Selasa, Februari 12, 2008

“Dari Salman Rushdie hingga Tempo”

Dari Salman Rushdie hingga Tempo
(Catatan Kasus Penodaan Agama)

Masih hangat dalam memori umat Islam kasus The Satanic Verses (1988) karangan Salman Rushdie. Novel yang ‘melukai’ hati dan perasaan umat Islam itu masih sangat membekas. Bagaimana tidak, seorang Rasul yang agung, Muhammad SAW, dilecehkan. Tentu saja ini tidak dapat diterima.

Kisah “penodaan agama” ini membangkitkan kembali ‘memori kebencian’ umat Islam terhadap Salman Rushdie. Gelar ‘SIR’ bagi Rushdie tidak dapat dibenarkan oleh umat Islam. Namun begitu pun, masih ada seorang Muslim yang menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Rushdie merupakan aksi “kebebasan berekspresi”. Luthfi Assyaukanie, seorang aktivis JIL, menulis dalam bukunya Islam Benar versus Islam Salah (Depok: Kata Kita, 2007):
“Gelombang protes dari Iran, Pakistan, hingga Malaysia terhadap penganugerahan gelar bangsawan Inggris untuk Salman Rushdie mengejutkan kita, betapa kaum Muslim belum bisa melupakan dan memaafkan pengarang Ayat-Ayat Setan itu. Meski protes itu tidak sebesar 20 tahun silam ketika Rushdie difatwa mati oleh Ayatullah Khomenei, gelombang protes itu tetap menyentak betapa kaum Muslim tak pernah bisa mentolerir hal-hal yang mereka pandang sebagai “penodaan agama”. Nama Salmah Rushdie, bagaimanapun tidak bisa dilelepaskan dengan novelnya yang dinggap telah menghina Islam itu. Reaksi kaum Muslim itu melengkapi daftar panjang kasus-kasus menyangkut hubungan Islam dan kebebasan berekspresi.”
Jadi, menurut Luthfi, The Satanic Verses karya Rushdie adalah salah satu bentuk dari “kebebasan berekspresi”. Karena itu, tidak boleh dicurigai, dilarang dan –tidak boleh—dibredel. Meskipun novel Rushdie melukai dan ‘menyakiti’ perasaan umat Islam, harus tetap dibela dan dijunjung tinggi. Kasus Satanic Verses Rushdie oleh Luthfi dikomparasikan dengan kasus novel The Da Vinci Code karya Dan Brown. Setelah memaparkan bagaimana usaha Karen Amstrong dalam memperbaiki citra Islam, Luthfie memberikan catatan: “Apalagi jika kita membandingkan respon kaum Muslim dengan respon serupa dalam dunia Kristen atau agama-agama lain, kelihatan betul bahwa kaum Muslim tampak sangat berlebihan. Kita tidak pernah mendengar, misalnya, Vatikan atau lembaga-lembaga otoritatif agama Kristen, mengeluarkan semacam fatwa mati pada Dan Brown, pengarang Kode Da Vinci. Kita juga tidak melihat aksi-aksi kekerasan dan kebrutalan yang dipertontonkan kaum Kristen ketika merespon novel itu.” (ibid: 109). Luthfi juga merasa ‘kebakarang jenggot’ ketika Wahid Institute (Jakarta Post, 23/6/2007) yang mengeluarkan pernyataan yang mendukung kemarahan kaum Muslim terhadap pemberian gelar bangsawan terhadap Salman Rushdie. (ibid: 111).
Umat Islam tidak boleh lupa, bahwa The Satanic Verses adalah kisah yang berulang dari “penodaan agama”. Barnaby Rogerson, dalam bukunya The Prophet Muhammad: A Biography (‘ Biografi Muhammad’, (terj) Asnawi, (Jogyakarta: Diglossia, IV, 2007: 103-104), setelah berkisah tentang kewajiban Nabi SAW dalam mendakwahkan Islam, mencatat: “Ini adalah periode yang mengerikan bagi Nabi. Dukungan dan simpati yang telah dengan susah payah dibangunnya selama empat tahun lalu, di Makkah yang dicintainya, menguap dalam semalam. Dia ingin sekali menyatukan Makkah di bawah peringatan-peringatan Ilahinya. Hal terakhir yang diinginkannya ialah menjadi pemimpin sebuah kelompok terpisah di dalam Quraisy. Pada periode kritis inilah insiden yang dikenal di dunia Barat sebagai ‘Ayat-ayat Setan’ mungkin terjadi. Dari empat penulis pertama biografi Muhammad, hanya dua menyebutkannya. Para ulama jarang menyebutnya, tapi setelah novel Salman Rushdie tahun 1988, The Satanic Verses, mustahil kita akan mengabaikannya.”
Tempo Diprotes
Cover majalah tempo paling anyar (4-10 Februari 2008) pun diprotes. Pasalnya, cover tersebut menganalogikan keluarga besar Pak Harto dengan The Last Supper, karya Leonardo Da Vinci. (http://swaramuslim.com/more.php?id=5852_0_1_0_M). Maka wajar dan wajib, jika umat Katolik Indonesia “memprotes” majalah Tempo, karena memang sudah melakukan “penodaan agama”.
Hemat penulis, penodaan agama dalam agama apa pun tidak dapat ditolerir. Dia menyangkut masalah inti ajaran suatu agama. Dalam Islam, pencela dan penghina Nabi SAW hukumannya adalah al-qatl alias bunuh. Jadi, fatwa mati Ayatullah Khomenei benar-benar relevan untuk “kepala Rushdie”. Penulis tidak memungkiri adanya nilai positif di balik kenekatan Rushdie. Rushdie juga ‘berjasa’ dalam membangkitkan kecintaan umat Islam kepada nabi mereka. Kecintaan kepada Nabi SAW harus diutamakan oleh setiap Muslim. Bukankah Nabi SAW bersabda, “Kalian tidak dianggap beriman (sempurna iman kalian) sampai aku lebih dia cintai dari orangtua dan anaknya serta seluruh manusia.” Oleh karena itu, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengekspresikan “kecintaannya” yang mendalam kepada kanjeng Nabi SAW lewat bukunya al-Sharim al-Maslul ‘ala Syatimi al-Rasul (‘Pedang Terhunus atas Penghina Rasul’).
Kebebasan berekspresi tentu sah-sah saja. Tapi jika sampai mengusik ajaran sakral dalam satu agama, maka ia dianggap sebagai “penodaan”. Tentunya tidak ada kebebasan yang tanpa batas. Kebebasan kita selalu dibatasi oleh kebebasan orang lain, hurriyatul mar’i mahdudatun bi hurriyati ghayrihi. Ini kaidah paten dalam “kebebasan”. Dan memang tidak layak “kebebasan” berujung dengan “kebablasan”.
(Medan, Selasa: 12 Februari 2008).

 

<<Kembali ke posting terbaru

"BERPIKIRLAH SEJAK ANDA BANGUN TIDUR" (Harun Yahya)