Menolak Ayat-ayat Pluralisme [2]:
Islam “Dîn” Terakhir dan Al-Qur’an The Last Testament
Pada tulisan pertama, telah dibahas satu ayat yang diklaim sebagai “Ayat Pluralisme”, yaitu Qs. Al-Baqarah [2]: 62. Dalam tulisan ini akan dibahas tentang konsep “al-dîn” dan “Qs. Al-Mâ’idah [5]: 48”, yang juga – oleh kaum pluralis – disalahpahami dan dianggap sebagai “Ayat Pluralisme”.
Memahami Konsep “Agama” (al-Dîn)
Alwi Shihab dalam bukunya Islam Inklusif menolak syariat Nabi Muhammad saw. sebagai syariat “pamungkas”. Artinya, dia menolak konsep naskh syarî‘ah yang ada dalam konsep Islam. Dalam bukunya itu, Alwi menulis bahwa ayat al-Qur’an yang selalu digunakan untuk mengklaim dan mendukung ekslusivisme Islam adalah: “Barangsiapa yang mencari selain agama Islam sebagai agama (dîn), maka mereka tertolak.” Menurutnya, Islam tidak saja diperuntukkan bagi kaum Muslim saja, tetapi juga mereka yang percaya kepada Tuhan sepanjang sejarah umat manusia.[1] Tentu saja ini pendapat yang misleading alias keliru. Jika pendapatnya demikian, maka seyogyanya umat Yahudi dan Kristen juga menerima “Islam” sebagai agama mereka. Realitsnya lebih kompleks dari itu. Nabi Muhammad sendiri telah menyatakan dengan sangat tegas, “Kami, seluruh para nabi agama kami adalah satu. Dan aku manusia yang paling berhak terhadap Ibnu Maryam (Yesus Kristus, Islam: ‘Isa al-Masih). Tidak ada seorang nabipun diantara aku dan dia.”[2] Apa sebenarnya “Dîn al-Islâm” itu?
Menurut “Syeikhul Islam”, Ibnu Taimiyyah (661-728 H), agama yang diridhai oleh Allah memang “Islam”. Secara mendetail beliau menjelaskan:
“Agama-Nya yang diridhai oleh-Nya adalah agama Islam, yang dengannya Allah telah mengutus para rasul yang awal (al-awwalîn) dan yang kemudian (al-âkhirîn). Dia tidak menerima dari seseorang agama selain Islam; tidak dari orang-orang terdahulu tidak pula dari yang kemudian (belakangan). Islam adalah agama para nabi dan para pengiktunya, sebagaimana yang dikabarkan oleh Alah tentang Nûh dan umat setelahnya dari para Hawâriyyîn – pengikut setia Yesus Kristus_red. Allah swt. berfirman: “Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun dari padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya).” (Qs. Yûnus [10]: 71-72). Tentang Ibrahim, Allah swt. berfirman: “Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya‘qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 130-132). Tentang Yûsuf “Si Jujur” (al-Shiddîq) Allah swt. berfirman: “Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (Qs. Yûsuf [12]: 101). Tentang Mûsâ, Allah swt. berfirman: “Berkata Musa: “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang Muslim.” (Qs. Yûnus [10]: 84). Tentang para penyihir, Allah menjelaskan bahwa mereka berkata kepada Fir‘aun: “Dan kamu tidak menyalahkan kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami.” (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan Islam (kepada-Mu).” (Qs. Al-A‘râf [7]: 126). Tenang Balqis, Ratu Yaman, Allah swt. berfirman: “Dikatakan kepadanya: “Masuklah ke dalam istana.” Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: “Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca.” Berkatalah Balqis: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri (ber-Islam) bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (Qs. Al-Naml [27]: 44). Tentang para nabi Bani Israil, Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Qs. Al-Mâ’idah [5]: 44). Dan tentang Kristus (al-Masîh), Allah swt. berfirman: “Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri (Muslimûn).” (Qs. Āli ‘Imrân [3]: 52) dan “Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia: “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku.” Mereka menjawab: Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu).” (Qs. Al-Mâ’idah [5]: 111).
