Jumat, Oktober 12, 2007

Pluralisme Agama: Antara Islam dan Kaum Liberal

Pluralisme Agama: Antara Islam dan Kaum Liberal

(Catatan Untuk Jalaluddin Rakhmat)


Buku Kang Jalal, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan (Serambi, 2006) masih sangat ‘hangat’ untuk dibincangkan. Bukan saja karena semakin banyak pendukung dan pembela “pluralisme”, juga karena – memang – isu ini sangat aktual. Kang Jalal juga bukan orang pertama dalam mengusung ide yang debatable ini. Alwi Shihab, misalnya, lebih dulu menulis buku Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Mizan, 1997).

Dalam sub judul “Menyikapi Agama Lain: Pluralisme dalam Al-Qur’an”, Jalal menyebut orang-orang yang menolak “pluralisme” sebagai kaum “ekslusivis”, sementara pembela dan pendukungnya dinamakan “pluralis”. Terma kedua inilah yang dibela Jalal dalam bukunya itu. Jalal bangga dengan mengutip buku Gamal Al-Banna, adik bungsu Hasan Al-Banna, yang pluralis – menurutnya – itu. Kaum “ekslusivis” adalah kaum yang menguasai “gudang rahmat Allah”, sehingga orang di luar mereka ‘tidak boleh masuk dan menikmatinya’. Sementara kaum “pluralis” sebaliknya. Karena kaum kedua ini menurut Jalal berkeyakinan bahwa semua pemeluk agama mempunyai peluang yang sama untuk memperoleh keselamatan dan masuk surga. Each one is valid within its particular culture. (Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, 2006: 20).

Negasi Terhadap Ayat-ayat Pluralisme

Menurut Jalal, orang-orang “kafir” (non-muslim) menerima amal salehnya, berdasarkan al-Baqarah: 62, al-Ma’idah: 69 dan al-Hajj:17. (ibid: 21). Kemudian, Jalal mengutip pendapat Sayyid Husseyn Fadhlullah dalam tafsirnya, Tafsir min Wahy al-Qur’an, yang menjelaskan:

“Makna ayat ini sangat jelas. Ayat ini menegaskan bahwa keselamatan pada hari akhirat akan dicapai oleh semua kelompok agama ini yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya berkenaan dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat: memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir, dan amal saleh (cetak tebal dari Jalal).” (ibid: 23).

Ayat-ayat di atas menurut Jalal adalah “ayat-ayat pluralisme”. Sejatinya, ayat-ayat Al-Qur’an yang membicarakan konsep “agama-agama” (al-adyan), kita menemukan bahwa Al-Qur’an “menolak” mentah-mentah konsep pluralisme agama itu. Ayat-ayat Al-Qur’an – yang berbicara tentang agama – justeru mengajak kita untuk mengimani seluruh nabi-nabi, tanpa membeda-bedakan mereka. Karena seluruh para nabi turun untuk mengukuhkan “satu risalah Tuhan” yang meluas cakupannya sejalan dengan perputaran zaman dan perubahan kesiapan manusia dan masyarakat. Sehingga, sampailah risalah yang “satu” dan “jalan yang lurus” itu kepada titik kulminasi kesempurnaanya dan puncak nilainya setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW dan turunya Al-Qur’an.

Oleh karena itu, kita menemukan kata “agama-agama” (al-adyan) sama sekali “tidak diakui” dan “tidak dipakai” di dalam Al-Qur’an. Sebaliknya, yang banyak diulang-ulang adalah kata “al-Islam” untuk seluruh risalah para nabi terdahulu. Hal ini menegaskan bahwa agama (al-din) itu “satu” dan jalan (al-shirath) itu “satu”, yakni keimanan kepada Allah, kufur kepada thagut (yang disembah selain Allah), pengukuhan tawhid dan akidah Islam bagi seluruh nabi dan rasul. Ini sangat sederhana, mudah difahami dan benar-benar dan aksiomatik.

Ini sangat kontradiktif dengan apa yang difahami oleh Jalal. Dia mengakui “pluralisme” agama, banyak agama. Untuk menguatkan pendapatnya, Jalal mengutip Qs. Al-Ma’idah: 48. Padahal, ayat ini sama sekali tidak – sedang – membicarakan konsep “pluralisme” agama. Ayat ini hanya membicarakan “syir‘ah dan minhaj”.

