Jumat, Desember 23, 2022

Loss of Adab, Kebingungan Ilmu dan Pemimpin Palsu



            Tulisan ini “diilhami” oleh temuan penting Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas (lahir 1931) mengenai loss of adab (keruntuhan atau hilangnya adab), kebingungan (kerancuan) ilmu (confusion of knowledge) dan konsep kepemimpinan. Ketiga hal ini, dalam pandangan al-Attas, tak dapat dipisahkan karena saling memberikan konsekuensi terhadap yang lainnya. Inilah yang diebut oleh al-Attas dengan “dilema” umat Islam. Ketiganya akan diulas secara rinkgas dalam tulisan ini.

            Dalam pandangan al-Attas, problem utama yang dihadapi oleh umat Islam adalah “loss of adab (keruntuhan atau kehancuran adab), yaitu kehancuran dan keruntuhan disiplin: disiplin tubuh, akal (mind) dan jiwa (soul). Puncaknya adalah: hilangnya pengenalain (recognition) dan pengakuan (acknowledgement). Implikasi utamanya adalah hilangnya keadilan (loss of justice). Tetapi, problem utamanya tetap ada pada kerancuan ilmu. Dari sana kemudian muncullah, jika boleh dikatakan, istilah “lingkaran setan” antara ketiganya, yaitu: kebingungan ilmu menciptakan kondisi loss of adab, kemudian keduanya melahirkan para pemimpin palsu (false leaders). (SMN al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 105-106).

            Dilema yang disampaikan oleh al-Attas di atas sejatinya merupakan otokritik terhadap kondisi nyata yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Pemikiran al-Attas yang luar biasa ini mengingatkan pada konsisi yang pernah dialami oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H). Karena di zamannya krisis utama umat Islam adalah mengenai adab, problem keilmuan dan ulama yang melahirkan para pemimpin yang tidak baik, seperti nasihat-nasihat beliau dalam al-Tibr al-Masbūk fī Nashīhat al-Mulūk (Beirut-Lebanon: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1409/1988; Imam al-Ghazali, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Beirut-Lebanon: Dār al-Fikr, 1428/2008): 1/79-109).

            Fenomena keruntuhan adab, menurut al-Attas, melahirkan hilangnya keadilan (justice), baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Konsekuensi logisnya, hilangnya keadilan melahirkan hilangnya wisdom (hikmah) atau kebijaksaan. Karena keduanya memang direfleksikan oleh adab. Ketika keadilan dan hikmah sirna maka individu dapat berlaku zalim atau bersikap tidak adil (unjustice) sehingga tidak mampu meletakkan sesuatu secara proporsional. Karena yang terjadi adalah corruption of knowledge karena telah telah terjadi disintegrasi adab. (SMN al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 16-19).

            Dan, disintegrasi adab tersebut mewujud dalam masalah-masalah spiritual, intelektual, dan kultural, seperti: menyamakan Kitab Suci Al-Qur’an dengan kitab-kitab lain; menyetarakan Nabi Muhammad dengan nabi-nabi lain; menyamakan ilmu agama dengan ilmu lain; menyamakan hidup di dunia dengan hidup di akhirat; pemimpin sejati disejajarkan dengan para pemimpin palsu. (SMN al-Attas, “Introduction”, dalam al-Attas (ed), Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: Hodder and Stoughton-King Abdul Aziz University, 1979), 14).

            Dari problem loss of adab itulah sejak lama al-Attas mengevaluasi kandungan dan tujuan utama pendidikan tinggi Islam, yang beliau paparkan sejak 1970 silam. Bahkan problem utama pendidikan Islam berkaitan dengan hakikat dan tujuan pendidikan. Maka dirumuskanlah oleh al-Attas konsep ta’dīb untuk pendidikan Islam. Ia mengkritik konsep tarbiyah maupun ta‘līm, karena keduanya sudah ada di dalam ta’dīb. (SMN al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: Ta’dib International, 2019), 13-33). Sehingga, melalui ta’dīb ini diharapkan fenomena loss of adab yang terus menggejala di tengah-tengan umat Islam dapat diatasi dengan baik.

            Diantara fenomena loss of adab adalah hilangnya pengenalan (recognition) dan pengakuan (acknoledgement) dalam ranah keilmuan dan ulama. Sehingga muncullah kerancuan dan kebingungan ilmu pengetahuan. Ini kemudian menjadikan seorang Muslim tak mampu lagi membedakan mana ilmu-ilmu yang dikategorikan fardhu ‘ayn mana pula yang tergolong fardhu kifayah. Lebih parah lagi, konsepsi ilmu yang hebat ini tidak terbina dengan baik di banyak perguruan tinggi Islam. Akibatnya, sudah muncul pandangan bahwa ilmu itu neutral (bebas-nilai, value free). Padahal, sebenarnya ilmu tidak bersifat neutral: tidak bebas nilai alias sarat nilai (value laden). Karena konsep ilmu, baik dalam Islam maupun Barat, tidak lepas dari worldview (pandangan alam). (SMN al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam (Pulau Pinang-Malaysia: Penerbit Universiti Sains Malaysia, 2007), 9-23; al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), 49-50). Akibat dari rusaknya konsep ilmu fardhu ‘ayn, tegas al-Attas, muncullah kebingungan dan kerusakan ilmu. Dan ini disebabkan oleh rusaknya konsep pendidikan. (SMN al-Attas, “Introduction”, 8).

