhirkan (akhkhirhu). Dan kedua, pemberian harapan (iÑÏÉ’ al-rajÉ’). Maka, jika Murji’ah disebut menurut makna pertama adalah benar. Karena mereka menunda amal dari niat atau akad.

Sedangkan Murji’ah menurut makna kedua, maka itu menunjukkan zahirnya. Karena mereka mengatakan, “Maksiat tidak membahayakan iman. Dan ketaatan tidak membahayakan kekufuran.”[34] Dan disebutkan pula bahwa makna dari al-irjÉ’ adalah: penangguhan hukum atas pelaku dosa besar (ÎÉÍib al-kabÊrah) hingga hari kiamat. Dan dia tidak dikenai sanksi apapun di dunia ini: apakah dia ahli surga atau ahli neraka.[35]

Perlu dijelaskan bahwa sekte ini terdiri dari beberapa kelompok atau aliran. Dan setiap kelompok dari sekte ini memiliki pemahaman tersendiri mengenai konsep “iman”. Berikut adalah beberapa kelompok dan pandangannya mengenai iman.

a. al-YËnusiyyah, pengikut YËnus ibn ÑAun al-NumayrÊ.

Kelompok ini menyatakan bahwa iman itu adalah: mengenal Allah (al-maÑrifat billÉh), tunduk kepada-Nya, tidak menyombongkan diri atas-Nya, dan cinta lewat qalbu. Dan ikrar dengan lisan bahwa Allah itu satu (wÉÍid).[36] Maka, jika unsur-unsur tersebut menyatu dalam diri seseorang, maka dia disebut “Mukmin”.[37]

b. al-GhassÉniyah, yaitu pengikut GhassÉn al-Murji’Ê.

Yang mengklaim bahwa iman itu adalah: ikrar (pernyataan) atau cinta (al-maÍabbah) terhadap Allah, mengagungkan-Nya, dan tidak menyombongkan diri atas-Nya. Iman juga “tidak bertambah dan tidak berkurang”.[38] Al-SyahrastÉnÊ bahwa iman itu – selain mengetahui Allah – juga mengakui rasulullah, mengakui wahyu Allah, dan ajaran yang dibawa oleh rasulullah tanpa penjelasan rinci (al-tafÎÊl).[39]

c. al-TËmaniyah, yaitu pengikut AbË MuÑÉdz al-TËmanÊ.

Yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “iman” adalah: hal-hal yang terpelihara dari “kekufuran” (al-kufr). Artinya, iman itu adalah satu nama yang mencakup seluruh perkara, yang jika satu perkara saja ditinggalkan maka pelakunya kafir. Dan kumpulan dari seluruh perkara itu disebut dengan “iman”. Jadi, jika satu perkara saja tidak bisa disebut dengan “iman” atau sebagian iman.

Kelompok ini juga mengatakan bahwa, “Segala hal yang berkaitan dengan kewajiban yang tidak disepakati oleh umat kekufurannya jika ditinggalkan, maka itu syariat iman, bukan iman itu sendiri.” Mereka juga mengklaim bahwa orang yang meninggalkan kewajiban (al-farÊÌah) yang bukan iman, maka tindakannya disebut kefasikan (fisq). Dan pelakunya tidak disebut sebagai fÉsiq secara mutlak (tegas). Karena dia meninggalkannya bukan atas dasar penolakan (jÉÍid).

Mereka juga mengklaim bahwa siapa saja yang “menempeleng” seorang nabi atau rasul, maka dia kafir. Kekufurannya bukan karena “tempelengannya” tersebut, melainkan karena rasa permusuhan, kebencian, dan merendahkan kedudukan sang nabi atau rasul.[40]

d. al-TsaubÉniyah, yaitu pengikut AbË TsaubÉn al-Murji’Ê.

Yang mengklaim bahwa iman itu adalah: ikrar dan pengenalan (al-maÑrifah) terhadap Allah dan rasul-Nya dan setiap yang wajib dikerjakan menurut (pertimbangan) akal. Sementara apa yang boleh dikerjakan menurut akal, maka pengenalan (pengetahuan) terhadapnya tidak bisa disebut sebagai iman.

Kelompok ini memisahkan diri dari al-YËnusiyah dan al-GhassÉniyah karena mereka mewajiban sesuatu berdasarkan akal, sebelum datangnya hukum dari Allah (syariat).[41] Mereka juga, menurut al-SyahrastÉnÊ, menunda seluruh amal dari iman.[42] Karena memang mereka “memisahkan” dan “membedakan” antara iman dengan amal saleh. Iman berada dalam satu tempat, dan amal berada dalam tempat yang berbeda. Bahkan, amal bukan “rukun” – bagian – dari iman, iman tidak bertambah dan tidak berkurang, dsb.[43]

Dan sebagai catatan bahwa dari pemaparan tentang kelompok al-TsaubÉniyah ini, kita dapat memahami bahwa mereka memiliki kemiripan dengan sekte Muktazilah. Dimana akal dapat menentukan baik dan buruk (taÍsÊn dan taqbÊÍ).[44] Dan tentunya, pandangan ini dapat disangkal bahwa akal sejatinya hanya sebagai perangkat dan wasÊlah dan belum tentu dapat dibenarkan seluruhnya. Karena penjelasan yang paling rinci dan absah hanya ada dalam wahyu. Walaupun akal dapat menentukan kebenaran, tetapi tidak dapat disebut mutlak (absout).

e. al-MarÊsiyah.

