“Menolak Ayat-ayat Pluralisme [3]”:
Menyoal Konsep “Syir‘ah-Minhâj” dan Perselisihan Umat dan Syariat Manusia
Dalam tulisan yang lalu telah dijelaskan konsep al-Qur’an sebagai “muhaymin”. Kali ini, tulisan ini mencoba menyelisik konsep “syir‘ah-minhâj” dan “perselisihan umat manusia dan syariat” yang dianggap oleh kaum pluralis-inklusif sebagai bentuk ‘sunnatullah’. Hemat penulis, klaim seperti ini masih debatable dan perlu dibahas lebih lanjut.
Syir‘ah dan Minhâj
Dalam buku Fiqih Lintas Agama, Nurcholish Madjid menulis:
“Sementara dîn atau inti agama itu sama, kepada setiap golongan dari kalangan umat manusia Allah menetapkan syir‘ah (atau syarî‘ah, yakni jalan) dan minhâj (cara) yang berbeda-beda, sebab Allah tidak menghendaki umat manusia itu satu dan sama semua dalam segala hal. Allah menghendaki agar mereka saling berlomba-lomba menuju kepada berbagai kebaikan. Seluruh umat manusia akan kembali kepada Allah dan kelak Dialah yang akan membeberkan hakikat perbedaan antara manusia itu (QS. 5: 48).
Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa untuk setiap umat telah ditetapkan Allah upacara-upacara keagamaan atau mansak (jamak: manâsik) mereka yang harus mereka laksanakan (QS. 22: 34 dan 68). Berkaitan dengan ini adalah keterangan dalam al-Qur’an bahwa setiap golongan atau umat mempunyai wijhah (titik “orientasi”, tempat mengarahkan diri), yang dilambangkan dalam konsep tentang tempat suci seperti Makkah dengan Masjid Haram dan Ka‘bah untuk kaum Muslim. Umat manusia tidak perlu mempersoalkan adanya wijhah untuk masing-masing golongan itu, dan yang penting ialah semuanya berlomba-lomba menuju berbagai kebaikan. Di mana pun manusia berada, Allah akan mengumpulkan semua mereka menjadi satu (jamî‘an).”[1]
Karena konsep “Pluralisme Agama” dibangun oleh kaum inklusif-pluralis lewat ayat-ayat al-Qur’an, maka ada baiknya untuk melihat pandangan para ulama (mufassir) dalam menyikapi ayat-ayat tersebut. Apalagi oleh Nurcholish, Qs. 2: 148 dan 4: 48 dipandang sebagai “pluralitas agama” dalam “berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan, koeksistensi damai, dan keadilan, serta perlakuan yang sama”.[2]
Menurut imam al-Qurthubi, kata [likullin ja‘alnâ minkum “syir‘atan wa minhâjan”] adalah ketidakbergantungan (ketidakberkaitan) dengan syariat-syariat umat – para nabi – yang terdahulu. Syir‘ah dan syarî‘ah maknanya al-tharîqah al-zhâhirah (“jalan yang jelas, terang”) yang menyampaikan kepada keselamatan (al-najâh). Secara etimologi, kata syarî‘ah adalah: jalan yang membawa kepada pengairan. Dan syariat adalah apa yang disyariatkan oleh Allah kepada hamba-Nya, dalam bentuk agama...”[3]
Menurut Abu al-‘Abbas Muhammad ibn Yazîd, syariat adalah titik permulaan satu jalan dan minhâj adalah jalan yang bersambung. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan al-Hasan dan selain mereka, “syir‘atan wa minhâjan” adalah: “sunnatan wa sabîlan” (sunnah/kebiasaan dan jalan). Makna dari ayat tersbut adalah: Allah menjadikan Taurat untuk pemiliknya, Injil untuk pemiliknya dan al-Qur’an untuk pemiliknya. Hal ini dalam masalah syariat dan ibadah. Dalam dasar (konsep genuine) tauhid tidak ada perbedaan. Makna tersebut diriwayatkan dari Qatâdah. Menurut Mujahid, al-syir‘ah wa al-minhâj adalah “agama Muhammad saw.” Dengan agamanya ini, seluruh agama telah di-naskh (dihapus).[4]
Menurut Ibnu Abî Hâtim, dari Abu Sa‘îd al-Asyaj → Abu Khâlid al-Ahmar → Yûsuf ibn Abî Ishâq → bapaknya → al-Tamîmî → Ibnu ‘Abbas: [likullin ja‘alnâ minkum syir‘atan] “sabîlan” (jalan). Juga dari Abu Sa‘îd → Wakî‘ → Sufyân ibn Abî Ishâq → al-Tamîmî → Ibnu ‘Abbas: [wa minhâjan]: “sunnatan” (sunnah: tradisi/kebiasaan).[5]
Satu riwayat yang perlu dicermati adalah apa yang dicatat oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya. Beliau mencatat:
“Sa‘îd ibn Abi ‘Arûbah → Qatâdah: [likullin ja‘alnâ minkum syir‘atan wa minhâjan]: “sabîlan wa sunnatan”. Sunnah-sunnah itu berbeda-beda di dalam Taurat, Injil dan al-Furqân (al-Qur’an), dimana Allah menghalalkan dan mengharamkan apa saja di dalam kitab-kitab tersebut menurut kehendak-Nya, untuk mengetahui siapa yang “menaati-Nya” dan siapa yang “membangkang” kepada-Nya. Agama yang tidak diterima oleh Allah adalah “tauhid dan keikhlasan” kepada-Nya, yang dibawa oleh para rasul.”[6]
