Worldview Islām, Filsafat Islām dan Peradaban Islām
Worldview Islām, Filsafat Islām dan Peradaban Islām[1]
(Catatan untuk Hari Jadi ke-64 Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi)
*)Qosim Nurseha Dzulhadi,
Dosen ‘Islamic Worldview’ di STIT Ar-Raudlatul Hasanah, Medan dan
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Aqidah dan Filsafat Islām di Universitas
Darussalam Gontor
Hari ini, Selasa 13 September 2022 genap 64 tahun usia Prof. Dr.
Hamid Fahmy Zarkasyi. Sebagai salah seorang muridnya, penulis merasa harus
menyampaikan rasa syukur kepada Allah bahwa usia beliau sampai di angka itu.
Tentu sudah mendapat “bonus” satu tahun dari usia Nabi Muhammad. Semoga usia
beliau berkah dan ilmu beliau bermanfaat. Berkaitan
dengan bertambahnya usia beliau (hakikatnya berkurang), ada yang terasa musykil
dalam pikiran saya. Dan, ini yang bikin masygul pikiran saya, sejak pagi tadi.
Yaitu mengenai apa yang akan saya berikan di hari istimewa beliau ini. Karena,
jika sekadar mengucapkan: “happy
birthday” to him, agaknya kurang tepat.
Atau sebatas menyampaikan: “mīlād
sa‘īd”, juga rasanya tidak begitu afdhal. Apalagi hanya mengucapkan: “selamat ulang tahun”, kesannya kurang
bermakna. Maka, di usia beliau yang ke-64 tahun ini saya ingin memberikan
catatan saja. Anggap saja ini “special gift” untuk beliau. Dan, semoga beliau
berkenan. Catatan saya hanya tiga saja, yakni tentang: Worldview Islām,
Filsafat Islām dan Peradaban Islām. Kira-kira ketiga hal ini ulasannya sebagai
berikut.
1.
Worldview Islām
Ya, pandangan hidup Islām merupakan ide dan konsep pemikiran beliau
yang diwarisi dari SMN al-Attas (lahir 1931), gurunya di ISTAC, Kuala Lumpur,
Malaysia. Ini jelas warisan utama yang saat ini terus beliau tularkan kepada
murid-muridnya. Termasuk saya. Ini tentang kesan. Karena saya sendiri memang
sudah lama merasakan “siraman” Worldview Islām dari beliau. Pertama
tentu via karya terjemahan beliau terhadap buku Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud: ‘The Educational Philosophy and
Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original
Concept of Islamization’ (ISTAC, 1998) yang beliau terjemahkan bersama Dr.
M. Arifin Ismail dan Dr. Iskandar Amel (Bandung: Mizan, 2003) dengan tajuk ‘Filsafat
dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas’. Dalam buku ini saya
sudah membaca tentang Worldview dan konsep Islamisasi, yang sekarang menjadi asas
pengembangan Universitas Darussalam Gontor. Benar-benar “membumi”.
Kemudian, “siraman” berikutnya pada 2006. Tentu siramannya melalui
tulisan-tulisan beliau, misalnya di Jurnal Islamia yang amat fenomenal itu.
Lebih dekat lagi di tahun 2008: ketika penulis menjadi generasi pertama (dengan
sekian banyak sahabat lainnya) di Program Kaderisasi Ulama (PKU) hingga penulis
selesai Magister Ilmu Aqidah, di ISID pada waktu itu. Nah, selama
di PKU dan Program Pascasarjana ISID, diskusi mengenai Worldview Islām menghiasi
hari-hari kami. Apalagi dikaitkan dengan istilah lain, seperti: epistemologi,
filsafat Islam dan peradaban Islam. Tambah “hangat” dan selalu menarik.
Worldview Islām yang
didakwahkan beliau agaknya terus bergulir. Sampai hari ini. Biasanya, lisan alumni
PKU atau Mahasiswa Unida lancar sekali mengeluarkan kata Worldview, Islamisasi,
peradaban, dan istilah-istilah yang berkaitan dengannya. Apalagi ditambah
dengan kajian terhadap dua buku penting karya Prof. SMN al-Attas: Prolegomena (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995) dan Islām and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993).
Kemudian, diracik lagi dengan dua karya Prof. Hamid: Misykat dan Minhaj.
Lengkaplah sudah kajian mengenai Worldview Islām. Tapi, harus segera
dicatat, belum sempurna. Karena muatan Worldview tak sesederhana yang
dibicarakan. Ia sangat mendalam, canggih dan sangat mendasar. Itu sebabnya
ketika membicarakan Worldview sekian banyak tokoh dan intelektual
disebut oleh Prof. Hamid. Sebut saja, misalnya, al-Attas, Sayyid Qutb, Abul
A’la al-Mawdudi, Syekh ‘Ātif al-Zayn, dan lainnya. Artinya, mengaji Worldview
Islām harus dilanjutkan. Sebagai “pemanasan” kembali, perlu kiranya kita
membaca tulisan beliau “Worldview Islām dan Kapitalisme Barat” (Jurnal Tsaqafah,
Vol. 9, No. 1 (April 2013): 15-37). Semoga, yang membaca benar-benar
“kepanasan”.