Jalal juga mengutip pendapat Sayyid Rasyid Ridha dalam menafsirkan Qs. Al-Nisa’: 123 dengan 62. Tentu kita sepakat bahwa “keselamatan”di akhirat tidak berdasarkan jinsiyyah diniyyah (kelompok keagamaan). Seperti yang dikatakan Ridha – dan dikutip oleh Jalal –, bahwa syarat keselamatan itu ada tiga: keimanan kepada Allah, beriman kepada hari pembalasan dan amal saleh. (Jalal, ibid: 29). Pendapat Ridha ini harus dilihat kembali dengan jeli, karena Jalal tidak mengutip pendapatnya secara komprehensif.

Pertama, Ridha di awal penafsiran terhadap Qs. Al-Baqarah: 62 “sangat mengecam” tingkah laku orang-orang Yahudi. (Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar), Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, 1: 333-334). Ketika menafsirkan Qs. Al-Baqarah: 61, Ridha menyatakan: “Ini bentuk (contoh) lain yang dengannya Allah mengingatkan Bani Isra’il dalam konteks penyeruan (dakwah) mereka untuk memeluk Islam” (Hadza dharb akhar mimma dzakkara Allahu ta‘ala bihi Bani Isra’il fi siyaqi da‘watihim ila al-Islam). (ibid: 329).

Kedua, tiga syarat “keselamatan” bagi agama-agama non-Islam (Yahudi dan Nasrani) juga harus dilihat dengan baik dan komprehensif. Ketika menafsirkan Qs. Al-Baqarah: 41 (wa awfu bi‘ahdi uwfi bi‘ahdikum), Ridha menjelaskan dua bentuk janji. Pertama, janji mereka (Bani Isra’il, Yahudi) kepada Allah yang diketahui lewat kitab (Taurat) yang diturunkan kepada mereka: (1) menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun; (2) beriman kepada para rasul-Nya, ketika dalil-dalil (bukti) yang menguatkannya tampak; (3) tunduk kepada syariat dan hukum-hukum-Nya; (4) akan diutus seorang “Nabi” dari tengah-tengah saudara mereka, yakni “Bani Isma‘il” yang akan membangun satu bangsa baru. Inilah beberapa janji yang ada (termaktub) nashnya di dalam kitab mereka. Janji ini, menurut Ridha, masuk ke dalam “janji agung” (al-‘ahd al-akbar) yang diambil dari seluruh manusia berdasarkan “fitrah”: tadabbur dan periwayatan yang benar. Dan segala sesuatu ditimbang lewat ‘neraca’ nalar (akal) dan penelitian yang benar (kritis), bukan lewat hawa nafsu dan buaian yang menipu (al-ghurur). Sekiranya Bani Isra’il melihat “Janji Ilahi Umum” (al-‘ahd al-Ilahiy al-‘Amm) ini, atau janji-janji khusus yang ada teksnya tersebut di atas, niscaya mereka beriman kepada “Nabi Muhammad SAW” dan mengikuti “cahaya” (Al-Qur’an) yang diturunkan bersamanya. Dengan begitu, mereka akan menjadi orang-orang yang ‘sukses’ (min al-muflihin). (Ridha, ibid: 290).

Sedangkan janji Allah kepada mereka adalah: (1) mengokohkan (menguatkan kedudukan mereka, memberikan tempat yang layak) di ‘Tanah Suci’ (al-ardh al-muqaddasah); (2) mengalahkan umat-umat yang kafir (al-umam al-kafirah); (3) derajat yang tinggi di dunia dan kemudahan hidup di dalamnya. Inilah janji-janji Allah yang terdapat di dalam Taurat yang mereka miliki. Tidak diragukan bahwa Allah ta‘ala telah menjanjikan “kebahagiaan akhirat” (sa‘adah al-akhirah). Tetapi, hal itu tidak ada buktinya di dalam Taurat, yang ada hanya sinyal-sinyal saja. Oleh karena itu, sebagian peneliti berhipotesa bahwa orang-orang Yahudi tidak percaya kepada “hari kebangkitan” (al-ba‘ts). (ibid: 290-291). Dengan begitu, dapat dipertanyakan: Bagaimana keimanan orang-orang non-Islam terhadap hari pembalasan itu? Benarkah cara yang mereka tempuh atau tidak?