Mereka adalah kaum Murji’ah BaghdÉd, yaitu pengikut Bisyr al-MarÊsÊ. Mengenai iman, Bisyr menyatakan bahwa ia adalah, “Pembenaran dengan hati dan lisan sekaligus.”[45] Namun penting dicatat bahwa seluruh kelompok Murji’ah menyatakan bahwa orang-orang kafir tidak memiliki iman. Dan secara mayoritas, mereka tidak mengkafirkan orang-orang yang melakukan ta’wÊl dan – tidak mengkafirkan – orang-orang yang kekafirannya tidak disepakati oleh umat.[46]

3. MuÑtazilah[47]

Mengenai iman, sekte yang disebut dengan kaum rasionalis Islam[48] ini memiliki beberapa pandangan mengeni konsep iman. Dan ternyata, setiap golongan (kelompok) yang ada dalam sekte ini berbeda dalam memaknai iman, dan dapat disimpulkan dalam poin di bawah ini:

a. Iman ada seluruh bentuk ketaatan: yang wajib maupun nafl (sunnah). Maksiat itu ada dua bentuk: pertama, maksiat kecil (al-ÎaghÉ’ir) dan kedua, maksiat besar (al-kabÉ’ir). Maksiat besar juga terbagi kepada dua: pertama, maksiat dalam bentuk kekufuran, dan kedua, dalam bentuk bukan kekufuran. Ini adalah AbË al-Hudzayl dan para pengikutnya.

b. HisyÉm al-FauÏÊ berkata, “Iman itu kumpulan bentuk ketaatan, baik yang farÌ maupun yang sunnah (nafl). Dan iman itu terbagi dua: iman kepada Allah dan iman karena (untuk) Allah. Dan iman karena (untuk) Allah tidak bisa dikatakan sebagai iman kepada Allah.”

c. ÑUbbÉd ibn SulaymÉn berkata, “Iman adalah seluruh bentuk kewajiban yang diperintahkan oleh Allah dan segala bentuk amal sunnah yang dianjurkan untuk dikerjakan. Dan iman terbagi kepada dua bentuk: iman kepada Allah, dimana siapa saja yang meninggalkannya atau meninggalkan satu bagiannya maka dia menjadi “kafir”, seperti agama (al-millah) dan al-tawÍÊd. Dan, iman karena (untuk) Allah, dimana orang yang meninggalkannya tidak menjadi kafir.”

d. IbrÉhÊm al-NaÐÐÉm berkata, “Iman itu adalah: meninggalkan dosa-dosa besar (ijtinÉb al-kabÉ’ir).”

e. Yang lain menyatakan bahwa yang disebut dengan iman itu adalah: menjauhkan diri dari perbuatan yang di dalamnya terdapat ancaman masuk neraka (al-waÑÊd) bagi Allah dan bagi kita.

f. MuÍammad ibn ÑAbd al-WahhÉb al-JubbÉ’Ê berkata, “Iman itu adalah seluruh kewajiban yang dipikulkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya. Sedangkan ibadah nawÉfil (sunnah) tidak dapat disebut iman. Dus, setiap perkara (bagian) dari apa yang diperintahkan oleh Allah disebut sebagai “sebagian dari iman.”[49]

Dari enam poin tersebut di atas dapat dipahami bahwa kelompok yang ada dalam sekte MuÑtazilah ini sepakat dalam memasukkan perkara-perkara wajib (farÌ) ke dalam kategori “iman”. Sementara amalan sunnah (nawÉfil) menjadi perdebatan diantara mereka. Apakah dia masuk ke dalam iman atau tidak.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Apakah sekte MuÑtazilah juga memiliki konsep “bertambah dan berkurangnya” iman? Dalam hal ini, seorang pentolan sekte ini, al-QÉÌÊ ÑAbd al-JabbÉr menyatakan bahwa iman itu bertambah dan berkurang.[50] Jadi, dalam hal ini mereka satu pendapat dengan ulama salaf, dimana iman dapat bertambah dan berkurang.

4. AsyÑariyah[51]

Sekte AsyÑariyah berpandangan bahwa iman artinya pembenaran (al-taÎdÊq). Dan al-taÎdÊq ini menurut mereka adalah “iman legal” (al-ÊmÉn al-syarÑÊ). Dan konsep iman adalah tunggal, tidak berbilang, yaitu pembenaran hati (al-taÎdÊq al-qalbÊ). Dan ini merupakan pandangan yang masyhur dalam mazhab mereka.[52]

Dan memang, Imam al-AsyÑarÊ sendiri menyatakan bahwa “iman” itu adalah pembenaran lewat hati (al-taÎdÊq bi al-qalb) saja. Sementara pengungkapannya lewat lisan dan mengamalkannya dengan anggota badan hanya sebagai “cabang iman”.[53] Artinya, Imam al-AsyÑarÊ berbeda pandangan dan pendapat dengan ulama salaf yang lain.

