BAHAYA SEKULARISASI DAN SEKULARISME
“One of the major failures of most Arab and Western
intellectuals today is that they have accepted without debate or rigorous
scrutiny terms like secularism and democracy, as if everyone knew that these
words mean.”
―Edward W. Said[1]
PENGANTAR
Sejak
1974 Prof. Dr. SMN al-Attas (lahir 1931) sudah mengingatkan umat Islam akan
bahaya ‘sekularisasi’ (secularization) dan ‘sekularisme’ (secularism)
yang datang dari Barat melalui bukunya Islām and Secularism.[2] Sekularisasi
dinilai berbahaya karena ia merupakan proses dari ‘pensekularan’ nilai dan
zaman. Sementara bahaya yang dikandung ‘sekularisme’ karena ia merupakan sebuah
faham yang sudah pasti mengandung worldview Barat sekular. Menurut
al-Attas, keduanya sama-sama berbahaya. Karena sejatinya ‘sekularisasi’ itu
adalah gerakan dan program filosofis. Inilah yang harus diwaspadai oleh umat
Islam. Dan poin ini akan sedikit diulas dalam artikel ini.
ISTAC SEBAGAI RESPONS PEMIKIRAN
Jika
dilihat respons keras al-Attas terhadap ‘sekulariasi’ dan ‘sekularisme’ dapat
dirujuk ke belakang. Dimana menurutnya, sejak dibuka secara resmi ISTAC pada
1991 diantara tujuan utamanya adalah untuk: to conceptualize
(mengkonsep), clarify (mengklarifikasi), dan elaborate (mengelaborasi)
problem-problem keilmuan dan epistemologis yang dihadapi oleh umat Islam saat
ini dan memberikan respons Islam terhadap tantangan intelektual dan kultural
yang datang dari dunia modern (Barat) dan berbagai tantangan pemikiran, agama
dan ideologi.[3]
Dan
masalah ‘sekularisasi’ dan ‘sekularisme’ itu merupakan bagian dari tantangan
pemikiran dan peradaban yang dihadapi oleh umat Islam. Itulah sebabnya mengapa
al-Attas menulis Islām and Secularism. Dan ia ingin mendedikasikan karyanya ini kepada
generasi Muslim yang sedang bangkit. “This book originally dedicated to the
emergent Muslims. Sehingga mereka dapat bertahan dengan cerdas dalam
menghadapi hebatnya arus ‘sekularisasi’ dan mampu memberikan perubahan dalam
ranah pemikiran yang dipandang oleh al-Attas dengan “still floundering”
(lemah) di tengah lautan kebingungan dan keraguan-diri (self-doubt).
Karena ternyata ‘sekularisasi’ nilai dan peristiwa yang telah diramalkan akan
terjadi di dunia Islam sudah terlihat dengan momentum dan desakan yang makin
meningkat, akibat dari lemahnya kefahaman umat Islam terhadap hakikat
sebenarnya dan implikasi sekularisasi, sebagai sebuah program filosofis.[4]
HAKIKAT ‘SEKULARISASI’ DAN ‘SEKULARISME’
Dari
penjelasan al-Attas dapat ditangkap bahwa ‘sekularisasi’ adalah sebuah gerakan
atau program filosofis (a philosophical program). Dan terjadinya
‘sekularisasi’ serta menguatnya ‘sekularisme’ di dunia Islam didasari oleh
ketidak-fahaman umat Islam itu sendiri terhadap hakikat ‘sekularisasi’ dan
‘sekularisme’. Untuk itu penting kiranya memahami apa itu ‘sekularisasi’ dan
‘sekularisme’. Inilah yang akan diulas secara ringkas dalam penjelasan berikut.
Sekularisasi
dikonotasikan sebagai sebuah proses dari mereduksi pengaruh agama, ketika
istilah ini digunakan dalam lingkar legal dan eklesiastikal untuk menjelaskan
tentang transfer institusi keagamaan atau properti dalam melakukan kepemilikan
atau penggunaan yang sifatnya temporal. Misalnya, mengutip dari kamus pertama
bahasa Inggris, yang dikomandoi Samuel Johnson (terbit pada 1755), Keane
menyelisik bahwa secularism dalam sejarah Inggris, adalah: “worldlinness;
attention to the things of the present life” (keduniaan; hanya memberi
perhatian kepada segala hal yang sifatnya saat ini, sekarang ini)... untuk pindah
dari hal spiritual kepada makna biasa... to make worldy (menjadikannya benar-benar
duniawi).
