Rabu, September 28, 2022

Worldview Islām, Filsafat Islām dan Peradaban Islām

Worldview Islām, Filsafat Islām dan Peradaban Islām[1]

(Catatan untuk Hari Jadi ke-64 Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi)

*)Qosim Nurseha Dzulhadi,  Dosen ‘Islamic Worldview’ di STIT Ar-Raudlatul Hasanah, Medan dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Aqidah dan Filsafat Islām di Universitas Darussalam Gontor

Hari ini, Selasa 13 September 2022 genap 64 tahun usia Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi. Sebagai salah seorang muridnya, penulis merasa harus menyampaikan rasa syukur kepada Allah bahwa usia beliau sampai di angka itu. Tentu sudah mendapat “bonus” satu tahun dari usia Nabi Muhammad. Semoga usia beliau berkah dan ilmu beliau bermanfaat. Berkaitan dengan bertambahnya usia beliau (hakikatnya berkurang), ada yang terasa musykil dalam pikiran saya. Dan, ini yang bikin masygul pikiran saya, sejak pagi tadi. Yaitu mengenai apa yang akan saya berikan di hari istimewa beliau ini. Karena, jika sekadar mengucapkan:  “happy birthday” to him,  agaknya kurang tepat. Atau sebatas menyampaikan:  “mīlād sa‘īd”, juga rasanya tidak begitu afdhal. Apalagi hanya mengucapkan:  “selamat ulang tahun”, kesannya kurang bermakna. Maka, di usia beliau yang ke-64 tahun ini saya ingin memberikan catatan saja. Anggap saja ini “special gift” untuk beliau. Dan, semoga beliau berkenan. Catatan saya hanya tiga saja, yakni tentang: Worldview Islām, Filsafat Islām dan Peradaban Islām. Kira-kira ketiga hal ini ulasannya sebagai berikut.

 

1.      Worldview Islām

Ya, pandangan hidup Islām merupakan ide dan konsep pemikiran beliau yang diwarisi dari SMN al-Attas (lahir 1931), gurunya di ISTAC, Kuala Lumpur, Malaysia. Ini jelas warisan utama yang saat ini terus beliau tularkan kepada murid-muridnya. Termasuk saya. Ini tentang kesan. Karena saya sendiri memang sudah lama merasakan “siraman” Worldview Islām dari beliau. Pertama tentu via karya terjemahan beliau terhadap buku Prof. Dr. Wan Mohd Nor  Wan Daud: ‘The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization’ (ISTAC, 1998) yang beliau terjemahkan bersama Dr. M. Arifin Ismail dan Dr. Iskandar Amel (Bandung: Mizan, 2003) dengan tajuk ‘Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas’. Dalam buku ini saya sudah membaca tentang Worldview dan konsep Islamisasi, yang sekarang menjadi asas pengembangan Universitas Darussalam Gontor. Benar-benar “membumi”.

Kemudian, “siraman” berikutnya pada 2006. Tentu siramannya melalui tulisan-tulisan beliau, misalnya di Jurnal Islamia yang amat fenomenal itu. Lebih dekat lagi di tahun 2008: ketika penulis menjadi generasi pertama (dengan sekian banyak sahabat lainnya) di Program Kaderisasi Ulama (PKU) hingga penulis selesai Magister Ilmu Aqidah, di ISID pada waktu itu. Nah, selama di PKU dan Program Pascasarjana ISID, diskusi mengenai Worldview Islām menghiasi hari-hari kami. Apalagi dikaitkan dengan istilah lain, seperti: epistemologi, filsafat Islam dan peradaban Islam. Tambah “hangat” dan selalu menarik.

Worldview Islām yang didakwahkan beliau agaknya terus bergulir. Sampai hari ini. Biasanya, lisan alumni PKU atau Mahasiswa Unida lancar sekali mengeluarkan kata Worldview, Islamisasi, peradaban, dan istilah-istilah yang berkaitan dengannya. Apalagi ditambah dengan kajian terhadap dua buku penting karya Prof. SMN al-Attas: Prolegomena (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995) dan Islām and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993). Kemudian, diracik lagi dengan dua karya Prof. Hamid: Misykat dan Minhaj. Lengkaplah sudah kajian mengenai Worldview Islām. Tapi, harus segera dicatat, belum sempurna. Karena muatan Worldview tak sesederhana yang dibicarakan. Ia sangat mendalam, canggih dan sangat mendasar. Itu sebabnya ketika membicarakan Worldview sekian banyak tokoh dan intelektual disebut oleh Prof. Hamid. Sebut saja, misalnya, al-Attas, Sayyid Qutb, Abul A’la al-Mawdudi, Syekh ‘Ātif al-Zayn, dan lainnya. Artinya, mengaji Worldview Islām harus dilanjutkan. Sebagai “pemanasan” kembali, perlu kiranya kita membaca tulisan beliau “Worldview Islām dan Kapitalisme Barat” (Jurnal Tsaqafah, Vol. 9, No. 1 (April 2013): 15-37). Semoga, yang membaca benar-benar “kepanasan”.