Ulama sepakat bahwa syariat setiap agama (Yahudi, Kristen dan Islam) berbeda, tapi tauhid tidak. Karena pada hakikatnya para nabi itu berada dalam satu agama (Islam) untuk ‘banyak keluarga’. Hal ini dengan sangat gamblang dijelaskan dalam Shahîh Bukhari dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. bersabada: “Kami para nabi adalah bersaudara, namun berbeda keluarga (dari banyak keluarga), agama kami adalah satu.” (HR. Bukhari: [3187], tanpa kata ‘innaâ ma’syir’: kami para....).[7]
Namun, dengan adanya berbagai tahrîf (korupsi, penyelewengan dan penyimpangan)[8] dalam agama kaum Ahli Kitab, maka tidak ada ajaran tauhid yang benar kecuali dalam Islam, yang dibawa oleh Kanjeng Nabi saw. Maka wajar jika al-Qur’an dijadikan oleh Allah sebagai muhaymin (“batu ujian”). Karena, menurut al-Zamaksyari (467-538 H), al-Qur’an menjadi raqîb (“pengawal, penjaga”) bagi seluruh kitab. Dan karena al-Qur’an memberikan kesaksian tentang kebenaran dan ketetapan (ajaran) yang ada di dalam kitab-kitab tersebut.[9] Jika tauhid kemudian dirubah menjadi dogam Trinitas dalam agama Kristen, dan Tuhan menjadi “Tuhan Material dan Nasionalistik” dalam agama Yahudi, apakah masih dikatakan “tauhid”?. Ketika Allah menyatakan bahwa kaum Ahli Kitab ada yang melakukan tahrîf terhadap kitab suci mereka, secara otomatis ini menerangkan kebenaran al-Qur’an: yang tidak ‘dimasuki’ kebatilan; baik dari depan maupun dari belakangnya (Qs. Fushshilat [41]: 42).
“Perselisihan Umat Manusia dan Syariat”; Apa Tujuannya?
Jika Nurcholish menyatakan bahwa perbedaan syariat, minhâj dan wijhah merupakan cara Allah agar manusia “berlomba-lomba menuju berbagai kebaikan”, maka ini perlu dilihat kembali. Benarkah demikian? Atau ada tujuan khusus di balik itu semua?
Ketika mengomentari kata ayat laja‘alakum ummatan wâhidah wa lâkin liyabluwakum fîmâ âtakum fa’stabiqû al-khayrât, ilâ Allâhi marji‘ukum fayunabbi’ukum bimâ kuntum fîhi takhtalifûn, al-Zamakhsyari memberikan komentar yang sangati baik:
“[laja‘alakum ummatan wahidatan]: kelompok yang sepakat atas satu syariat, atau memiliki satu umat atau satu agama yang tidak ada pertentangan di dalamnya [wa lâkin], namun Allah menginginkan [liyabluwakum fîmâ âtâkum, Allah ingin menguji terhadap pemberian-Nya kepadamu] dari syariat-syariat yang berbeda-beda itu. Apakah kalian mau beramal (bekerja) secara patuh dan penuh keyakinan bahwa syariat-syariat yang berbeda tersebut merupakan kebaikan (mashâlih) yang berbeda menurut pelbagai keadaan dan waktu, sembari mengakui bahwa Allah dengan perbedaan tersebut melakukannya berdasarkan satu hikmah? Atau kalian malah mengikuti “ketidakjelasan” (al-syubah) dan bersikap berlebih-lebihan dalam beramal? [fastabiqû al-khayrât]: bergegaslah dan berlomba-lombalah ke arahnya (berbuat berbagai kebajikan), [ilâ Allâhi marji‘ukum]: kalimat pembuka (isti’nâf) dalam makna “sebab” untuk berlomba-lomba dalam melakukan berbagai kebajikan itu, [fayunabbi’ukum]: niscaya Dia akan membeberkan apa yang tidak kalian ragukan bersama itu, yaitu ganjaran ‘pemisah’ (akhir, pemutus) antara orang yang benar dan salah di antara kalian, yang benar-benar beramal dan berlebih-lebihan dalam beramal.”[10]
Artinya, perbedaan syir‘ah dan minhâj merupakan “ujian” dari Allah swt., apakah umat (penganut) agama sebelum Islam yang dibawah oleh Nabi saw. mau ikut agama beliau atau tidak. Sama halnya ketika Allah swt. menurunkan ajaran agama Masehi kepada Yesus, apakah umat Yahudi mau menerima beberapa syariat yang berbeda dari agama yang selama ini mereka anut atau tidak. Karena tujuan perbedaan tersebut, kata al-Qurthubi, Allah ingin menguji keimanan satu kaum dan kekufuran kaum yang lain.[11] Oleh karena itu, kata fastabiqû al-khayrat menurut Ibnu Katsir adalah: ketaatan kepada Allah dan mengikuti syariat-Nya yang dijadikannya sebagai “penghapus” (nâsikh) bagi syariat sebelumnya dan pembenaran kitab-Nya, al-Qur’an, yang merupakan kitab terakhir yang diturunkannya.[12] Hal ini semakin jelas, ketika Allah memerintahkan Nabi saw. untuk menjalankan hukum al-Qur’an di tengah-tengah kaum Ahli Kitab (Qs. Al-Mâ’idah [5]: 49).
