Senin, Maret 07, 2011

Untuk HAM, Menghujat Islam!



Kamis, 03 Maret 2011

Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi

SAYA tidak mengira bahwa artikel “Ahmadiyah Dibela, Islam Dihujat" di www.hidayatullah.com, 21 Perbruari 2011, mendapat tanggalan serius dari Saudara Saipul Mujani, lewat tulisannya Ahmadi Juga Manusia” di Koran Tempo, 24 Pebruari 2011.

Dalam tulisannya tersebut, ada satu poin penting yang perlu dicatat, yaitu: Saipul mengakui bahwa Ahmadiyah “sesat”. Satu pengakuan yang gentle, lebih maju, dan biasanya jarang ini dilakukan seorang Muslim-Pluralis-Relativis di Indonesia.

Namun demikian, ada satu hal penting yang harus diluruskan dari tulisan Mujani di atas, yaitu: masalah HAM. Lewat pintu HAM ini dia mencoba mengungkapkan “keberatannya” atas kekerasan – jika ini valid dan benar terjadi – atas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Pandeglang beberapa waktu silam.

Untuk itu, dalam masalah ini, penulis perlu memberi tanggapan. Agar tidak memberatkan, tulisan dibagi menjadi dua. Bisa dibaca di tulisan PERTAMA dan KEDUA. Berikut tanggapan saya:

Pertama, seputar ketakutan dan kekhawatiran Saipul Mujani mengenai Ahmadiyah. Hal ini dapat dipahahmi lewat pengalihan wacana yang digulirkannya. Di mana dia sangat “tidak setuju” dengan aksi pembunuhan yang menimpa JAI. Padahal, siapapun akan sepakat dengan pandangan Mujani ini. Siapapun orang, dari agama apapun, pasti tak menyetujui pembunuhan tanpa alasan. Selain bukan pendapat “baru”, juga merupakan satu hal yang mendasar dalam Islam. Karena Islam “mengharamkan” membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah – untuk dibunuh – kecuali dengan cara yang baik (la taqtulu al-nafsa’l-lati harrama Allahu illa bi’l-haqq, Qs. 17: 33).

Bukan hanya itu, Allah pun menjelaskan bagaimana berharganya “jiwa manusia” itu – terlepas apa agama, bangsa, etnis, suku, maupun warna kulitnya. Dalam hal ini, Allah menyatakan dengan sangat tegas:

“Oleh karena itu, kami tegaskan kepada Bani Israel bahwa ‘siapa saja yang membunuh satu jiwa’, seolah-olah telah membunuh manusia seluruhnya. Dan, siapa saja yang ‘memberi hidup’ kepada seorang jiwa manusia, seakan-akan telah memberi hidup kepada seluruh manusia.” (Qs. 17: 32). Bahkan dalam Islam – seperti dalam buku-buku Ushul al-Fiqh – salah satu yang menjadi dasar al-kulliyyat al-khams dalam Maqashid al-Syari`ah adalah: hifzh al-nafs (menjaga/memelihara jiwa). Intinya, pandangan Mujani ini bukan hal baru dalam Islam.

Namun yang menjadi problem dalam pandangan Mujani adalah: dia tidak menelisik lebih jauh dan mendalam tentang preseden terjadinya pembunuhan terhadap Ahmadiyah. Untuk itu, perlu dijawab beberapa pertanyaan ini: Apakah benar JAI menjadi sasaran serangan orang-orang Islam di Cikeusik, Pandeglang, Banten? Atau kah biang keladi dari kerusuhan tersebut justru JAI sendiri? Ini yang tidak terjawab dalam tulisan Saipul Mujani.

Padahal, faktanya, Ahmadiyah lah yang memulai ‘bermain api’ dalam kejadian di Banten itu.
Oleh karena itu, pembunuhan terhadap anggota JAI tidak bisa dinisbatkan kepada kaum Muslimin secara sembrono. Karena logikanya bisa dibalik begini: “Bagaimana sekiranya dalam insiden Cikeusik itu yang terbunuh adalah dari kalangan umat Islam?’ Apa kata media? Apa kata HAM-Barat? Apa kata para pembela Ahmadiyah? Pertanyaan-pertanyaan ini sejatinya harus dijawab dengan hikmah, jujur dan adil oleh siapapun yang sungguh-sungguh mencari kebenaran, termasuk pada Mujani.

