Senin, Februari 04, 2008

“The Satanic Verses, Liberalisme dan Penodaan Agama”

Isu penodaan agama hingga hari ini masih menjadi isu penting. Bukan hanya banyak ‘penggemarnya’, tapi juga dijadikan komoditi komersial. Kaum orientalis dan para pemikir liberal-sekular merupakan kelompok yang ‘hobi’ melakukannya.

Bahkan, secara terang-terangan mereka membela habis-habisan penodaan terhadap agama ini. Alasan klasik yang selalu mereka tampilkan adalah “kebebasan berekspresi”.

Kisah Klasik The Satanic Verses

Seorang aktivis liberal Indonesia, Luthfie Assyaukanie dalam bukunya Islam Benar versus Islam Salah (Depok: Kata Kita, I, 2007: 107-108) membela Salman Rushdie. Luthfie menyatakan: “Gelombang protes dari Iran, Pakistan, hingga Malaysia terhadap penganugerahan gelar bangsawan Inggris untuk Salman Rushdie mengejutkan kita, betapa kaum Muslim belum bisa melupakan dan memaafkan pengarang Ayat-Ayat Setan itu. Meski protes itu tidak sebesar 20 tahun silam ketika Rushdie difatwa mati oleh Ayatullah Khomenei, gelombang protes itu tetap menyentak betapa kaum Muslim tak pernah bisa mentolerir hal-hal yang mereka pandang sebagai “penodaan agama”. Nama Salmah Rushdie, bagaimanapun tidak bisa dilelepaskan dengan novelnya yang dinggap telah menghina Islam itu. Reaksi kaum Muslim itu melengkapi daftar panjang kasus-kasus menyangkut hubungan Islam dan kebebasan berekspresi.”

Jadi, menurut Luthfi, The Satanic Verses (1988) karya Rushdie adalah salah satu bentuk dari “kebebasan berekspresi”. Karena itu, tidak boleh dicurigai, dilarang dan –tidak boleh—dibredel. Meskipun novel Rushdie melukai dan ‘menyakiti’ perasaan umat Islam, harus tetap dibela dan dijunjung tinggi. Kasus Satanic Verses Rushdie oleh Luthfi dikomparasikan dengan kasus novel The Da Vinci Code karya Dan Brown. Setelah memaparkan bagaimana usaha Karen Amstrong dalam memperbaiki citra Islam, Luthfie memberikan catatan: “Apalagi jika kita membandingkan respon kaum Muslim dengan respon serupa dalam dunia Kristen atau agama-agama lain, kelihatan betul bahwa kaum Muslim tampak sangat berlebihan. Kita tidak pernah mendengar, misalnya, Vatikan atau lembaga-lembaga otoritatif agama Kristen, mengeluarkan semacam fatwa mati pada Dan Brown, pengarang Kode Da Vinci. Kita juga tidak melihat aksi-aksi kekerasan dan kebrutalan yang dipertontonkan kaum Kristen ketika merespon novel itu.” (ibid: 109). Luthfi juga merasa ‘kebakarang jenggot’ ketika Wahid Institute (Jakarta Post, 23/6/2007) yang mengeluarkan pernyataan yang mendukung kemarahan kaum Muslim terhadap pemberian gelar bangsawan terhadap Salman Rushdie. (ibid: 111).

Jika dipertanyakan: prestasi apa dan jasa apa yang dicapai oleh Rushdie, sehingga harus meraih gelar “kebangsawanan”? Apakah “menodai agama” dan “menyakiti perasaan kaum Muslim” merupakan prestasi besar yang harus mendapatkan penghargaan prestisius? Cara berpikir Luthfi ini aneh alias “keblinger”. Dia hanya melihat dari sisi “kebebasan berkespresi”. Dia lupa dengan adagium terkenal, yang juga dikutip oleh pemikir pujaannya, Cak Nur, bahwa hurriyatul mar’i mahdudatun bihurriyati ghayrihi, ‘kebebasaan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain’. Tidak ada kebebasan –di dalam agama apapun—yang tanpa kontrol. Sama sekali tidak ada. Menyikapi isu “heretisme” pun, Kristen Katholik Indonesia ‘menelurkan’ satu buku, Selilit Sang Nabi: Bisik-bisik Aliran Sesat (Jogyakarta: Kanisius, I, 2007). Dalam buku ini penulisnya memaparkan bagaimana aksi Gereja “membungkam” sejumlah aksi gerakan menyimpang (heretic) dan bertentangan dengan doktrin dan dogma Gereja.