Jika kaum Ahli Kitab tetap pada agamanya masing-masing (Yahudi pada Judaisme, dan Kristen pada Kristianitas), maka itu merupakan hak mereka. Itu lah konsep “kebebasan beragama” yang sangat dijunjung tinggi oleh al-Qur’an. Dan itu akan dipertanggungjawabkan oleh mereka di hadapan Allah swt. Itu lah, hemat penulis, mengapa Allah tidak menjadikan agama itu satu saja, atau satu syariat saja. Karena Allah benar-benar Mahakuasa untuk menjadikan umat manusia menjadi “satu umat”, dan menjadikan agama dan syariat menjadi “satu agama-satu syariat”. Mengapa umat Kristen dan Islam tidak disuruh mengikuti agama Yahudi yang dibawa Musa saja? Dengan begitu Allah tidak perlu menurunkan agama Masehi dan tidak perlu menurunkan Injil atau al-Qur’an. Tujuannya adalah satu: menguji ketaataan umatnya. Oleh karena itu, fastabiqû al-khayrât! Taati dan ikuti kebenaran Islam dan al-Qur’an yang diturunkan kepada baginda Rasulillah saw! Berlomba-lombalah memburu pelbagai kebaikan yang ada di dalam agama terakhir ini, Islam.[]
Wallâ a‘lamu bi al-shawâb. (Egypt, 9 April 2007)
[1] Mun‘im A. Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, bekerjasama dengan The Asia Foundation, cet. IV, 2004), hlm. 20. Sebelum menulis dalam Fiqih Lintas Agama ini, Nurcholish juga pernah menulis tentang “pluralisme agama” ini dalam buku Passing Over: Melintasi Batas Agama. Lihat: Komaruddin Hidayat dan Ahamad Gaus AF (ed.), Passing Over: Melintasi Batas Agama, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina, cet. III, 2001), hlm. 181-182 [dalam tulisannya yang berjudul: “Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam”]. Setelah mengutip komentar Muhammad Asad terhadap Qs. Al-Mâ’idah [5]: 48, Nurcholish menyatakan: “Itu secara langsung berkaitan dengan prinsip bahwa Allah dalam al-Qur’an sangat mencerca Rasul ketika ia berhasrat memaksa umat menerima dan mengikuti agamanya. “Jika Tuhanmu menghendaki, niscaya semua manusia yang ada di bumi beriman seluruhnya. Hendak kau paksa jugakah orang supaya beriman?” (Qs. Yûnus [10]: 99) [ibid.]. Secara terang-terangan di sini Nurcholish malah memutarbalikkan permasalahan, dari konsep “pluralisme” yang ditawarkannya kepada “kebebasan beragama”. Dalam masalah kebebasan beragama, sikap Islam sangat jelas dan tegas: “Lakum dînukum waliya dîn.” (Qs. Al-Kâfirûn [109]: 6).
[2] Ibid., hlm. 21.
[3] Abu ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, pengantar: Hânî al-Hâj, tahqîq dan takhrîj hadits: ‘Imâd Zakî al-Bârûdî dan Khayrî Sa‘îd, (Cairo: al-Maktabah al-Tawfîqiyyah, ttp), 6: 185.
[4] Ibid.
[5] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, takhrîj hadits: Mahmûd ibn al-Jamîl, Walîd ibn Muhammad ibn Salâmah, Khâlid ibn Muhammad ibn ‘Utsmân, (Cairo: Maktabah al-Shafâ, cet. I, 2004), 3: 78. Lihat juga ulasannya pada halaman 78-79.
[6] Ibid. Ini merupakan riwayat yang benar dari dua riwayat yang disebutkan oleh Ibnu Katsir.
[7] Ibid. [foot-note].
[8] Lihat: Qs. al-Baqarah [2]: 75, Al-Nisâ’ [4]: 46, dan al-Mâ’idah [5]: 13 & 41.
[9] Imam Abu al-Qâsim Jâr Allâh Muhmud ibn ‘Umar Muhammad al-Zamaksyari, Tafsîr al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq Ghawâmidh al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl, (Beirut-Libanon: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. III, 1995), 1: 627.
[10] Ibid.
[11] Al-Qurthubi, loc. cit.
[12] Ibnu Katsir, op. cit., 79. Bandingkan dengan al-Shâbûnî, Shafwah al-Tafâsîr, (Cairo: Dâr al-Shâbûnî, ttp), 1: 347.
0 Comments:
Posting Komentar
<<Kembali ke posting terbaru