Kedua, seputar penghargaan terhadap manusia. Menurut Mujani, ini relatif baru, baik dalam sejarah umat Islam maupun Barat. Seolah-olah konsep penghargaan terhadap manusia ini tidak inheren dalam ajaran Islam. Karena dia menyelisik lewat sejarah umat Islam, yang menurutnya tidak lepas dari aksi berdarah-darah. Apakah aksi berdarah-darah dalam sejarah umat manusia berhubungan dengan keyakinin (agama) atau politik? Ini yang tidak ditelaah lebih jauh oleh Mujani dalam tulisannya. Padahal, semua aksi pembunuhan yang ada dalam Islam tidak bisa dikaitkan dengan agama Islam (al-din al-islami), melainkan oleh para penguasa akibat tidak mengaitkan politik dengan agama. Sehingga, ruh manusiawi dari politik itu hilang. Dalam ayat yang penulis kemukakan di atas sangat jelas sikap Islam Bahkan, Allah tidak pernah membeda-bedakan agama, etnik, bangsa, dll, dalam memuliakan manusia. (Qs. 17: 70).

Ketiga, seputar perbedaan aqidah. Berkaitan dengan ini, Mujani menulis sebagai berikut:
“Tidak jadi persoalan bagi saya kalau Qosim berkeyakinan bahwa akidah atau paham Islamnya paling benar dan yang selain itu sesat, sejauh keyakinan itu tidak dipaksakan kepada orang lain lewat negara sedemikian rupa, sehingga paham yang selainnya harus dimusnahkan dari negeri ini seperti yang dialami Ahmadiyah yang tak boleh mendakwahkan keyakinannya. Seperti halnya paham Mu'tazilah tentang barunya al-Quran, dan sebaliknya paham Asy'ariah tentang qadim-nya al-Quran, tidak menjadi masalah kalau saja Mu'tazilah tidak memaksakan pahamnya lewat kekuasaan khalifah Al-Makmun--sehingga muncul kebijakan negara yang mengkafirkan dan melarang mereka yang menolak paham tersebut. Dan sebaliknya, ketika khalifah Mutawakil berkuasa dan menganut paham Asy'ariah, paham Mu'tazilah juga dilarang.”

Masalahnya bukan menganggap Islam kita atau orang lain paling benar atau tidak. Tapi masalahnya adalah: apa benar Ahmadiyah itu ajarannya sesuai dengan Islam atau tidak? Jika tidak, berarti dia di luar Islam.TITIK.

Apakah ada ajaran bahwa yang berbeda harus dimusnahkan? saya kira ini masalah yang harus diselesaikan. Bukankah umat Islam hanya menuntut satu dari dua kemungkinan yang bisa diambil oleh JAI: mereka menjadi agama baru – dan itu bukan Islam – atau dibubarkan – jika masih menganggap agama mereka Islam. Karena selama JAI menganggap agamanya “Islam”, selama itu pula umat Islam tidak akan pernah ridha dengan penodaan ini. Di situ pasti akan terjadi gesekan.

Masalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah dan al-Mu`tazilah mengenai khalq al-Qur’an, saya sudah membahasnya panjang lebar dalam tulisan saya terdahulu – Saudara Saipul Mujani bisa menelaah kembali. Intinya: argumentasi apapun yang menyatakan bahwa masalah khalq al-Qur’an masalah aqidah biasa, adalah “keliru”. Karena dasarnya bukan dari Islam, melainkan pengaruh Yahudi dan Kristen. Bagaimana mungkin unsur asing (dakhil) dalam aqidah agama lain bisa mengacak-ngacak keyakinan kita sebagai Muslim? Apakah ini tidak keblinger?

Selain itu, argumentasi kaum al-Mu`tazilah pun dalam masalah khalq al-Qur’an tidak-lah kuat, bahkan cenderung keluar dari teks al-Qur’an yang qat’i ketika menjelaskan bahwa al-Qur’an itu “makhluq”, bukan “qadim”. (Lebih detil, lihat Dr. `Awwad ibn `Abd Allah al-Mu`tiq, al-Mu`tazilah wa Ushuluhum al-Khamsah wa Mawqif Ahl al-Sunnah Minha (Riyad: Maktabah al-Rasyid, 1421 H/2001 M, hlm. 116-126).