Lebih jelas, ketika menafsirkan Qs. Al-Baqarah: 42 (wa aminu bima anzaltu mushaddiqan lima ma‘akum), Ridha menyatakan: “Terhadap ajaran-ajaran Taurat dan kitab-kitab para nabi, seperti Tawhid, larangan melakukan pekerjaan keji (al-fawahisy) kemungkaran, serta menyeru kepada kebajikan dan hal-hal yang berkaitan dengan petunjuk (al-irsyad) yang membawa kepada kebahagiaan (al-sa‘adah). Jika kalian lihat (wahai orang-orang Yahudi) dalam Al-Qur’an, kalian akan mendapatinya membenarkan tujuan agama Ilahi yang ada di dalam kitab kalian dan dasar-dasarnya serta janji-janji para nabi. Kalian juga akan tahu bahwa “spirit” yang dibawanya adalah spirit yang dibawa oleh para nabi sebelumnya. Dan kalian akan mengerti bahwa “Nabi” ini tidak punya kepentingan apa-apa: yang hanya mengajak kalian kepada apa yang diseru oleh Musa dan para nabi terdahulu; mengukuhkan kebenaran (al-haqq) dan memberikan hidayah kepada seluruh makhluk setelah dikacaukan oleh penakwilan – yang tidak benar – dan kebodohan taklid. Maka, cepat-cepatlah kalian mengimani kitab (Al-Qur’an) tersebut yang memiliki bukti yang kuat dari dua arah: pertama, kemukjizatannya dan kedua, dia membenarkan apa yang ada dalam kitab kalian (Taurat). (ibid: 291).

Ketiga, pendapat Ridha juga harus dikritisi. Secara normatif, yang mengklaim sebagai agama (umat) yang paling baik dan benar adalah Yahudi dan Nasrani. Yahudi dan Nasrani mengklaim bahwa mereka adalah “anak-anak Allah” dan para kekasihnya (Qs. Al-Ma’idah: 18); Yahudi dan Nasrani mengajak orang masuk agama mereka agar mendapat “hidayah” (Qs. Al-Baqarah: 135); dan mereka malah mengejek umat Muhammad SAW (Qs. Ali ‘Imran: 75). Inilah sebenarnya yang disebut dengan “angan-angan” (al-amaniy). Oleh karena itu, dalam surah al-Nisa’: 123 itu dijelaskan bahwa “barangsiapa yang mengerjakan satu bentuk kejahatan”, maka akan dibalas dengan kejahatan.

‘Allamah Thabathaba’i menafsirkan bahwa itu bentuk mutlak, yang meliputi ganjaran duniawi yang ditetapkan oleh syariat Islam, seperti hukum qishash bagi pelaku kriminal; potong tangan bagi pencuri; cambuk (jilid) atau rajam bagi pezina, dan lainnya; baik berupa hukum-hukum politik dan lainnya. Juga, mencakup ganjaran ukhrawi yang telah ditetapkan oleh Allah dalam kitab-Nya (Al-Qur’an) dan lewat lisan Nabi-Nya (Muhammad SAW). (Lihat: Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Beirut-Lebanon: Mu’assasah al-A‘lami li al-Mathbu‘at, 1991, 5: 88-89).

Pendapat Sayyid Husseyn Fadhlullah dalam tafsirnya, Tafsir min Wahy al-Qur’an dan Ridha dalam al-Manar tidak berbeda, bahwa keselamatan itu dicapai oleh tiga hal: keimanan, hari akhir dan amal saleh. Padahal perlu dipertanyakan: keimanan kepada Allah dan hari akhir dalam masing-masing agama itu, apakah dapat dibenarkan secara fitrah dan akal sehat?

Penafsiran Kontemporer

Ada satu penafsiran menarik dari seorang mufassir kontemporer asal Mesir, Syeikh Muhammad Mutawally Sya‘rawi. Ketika menafsirkan Qs. Al-Baqarah: 62, beliau menjelaskan:

“Ayat ini dimulai dengan “inna al-ladzina amanu”, sesungguhnya orang-orang yang beriman, maksudnya iman fitrah sebagaimana yang diturunkan bersama Adam di muka bumi. Namun kemudian kaumnya kafir sehingga turunlah azab dan musnahlah manusia, seperti yang menimpa kaum Nuh beserta ajarannya dan pengikutnya yang sampai detik ini masih ada, seperti Yahudi, Nasrani dan Shabi’ah. Terakhir, Allah ingin menggabungkan dan mengumpulkan risalah kenabian yang telah lalu dengan satu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Maksud kata al-ladzina amanu adalah orang yang beriman mulai dari masa nabi Adam dan nabi-nabi seterusnya, termasuk kepada nabi Musa (Yahudi) nabi Isa (Kristen) hingga ajaran Shabi’ah. Allah ingin menyampaikan kepada mereka yang beriman ini bahwa masa iman mereka sudah habis, dan mereka harus mengikuti apa yang dibawa nabi Muhammad, walaupun ia pernah hidup pada masa nabi Adam atau Idris, Nuh, Ibrahim, Hud, dst. Agama Islam telah menghapuskan akidah terdahulu yang pernah ada di muka bumi dan menjadikannya terfokus pad satu agama.

