Mahatma Ghandi Bukanlah Seorang Pluralis!
Mahatma Ghandi Bukanlah Seorang Pluralis!
Selasa, 18 Oktober 2011
Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
BANYAK kaum liberal yang mengklaim tokoh seperti Mahatma Ghandi (2 Oktober 1869-30-Januari 1948) sebagai sosok terbuka. Terbuka terhadap perbedaan, termasuk perbedaan agama. Dia juga dimasukkan sebagai sosok yang dikenal dengan “anti-kekerasan” dan pluralis.
Mohandas Karamchand Gandhi, atau lebih dikenal dengan nama Mahatma Gandhi, bapak pergerakan nasional India ini dikenal sebagai figur yang memperjuangkan kemanusiaan. Melalui perjuangannya, kasta Sudra – yaitu golongan kelas bawah atau budak di India -yang sebelumnya dikucilkan, mulai mendapat perlakuan yang lebih manusiawi. Gandhi juga memperjuangkan hak-hak kaum wanita yang sebelumnya sangat tertindas di India. Melalui perjuangannya yang tak kenal lelah, akhirnya India memperoleh kemerdekaan dari Inggris.
Tapi benarkah pandangan yang menganggap Mahatma Ghandi sebagai sosok pluralis, dalam artian menganggap semua agama sama?
Ulama besar Indonesia, Buya Hamka punya catatan penting. Bahwa tokoh nasional India yang sering dipuja kaum liberal itu rupanya bisa cemburu dan marah jika menyangkut agamanya. Ia bisa “tidak toleran” kepada kehendak orang lain yang bertentangan dengan agama Hindunya. Fakta ini banyak ditutup-tutupi.
Dalam sebuah bukunya, berjudul “Ghirah dan Tantangan terhadap Islam” (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1982), Buya HAMKA menuliskan catatan penting tentang Ghandi.
Agar tidak salah, maka ada baiknya saya kutipkan catatan penting dari ulama kharismatik asal Maninjau, Minangkabau ini, sebagai berikut:
“Terdapat juga pada orang besar suatu bangsa. Kita hanya mendengar Mahatma Ghandi sebagai seorang yang berfaham luas. Yang berprikemanusiaan tinggi. Yang percaya juga kepada Islam Almasih dan Muhammad di samping mempertahankan Agama Hindunya. Diapun mempercayai kitab Veda. Begitu luas fahamnya. Tetapi kalau martabat agamanya, agama Hindu tersinggung, dia bersedia pula mati. Dia bersedia puasa sampai mati.
Di zaman perjuangan kemerdekaan di bawah pimpinan kongres, belumlah terjadi perpecahan di antara pemimpin Hindu dengan pimpinan Muslimin. Di keliling Gandhi beridirlah berpuluh pemimpin. Hindu dan Muslim, laki-laki dan perempuan, “Mother India” menyatukan mereka semuanya. Ada Dr. Anshari almarhum, disamping Motital Nehru, ada Abul Kalam Azad di samping Gopalachari. Semuanya bersatu, tua dan muda berdiri disamping Gandhi. Diantara pemimpin yang banyak itu terdapatlah seorang putri Hindu bangsawan rupawan, yang menjadi hiasan majelis, karena cantiknya. Yaitu adik Yawaharal Nehru, Viyaya Lakshmi Pandit. Dan disamping itu ada pula seorang pemuda Islam bernama Dr. Said Husain.
Semboyan selama ini adalah Persatuan Hindu-Muslim membela ibu pertiwi. Bande Mataram! Sebelum persatuan karena cita luhur itu terlaksana, namun jiwa kedua remaja ini: Viyaya Husain telah berpadu lebih dahulu. Berlain agama tidak mendiding asmara mereka lagi. Cinta telah mempertemukan hati kedua pemuda itu.
Keduanya sama berpendidikan tinggi, dan penuh dengan cita-cita. Moga-moga redalah angin permusuhan yang telah berurat-berakar di antara golongan Islam dengan golongan Hindu. Perkawinan mereka jadi lambangnya. Gandhi yang luas faham, sampai digelarkan “Nabi”nya Persatuan India. Dan Motial Nehru bangsawan hartawan yang luas faham pula. Yang telah mengorbankan harta bendanya untuk menyokong perjuangan “Ibu India”. Tentulah keduanya akan mempermudah pertemuan kedua kekasih itu!
“Tidak, tidak, tidak….! Darah Aria yang tinggi, darah Hindu keturunan Pandit akan diserahkan kepada seorang Islam. Tidak!
Ayahnya Motial membujuk, janganlah dilangsungkan perkawinan itu. Dan abangnya Yawaharal Nehru pun, yang terkenal luas fahamnya, meminta jangan dilangsungkan, karena masyarakat Hindu tidak akan menerimanya. Tetapi tidak berhasil! Viyaya hendak melangsungkan juga. Bukankah dia lebih berkuasa atas dirinya sendiri? Sebab dia telah dewasa dan terpelajar pula? Kesudahannya Gandhi pun turun tangan. Dia pergi kepada Viyaya. Dia meniarap di bawah kaki puteri jelita itu. Dan berkata bahwa dia tidak akan mengangkat kepalanya, sebelum Viyaya berjanji bahwa perkawinan itu tidak akan dilangsungkan. Viyaya patah!