 

2.      Filsafat Islām

Selain Worldview Islām hal yang melekat dari pemikiran Prof. Hamid adalah Filsafat Islām (al-Falsafah al-Islāmiyyah, Islamic Philosophy) yang menjadi concern khusus beliau saat ini. Apalagi beliau saat ini sudah menjadi guru besar Filsafat Islam. Tapi yang menarik bukan ini. Yang menarik adalah penemuan beliau mengenai filsafat. Ini yang coba penulis urai, walaupun ringkas, pada penjelasan berikut.

Hal yang fundamental dari penemuan Prof. Hamid adalah mengenai adanya “kerancuan” dalam kurikulum pengajaran Filsafat di Perguruan Tinggi Islam. Dalam satu makalahnya, “Framework Kajian Filsafat Islam di Perguruan Tinggi” beliau memberikan kritik tajam. Misalnya, jika pengajaran Filsafat berangkat dari asumsi bahwa Filsafat Islām adalah filsafat peripatetik dan filsuf pertama adalah al-Kindī, maka ini sama dengan kajian orientalis, bahkan mungkin terpengaruh orientalis. Prof. Hamid mengkritik Peter, Edward J. Jurji, misalnya, yang mengatakan bahwa Filsafat Islām tidak murni dari Islām, tetapi sumbangan orang Syiria, Yahudi dan Iran yang masuk Islām. Padahal pandangan Edward keliru, karena penerjemah dari kalangan Kristen seperti Hunayn ibn Ishaq (m. 873), Tsābit ibn Qurra (m. 901), Yahya ibn ‘Adī (m. 974) adalah penerjemah bayaran. (Lihat, Adian Husaini et al., Filsafat Ilmu: Perspektif Barat & Islām (Depok: GIP, 1442/2020), xiii-xiv). Yang namanya “bayaran” tidak mungkin sharing ide dan pemikiran. Di sini orientalis itu “ngawur” berat.

Tentu bukan hanya Peter, Edward J. Jurji, bahkan De Boer (1866-1942), Gustave E von Grunebaum (1909-1972), Nicholas Heer (1889-1971), hingga Majid Fakhry yang menyimpulkan bahwa Islām datang tanpa pemikiran filsafat. Minimal, Filsafat Islām adalah kelanjutan dari Filsafat Yunani. Bahkan, bukan hanya Filsafat, Ilmu Kalām pun asal-usulnya dari Persia dan India, kata De Boer. Gustave menyimpulkan bahwa Sufisme dalam Islām aspirasinya dari Greek (Yunani) dan merupakan kelanjutan dari mistisisme Kristen.

Tentu saja pandangan-pandangan orientalis itu salah besar. Karena fakta historisnya bertutur sebaliknya. Prof. Hamid menyebut bahwa filsuf Yahudi Moshe ben Maimon (1138-1204), contohnya, malah menulis topik Filsafat Islām dalam dalam bahasa Arab ‘Dalālat al-Hā’irīn’ (The Guide for the Perplexed). Selain Ben Maimon, ada Goitein yang dalam karyanya ‘Jews and Arabs’ mengakui bahwa Filsafat Yahudi dipengaruhi oleh Arab-Muslim. (Lihat, Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi, A New Framework for the Study of Islamic Philosophy: A Worldview Approach (Ponorogo: Unida Gontor Press, 2022): 9-13).

Dan, jika dikaji melalui pendekatan Worldview ada istilah-istilah konseptual, seperti: konsep tentang Tuhan, alam dan penciptaannya, jiwa manusia, ‘ilm, ma‘rifah, dan yang semisalnya, yang semuanya diderivasi dari Worldview Islām yang diproyeksikan oleh Wahyu, bukan berasal dari pemikiran Yunani. (Prof. Hamid, A New Framework, 15). Dan, mengatakan bahwa tradisi filsafat tidak ada dalam Islām jelas sangat pejorative, bahkan merendahkan tradisi berfikir falsafi dalam Islām. Ini tidak berdasar dan bertentangan dengan Wahyu, kata Syekh ‘Abd al-Halīm Mahmūd dalam karyanya ‘al-Tafkīr al-Falsfī fī al-Islām’ (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 2007).