Itulah agama para nabi yang terdahulu dan kemudian dan para pengikutnya. Dialah agama Islam, dan merupakan peribadatan kepada Allah semata, tanpa sekutu bagi-Nya. Dan ibadah kepada Allah di setiap zaman dan tempat dengan cara menaati para rasul-Nya ‘alayhimussalâm. Tidak dianggap sebagai seorang hamba (‘Ābid) siapa yang menyembah-Nya bertentangan dengan apa yang dibawa oleh para rasul-Nya, seperti yang – tentang mereka – disebutkan oleh Allah swt: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (Qs. Al-Syûrâ [42]: 21). Maka, tidak dianggap sebagai seorang yang beriman (Mukmin) kepada-Nya, kecuali yang menyembah-Nya dengan cara menaati – ajaran – para rasul-Nya. Tidak dianggap sebagai seorang Mukmin kepada-Nya dan seorang hamba-Nya, kecuali yang beriman kepada seluruh rasul-Nya dan taat kepada siapa yang diutus kepadanya. Maka, dia – seyogyanya – taat kepada setiap rasul, sampai tiba seorang rasul setelahnya. Jika sudah tiba, maka ketaatannya beralih kepada rasul kedua – yang datang setalah rasul petama. Allah swt. berfirman: “Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (Qs. Al-Nisâ’ [4]: 64). Barangsiapa yang memisahkan – membeda-bedakan – para rasul-Nya, lalu dia beriman kepada sebagian dan kafir – tidak beriman – kepada sebagian yang lain, maka dia adalah “kafir”. Seperti dijelaskan oleh Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Nisâ’ [4]: 150-152).[3]
Dalam Qs. Ali ‘Imrân [3]: 85 Allah secara jelas berfirman, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” Imam Ibnu Katsir memberikan penafsiran yang sangat baik terhadap ayat ini. Beliau menulis:
“Artinya: barangsiapa yang melalui jalan selain yang disyariatkan oleh Allah, maka tertolak (tidak diterima darinya) [wa huwa fî al-âkhirati min al-khâsirîn]. Sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi saw dalam hadits shahîh: “Barangsiapa yang beramal tidak berdasarkan perintah (ajaran) kami, maka ia tertolak.”[4] Imam Ahmad berkata: dari Abû Sa‘îd, hamba – yang dimerdekakan, mawlâ – Banî Hâsyim → ‘Ibâd ibn Râsyid→ al-Hasan → Abu Hurayrah, ketika itu kami berada di Madinah. Dia berkata: “Rasulullah saw. bersabda: “Seluruh amalan datang pada Hari Kiamat. Maka datanglah shalat, lalu berkata: “Wahai Rabb, aku shalat.” Kemudian Allah berfirman: “Engkau baik.” Kemudian datang sedekah dan berkata: “Ya Rabb, aku sedekah.” Engkau baik,” kata Allah. Lalu datang puasa dan berkata: “Ya Rabb, aku puasa.” “Engkau baik,” kata Allah. Seluruh amal datang dan semua dikatakan oleh Allah dalam keadaan baik. Kemudian datang “Islam” dan berkata: “Wahai Allah, engkau adalah keselamatan (al-Salâm) dan aku adalah Islam.” Lalu Allah berfirman: “Engkau baik. Pada hari ini aku memberi siksa karena engkau, dan memberi karena engkau.” Allah befirman di dalam kitab-Nya: [“wa man yabtaghi ghayra al-Islâm dînan falan yuqbala minhu wa huwa fî al-âkhirati min al-khâsirîn”].”[5]
Abdullah Yusuf Ali memberi komentar yang sangat baik terhadap ayat di atas. Ali berkomentar:
“The Muslim position is clear. The Muslim does not claim to have a religion peculiar to himself. Islam is not a sect or an ethnic religion. In its view all Religion is one, for the Truth is one. It was the religion preached by all the earlier Prophets. It was the truth taught by all the inspired Books. In essence it amounts to a consciousness of the Will and Plan of Allah and a joyful submission to that Will and Plan. If any one wants a religion other than that, he is fales to his own nature, as he is false to Allah’s Will and Plan. Such a one cannot expect guidance, for he has deliberately renounced guidance.”[6]
Jadi, memang sudah merupakan iradah dan rencana Allah menurunkan agama terakhir itu Islam namanya. Tentu saja ini bertolak-belakang dengan klaim kaum pluralis yang menyatakan bahwa “semua agama benar”. Nurcholish Madjid malah mengartikan kata “din” sebagai “inti agama”.[7] Tentu saja salah besar mengartikan kata “dîn” dengan “inti agama”. Hal ini akan sangat kontras, ketika Qs. Āli ‘Imrân [3]: 85 diartikan demikian: “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai satu “inti agama”...”. Keliru dalam mengartikan kata “dîn” membawa konsekwensi yang fatal. Oleh karena Abu al-A‘la al-Maududi mengusulkan agar dapat memahmi konsep “al-dîn” secara benar. Menurutnya, ada empat terminologi dalam al-Qur’an yang harus dikuasai bagi siapa saja yang ingin mempelajari al-Qur’an dan mendalami maknanya, salah satunya adalah terma “al-dîn”.[8] “Islam” adalah nama satu agama (al-dîn) yang sudah final diberikan untuk “agama Islam”.[9]
Ibnu Taimiyyah memberikan catatan yang sangat baik tentang Qs. Āli ‘Imrân [3]: 85 – sebagai bantahan beliau kepada orang yang menolak bahwa Islam hanya untuk bangsa Arab[1] – di atas. Beliau menyatakan bahwa firman Allah [wa man yabtaghi ghayra al-Islâmi dînan falan yuqbala minhu wa huwa fî al-âkhirati min al-khâsirîn] shighah-nya (bentuk) umum dan bentuk (shighah) syarat merupakan bentuk umum (al-‘umûm) yang paling baik, seperti firman Allah swt.: “Faman ya‘mal mitsqâla dzarratin khayran yarahu. Wa man ya‘mal mitsqâla dzarratin syarran yarahu.” (Qs. Al-Zilzâlah [99]: 7-8). Kemudian, konteksnya menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh-Nya adalah kaum Ahli Kitab dan “yang lainnya”. Surah Āli ‘Imrân merupakan seruan (mukhâthabah) kepada Ahli Kitab dan perdebatan dengan kaum Nasrani. Ayat ini turun ketika utusan – Kristen – Najran datang kepada Nabi saw. Diriwayatkan, bahwa mereka berjumlah 60 orang, di dalamnya ada al-Sayyid, al-Ayham dan al-‘Āqib. Kisah mereka itu sangat masyhur...”[10] Jadi, penganut agama apapun – Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, Kejawen, dll – jika mencari selain Islam sebagai “agama”, maka tidak akan diterima.
Al-Qur’an: The Last Testament (!)
Allah swt. berfirman, “Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan “batu ujian” terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan “aturan” dan “jalan yang terang”. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”
Dari ayat ini dapat dianalisis tiga hal. Pertama, al-Qur’an bukan sekedar ‘konfirmator’ (mushaddiq) kitab-kitab sebelumnya (Taurat, Zabur dan Injil), tetapi juga “muhayminan ‘alayhi” (‘batu ujian’). Kedua, konsep “syir‘ah” dan “minhâj”. Dan ketiga, rahasis di balik kata “ummah wahidah” dan syubhat perselihan.[11] Tetapi, kita hanya akan mengulas poin yang pertama saja.