Karena jika hanya membatasi iman dalam ruang al-taÎdÊq, berarti beliau mengambil pendapat sekte al-Jahmiyah. Karena pendirinya, Jahm ibn ØafwÉn – yang nota bene dipandangan sebagai “Jabariyah Murni”[54] berpandangan bahwa iman itu tidak terbagi ke dalam Ñaqd (pengakuan dan keyakinan), qawl (pernyataan lisan), dan amal. Bahkan, iman para nabi dengan iman orang biasa sama saja, tidak ada bedanya.[55] Maka sangat wajar jika ulama salaf menggolongkan Jahm ke dalam sekte MuÑaÏÏilah Murni (al-taÑÏÊl al-maÍÌ).[56]

Artinya, amal tidak masuk ke dalam iman. Iman adalah satu hal, sementara amal merupakan hal yang berbeda. Bahkan, ÍadÊts Nabi s.a.w. yang menyatakan bahwa iman itu memiliki cabang sampai 60 bahkan 70-an cabang. Dimana cabang yang paling tinggi adalah LÉ ilÉha illa AllÉh dan yang paling rendah adalah membuang segala hal yang mencelakakan orang lain dari tengah jalan adalah “majÉz”, bukan dalam makna hakiki (ÑÍaqÊqah). Padahal, ini adalah pandangan sekte Murji’ah, Jahmiyah, dan al-KarrÉmiyah.[57]

Dari pemaparan berbagai pandangan sekte kalÉm dalam Islam di atas – meskipun tidak seluruhnya dipaparkan – dapat dipahami bahwa terdapat pandangan yang berbeda. Dan jika dikerucutkan dapat disimpulkan bahwa perbedaan itu pada dua poin penting:

Pertama, iman itu terpisah daru amal atau menyatu. Dan kedua, iman itu bertambah dan berkurang atau tetap (tidak bertambah dan tidak berkurang). Dan jika ditelusuri lebih detil, maka pendapat ulama salaf (baik fuqahÉ’ atau pun muÍadditsËn) ternyata lebih dapat diterima dan dibenarkan. Karena memang buktinya lebih kuat – dari Al-Qur’an[58] dan Sunnah. Karena menurut ulama salaf, iman adalah qawl wa fiÑl (perkataan dan perbuatan).[59]

Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa pendapat ulama salaf mengenai iman ini lah yang lebih dapat diterima dengan baik. Dan mengenai konsep iman yang identik dengan qawl wa fiÑl ini, dapat dibuktikan dengan banyak hal. Berikut ini adalah pemaparannya.

IV. Iman dan Realitas Kehidupan

Berikut ini adalah bukti-bukti bahwa memang iman itu tidak sekadar perkataan kosong (qawl), melainkan juga perbuatan nyata (fiÑl). Ini mungkin yang dibahasakan oleh Syeikh Dr. YËsuf al-QaraÌÉwÊ dengan al-ÔmÉn wa al-×ayÉt.[60] Bahwa iman adalah satu hal yang integral dengan kehidupan seorang Mukmin. Dan ini dapat dibuktikan dalam poin-poin berikut.

1. Iman dan Ilmu

Menurut Allah, orang yang beriman adalah para penuntut ilmu. Karena hanya mereka yang memiliki rasa takut yang tinggi (al-khasyyah).[61] Dan aktivitas menuntut ilmu ini mengangkat derajat para pelakunya.[62] Dalam Qs. 18: 110, Allah juga menjelaskan integritas iman – sebagai buah ilmu – dengan amal saleh. Karena antara ilmu, iman, dan amal merupakan kesatuan yang integral.[63]

Begitulah, ilmu dan iman dalam Islam berjalan bergandengan. Ia ibarat dua sisi koin, yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Karena ilmu membuahkan iman, karena ia membawa kepada pengenalan terhadap Allah s.w.t.[64] Karena, ilmu dalam Islam harus membuahkan dan menumbuhkan keimanan. Jika tidak, maka ilmu menjadi tidak ada manfaatnya.

2. Iman dan Ibadah

Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang mengaitkan iman dengan ibadah. Misalnya dalam Qs. al-Baqarah [2]: 183 yang mengaitkan iman dengan ibadah puasa. Dalam Qs. 2: 153 Allah mengajarkan kepada orang-orang Mukmin menjadikan sabar dan shalat sebagai “penolong” dalam kehidupan.[65] Karena ilmu dalam Islam, tegas al-QaraÌÉwÊ, adalah ‘imam’ amal.[66] Itu juga mungkin rahasianya mengapa “wahyu” yang pertama kali turun kepada Nabi MuÍammad bunyinya iqra’ (bacalah!) bukan ayat-ayat ibadah. Meskipun kewajiban jin dan manusia adalah beribadah (menyembah) Allah.[67]

3. Iman dan Amal Saleh

Ini, menurut Ibn Taimiyah (w. 728 H) jika disebutkan kata al-ÊmÉn sendirian –tidak dikaitkan dengan kata apapun – maka di dalamnya masuk: Islam dan amal saleh. Seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadits cabang iman (syuÑab al-ÊmÉn).[68] Begitu juga dalam Qs. al-AÍzÉb [33]: 53, Allah memerintahkan orang-orang Mukmin agar memiliki etika yang baik ketika hendak masuk ke dalam rumah Nabi MuÍammad s.a.w. dan cara berinteraksi dengan para istri beliau.