Falahum ajruhum ‘inda rabbihim wala khaufun ‘alayhim wala hum yahzanun, “Orang yang beriman kepada Islam ini tidak akan merasa takut dan tidak akan merasa bersedih hati”. Sebaliknya, yang tidak beriman akan merasa takut dan bersedih hati. Ini merupakan pengumuman tentang kesatuan agama baru. Agama ini mengatur semua yang berada di muka bumi ini hingga hari kiamat kelak. Adapun mereka yang masih bertahan dengan ajaran lama, dan tidak percaya dengan agama baru ini, mereka akan dihisab pada hari kiamat.

Dengan demikian, Allah ingin menepis dugaan orang yang mengikuti agama sebelum datangnya Islam bahwa agama mereka masih relevan dengan “Dan barangsiapa yang mengikuti selain agama Islam sebagai agama maka tidak akan diterima” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 85), ditambah dengan “Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanya agama Islam” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 19).

Kesimpulannya, babak penyisihan kedudukan iman di dunia ini telah jelas. Barangsiapa yang beriman kepada Nabi Muhammad tidak akan takut dan tidak akan bersedih di hari kiamat. Kepada orang yang tidak beriman Allah berkata: “Sesungguhnya Allah memisahkan mereka pada hari kiamat.”

Allah selalu mengabungkan antara ‘amana wa ‘amila shalihan’, iman dan amal saleh. Itu karena, apabila iman tidak dikaitkan dengan perbuatan baik, maka ia tidak ada gunanya. Allah ingin agar iman itu merupkan patokan untuk menyetir kehidupan manusia. Konsekuensiyang didapat dari aktifnya iman dalam kehidupan sehari-hari (lewat amal saleh) ialah: hilangnya rasa takut di dunia dan rasa sedih di akhirat.” (Syeikh Muhammad Mutawally Sya‘rawi, Tafsir Sya‘rawi, Jakarta: Duta Azhar, Terjemah: Tim Terjemah Safir al-Azhar (Medan), 2004, 1: 266-268).

Islam Tidak Menolak Agama-agama

Sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya, bahwa agama itu satu, al-din bukan al-adyan. Inilah konsep yang tegas dari Allah dalam Al-Qur’an. Menurut Najaf-Ali Mirzaei, al-shirath al-mustaqim itu lah yang memerankan agama Islam. Sedangkan mengimani “sebagian” dan “mengingkari” sebagian yang lain, selamanya tidak dapat diterima. Artinya, hal itu tidak membawa kemaslahatan dan kebenaran yang pasti. Kiranya ayat “wa man yabtaghi ghayra al-Islama dinan falan yuqbala minhu wa huwa fi al-akhirati min al-khasirin” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 58) mengisyaratkan hal itu.

Ayat ini bukan untuk mengingkari risalah-risalah yang lain. Ayat ini hanya untuk menolak pendapat yang menyatakan pluralisme agama (al-ta‘addud wa al-takattsur al-diniy) dalam satu zaman (waktu). Tidak berarti bahwa Kristen itu agama yang tertolak. Bagaimana mungkin terjadi, padahal Kristen adalah Islam itu juga, yang turun dalam satu fase kehidupan manusia. Kristen adalah satu risalah Ilahi yang benar, dibenarkan di dalam Al-Qur’an yang mulia. Tujuannya adalah mengakui Kristen dan agama yang lainya, dimana agama-agama tersebut – diakui oleh Islam sebagai bentuk toleransi – merupakan naskah-naskah kuno yang tidak sempurna menurut terminologi modern. Pada akhirnya, risalah tersebut menjadi sempurna dan disebutlah “Islam” sebagai namanya. (Najaf-Ali Mirzaei, I‘adah al-Shiyaghah li Mafhum al-Din, bayna al-Wahdah wa al-Ta‘addud, dalam Jurnal Al-Hayat, edisi: 11, tahun IV, 2003: 8).

Jika seluruh ajaran agama dilihat dengan kritis, dengan mudah dapat dijawab bahwa “pluralisme” adalah ide kacau dan tak bertanggung-jawab. Orang yang mengimani “Tawhid Islam”, “Trinitas Kristen”, dan “Ketuhanan Brahma Budha” tergelincir ke dalam jurang paradoksal dan kontradiksi yang nyata dan jelas.