Kasus Dan Brown, memang tidak sampai –Vatikan, misalnya—dikeluarkan fatwa mati seperti kasus Rushdie. Tapi gelombang protes terhadapnya tidak kecil. Di Mesir, majalah-majalah dan tulisan-tulisan para pendeta biasanya memulai tulisan mereka dengan kata “Mujarrad al-riwayah”, ‘hanya sekedar novel’. Di sini saja sudah ada ‘pembunuhan karakter’. Dimana para pembaca sudah dicekoki bahwa novel Dan Brown tidak ada apa-apanya, tidak perlu dipercaya karena hanya “sekedar novel”. Di Indonesia, pemikir Kristen yang sangat getol ‘membabat habis’ Dan Brown adalah Bambang Noorsena. Dua tulisannya mengulas tentang The Da Vinci Code.

Kasus Satanic Verses Rushdie sebenarnya perpanjangan tangan dari usaha orientalis dalam menanamkan kebencian mereka terhadap Islam. Kisah gharaniq (tiga dewi yang disembah orang Arab) merupakan cikal-bakal lahirnya Satanic Verses. Barnaby Rogerson, dalam bukunya The Prophet Muhammad: A Biography (‘ Biografi Muhammad’, (terj) Asnawi, (Jogyakarta: Diglossia, IV, 2007: 103-104), setelah berkisah tentang kewajiban Nabi SAW dalam mendakwahkan Islam, mencatat: “Ini adalah periode yang mengerikan bagi Nabi. Dukungan dan simpati yang telah dengan susah payah dibangunnya selama empat tahun lalu, di Makkah yang dicintainya, menguap dalam semalam. Dia ingin sekali menyatukan Makkah di bawah peringatan-peringatan Ilahinya. Hal terakhir yang diinginkannya ialah menjadi pemimpin sebuah kelompok terpisah di dalam Quraisy. Pada periode kritis inilah insiden yang dikenal di dunia Barat sebagai ‘Ayat-ayat Setan’ mungkin terjadi. Dari empat penulis pertama biografi Muhammad, hanya dua menyebutkannya. Para ulama jarang menyebutnya, tapi setelah novel Salman Rushdie tahun 1988, The Satanic Verses, mustahil kita akan mengabaikannya.”

Benar bahwa kisah gharaniq banyak dikritisi oleh para ulama, karena menodai ayat-ayat Al-Qur’an dan kemurnian tauhid Nabi SAW. Hal ini pun diakui oleh penulis simpatik tentang Islam, Karen Amstrong, di dalam bukunya Muhammad: A Biography of the Propet. Amstrong menyatakan bahwa kisah gharaniq (Ayat-ayat Setan) adalah tidak benar, karen buku sirah paling awal dan otentik, al-Sirah al-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam tidak menyebutkannya. Saya sendiri “membolak-balik” lembaran buku sirah yang sangat berharga itu. Dan memang tidak ditemukan kisah gharaniq. Yang mencantumkan kisah tersebut salah satunya adalah Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H). Dan kita tahu, Ibnu Jarir al-Thabari merupakan sejarawan dan penafsir Muslim yang harus diwaspadi buku-bukunya –khususnya sejarah dan tafsir—karena kemungkinan besar mengandung kisah-kisah Isra’iliyat.

Penodaan Agama: dari Watt sampai Gus Dur

William Montgomary Watt merupakan pendukung adanya kisah gharaniq dalam Al-Qur’an. Dia menegaskan hal itu dalam bukunya Muhammad, Prophet and Statesman (Muhammad, Nabi dan Negarawan, (terj) Djohan Effendi, (Depok: Mushaf, I, 2006: 80-88). Setelah bercerita tentang ‘Ayat-ayat Setan’, Watt mencatat: “Baik kita terima cerita itu ataupun kita tolak –dan mungkin di dalamnya terdapat sedikit kebenaran—tampaknya pasti bahwa Muhammad mengucapkan ‘ayat-ayat setan’ sebagai bagian dari Al-Qur’an, dan belakangan membacakan wahyu lain yang menghapuskannya.”