Keempat, pandangan Mujani seputar agama dan politik. Mujani, menulis, “Saya memang kurang menegaskan bahwa perbedaan paham akidah dalam sejarah itu kemudian menjadi bencana, saling bunuh, muncul peperangan, ketika perbedaan paham itu melekat dengan kekuasaan. Dan kita tidak boleh mengulang persekutuan tidak suci antara agama dan politik itu. Sumber kekerasan atas nama agama itu terjadi ketika ulama dan penguasa berselingkuh.”

Pandangan Mujani di atas menegaskan posisinya sebagai Muslim-Sekular. Di mana dia menolak penyatuan antara “agama dan politik”. Karena dari perselingkuhan – menurut bahasanya – antara ulama dan penguasa itu lah penyebab lahirnya “kekerasan atas nama agama”. Pandangan ini sejatinya amat simplistis, tidak analitis, dan terkesan dipaksakan.

Islam jelas berbeda dengan Barat-Kristen yang dalam doktrin nya mengatakan: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!” (Markus 12: 17).

Jadi, masalah agama dan kekuasaan dalam Kristen memang sejak awal problematik. Tidak demikian halnya dalam Islam. Ulama dalam Islam – yang benar-benar ulama – bisa menjadi corong kritik umat, bukan penjilat.

Hal ini terbukti dalam sejarah para ulama Muslim bermartabat, semisal: Imam al-Syafi`I, Imam Ahmad ibn Hanbal, Imam Abu Hamid al-Ghazali, Ibn Taimiyah, Ibn Rusyd, dsb. Jadi, ulama seJAIi adalah: yang tidak dekat dengan kekuasaan, bukan fuqaha’ al-sulthan, yang berfatwa sesuai ‘pesanan’ dan ‘order’ penguasa. Ini yang bikin celaka umat manusia.

Kelima, intinya adalah HAM-Barat.

Dalam tulisannya “Ahmadi Juga Manusia”, muara maksud Mujani adalah: Ahmadiyah boleh hidup di Indonesia, karena dia punya hak untuk meyakini kebenaran akidahnya dan ajaran agamanya. Memang, kaum liberal-sekular – di mana pun – selalu merusak konsep agama dengan dalih dan dalil HAM. Dengan HAM ini mereka bisa membela Ahmadiyah mati-matian. Kasus kekerasan terhadap JAI di Pandeglang, Banten, ditarik pada konteks “pelanggaran HAM berat”. Namun mereka menutup mata apa yang dilakukan oleh JAI, di mana oleh kaum Muslim dianggap telah merusak aqidah mereka yang sahih. Pelanggaran seperi ini, tidak pernah dianggap melanggar HAM oleh para pembela dan pengusungnya, termasuk Saipul Mujani.

Sebenarnya, umat Islam tidak punya masalah dan tidak akan mempermasalahkan Ahmadiyah hidup di Indonesia atau di mana pun. Tapi dengan syarat: keluar dari Islam dan menjadi agama baru. Biar mereka sejajar dengan agama-agama lain yang ada, seperti: Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, Kristen, dlsb. Ini adalah tawaran paling rasional dan mudah dilakukan.

Memang, agak ‘memilukan’ dan cukup ‘memalukan’ jika ada yang menyatakakan bahwa kekerasan terhadap Ahmadiyah melanggar HAM sembari menghunjat Islam. Padahal, penodaan agama yang dilakukan oleh JAI terhadap aqidah Islam lebih dari melanggar HAM. Aqidah bagi umat Islam adalah harga mati: tidak boleh diamandemen sedikitpun. Karena kebenaran aqidah adalah inti dari hidup dan kehidupan umat Islam. Fa`tabiru ya ulil albab!

Penulis adalah guru Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, Medan-Sumatera Utara. Sekarang tengah menyelesaikan studi di Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID), Gontor-Jawa Timur.


Sumber: www.hidayatullah.com

 

<<Kembali ke posting terbaru

"BERPIKIRLAH SEJAK ANDA BANGUN TIDUR" (Harun Yahya)