2.
Filsafat Islām
Selain Worldview Islām hal yang melekat dari pemikiran Prof.
Hamid adalah Filsafat Islām (al-Falsafah al-Islāmiyyah, Islamic
Philosophy) yang menjadi concern khusus beliau saat ini. Apalagi beliau
saat ini sudah menjadi guru besar Filsafat Islam. Tapi yang menarik bukan ini.
Yang menarik adalah penemuan beliau mengenai filsafat. Ini yang coba penulis
urai, walaupun ringkas, pada penjelasan berikut.
Hal yang fundamental dari penemuan Prof. Hamid adalah mengenai
adanya “kerancuan” dalam kurikulum pengajaran Filsafat di Perguruan Tinggi
Islam. Dalam satu makalahnya, “Framework Kajian Filsafat Islam di Perguruan
Tinggi” beliau memberikan kritik tajam. Misalnya, jika pengajaran Filsafat
berangkat dari asumsi bahwa Filsafat Islām adalah filsafat peripatetik dan
filsuf pertama adalah al-Kindī, maka ini sama dengan kajian orientalis, bahkan
mungkin terpengaruh orientalis. Prof. Hamid mengkritik Peter, Edward J. Jurji,
misalnya, yang mengatakan bahwa Filsafat Islām tidak murni dari Islām, tetapi
sumbangan orang Syiria, Yahudi dan Iran yang masuk Islām. Padahal pandangan
Edward keliru, karena penerjemah dari kalangan Kristen seperti Hunayn ibn Ishaq
(m. 873), Tsābit ibn Qurra (m. 901), Yahya ibn ‘Adī (m. 974) adalah penerjemah
bayaran. (Lihat, Adian Husaini et al., Filsafat Ilmu: Perspektif Barat &
Islām (Depok: GIP, 1442/2020), xiii-xiv). Yang namanya “bayaran” tidak
mungkin sharing ide dan pemikiran. Di sini orientalis itu “ngawur” berat.
Tentu bukan hanya Peter, Edward J. Jurji, bahkan De Boer
(1866-1942), Gustave E von Grunebaum (1909-1972), Nicholas Heer (1889-1971),
hingga Majid Fakhry yang menyimpulkan bahwa Islām datang tanpa pemikiran
filsafat. Minimal, Filsafat Islām adalah kelanjutan dari Filsafat Yunani.
Bahkan, bukan hanya Filsafat, Ilmu Kalām pun asal-usulnya dari Persia dan
India, kata De Boer. Gustave menyimpulkan bahwa Sufisme dalam Islām aspirasinya
dari Greek (Yunani) dan merupakan kelanjutan dari mistisisme Kristen.
Tentu saja pandangan-pandangan orientalis itu salah besar. Karena
fakta historisnya bertutur sebaliknya. Prof. Hamid menyebut bahwa filsuf Yahudi
Moshe ben Maimon (1138-1204), contohnya, malah menulis topik Filsafat Islām
dalam dalam bahasa Arab ‘Dalālat al-Hā’irīn’ (The Guide for the Perplexed).
Selain Ben Maimon, ada Goitein yang dalam karyanya ‘Jews and Arabs’ mengakui
bahwa Filsafat Yahudi dipengaruhi oleh Arab-Muslim. (Lihat, Prof. Hamid Fahmy
Zarkasyi, A New Framework for the Study of Islamic Philosophy: A Worldview
Approach (Ponorogo: Unida Gontor Press, 2022): 9-13).
Dan, jika dikaji melalui pendekatan Worldview ada istilah-istilah
konseptual, seperti: konsep tentang Tuhan, alam dan penciptaannya, jiwa
manusia, ‘ilm, ma‘rifah, dan yang semisalnya, yang semuanya diderivasi dari
Worldview Islām yang diproyeksikan oleh Wahyu, bukan berasal dari pemikiran
Yunani. (Prof. Hamid, A New Framework, 15). Dan, mengatakan
bahwa tradisi filsafat tidak ada dalam Islām jelas sangat pejorative, bahkan
merendahkan tradisi berfikir falsafi dalam Islām. Ini tidak berdasar dan
bertentangan dengan Wahyu, kata Syekh ‘Abd al-Halīm Mahmūd dalam karyanya ‘al-Tafkīr
al-Falsfī fī al-Islām’ (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 2007).