Imam al-Qurthubi mengutip pendapat Ibnu ‘Abbas tentang kata “muhayminan ‘alayhi”, artinya “mu’tamina ‘alayhi” (memelihar secara baik terhadap kitab-kita yang terdahulu). Sa‘îd ibn Jubayr menyatakan: “Al-Qur’an itu ‘mu’tamin ‘alayhi’ terhadap kitab-kitab sebelumnya.” Dari Ibnu ‘Abbas dan al-Hasan, maknanya juga: “al-muhaymin al-amîn” (yang terpercaya).[12]
Ibnu Katsir mencatat beberapa riwayat yang menguatkan hal itu:
“Menurut Sufyân al-Tsaurî dari yang lainnya dari Ibnu Ishâq → al-Taymî → Ibnu ‘Abbas: artinya adalah ‘mu’taminan ‘alayhi’. ‘Ali ibn Abî Thalhah dari Ibnu ‘Abbas menyatakan bahwa artinya: al-muhaymin al-amîn. Ibnu ‘Abbas menyatakan: “Al-Qur’an itu dipercayai untuk memelihara setiap kitab yang turun sebelumnya.” Diriwayatkan juga dari ‘Ikrimah, Sa‘îd ibn Jubayr, Mujahid, Muhammad ibn Ka‘ab, ‘Athiyyah, al-Hasan, Qatâdah, ‘Athâ’ al-Khurâsânî, al-Saddî dan Ibnu Zayd bahwa mereka menyatkan seperti itu juga. Ibnu Jurayj menyatakan: “Al-Qur’an memelihara kitab-kitab yang terdahulu. Apa yang – ajaran kitab-kita tersebut – yang sesuai dengan – isi dan kandungan al-Qur’an – maka dia benar (haqq), dan yang bertentangan maka dia salah (bâthil).” Dari al-Wâlibî dari Ibnu ‘Abbas [wa muhayminan] artinya “syahîd” (saksi). Seperti ini juga yang dikatakan oleh Mujahid, Qatâdah dan al-Saddî. Al-‘Awfî berkata dari Ibnu ‘Abbas berkata: [wa muhayminan] artinya “hâkiman” (yang menjadi hakim) atas kitab-kitab sebelumnya. Pendapat—pendapat ini semua dekat maknanya. Kata muhaymin mencakup semuanya: dia sebagai amîn, syâhid, dan hâkim terhadap kitab-kitab sebelumnya. Allah menjadi kitab yang agung ini (al-Qur’an) yang diturunkannya sebagai kitab terakhir, penutupnya, yang paling komprehensif, paling agung dan paling sempurna, dimana al-Qur’an mengumpulan seluruh kebaikan dan kesempurnaan yang ada di dalam kitab sebelumnya; yang tidak dimiliki oleh kitab sebelumnya. Oleh karena itu, Allah menjadikannya sebagai “saksi”, “penjaga yang terpercaya” dan “hakim” atas semuanya, dan Allah yang memeliharanya. Allah menjelaskan: “Sesungguhnya Kami yang menurunkan ‘al-Dzikra’ (al-Qur’an) dan Kami pulalah yang memeliharanya.” (Qs. Al-Hijr [15]: 9).”[13]
Abdullah Yusuf Ali memiliki komentar yang sangat menarik. Ali mencatat:
“After the corruption of the older revelations, the Qur’an comes with a twofold purpose: (1) To confirm the true and original Message, and (2) To guard it, or act as a check to its interpretation. The Arabic word Muhaimin is very comprehensive in meaning. It means one who safeguards, watches over, stands witness, preserves, and upholds. The Qur’an safeguards “the Books”, for it has preserved within in the teachings of all the former Books. It waches over these Books int the sense that it will not let their true teachings to be lost. It supports and and upholds these Books in the sense that it corrobrates the Word of Allah which has remained intact in them. It stands a witness because it bears testimony to the Word of Allah contained in these Books and helps to sort it out from the interpretations and commentaries of the people which were mixed with it: What is confirmed by the Qur’an is the Word of Allah and what is aginst it is that of the people.”[14]
Jika Taurat (Torah) dianggap dan diakui sebagai Old Testament, Injil (Gospel) diyakini sebagai New Testament, maka al-Qur’an ‘sah’ dianggap dan dikui sertai diyakini sebagai The Last Testament. Hal ini tentunya tidak hanya sebatas subjektivisme, melainkan objektivitas yang benar-benar bisa dipertanggung-jawabkan. Komprehensivitas dan kesempurnaan isi dan kandungan al-Qur’an menguatkan fakta ini. Dalam satu debat lewat email dengan seorang penganut agama Kristen di Jakarta, penulis sempat bertanya, “Jika umat Islam berani untuk membaca Bible, kenapa umat Kristen tidak melakukan hal yang sama untuk membaca isi dan kandungan al-Qur’an?” Teman tersebut menjawab, “Saya tidak perlu membaca al-Qur’an, karena Alkitab sudah sempurna.” Saya jawab lagi, “Jika memang Alkitab sudah sempurna, coba carikan satu ayat di dalamnya yang membicarakan tentang “embriologi”. Jika Anda menemukannya, saya akan memberi Anda Rp. 1000.000,- cash.” Sampai hari ini, teman tersebut tidak mampu menemukan ayat tersebut.