            Tentu pandangan keliru di atas tidak akan terjadi jika konsep ta’dīb yang men-tadbir dan membina adab dilakukan dengan tepat. Karena salah satu landasan paling utama dalam pemikiran filsfat pendidikan Islam al-Attas adalah konsepnya mengenai adab yang sangat komprehensif. Karena secara alami, analisis beliau mengenai problem pendidikan, intelektual, dan kebudayaan menunjukkan fakta bahwa problem-problem itu berakar pada faktor-faktor eksternal dan internal. Penyebab eksternal disebabkan oleh tantangan religius-kultural dan sosial-politik dari Barat, sedangkan yang internal tampak dalam tiga bentuk fenomena yang saling berhubungan, yaitu kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ilmu dan aplikasinya, ketiadaan adab, dan munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak layak memikul tanggungjawab secara benar dalam segala bidang. Namun, dari semua itu, ketiadaan adab-lah yang harus ditinjau dan dikoreksi secara efektif jika Muslim ingin menyelesaikan problem kebingungan dan kekeliruan dalam bidang keilmuan dan menanggulangi munculnya kepemimpinan palsu dalam segala bidang. (Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy Zarkasyi, M. Arifin Ismail dan Iskandar Arnel (Bandung: Mizan, 1424/2003), 198-199).

            Dari loss of adab lahir kebingungan dan kerancuan ilmu; dari kerancuan ilmu dan loss of adab lahirlah para pemimpin palsu. Yaitu, para pemimpin yang tidak identitas dan integritas dalam memimpin. Sehingga, mereka tidak amanah dalam menjalankan kepemimpinan mereka. Bahkan, dalam pandangan al-Attas, dari loss of adab dan corruption of knowledge secara khusus, melakhirkan ulama palsu (false ‘ulama), yaitu mereka yang membatasi ilmu hanya pada domain fiqh. “...who restrict knowledge (al-‘ilm) to the domain of jurisprudence (fiqh). Sehingga, mereka tidak layak mengikuti para mujtahidun: para Imam hebat yang upaya individual mereka mengukuhkan mazhab hukum fiqih dan hukum dalam Islam. (SMN al-Attas, “Introduction”, 8).

            Maka, dalam sejarah Islam kita mengenal para ulama sebagai sosok generik: dia pakar Kalam, Tafsir, Ushul Fiqih, Filsafat, bahkan Fiqih. Sebut saja misalnya, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafi’i, Imam Ahmad, Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam al-Dzahabi, Imam ibn al-Atsir, Imam al-Baqillani, Imam Ibn ‘Asakir, Imam ibn Katsir, bahkan Imam Nawawi al-Bantani, Tengku Muhammad Hasbi as-Shidieqi, Buya Hamka, dan banyak lagi. Mereka contoh dari ulama sejati itu.

Selain ulama yang “palsu”, hari ini banyak bermunculan kaum intelektual sekular, yang mengambil inspirasi dari Barat. Secara ideologi, mereka sejalan dengan kaum “pembaharu” modernis dan para pengikutnya; sebagian mereka bahkan mengikuti pandangan kaum “pembaharu” tradisionis dan para pengekornya. Kebanyakan mereka tidak mengambil pengetahuan dan epistemologi Islam sebagai dasar intelelektualitas dan spiritualitas mereka. Jadi, mereka ini terpisah jauh dari pendekatan kogninitif dan metodologis terhadap sumber dan pengajaran Islam. (SMN al-Attas, “Introduction”, 10). Ini semuanya disebabkan oleh loss of adab itu.

            Namun, penting pula untuk dicatat bahwa loss of adab tidak serta-merta melahirkan ketiadaan ilmu. Tetapi maknanya juga kehilangan kapasitas dan kemampuan untuk mengenal dan mengakui para pemimpin sejati. (SMN al-Attas, “Introduction”, 12). Ini mengingatkan pada peringatan futuristik dari Nabi Muhammad, “Akan datang waktunya kepada manusia, yaitu tahun-tahun penuh kedustaan. Dimana saat itu pendusta dianggap benar dan orang jujur dinilai sebagai pendusta; pengkhianat diberi amanah sementara yang amanah dianggat pengkhianat; lalu berbicaralah saat itu Ruwaibidhah. Rasulullah ditanya: “Apa Ruwaibidhah itu? Rasulullah menjawab, “Orang yang jahil (dungu, bodoh) berbicara mengenai urusan orang banyak (rakyat).” (HR. Ibn Majah (4036) dan Ahmad ibn Hanbal (7912).

            Terakhir, dapatlah menjadi perhatian kita bersama bahwa jika hari ini dirasakan bermunculan pemimpin publik yang kurang cakap, tidak kapabel, tidak memiliki idenitas dan integritas, problem utamanya dapat dicari dalam penyelenggaraan pendidikan kita. Karena pendidikan yang menanamkan adab (ta’dīb) tidak akan merusak konsep ilmu dan ulama. Dan, jika penyakit loss of adab dapat diobati, diantara keuntungannya adalah tidak akan terjadi “korupsi”. Dan, demikian, tidak akan ada lagi muncul para pemimpin palsu. Wallahu a’lam bis-shawab.[]

           

             

 

<<Kembali ke posting terbaru

"BERPIKIRLAH SEJAK ANDA BANGUN TIDUR" (Harun Yahya)