Kesimpulan yang benar adalah pandangan Jamīl Saliba (1949-2015),
Seyyed Hossein Nasr, dan Oliver Leaman yang sepakat bahwa Yunani bukan
asal-usul Filsafat Islām. Menurut Nasr, sumbernya adalah Al-Qur’ān dan Sunnah
dan menurut Oliver Leaman sumbernya adalah metode dan konsep Qiyās yang ada
dalam Fiqh sebagai embrio Filsafat Islām. (Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi, A New
Framework, 17-18).
Untuk menutup catatan di bagian ini, menarik untuk menyimak
pandangan Michael Marmura yang menyatakan: “Thus, the falāsifah did not
simply accept ideas they received through the translations. They criticized,
selected, and rejected; they made distinction, refined and remoulded concepts
to formulate their own philosophies. But the conceptual building block, so to
speak, of these philosophies remained Greek.” (Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi, A
New Framework, 33. Lihat juga, Adian Husaini et al., Filsafat Ilmu,
xiv-xv).
3.
Peradaban Islām
Ini catatan terakhir saya untuk “ultah” Prof. Hamid. Beliau selalu
memotivasi murid-muridnya untuk “membangun peradaban”. Dan beliau sendiri
memberikan syarat utamanya: ‘ilmu’. Perintahnya: banyak baca, lalu nulis.
Identik dengan ‘Diktum Ilāhī’ dalam Qs.96:1-5: Iqra’ (2 kali); ilmu dan qalam
(Pena). Menarik untuk tak hanya dipikirkan.
Gagasan dan ide-ide beliau tentang Peradaban Islām diwujudkan
dengan etos ilmiah yang nyata. Pada 2004 buku “mungil”-nya nan inspiratif
‘Peradaban Islām: Makna dan Strategi Pembangunannya’ terbit di CIOS. Kemudian, Pada
15 April 2007 dalam Workshop Pemikiran Ideologis Forum Ukhuwwah Islamiyah DI
Yogyakarta beliau menyampaikan makalah panjang dan bernas: ‘Membangun Peradaban
Islām’. Dikuatkan lagi oleh karya beliau pada 2009. Dimana beliau
menulis ‘Bayt-ul-Hikmah: Akademi Pertama dalam Islam’ di Jurnal Islamia.
Sejalan dengan ini, beliau juga menulis tentang ‘Makna Sains Islam’ (Jurnal Islamia,
2008). Disusul dengan karya beliau ‘Membangun Peradaban Islām yang Bermartabat’
(CIOS, 2009).
Dan Peradaban Islām, dalam pandangan Prof. Hamid tidak boleh pisah
dari Worldview. Karena Worldview adalah asasnya. Maka, pada 2011 beliau
mengeluarkan buku kecil: ‘Worldview Islām Asas Peradaban’ (Jakarta: INISTS). Dan sebagai
kajian konseptual, Prof. Hamid menulis satu makalah penting pada 2015.
Tajuknya: ‘Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islām’ (Jurnal Tsaqafah,
Vol. 2, No. 1 (Mei 2015): 1-28).
Tidak berhenti di itu, ide dan gagasan beliau untuk membangun
Peradaban Islām terus berjalan. Maka, pandangan beliau dikuatkan lagi dengan
terbitnya buku yang menarik: ‘Islamic Science: Paradigma, Fakta dan Agenda’
yang diedit oleh pakar pemikiran Ibn Sīnā, Dr. Syamsuddin Arif (Jakarta:
INSISTS, 2016). Dimana dalam buku ini Prof. Hamid menyumbang satu tulisan
penting: ‘Worldview sebagai Paradigma Sains Islām’.
Itulah tiga catatan saya sebagai “hadiah” Ulang Tahun Prof. Hamid
yang ke-64. Semoga usia dan ilmu beliau senantiasa diberkahi Allah. Lebih dari
itu, semoga ketiga ide dan gagasan pemikiran beliau dalam tulisan sederhana ini
bisa kita ikuti. Kita harus dalam dalam memahami Worldview Islām; harus Kritis
dalam mengkaji Filsafat Islām; dan harus meracik keduanya sebagai landasan
membangun Peradaban Islām yang bermartabat. Karena, kata Prof. Hamid, membangun
Peradaban itu dengan Ilmu. Maka, beliau sering menasihati: banyak baca, banyak
nulis. Wallāhu A‘lam bis-Shawāb.[]
Mīlād Sa‘īd, Prof. Hamid!
Bārakallāhu fī ‘umrikum, wa ‘ulūmikum, wa kifāhikum.
Kampus Universitas Darussalam Gontor,
Selasa Malam, 15 Shafar 1444/13 September 2022
0 Comments:
Posting Komentar
<<Kembali ke posting terbaru