Dan dalam Qs. 33: 56 Allah memerintahkan kita agar senantiasa mengucapkan salawat dan salam kepada Baginda Rasulullah s.a.w. Karena Allah dan para malaikat-Nya lebih dahulu melakukannya, sebagai bentuk pemberian contoh dalam berbuat kebaikan. Sementara dalam Qs. al-×ujurÉt [49]: 10 menganjurkan kita untuk menjaga dan memelihara ikatan persaudaraan (al-ukhuwwah) dan takwa. Dan salah satu untuk menjaganya adalah dengan cara: tidak saling ejek dan saling merendahkan, dan saling membuat julukan yang jelek (Qs. 49: 11). Juga, dengan cara menjauhi negative thinking (sË’ al-Ðann), mengutus mata-mata (spionase, tajassus) untuk mencari aib dan kesalahan orang lain, dan menyebar-luaskan aib orang lain lewat ghÊbah (Qs. 49: 12).

Selain ayat-ayat di atas, tentunya masih banyak ayat lain yang mengaitkan antara “iman” dengan “amal saleh”. Selain itu, Rasulullah juga banyak menyingungg “iman” dengan “amal saleh” dalam sabda beliau. Misalnya, dalam hadits ÑAbd AllÉh ibn ÑUbayd ibn ÑUmayr bahwa kakeknya berkata bahwa Rasulullah ditanya tentang iman. Beliau kemudian menjawab, “Iman adalah lapang dada (toleransi) dan sabar.”[69] Dan dalam hadits yang lain, Rasulullah menyatakan bahwa, “Sebaik-baik Mukmin adalah yang paling baik akhlaknya.”[70]

Dan tentunya, masih banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah mengenai integritas iman dan amal saleh. Dan ini akan diketahui dengan cara meneliti ayat-ayat Al-Qur’an dan sabda Rasulullah dalam banyak buku hadits yang telah ditulis oleh para ulama kita. Dan apa yang mereka tulis tentunya sebagai usaha yang harus diamalkan. Bukan hanya untuk dibaca dan dibangga-banggakan.

V. KhÉtimah

Demikian pembahasan ringkas mengenai konsep iman dalam Islam. Dimana Allah telah memberikan penjelasan detil di dalam Al-Qur’an. Kemudian konsep ini dijabarkan oleh Rasulullah dalam berbagai sabdanya. Kemudian, agar mudah dipahami dan diamalkan, para ulama kita berlomba-lomba dalam ijtihÉd mereka untuk menjelaskan konsep iman ini ke tengah-tengah umat. Meskipun dalam ijtihÉd mereka menghasilkan banyak ragam sudut pandang yang tidak sama. Maka timbul perbedaan diantara fuqahÉ’ dan mutakallimËn (teolog).

Namun begitu, kita memiliki rasa dan hak untuk menentukan pandangan, pendapat, dan pilihan dalam mencari pendapat dan pandangan mana yang – menurut kita setelah mempelajari dengan baik dan bijaksana – lebih dekat kepada kebenaran ijtihÉdÊ (al-ÎawÉb) tersebut. Yang jelas, seperti kata Imam al-Ghazali, parameternya adalah al-qisÏÉÎ al-mustaqÊm (alat ukur yang lurus), yaitu Al-Qur’an plus Sunnah Nabi MuÍammad s.a.w.[71] Karena ilmu pun harus ada alat ukurnya (miÑyÉr al-Ñilm).[72]

~WallÉhu min warÉ’ al-qaÎd, wa minhu al-Ñawn, wa bihÊ al-tawfÊq~



[1]MuÍammad QuÏb, WÉqiÑunÉ al-MuÑÉÎir (Cairo: DÉr al-SyurËq, 1998), hlm. 153.

[2]Lihat, MuÍammad ÑAlÊ al-ØÉbËnÊ, Min KunËz al-Sunnah (Jakarta: DÉr al-Kutub al-IslÉmiyyah, 1420 H/1999 M), hlm. 11, 15-16.

[3]Lihat, YËsuf al-QaraÌÉwÊ, ×aqÊqat al-TawÍÊd (Cairo: Maktabah Wahbah, 1409 H/1989 M), hlm. 14.