Seorang wanita yang berbudi halus, yang di zaman kini telah menjadi seorang wanita terbesar di dunia, tidaklah dapat bertahan lagi, di hadapan suatu pribadi yang sebesar yang meniarap di bawah kakinya. Viyaya terpaksa tunduk! Dan menerima seketika Gandhi memilihkan buat dia seorang pemuda Hindu buat jadi suaminya. Dan untuk mencegah pengaruh kenangannya kepada pemuda Said Husain, pemuda ini diutus ke Amerika Serikat buat belajar. Dan di sanalah pemuda itu hidup sampai 20 tahun.
Beberapa lama kemudian meninggallah suami Viyaya. Sedang Said Husain masih ada di Amerika, dan belum kawin. Apa hendak dikata, masa telah berlalu 20 tahun. Dan uban pun telah mulai menjuntai di kepala mereka. Datang juga dia ke Amerika itu, buat menziarahi kekasihnya. Tetapi apa hendak dikata. Zaman muda telah berlalu. Mereka telah menjadi sahabat yang kekal akan ganti perkawinan. Setelah India merdeka, Dr. Said Husain diangkat menjadi Duta Besar India yang pertama buat Mesir. Setelah itu dia pun meninggal. Dan semua orang yang mengerti akan jiwa manusia, akan tetap melihat bekas luka hati yang mendalam pada wajah “Wanita terbesar di abad itu”.
Begitu hebatnya cemburu Gandhi kalau martabat agamanya tersinggung. Meskipun kelihatannya, ia dikenal begitu lemah lembut dan berprikemanusiaan.
Menurut Buya Hamka, cemburu Gandhi pada agamanya amat dipuji. Meskipun dia benar-benar tidak toleran kepada kehendak orang lain yang bertentangan dengan agama Hindunya. Sayangnya fakta yang menganggap Gandhi seorang pluralis sejati sangat ditutup-tupi.
Perlu dicatat pula bahwa Buya Hamka menjelaskan bahwa pada tahun 1938 seorang gadis Islam bernama Raihanah Thaib jatuh cinta pada seorang pemuda hartawan Hindu. Kemenakan dari seorang milyuner Hindu, Chankarlal. Mereka akhirnya berhasil menikah. Maka orang yang lebih dulu mengirim kawan, mengucapkan selamat atas perkawinan itu, di malam pertama tidak lain, tidak bukan ialah Mahatma Gandhi. Bayangkan! Dia keberatan jika kaumnya masuk Islam, tetapi jika ada seorang Muslim yang berhasil dibawah kepada Hindu dia sangat cuka-cita.
Jika dilihat, Gandhi sebenarnya bukan sosok pluralis-inklusivis. Dia lebih tepat disebut ekslusivis dalam beragama. Dan sikap ini sebenarnya yang benar, bukan sebaliknya. Masalahnya, semangat keagamaan model Gandhi ini yang sekarang banyak dituding kalangan liberal sebagai hal keliru alias tidak benar.
Jika kaum Muslim yang melakukannya seperti Ghandi, ia pasti akan mencapat cap intoleran dan ekslusif (atau tidak inklusif dan tidak pluralis). Padahal Nabi Muhammad mengajarkan hanya Islam agama yang benar. Sebelumnya, Allah telah menggariskan bahwa hanya Islam agama yang diterima di sisi-Nya (QS. 5: 3).
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa [398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS: Al Maidah:3)
Jika Ghandi saja tidak mau wanita Hindu dinikawi oleh pria Muslim, apalagi Islam. Al-Quran sangat melarang pernikahan beda agama:
وَلاَ تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُواْ الْمُشِرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواْ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلَـئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللّهُ يَدْعُوَ إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita yang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya . Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. al-Baqarah [2] : 221)
Maka, model ‘kawin-campur’ (mixed marriage) sebagaimana digalakkan kaum pluralis tidaklah dapat dibenarkan.
Dengan demikian, kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa Mahatma Gandhi bukanlah orang pluralis, seperti yang diklaim selama ini!
Dan semestinya setiap Muslim pun tidak perlu menjadi pluralis. Yang benar, seorang Muslim baik pastilah toleran. Dan yang tidak toleran bukan Muslim!*
Penulis adalah guru di Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, Medan, Sumatera Utara. Penulis buku “Teologi Islam versus Kristen” (2010)
2 Comments:
Mantap! Kritis dan tajam dan membawa pencerahan. Terima kasih ya Akhi..
Afwan,akhi
Posting Komentar
<<Kembali ke posting terbaru