Apa yang dilakukan oleh Watt jelas penodaan agama. Dan ketika berbicara tentang kisah gharaniq (Ayat-ayat Setan) itu, tampaknya sengaja dia tidak mengutip al-Sirah al-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam. Kemudian, kisah palsu ‘Ayat-ayat Setan’ (gharaniq) itupun akhirnya diluruskan oleh Karen Amstrong.

Berbeda dengan Watt, penulis liberal wanita yang paling berani adalah Irshad Manji. Penulis asal Kanada itu menganjurkan kepada Barat agar tidak takut untuk mengkritik Islam. Hal itu tampak jelas dalam bukunya The Trouble With Islam Today: A Muslim’s Call for Reform in Her Faith. (http://swaramuslim.net/more.php?id=A5364_0_1_0_M). Seperti biasa, ide-ide miring seperti ini akan mendapat dukungan dari kaum liberal. (Lihat, Ulil Abshar-Abdalla, Irshad Manji di: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=828).

Ide konyol tentang free-sex pun diasongkan oleh Muhammad Syahrur. Menurutnya “kumpul kebo” adalah “legal”, yang penting “sama-sama mau”. (http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=6266&Itemid=1). Beberapa waktu lalu, Gus Dur sempat membuat heboh umat Islam Indonesia. Dia menyatakan bahwa kitab suci paling “porno” adalah “Al-Qur’an”. Hanya karena Al-Qur’an menyebutkan cara “menyusui”, dengan enteng Gus Dur menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah “Kitab Porno”.

Hemat saya, kasus-kasus penodaan terhadap agama tidak bisa didiamkan begitu saja. Salah kaprah orang yang menganggap bahwa penodaan terhadap agama sebagai “kebebasan berekspresi”. Islam tidal melarang umatnya untuk berekspresi. Syaratnya adalah “kebebasan” yang tidak “kebablasan”. Kasus-kasus di atas sejatinya “imbas negatif” dari liberalisasi dan liberalisme pemikiran. Dengan ‘modal’ kebebasan berekspresi setiap orang dianjurkan untuk mengatakan apa saja tentang Islam, meskipun “menodai” ajaran-ajarannya.

Akhirul kalam, saya kutipkan bait-bait syair Jalaluddin Rumi (w. 1273 M) dalam bukunya Matsnawi: Senandung Cinta Abadi, (terj) Abdul Hadi W.M, (Yogyakarta: Bentang, I, 2006, vol. I: 121-122):

“Dia yang membuat mencong mulutnya sendiri dan menyebut nama Ahmad (Muhammad) sambil mengejek Rasulullah: mulutnya kelak akan terus mencong.

Dia kembali sambil berkata, “Maafkan aku, ya, Muhammad, wahai kau pemilik karunia pengetahuan rahasia dari Tuhan.

Dalam ketololanku aku telah mengejekmu, tapi sebenarnya aku sendirilah yang patut diejek dan mendapat hukuman.”

Jika Tuhan berkehendak mengoyak cadar penutup muka seseorang (membuat merasa malu), maka Dia balikkan sifat-sifat hati orang itu sehingga berani mencerca orang suci.

Jika Tuhan berkehendak menolong kita, maka Dia balikkan sifat-sifat hatinya sehingga meratap dalam kehinaan.

O, berbahagialah mata meratap karena melayani kehendak-Nya! O, beruntunglah kalbu yang terbakar demi kehendak-Nya!

Punya setiap ratapan ialah tawa riang; orang yang melihat ke depan ialah hamba yang diberkahi.

Di mana air mengalir, tetumbuhan mengembang hijau; ke mana air tercurah, kasih Tuhan akan tumbuh.

Mengeranglah dan sirami mata seperti kisi-kisi air, agar rumpun hijau tumbuh dari taman jiwamu.

Jika kauinginkan air mata, milikilah rasa kasih pada orang yang mengucurkan air mata; jika kau menginginkan kasih sayang, tunjukkanlah kasih sayangmu kepada si lemah.” [] (Medan, 4 Februari 2008)

 

<<Kembali ke posting terbaru

"BERPIKIRLAH SEJAK ANDA BANGUN TIDUR" (Harun Yahya)