[4]Diantara “aliran sesat” itu, misalnya, Ahmadiyah, yang mengklaim bahwa Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) sebagai “nabi” setelah Nabi Muhammad s.a.w. Padahal klaim seperti ini adalah “kufur”. Lihat bantahannya dalam M. Amin Jamaluddin, Ahmadiyah dan Pembajakan Al-Qur’an (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam [LPPI], cet. IX, 2008). Kritik terhadap aliran sesat ini juga dapat disimak dalam Dede H. Nasrudin, Koreksi terhadap Pemahaman Ahmadiyah dalam Masalah Kenabian (Bandung: Irsyad Baitus Salam, cet. I, 2008). Selain Ahmadiyah, aliran sesat yang paling anyar muncul di Indonesia adalah aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah, yang dicetuskan oleh Ahmad Mushaddeq. Tentang ini, misalnya, simak Nasrul Koharuddin, Ahmad Mushaddeq dan Ajaran Al-Qiyadah Al-Islamiyah (Yogyakarta: Medpress, cet. I, 2008).

[5]MuÍammad QuÏb, DirÉsÉt Qur’Éniyyah (Cairo: DÉr al-SyurËq, cet. VIII, 1425 H/2004 M), hlm. 33.

[6]Cermati Qs. al-AnÑÉm [6]: 162-163.

[7]Lihat, AbË al-×usayn AÍmad ibn FÉris ibn ZakariyyÉ, MaqÉyis al-Lughah, taÍqÊq: ÑAbd al-Salam MuÍammad HÉrËn, 6 Jilid, (Beirut-Lebanon: DÉr al-Fikr, 1399 H/1979 M), 1: 133.

[8]Lihat, JamÉl al-DÊn AbË al-FaÌl MuÍammad ibn Mukarram ibn ÑAlÊ ibn AÍmad ibn AbÊ al-QÉsim ibn ×abqah ibn ManÐËr, LisÉn al-ÑArab, TaÍqÊq: ÑAbd AllÉh ÑAlÊ al-KabÊr, MuÍammad AÍmad ×asb AllÉh, dan HÉsyim MuÍammad al-SyÉdzilÊ (Cairo: DÉr al-MaÑÉrif, ), 3: 140. Selain hal di atas, Ibn ManÐËr juga menguraikan sekian banyak derivasi kata amana-yu’mina, seperti al-amn (rasa aman) dan al-amÉnah. Lihat, ibid., 3: 140.

[9]al-MuÑjam al-WasÊÏ (Cairo: Maktabah al-SyurËq al-Dawliyyah, cet. IV, 1425 H/2004 M), hlm. 28.

[10]Ibid., hlm. 28.

[11]ÑAbd al-×amÊd al-FarÉhÊ, MufradÉt al-Qur’Én: NaÐarÉt JadÊdah fÊ TafsÊr AlfÉÐ Qur’Éniyyah, taÍqÊq: Dr. MuÍammad Ajmal AyyËb al-IÎlÉÍÊ (Beirut: DÉr al-Gharb al-IslÉmÊ, cet. I, 2002), hlm. 158-160.

[12]Qs. al-Naml [27]: 13-14.

[13]Kata ÉmÊn dalam Perjanjian Lama muncul sebanyak 12 kali, seperti dalam Kitab Ulangan 27: 15-26. Lihat juga Nehemia 5: 13 dan Yeremia 11: 5 dan 28: 6. Lihat, Bible King James Version (1611). Lihat juga Alkitab (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia).

[14]Qs. al-AnfÉl [8]: 2. Lengkapnya, ayat ini berbunyi: إنما المؤمنون الذين إذا ذكـر الله وجلت قلوبهم وإذا تليت عليهم آياته زادتهم إيمانا وعلى ربهم يتوكلون.

[15]Qs. al-Baqarah [2]: 3.

[16]Qs. al-Baqarah [2]: 260. Ayat ini mengisahkan tentang dialog nabi IbrÉhÊm a.s. yang meminta kepada Allah agar memperlihatkan kemahabesarannya dalam “menghidupkan” orang-orang mati. Lengkapnya, ayat ini berbunyi demikian, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu ?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): “Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

[17]Lihat, AÍmad ibn ÑAlÊ ibn ×ajar, FatÍ al-BÉrÊ, taÍqÊq dan komentar: ÑAbd al-QÉdir Syaibah al-×amd, 13 Jilid (RiyÉÌ, cet. I, 1421 H/2001 M), 1: 60.

[18]Lihat, Imam AbË al-×usayn Muslim ibn al-×ajjÉj al-QusyairÊ al-NÊsÉbËrÊ (206-261 H), ØaÍÊÍ Muslim (al-RiyÉÌ: DÉr Ùayyibah, cet. I, 1427 H/2006 M), hlm. 24 [KitÉb: al-ÔmÉn, BÉb: MaÑrifat al-ÔmÉn wa al-IslÉm wa al-IÍsÉn wa al-Qadar wa ÑAlÉmat al-SÉÑah, no. ×adÊts: 1-(8). Dalam sabdanya yang lain, beliau menyatakan bahwa yang disebut dengan iman itu adalah: “Anda beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, para rasul-Nya, dan hari kebangkitan.” Lihat, ibid., hlm. 24.