Sementara
Talal Asad, melalui studi antropologis, mendapati bahwa istilah ini ditemukan di
sebelah barat laut Eropa pada pertengahan abad ke-16. Ia mencatat bahwa kata “secularism”
dan “secularists” pertama kali diperkenalkan oleh para pemikir liberal
dalam rangka menghindari serangan ateisme. Hanya saja, di abad ke-20, secularism
menjadi kategori kesarjanaan yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial (social
sciences) dan dikaitkan dengan karya-karya Auguste Comte, Emile Durkheim,
Max Weber, Karl Marx, Ferdinand Toennies, dan Ernst Troeltsch. Nikki Keddie
kemudian menggarisbawahi tiga jalan “sekularisasi” yang difahami saat ini,
yaitu sebagai: (1) “an increase in the number of people with secular beliefs
and practices” (sebuah peningkatan jumlah orang dengan keyakinan dan praktik
(keagamaan) yang sekular); (2) “a lessening of religious control or
influence over major spheres of life” (mengurangi kontrol atau pengaruh
agama dalam bidang kehidupan); dan (3) “a growth in state sparation from
religion and in secular regulation of formely religious institutions and
customs” (suatu pertumbuhan dalam rangka memisahkan negara dari agama dalam aturan
institusi keagamaan dan ritual yang formal).
Secara
sederhana, secularism ini berkaitan dengan tiga disiplin ilmu sosial:
filsafat, sosiologi dan ilmu politik. Secara filosofis, secularism
menunjuk pada sebuah penolakan terhadap hal yang bersifat transenden dan
metafisik sembari fokus pada hal eksistensial dan empirik. Di sini ia ketemu
dengan definisi secularism-nya Harvey Cox bahwa secularism itu
adalah: “the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the
turning of his attention away from other worlds and toward this one.”[5]
Secara
sosiologis, secularism korelatif dengan modernisasi, yaitu: satu proses
gradual (perlahan) yang mengarah kepada penghancuran pengaruh agama dalam
institusi sosial, kehidupan komunal, dan hubungan antar-manusia. Ini dalam
istilah Peter Berger adalah: “a process by which sectors of society and
culture are removed from the domination of religious institutions and symbols”
(satu proses menghilangkan sektor sosial dan budaya dari dominasi institusi dan
simbol-simbol agama). Dan secara politis, secularism itu menyangkut
tentang pemisahan bidang publik dan privasi secara khusus dari agama dan
negara. Kriteria breakdown ini identik dengan pembagian secularism yang
dilakukan oleh Charles Taylor.[6]
Bagaimanapun,
baik sekularisasi maupun sekularisme intinya tetap satu:
menghilangkan dan membuang pengaruh agama dari kehidupan masyarakat. Dan inti
agama itu tentu adalah ‘metafisika’ (utamanya: Tawhid, keyakinan, aqidah, lalu
syariah atau hukum Allah). Di sini jelas bertolak-belakang dengan Islam. Karena
jelas diakui oleh sarjana Hindu bahwa: secularism as the product of a
particular moment in post-Reformation Christian history, the European
Englightenment. It becomes institutionalized as a doctrine with the historical
separation of church and state in nineteenth-century liberal society and
eventually becomes globalized through colonialism and the disperal of modern
forms of governane and of corporate, market, and professional values.”[7]
Jadi, ia merupakan pengalaman Barat Kristen, sebagaimana
dikatakan oleh al-Attas dalam Islām dan Secularism-nya. Dan, memang, di abad Pencerahan (Enlightenment)
mayoritas peristiwa intelektual dan budaya terpisah dari etika dan doktrin
Kristen.[8] Lebih
jauh lagi, akhirnya mereka mengonsep ulang Gospel Kristen, mendefinisikan ulang
konsep Tuhan mereka, dan melakukan dehelenisasi dogma Kristen.[9] Karena
mereka tidak dapat memungkiri bahwa problem paling serius kaum Kristen, kata
Prof. al-Attas, adalah ‘problem Tuhan’ (problem of God).[10]
Maka, sekali lagi, sekularisasi kata al-Attas
didefinisikan sebagai: “pembebasan manusia pertama dari kungkungan agama
lalu dari kungkungan metafisika yang mengontrol akal manusia dan bahasanya.”.