Jika Jalal mengutip Qs. Al-Ma’idah [5]: 48 lalu menyimpulkan tiga kesimpulan yang kontraktif:

  1. Agama itu berbeda-beda dari segi aturan hidupnya (syariat) dan pandangan hidup (akidah). Karena itu, pluralisme sama sekali tidak berarti semua agama itu sama. Perbedaan sudah menjadi kenyataan.
  2. Tuhan tidak menghendaki kamu semua mengatur agama yang tunggal. Keragaman agama itu dimaksudkan untuk menguji kita semua. Ujiannya adalah seberapa banyak kita memberikan kontribusi kebaikan pada umat manusia. Setiap agama disuruh bersaing dengan agama yang lain dalam memberikan kontribusi kepada kemanusiaan (al-khayrat).
  3. Semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Buddha, Nasrani, Yahudi kembalinya kepada Allah. Adalah tugas dan wewenang Allah untuk menyelesaikan perbedaan di antara berbagai agama. Kita tidak boleh mengambil alih Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apa pun, termasuk dengan fatwa. (Jalal, op. cit.,: 32-34).

Penulis juga akan menyimpulkan tiga hal:

  1. Dari segi “syir‘ah dan minhaj” (bukan “syariat” dan “akidah”) agama (Yahudi, Kristen dan Islam) memang berbeda. Dari sisi akidah (tawhid, bukan sekedar pandangan hidup) ketiga ama itu – pada mulanya – adalah sama (Qs. Al-Ma’idah: 43-47). Kemudian Allah menghapus ajaran agama-agama itu (Qs. Al-Ma’idah: 48-50). Pada fase berikutnya, Allah menyatakan bahwa orang-orang Yahudi melakukan distorsi (tahrif) terhadap Taurat. “Syir‘ah-minhaj” (syariat, hukum-hukum/aturan hidup, format dan etika ibadah) itu lah yang diakui oleh Allah berbeda. Ia menjadi dasar dalam pluralistas syariat-syariat. Perhelatan yang terjadi dalam agama-agama samawi adalah: baik-buruk; adil-zalim; bersih-kotor, Allah-thaghut, dan dualisme-dualisme agama lainnya.
  2. Keragaman agama memang untuk menguji kita, tapi ujiannya adalah: memilih agama yang benar, bukan bagaimana sebanyak mungkin kita memberikan kotribusi al-khayrat kepada manusia. Karena dasarnya harus benar. Bukankah kita sepakat bahwa agama itu seluruhnya adalah “Islam”?! Dari Adam-Muhammad adalah Islam. Tapi Islam yang dibawa Muhammad adalah pamungkas. Jika tidak, beliau tidak akan mengilustrasikan dirinya sebagai “batu bata” akhir dalam satu bangunan Islam itu.
  3. Apakah benar semua agama kembali kepada Allah? Semestinya Jalal bersikap kritis. Apakah benar Hindu dan Buddha kembali kepada Allah? Padahal sejak awal yang masuk dalam ‘kamus pluralisme’ Jalal hanya agama: Yahudi, Nasrani, Sabea. Ini adalah konklusi yang menghancurkan konsistensi. Hemat penulis – setelah mempelajari ajaran agama Hindu dan Buddha – Hindu dan Buddha akan kembali kepada pembuat agamanya, bukan kepada Allah. Tidak ada dasarnya bahwa Hindu dan Buddha itu disebut sebagai “agama Allah”. Yang benar, keduanya adalah agama buatan manusia (al-din al-wadh‘iy), bukan al-din al-samawiy.

Terakhir, penulis menyimpulkan bahwa sudah terjadi pergeseran ‘peta pemikiran’ Jalal, dari pakar komunikasi menjadi ‘pakar pluralisme’ dengan dasar inkonsistensi. Selain itu, konsep pluralisme sebenarnya ditolak oleh Al-Qur’an. Dengan demikian, “ayat-ayat pluralisme” adalah ayat-ayat yang banyak dimanipulasi agar sesuai dengan ‘syahwat penafsirnya’. Menundukkan ‘leher-leher’ ayat Al-Qur’an agar sesuai dengan syahwat pluralisme adalah ‘penyelewengan’ yang tidak dapat ditolerir.

Wallahu a‘lamu bi al-shawab. [] (Medan, 19 September 2007).

 

<<Kembali ke posting terbaru

"BERPIKIRLAH SEJAK ANDA BANGUN TIDUR" (Harun Yahya)