[19]Lebih detail diskusi seputar ÑaqÊdah ini, simak dalam Syeikh ÑAbd al-ÑAzÊz ibn ÑAbd AllÉh ibn BÉz, al-ÑAqÊdah al-ØaÍÊÍah wa MÉ YuÌÉduha wa NawÉqiÌ al-IslÉm (al-RiyÉÌ, 1420 H/2000 M). lihat juga, Syeikh MuÍammad ibn ØÉlÍ al-ÑUtsaimÊn, ÑAqÊdah Ahl al-Sunnah wa al-JamÉÑah (al-RiyÉÌ: al-Maktab al-TaÑÉwunÊ li al-DaÑwah wa al-IrsyÉd wa TawÑiyah al-JÉliyÉt, cet. IV, 1422 H).

[20]AÍmad ibn ÑAÏiyyah ibn ÑAlÊ al-GhÉmidÊ, al-ÔmÉn bayna al-Salaf wa al-MutakallimÊn (Madinah: Maktabah al-ÑUlËm wa al-×ikam, cet. I, 1423 H/2002 M), hlm. 17.

[21]Lebih luas, lihat ÑAbd AllÉh ibn ÑAbd al-MuÍsin al-TurkÊ, Dasar-dasar Aqidah Para Imam Salaf, Terj. Nabhan Idris (Jakarta: Qalam, cet. I, 1416 H/1995 M), hlm. 58-81.

[22]AÍmad ibn ÑAÏiyyah ibn ÑAlÊ al-GhÉmidÊ, al-ÔmÉn…, hlm. 19.

[23]MuÍammad ibn ÑAbd al-RaÍmÉn al-KhamÊs, IÑtiqÉd al-A’immah al-ArbaÑah (Saudi Arabia: WazÉrat al-Syu’Ën al-IslÉmiyyah wa al-AwqÉf wa al-DaÑwah wa al-IrsyÉd, cet. I, 1425 H), hlm. 16.

[24]Ibid., hlm. 19. Lihat juga al-TurkÊ, Dasar-dasar Aqidah Para Imam Salaf, hlm. 82. Pandangan Imam MÉlik, Imam al-SyÉfiÑÊ, dan Imam AÍmad ibn ×anbal mengenai “bertambah dan berkurangnya” iman, lihat dalam ibid., hlm. 25, 39, dan 52.

[25]Lihat pandangan luas tentang ini dalam Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, dan Perbandingan (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2007).

[26]KhawÉrij adalah: siapa saja yang keluar dari – ketaatan – imam (pemimpin) yang benar, dimana kelompok ini sepakat untuk menyebut nama kelompok ini dengan khÉriji. Apakah keluarnya pada era sahabat, dimana mereka meninggalkan para imam raÉsyidËn atau pada masa tÉbiÑÊn dan para pemimpin yang ada pada setiap zaman. Lihat, AbË al-FatÍ MuÍammad ÑAbd al-KarÊm ibn AbË Bakr AÍmad al-SyahrastÉnÊ (479-548 H), al-Milal wa al-NiÍal (Beirut-Lebanon: DÉr al-Fikr, cet. II, 1422 H/2002 M), hlm. 92. Sementara ulama SyÊÑah menyebut al-KhawÉrij dengan para pelaku maker (bughÉt). Lihat, ÑAbd al-MunÑim al-×afanÊ, MawsËÑat al-Firaq wa al-JamÉÑÉt wa al-MadzÉhib al-IslÉmiyyah (Cairo: DÉr al-RasyÉd, cet. I, 1413 H/1993 M), hlm. 215.

[27]AÍmad ibn ÑAÏiyyah ibn ÑAlÊ al-GhÉmidÊ, al-ÔmÉn…, hlm. 80.

[28]Ibid., hlm. 80.

[29]Ibid., hlm. 80.

[30]MuÍammad ÑImÉrah, TayyÉrÉt al-Fikr al-IslÉmÊ (Cairo: DÉr al-SyurËq, cet. II, 1418 H/1997 M), hlm. 20.

[31]Menurut al-BaghdÉdÊ, Murji’ah terbagi kepada tiga golongan, yakni: (1) kelompok yang menyatakan penangguhan iman (al-irjÉ’ bi al-ÊmÉn) dan mengakui bahwa manusia diatur oleh takdir (al-qadar). Dalam hal ini, dia satu aliran dengan sekte Qadariyah-MuÑtazilah, semisal: GhaylÉn, AbË Syamr, dan MuÍammad ibn SyabÊb al-BaÎrÊ. Mereka ini lah yang masuk dalam khabar (riwayat) yang melaknat Qadariyah. (2) Kelompok yang menangguhkan iman dan memiliki pemahaman bahwa amal manusia sudah terjadi lewat al-jabr (keterpaksaan: manusia tidak memiliki kebebasan). Pandangan kelompok ini didasarkan pada aliran Jahm ibn ØafwÉn. Jadi, kelompok ini termasuk kelompok al-Jahmiyah. Dan (3) Kelompok yang keluar dari Jabariyah dan Qadariyah. Dan kelompok terdiri dari 5 golongan: (a) al-YËnusiyah, (b) al-GhassÉniyah, (c) al-TsaubÉniyyah, (d) al-TËmaniyah, dan (e) al-MurÊsiyah. Lihat, AbË ManÎËr ÑAbd al-QÉhir ibn ÙÉhir ibn MuÍammad al-BaghdÉdÊ (w. 429 H/1037 M), al-Farq bayna al-Firaq, studi dan taÍqÊq: MuÍammad ÑUtsmÉn al-Khasyit (Cairo: Maktabah Ibn SÊnÉ, 1409 H/1988 M), hlm. 178.