Hemat penulis, pendapat kaum pluralis yang menyatakan bahwa al-Qur’an tidak menghapus syari‘at agama-agama sebelumnya, Yahudi dan Kristen, adalah klaim yang rapuh.
Wallâhu a‘lamu bi al-shawâb. [] (Egypt, 6 April 2007).
[1] Hemat penulis, ini juga sebagai bantahan bagi mereka yang menyatakan bahwa “Islam” bukanya hanya untuk umat Islam saja, tapi untuk seluruh orang yang “berserah diri”, karena menurut mereka al-Islâm secera generic diartikan sebagai “ketundukan” atau “kepasrahan”. Dengan begitu, mereka menganggap bahwa Budha, Hindu, dan agama-agama konvensional – al-dîn al-wadh‘iy, buatan manusia – juga diangga ‘ber-Islam’, karena tunduk kepada Tuhan.
[1] Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 103.
[2] Dikeluarkan oleh Bukhari [3442] dan Muslim [236]. Hadits dari Abu Hurayrah ra.
[3] Syeikhul Islâm Ahmad ibn ‘Abd al-Halîm “Ibnu Taimiyyah”, al-Jawâb al-Shahîh liman Baddala Dîna al-Masîh, tahqîq dan takhrîj hadits: Abû ‘Abd al-Rahmân ‘Ādil ibn Sa‘d, (Cairo: Dâr Ibnu al-Haytsam, 2003), 1 [2 jilid]: 24-26.
[4] HR. Muslim [3243].
[5] Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, takhrîj hadits: Mahmud ibn al-Jamîl, Walîd ibn Muhammad ibn Salâmah dan Khâlid ibn Muhammad ibn ‘Utsmân, (Cairo: Maktabah al-Shafâ, cet. I, 2004), 2: 42.
[6] Abdullah Yusuf Ali, The Glorious Qur’an, corrected and revised by: F. Amira Zrein Matraji, (Beirut-Libanon: Dâr al-Fikr, 2000), hlm. 150 [foot-note].
[7] Lihat tulisannya dalam Mun‘im A. Sirry (ed.) Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina Bekerjasama dengan The Asia Foundation, cet. IV, 2004), hlm. 20. Dalam sub judul “Tentang Dîn dan Syir‘ah”, Nurcholish menulis: “Inti agama (Arab: dîn) dari seluruh rasul adalah sama (QS. 42: 13), dan umat serta agama mereka itu seluruhnya adalah umat serta agama yang tunggal (QS. 21: 92; 23: 52). Kesamaan dan kesatuan semua agama para nabi juga ditegaskan oleh Nabi s.a.w. sambil digambarkan bahwa para nabi itu adalah satu saudara lain ibu, namun agama mereka satu dan sama. Salah satunya adalah hadis Bukhari, Rasulullah bersabda, “Aku lebih berhak atas Isa putera Maryam di dunia dan akhirat. Para nabi adalah satu ayah dari ibu yang berbeda-beda dan agama mereka adalah satu.” Sementara dîn atau inti agama itu sama, kepada setiap golongan dari kalangan umat manusia Allah menetapkan syir‘ah (atau syari‘ah, yakni jalan) dan minhâj (cara) yang berbeda-beda, sebab Allah tidak menghendaki umat manusia itu satu dan sama semua dalam segala hal. Allah menghendaki agar mereka saling berlomba-lomba menuju kepada berbagai kebaikan. Seluruh umat manusia akan kembali kepada Allah dan kelak Dialah yang akan membeberkan hakikat perbedaan antara manusia itu (QS. 5: 48).”