Kesimpulan yang benar adalah pandangan Jamīl Saliba (1949-2015), Seyyed Hossein Nasr, dan Oliver Leaman yang sepakat bahwa Yunani bukan asal-usul Filsafat Islām. Menurut Nasr, sumbernya adalah Al-Qur’ān dan Sunnah dan menurut Oliver Leaman sumbernya adalah metode dan konsep Qiyās yang ada dalam Fiqh sebagai embrio Filsafat Islām. (Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi, A New Framework, 17-18).

Untuk menutup catatan di bagian ini, menarik untuk menyimak pandangan Michael Marmura yang menyatakan: “Thus, the falāsifah did not simply accept ideas they received through the translations. They criticized, selected, and rejected; they made distinction, refined and remoulded concepts to formulate their own philosophies. But the conceptual building block, so to speak, of these philosophies remained Greek.” (Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi, A New Framework, 33. Lihat juga, Adian Husaini et al., Filsafat Ilmu, xiv-xv).

 

3.      Peradaban Islām

Ini catatan terakhir saya untuk “ultah” Prof. Hamid. Beliau selalu memotivasi murid-muridnya untuk “membangun peradaban”. Dan beliau sendiri memberikan syarat utamanya: ‘ilmu’. Perintahnya: banyak baca, lalu nulis. Identik dengan ‘Diktum Ilāhī’ dalam Qs.96:1-5: Iqra’ (2 kali); ilmu dan qalam (Pena). Menarik untuk tak hanya dipikirkan.

Gagasan dan ide-ide beliau tentang Peradaban Islām diwujudkan dengan etos ilmiah yang nyata. Pada 2004 buku “mungil”-nya nan inspiratif ‘Peradaban Islām: Makna dan Strategi Pembangunannya’ terbit di CIOS. Kemudian, Pada 15 April 2007 dalam Workshop Pemikiran Ideologis Forum Ukhuwwah Islamiyah DI Yogyakarta beliau menyampaikan makalah panjang dan bernas: ‘Membangun Peradaban Islām’. Dikuatkan lagi oleh karya beliau pada 2009. Dimana beliau menulis ‘Bayt-ul-Hikmah: Akademi Pertama dalam Islam’ di Jurnal Islamia. Sejalan dengan ini, beliau juga menulis tentang ‘Makna Sains Islam’ (Jurnal Islamia, 2008). Disusul dengan karya beliau ‘Membangun Peradaban Islām yang Bermartabat’ (CIOS, 2009).

Dan Peradaban Islām, dalam pandangan Prof. Hamid tidak boleh pisah dari Worldview. Karena Worldview adalah asasnya. Maka, pada 2011 beliau mengeluarkan buku kecil: ‘Worldview Islām Asas Peradaban’ (Jakarta: INISTS). Dan sebagai kajian konseptual, Prof. Hamid menulis satu makalah penting pada 2015. Tajuknya: ‘Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islām’ (Jurnal Tsaqafah, Vol. 2, No. 1 (Mei 2015): 1-28).

Tidak berhenti di itu, ide dan gagasan beliau untuk membangun Peradaban Islām terus berjalan. Maka, pandangan beliau dikuatkan lagi dengan terbitnya buku yang menarik: ‘Islamic Science: Paradigma, Fakta dan Agenda’ yang diedit oleh pakar pemikiran Ibn Sīnā, Dr. Syamsuddin Arif (Jakarta: INSISTS, 2016). Dimana dalam buku ini Prof. Hamid menyumbang satu tulisan penting: ‘Worldview sebagai Paradigma Sains Islām’.

Itulah tiga catatan saya sebagai “hadiah” Ulang Tahun Prof. Hamid yang ke-64. Semoga usia dan ilmu beliau senantiasa diberkahi Allah. Lebih dari itu, semoga ketiga ide dan gagasan pemikiran beliau dalam tulisan sederhana ini bisa kita ikuti. Kita harus dalam dalam memahami Worldview Islām; harus Kritis dalam mengkaji Filsafat Islām; dan harus meracik keduanya sebagai landasan membangun Peradaban Islām yang bermartabat. Karena, kata Prof. Hamid, membangun Peradaban itu dengan Ilmu. Maka, beliau sering menasihati: banyak baca, banyak nulis. Wallāhu A‘lam bis-Shawāb.[]

Mīlād Sa‘īd, Prof. Hamid! Bārakallāhu fī ‘umrikum, wa ‘ulūmikum, wa kifāhikum.

 

Kampus Universitas Darussalam Gontor,

Selasa Malam, 15 Shafar 1444/13 September 2022

 



[1] Artikel dimulat di www.hidayatullah.com (Rabu, 16 Shafar 1444 H/14 September 2022 M).


 

<<Kembali ke posting terbaru

"BERPIKIRLAH SEJAK ANDA BANGUN TIDUR" (Harun Yahya)