[32]Ibid., hlm. 178.

[33]Qs. al-AÑrÉf [7]: 111.

[34]Al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, hlm. 112.

[35]Ibid., hlm. 112.

[36]al-BaghdÉdÊ, al-Farq bayna al-Firaq, hlm. 179.

[37]al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, hlm. 112.

[38]al-BaghdÉdÊ, al-Farq bayna al-Firaq, hlm. 179.

[39]al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, hlm. 113.

[40]al-BaghdÉdÊ, al-Farq bayna al-Firaq, hlm. 179-180. al-BaghdÉdÊ tidak menyebutkan perkara-perkara apa saja yang dimaksud oleh kaum Murji’ah ini. Untuk itu, al-SyahrastÉnÊ menyebutkan bahwa perkara tersebut adalah: (i) pengetahuan atau pengenalan (al-maÑrifah), (ii) pembenaran (al-taÎdÊq), (iii) cinta (al-maÍabbah), (iv) ikhlas (al-ikhlÉÎ), (vi) dan pengakuan terhadap apa (ajaran) yang dibawa oleh rasul. Liha, al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, hlm. 116.

[41]al-BaghdÉdÊ, al-Farq bayna al-Firaq, hlm. 180.

[42]al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, hlm. 114.

[43]Diskusi mengenai pandangan ini, lihat AÍmad ibn ÑAÏiyyah ibn ÑAlÊ al-GhÉmidÊ, al-ÔmÉn bayna al-Salaf wa al-MutakallimÊn, hlm. 91-93.

[44]Lihat lebih luas, lihat ÑAwwÉd ibn ÑAbd AllÉh al-MuÑtiq, al-MuÑtazilah wa UÎËluhum al-Khamsah wa Mawqif Ahl al-Sunnah MinhÉ (al-RiyÉÌ: Maktabah al-Rusyd, cet. IV, 1421 H/2001 M), hlm. 163-167.

[45]al-BaghdÉdÊ, al-Farq bayna al-Firaq, hlm. 180. Lima kelompok Murji’ah di atas merupakan pembagian yang dilakukan oleh al-BaghdÉdÊ. Sementara al-SyarastÉnÊ memiliki pembagian yang berbeda – dan dia membaginya ke dalam 6 kelompok – yaitu: plus al-ÑUbaydiyyah dan al-ØÉliÍiyyah. Lihat, al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, hlm. 113, 116-117.

[46]ÑAbd al-MunÑim al-×afanÊ, MawsËÑat al-Firaq wa al-JamÉÑÉt wa al-MadzÉhib al-IslÉmiyyah, hlm. 352.

[47]Sekte ini menamakan dirinya dengan aÎÍÉb al-Ñadl wa al-tawÍÊd. Mereka juga disebut al-Qadariyah dan al-ÑAdliyah. Lihat, al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, hlm. 34. Namun, sejatinya kaum MuÑtazilah tidak juga setuju mereka disebut sebagai al-Qadariyah. Karena mereka mengatakan bahwa siapa yang mengafirmasi adanya qadar, lebih tepat dinisbatkan kepada al-Qadariyah dibandingkan yang menafikannya. Lihat, AÍmad AmÊn, Fajr al-IslÉm (Beirut-Lebanon: DÉr al-KitÉb al-ÑArabÊ, cet. II, 1933), hlm. 287.

Sekte ini sepakat bahwa manusia bisa menciptakan pekerjaan mereka sendiri, baik baik maupun buruk. Dan Allah hanya mengerjakan pekerjaan yang baik. Mereka juga sepakat bahwa dasar-dasar pengenalan kepada Allah dan syukur nikmat “wajib”, sebelum datangnya al-samÑ (wahyu). Baik dan buruk wajib diketahui lewat nalar. Lihat al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal., hlm. 35-36.

Dan untuk mengetahui asal-usul MuÑtazilah dengan sebebenarnya memang sulit. Berbagai pendapat dimajukan ahli-ahli, tetapi belum ada kata sepakat antara mereka. Yang jelas ialah bahwa: nama MuÑtazilah sebagai designatie bagi aliran teologi rasonal dan liberal dalam Islam timbul sesudah peristiwa WÉÎil ibn ÑAÏÉ’ dengan ×asan BaÎrÊ di Basrah dan bahwa lama sebelum terjadinya peristiwa Basrah itu telah pula terdapat kata-kata iÑtazala dan MuÑtazilah. Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 43.

[48]Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 40.

[49]AÍmad ibn ÑAÏiyyah ibn ÑAlÊ al-GhÉmidÊ, al-ÔmÉn bayna al-Salaf wa al-MutakallimÊn, hlm. 122.

[50]Al-QÉÌÊ ÑAbd al-JabbÉr, MutasyÉbih al-Qur’Én, TaÍqÊq: Dr. ÑAdnÉn MuÍammad ZarzËr (Cairo: DÉr al-NaÎr li al-ÙibÉÑah, t.t.p.), 1: 312-313.