[8] Abu al-A‘la al-Maududi, al-Mushthalahât al-Arba‘ah fî al-Qur’ân, terjemah: Muhammad Kâzhim Sibâq, (Kuwati: Dâr al-Qalam, cet. V, 2004), hlm. 9. Kata “al-dîn” di dalam al-Qur’an menempati posisi satu sistem secara sempurna, terdiri dari empat bagian: (1) kekuasaan (al-hâkimiyyah) dan otoritas tertingi (al-shulthah al-‘ulyâ); (2) ketaatan dan ketundukan terhadap kekusaan dan otoritas tersebut; (3) sistem pemikiran dan praksis (al-nizhâm al-fikriy wa al-‘amaliy) yang terbentuk di bawah otoritas kekuasaan tersebut; dan (4) retribusi (al-mukâfa’ah) yang diberikan oleh otoritas tertinggi untuk mengikuti sistem tersebut dan – menjalankannya – dengan ikhlas, atau membangkang dan ‘bermaksiat’ (tidak taat) kepadanya. Kata al-dîn, terkadang dinisbatkan kepada arti yang pertama dan kedua, terkadang pula dinisbatkan kepada makna yang ketiga dan keempat. Dan dalam satu waktu, kata itu digunakan untuk satu sistem yang sempurna, dengan mencakup keempat makna tersebut. Untuk menjelaskan makna-makan tersebut, berikut ini adalah ayat-ayat yang berbicara tentang masing-masing makna tersebut. Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta memberi kamu rezki dengan sebahagian yang baik-baik. Yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam. Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ‘agama’ kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.” (Qs. Ghâfir [40]: 64-65); “Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri.” Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku.” “Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ‘agama’ kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)…” (Qs. Al-Zumar [39]: 11-12, 17, 2-3); “Dan kepunyaan-Nya-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi, dan untuk-Nya-lah ‘agama’ itu selama-lamanya. Maka mengapa kamu bertakwa kepada selain Allah?” (Qs. Al-Nahl [16]: 52); “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (Qs. Āli ‘Imrân [3]: 83); “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Qs. Al-Bayyinah [98]: 5). Dalam ayat-ayat tersebut disebutkan kata “al-dîn” (agama) yang bermakna “otoritas tertinggi” (al-sulthah al-‘ulyâ), kemudiaan ketaatan terhadap otoritas tersebut, menerima ketaatan dan peribadatannya. Yang dimaksud dengan “mengikhlaskan agama” adalah: seseorang tidak boleh berserah diri kepada selain Allah dengan mengakui “kekuasaan” (al-hâkimiyyah), hukum dan perintah. Ia harus mengikhlaskan ketaatan dan peribadatan kepada-Nya. Keikhlasan yang dengannya dia tidak menghambakan dirinya kepada selain Allah, dan tidak menaatinya dengan ketaatan yang independen pula. Agama dalam makna ketiga contohnya: “Katakanlah: “Hai manusia, jika kamu masih dalam keragu-raguan tentang agamaku, maka (ketahuilah) aku tidak menyembah yang kamu sembah selain Allah, tetapi aku menyembah Allah yang akan mematikan kamu dan aku telah diperintah supaya termasuk orang-orang yang beriman”, dan (aku telah diperintah): “Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik.” (Qs. Yûnus [10]: 104-105); “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Qs. Yûsuf [12]: 40); “Dan kepunyaan-Nyalah siapa saja yang ada di langit dan di bumi. Semuanya hanya kepada-Nya tunduk. Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada diantara hamba-sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepadamu; maka kamu sama dengan mereka dalam (hak mempergunakan) rezeki itu, kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri? Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan…; Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Qs. Al-Rûm [30]: 26 & 28, 29 & 30); “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah…” (Qs. Al-Nûr [24]: 2); “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus…” (Qs. Al-Tawbah [9]: 36); “Demikianlah Kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut ‘agama’ raja…” (Qs. Yûsuf [12]: 76); “Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agama-Nya…” (Qs. Al-An‘âm [6]: 137); “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Qs. Al-Syûrâ [42]: 21); “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (Qs. Al-Kâfirûn [109]: 6). Yang dimaksud dengan “agama” (al-dîn) yang disebutkan seluruhnya oleh ayat-ayat tersebut adalah: undang-undang (al-qânûn, law), hukum-hukum (al-hudûd), syariat, jalan (al-tharîqah), sistem pemikiran dan praksis yang ‘mengingkat’ seorang manusia. Jika otoritas yang dijadikan seseorang itu dalam bentuk undang-undang, atau satu sistem dari otoritas Allah, maka dia tidak akan meragukan agama Allah ‘Azza wa Jalla. Tetapi, jika otoritas tersebut otoritas seorang raja, maka seseorang itu berada dalam ‘agama’ (baca: undang-undang) raja tersebut. Begitu pula jika otoritas tersebut otoritas keluarga atau kerabat atau satu kelompok besar, maka dia berada dalam ‘agama’ mereka itu. Secara ringkas, jika seseorang menganut satu sandaran sebagai sandaran tertinggi, dan hukumnya sebagai hukum final, lalu dia mengikuti satu cara untuk itu, maka – tidak diragukan lagi – dia dengan agamanya itu tunduk. Dan “agama” dalam arti yang keempat: “Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar. dan sesungguhnya (hari) ‘agama’ pasti terjadi.” (Qs. Al-Dzâriyât [51]: 5-6); “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (Qs. Al-Mâ‘ûn [107]: 1-3); “Tahukah kamu apakah hari ‘agama’ itu? Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari ‘agama’ itu? Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.” (Qs. Al-Infithâr [82]: 17-19). Kata “agama” (al-dîn) dalam ayat-ayat di atas artinya al-muhâsabah (‘penghitungan jiwa atau diri’), hukum (al-qadhâ’) dan retribusi (al-mukâfa’ah). [ibid., hlm. 109-114].
[9] Hal ini dikuatkan dan diterangkan oleh firman Allah swt. dalam Qs. Al-Mâ’idah [5]: 3. Dalam komentarnya, Yusuf Ali menjelaskan: “So long as Islam was not organised, with its own community and its own laws, the Unbelievers had hoped to wean the Believers from the new Teaching. (Now that hope was gone, with the complete organisation of Islam.” [Abdullah Yusuf Ali, op. cit., hlm. 252 (foot-note)].
[10] Ibnu Taimiyyah, op. cit., hlm. 219.
[11] Masalah “syir‘ah dan minhâj” dan “ummah wahidah” serta syubhat perselisihan umat, akan diulas pada tulisan selanjutnya. Insya Allah.
[12] Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, pengantar: Hânî al-Hâj, tahqîq dan takhrîj hadits: ‘Imâd Zakî al-Bârûdî dan Khayrî Sa‘îd, (Cairo: al-Maktabah al-Tawfîqiyyah, ttp), juz 6 [jilid V]: 184.
[13] Imam Hâfizh ‘Imâd al-Dîn Abu al-Fidâ’ Ismâ‘îl ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî (700-774 H), Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, takhrîj hadits: Mahmûd ibn al-Jamîl, Walîd ibn Muhammad ibn Salâmah dan Khâlid ibn Muhammad ibn ‘Utsmân, (Cairo: Maktabah al-Shafâ, cet. I, 2004), 3: 78.
[14] Abdullah Yusuf Ali, op. cit., hlm. 272 [foot-note].
0 Comments:
Posting Komentar
<<Kembali ke posting terbaru