Dan dimensinya ada tiga: (1) the disenchantment of nature (penghilangan
pesona dari alam tabi’i; (2) the desacralization of politics (peniadaan
kesucian dan kewibaaan agama dari politik); dan (3) the deconsecration of
values (penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari
kehidupan).[11]
Konsekuensi logis dari “penghilangan pesona dari alam
tabi’i” adalah: manusia tidak lagi menggap alam ini kudus, sehingga mereka
bebas bertindak apa saja terhadapnya. Dan, “peniadaan kesucian dan wibawa
agama dari politik” mengakibatkan: penghapusan peran agama dari pada
kekuasaan dan otoritas politik. Padahal agama adalah syarat utama bagi
perubahan politik. Sedangkan konsekuensi dari “penghapusan kesucian dan
kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan” adalah: menjadikan semua karya
budaya dan setiap sistem nilai, termasuk agama dan pandang alam (worldview)
yang memiliki makna lahir dan tidak boleh ubah lagi, bersifsat sementara dan
nisbi (relative).[12]
Konsekuensi-konsekuensi di atas, kata al-Attas,
seluruhnya bertentangan dengan worldview Islam. Karena Islam menilai
alam tabi’i kudus, suci, karena diciptakan oleh Allah. Dan agama, dalam Islam,
sangat menentukan perjalanan politik dengan cara memperbaikinya melalui nilai-nilai
agama. Dan hal-hal yang sifatnya metafisik serta nilai-nilai adalah permanen,
bukan relatif atau nisbi.
Demikian sedikit ulasan mengenai konsep ‘sekularisasi’
dan ‘sekularisme’ yang disampaikan oleh Prof. SMN al-Attas dalam karyanya Islām and Secularism. Karena karya ini amat penting maka butuh elaborasi
lebih lanjut dan lebih mendalam. Karena, baik sekularisasi dan sekularisme,
sangat berbahaya bagi kehidupan manusia. Dan pesan Prof. al-Attas ini harus
disambut secara serius melalui program-program pemikiran dan keilmuan,
diantaranya adalah melalui ‘islamisasi ilmu-ilmu kontemporer’ yang memang sudah
disekularkan oleh peradaban Barat sekular yang sekarang merasuk ke seluruh lini
kehidupan manusia. Wallāhu a’lam bis-shawāb.[]
Sumber Bacaan:
Elisabeth
Shakman Hurd, The Politics of Secularism in International Relations
(Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2008).
Graeme
Smith, A Short History of Secularism (London-New York: I.B. Tauris,
2008).
Harvey Cox, The Secular City (Princeton and Oxford: Princeton
University Press, 2013).
Nader
Hashemi, Islam, Secularism, and Liberal Democracy: Toward a Democratic
Theory for Muslim Societies (Oxford-New York: Oxford University Press,
2009).
Priya
Kumar, Limiting Secularism: The Ethics of Coexistene in Indian Literature
and Film (Minneapolis-London: University of Minneasota Press, 2008).
SMN
al-Attas, Islām and
Secularism (Kuala Lumpur:
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1993).
[1] Nader Hashemi, Islam, Secularism, and Liberal
Democracy: Toward a Democratic Theory for Muslim Societies (Oxford-New
York: Oxford University Press, 2009), 103.
[2] SMN al-Attas, Islām and Secularism (Kuala Lumpur:
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1993).
[3] SMN al-Attas, Islām and Secularism, xiii.
[4] SMN al-Attas, Islam and Secularism, xv.
[5] Lihat,
Harvey Cox, The Secular City (Princeton and Oxford: Princeton University
Press, 2013), 21. Harvey Cox juga mengutip seorang teolog Belanda, C. A. van
Peursen, yang menyatakan bahwa secularization itu adalah “the deliverence
of man “first from religious and then from metaphysical control over his reason
and his language”. (The Secular City, 2).
[6] Lihat, Nader Hashemi, Islam, Secularism and Liberal
Democracy, 105-106.
[7] Priya Kumar, Limiting Secularism: The Ethics of
Coexistene in Indian Literature and Film (Minneapolis-London: University of
Minneasota Press, 2008), 3. Lihat juga, Elisabeth Shakman Hurd, The Politics
of Secularism in International Relations (Princeton and Oxford: Princeton
University Press, 2008).
[8] Graeme Smith, A Short History of Secularism
(London-New York: I.B. Tauris, 2008), 7.
[9] SMN al-Attas, Islām and Secularism, 5.
[10] SMN al-Attas, Islām and Secularism, 8.
[11] SMN al-Attas, Islām and Secularism, 17.
[12] SMN al-Attas, Islām and Secularism, 18.
1 Comments:
Mencerahkan Ustadzy. Kecerdasan al-Attas membaca fenomena real kaum Muslimin akan bahayanya Paham sekularisme.
Posting Komentar
<<Kembali ke posting terbaru