[51]Adalah pengikut AbË al-×asan ÑAlÊ ibn IsmÉÑÊl al-AsyÑarÊ (260-324 H), yang dinisbatkan kepada AbË MËsÉ al-AsyÑarÊ r.a. dan diantara karyanya yang monumental adalah: MaqÉlÉt al-IslÉmiyyÊn wa IkhtilÉf al-MuÎallÊn dan al-IbÉnah Ñan UÎËl al-DiyÉnah.

[52]AÍmad ibn ÑAÏiyyah ibn ÑAlÊ al-GhÉmidÊ, al-ÔmÉn bayna al-Salaf wa al-MutakallimÊn, hlm. 151.

[53]Lihat, al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, hlm. 81.

[54]Ibid., hlm. 69.

[55]Ibid., hlm. 71.

[56]Dia juga memiliki pandangan yang sama dengan sekte MuÑtazilah dalam menapikan bahwa hamba dapat melihat Tuhan (al-ru’yah), mendukung kemakhlukan (kebaharuan) kalÉm (Firman Allah), pengenalan dan pengetahuan – terutama baik buruk, perintah agama, dll_red – dapat dilakukan lewat akal, sebelum datangnya wahyu (al-samÑu). Lihat ibid., hlm. 71.

[57]Lihat lebih detil, Syeikh al-IslÉm TaqÊ al-DÊn AÍmad ibn Taimiyah al-×arrÉnÊ (w. 728 H), KitÉb al-ÔmÉn (Iskandariyah-Mesir: DÉr Ibn KhaldËn, ), hlm. 79.

[58]Dari Al-Qur’an, misalnya, dapat disebutkan Qs. al-AnfÉl [8]: 2, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”

[59]Lebih luas, lihat Ibn ×ajar al-ÑAsqalÉnÊ, FatÍ al-BÉrÊ, 1: 61-62

[60]Cermati bukunya yang berjudul al-ÔmÉn wa al-×ayÉt (Cairo: Maktabah Wahbah, cet. X, 1416 H/1996 M).

[61]Qs. al-RËm [30]: 56. Lihat juga, Qs. FÉÏir [35]: 28. Karena para ulama ini lah yang juga bisa disebut “saintis Muslim-Mukmin” yang sangat memahami rahasia alam. Sehingga, penyingkapan alam yang dilakukan menjadikan dia sebagai orang yang merasakan keagungan dan kemaha-besaran Allah. Lihat Qs. FÉÏir [35]: 27-28.

[62]Qs. al-MujÉdilah [58]: 11.

[63]Cermati, Qs. al-Kahfi [18]: 107.

[64]Lebih detil, lihat al-QaraÌÉwÊ, al-×ayÉt al-RabbÉniyyah wa al-ÑIlm (Cairo: Maktabah Wahbah, cet. I, 1416 H/1995 M), hlm. 82-86.

[65]Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, minta tolonglah (kepada Allah) lewat sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”

[66]al-QaraÌÉwÊ, al-×ayÉt al-RabbÉniyyah, hlm. 87.

[67]Cermati Qs. al-DzÉriyÉt [51]: 56.

[68]Ibn Taimiyah, KitÉb al-ÔmÉn, hlm. 15. Bunyi haditsnya adalah:

حـدثنا زهـير بن حرب. حـدثنا جـرير، عن سهيل، عن عبد الله بن دينار، عن أبـى صالح عن أبي هـريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « الإيمان بضع وستون أو بضع وستون شعبة. فأفضلها قول لا إله إلا الله، وأدناها إماطـة الأذى عن الطـريق، والحياء شعبة من الإيمان » Lihat, Imam Muslim, ØaÍÊÍ Muslim, KitÉb: al-ÔmÉn, BÉb: SyuÑab al-ÔmÉn, no. ×adÊts (58), hlm. 38.

[69]Ibn Taimiyah, MajmËÑat al-FatÉwÉ, takhrÊj ÍadÊts: ÑÓmir al-JazzÉr dan Anwar al-BÉz, 37 Jilid (al-ManÎËrah-Mesir: DÉr al-WafÉ’ li al-ÙibÉÑah wa al-Nasyr wa al-TawzÊÑ, cet. III, 1426 H/2005 M), 7: 9.

[70]HR. AbË DÉwËd dan al-TirmidzÊ. Lihat, ibid., 7: 9.

[71]Lebih detil, lihat Imam AbË ×Émid MuÍammad al-GhazÉlÊ, al-QisÏÉs al-MustaqÊm, komentar: AÍmad BÊjË (Damasus: al-Maktabah al-ÑIlmiyah, 1413 H/1993 M).

[72]al-GhazÉlÊ, MiÑyÉr al-ÑIlm , taÍqÊq: Dr. SulaymÉn al-DunyÉ (Mesir: DÉr al-MaÑÉrif, 1961).

 

<<Kembali ke posting terbaru

"BERPIKIRLAH SEJAK ANDA BANGUN TIDUR" (Harun Yahya)