Selasa, November 29, 2022

Pendidikan dan Tantangan Masa Depan Umat

 

BELUM lama ini penulis bersama Saudara Irwan Haryono, dosen Ilmu Filsafat di STIT Ar-Raudlatul Hasanah berkesempatan mengunjungi Dr. Adian Husaini, di Hotel Saka, Medan. Pada Jumatnya (4 November 2022) memang Dr. Adian mengisi Seminar Nasional tentang Pendidikan Islam di Pesantren, yang diadakan oleh STIT Ar-Raudlatul Hasanah, Medan.

Kami menemui pendiri dan pembina Attaqwa College (Depok) dan Ketua Umum DDII itu sekitar pukul 20:50 menit. Penulis sangat bersyukur, karena selain menjadi moderator dalam seminar yang dihadiri oleh beliau, juga dapat berbincang ringan, tapi isinya berat. Ya, karena malam ini penulis dan saudara Irwan Haryono semacam bertemu seorang mentor dan coach pergerakan dan pemikiran Islam. Ini karena beliau benar-benar membuka pikiran mengenai beberapa problem yang dihadapi umat. Di antara problem itu dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, problem diri umat Islam. Ini beliau kaitkan dengan suksesi kepemimpinan, seperti Bupati, Gubernur bahkan Presiden. Karena, pergantian Presiden sekalipun tidak akan mengubah keadaan umat Islam selama umat ini tidak mengetahui problem yang ada dalam diri mereka sendiri. Karena, dalam pandangan Dr. Adian, dalam kasus dukung-mendukung calon pemimpin umat Islam selalu menggantungkan kepada sosok yang dipilihnya. Padahal, mereka sendiri tidak memiliki parameter untuk mengontrol pemimpin terpilih.

Kendati demikian, Dr. Adian menegaskan bahwa pergantian pemimpin daerah atau negara tetap penting. Tetapi tidak cukup untuk melakukan perubahan secara mendasar dan menyeluruh. Kehadiran presiden dan kepala daerah yang baik bisa mempercepat kebangkitan itu. Terkait dengan kebangkitan itu, Dr. Adian menyatakan bahwa umat Islam harus mampu menghadirkan satu lapis ulama yang hebat untuk menyongsong kebangkitan Islam pada 2045 mendatang. Ini artinya, umat Islam hanya punya waktu 20 tahunan untuk menyiapkan kader ulama yang hebat dan berwibawa.

Tentu saja ini membutuhkan konsep yang jelas dan roadmap yang benar. Karena melahirkan ulama bukan pekerjaan mudah. Karena ternyata, Nabi Muhammad sudah memberikan contoh mengenai ini. Dimana beliau tidak hanya meninggalkan Al-Quran dan Sunnah, tetapi meninggalkan ulama (para mujtahid) dan pejuang (mujahid). Inilah yang kurang disadari oleh umat Islam selama ini. Padahal, umat ini sangat membutuhkan bukan saja ulama, tetapi ulama yang mujahid.

Kedua, problem adab. Ini juga problem besar umat Islam hari ini. Karena mereka sudah lama mengidap penyakit loss of adab (keruntuhan adab), sehingga mayoritas umat tak lagi mampu menempatkan segala hal secara adil. Dalam kasus keilmuan, misalanya, umat ini sudah banyak yang tidak tahu lagi mana ilmu-ilmu fardhu ayn dan ilmu-ilmu fardhu kifayah. Sehingga, mereka tidak mampu lagi membangun fikih prioritas, dalam bahasa Syeikh al-Qaradhawi (1926-2022).

Padahal, ilmu-ilmu fardh ayn harus lebih diutamakan oleh umat ini. Karena ilmu-ilmu ini (seperti: cara thaharah, shalat, zakat, puasa, dll) merupakan fondasi agama. Tetapi, hari ini banyak yang sudah melupakan bahkan meninggalkannya. Inilah yang oleh para ulama kita yang terus-menerus diingatkan dalam banyak karya mereka. Misalnya, Imam al-Ghazālī (450-505 H) dalam Ihyā-nya sampai Prof. Dr. SMN al-Attas (lahir 1931) dalam banyak karyanya (seperti: Risalah untuk Kaum Muslimin, Islam and Secularism, dan lainnya).

Ini memang menjadi tanggung jawab umat secara keseluruhan, khususnya para ulama. Karena kekeliruan dalam memosisikan dan mengategorikan ilmu akan berakibat fatal dalam keberagamaan umat. Lebih fatal lagi, karena akan menghambat kebangkitan karena umat tak tahu lagi skala prioritas dalam kehidupannya.

Ketiga, problem pendidikan tinggi. Sederhananya, problem konsep universitas. Karena, idealnya, universitas itu melahirkan a good man (manusia yang baik) sekaligus a universal man (manusia kulliy, universal), bukan parsial. Inilah tujuan utama pendidikan yang terus digaungkan oleh Prof. Al-Attas dan murid beliau, Prof. Wan.

Dari universitas seharusnya muncul tokoh-tokoh panutan dan ulama yang menjadi “suluh” umat dalam kegelapan. Tetapi, karena kebanyakan makna dan tujuan pendidikan di universitas (khususnya Islam) keliru, maka tak melahirkan manusia beradab. Karena yang berkembang justeru confusion (kebingungan dan kerancuan). Padahal, universitas Islam adalah “Mikrokosmos” (alam shaghīr, alam kecil), seperti dijelaskan Prof. Wan Daud ketika menjelaskan pemikiran Prof. Al-Attas mengenai universitas.

Bukan hanya itu, kurikulum dan metode pendidikan harus menjadi perhatian serius. Hal ini tak dapat dilepaskan dari fondasi dan persiapan spiritual, peran otoritas guru, mengetahui hierarki ilmu, ditambah lagi urgensi bahasa, metode tauhid, fungsi saluran ilmu (pancaindra, akal dan intuisi), dan lainnya dalam metode pendidikan itu. (Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy Zarkasyi, M. Arifin Ismail, dan Iskandar Arnel (Bandung: Mizan, 1424/2003), 207-214; 255-323).

Tentu saja, terkait dengan isu-isu pemikiran dan kebangkitan Islam, khususnya di Dunia Melayu, tak dapat dipisahkan dari pemikiran dan gagasan Prof. Al-Attas. Inilah yang banyak disinggung oleh Dr. Adian dalam perbincangan kami. Dan, beliau menegaskan berkali-kali pentingnya memahami pemikiran Prof. Al-Attas melalui buah karya muridnya, khususnya Prof. Wan. Karena banyak ide-ide dan gagasan Prof. Al-Attas yang tidak tertulis tetapi disampaikan langsung kepada murid-muridnya.

Bagi penulis, bincang-bincang bersama Dr. Adian tak hanya membuka cara berpikir tetapi menitipkan pesan. Pesannya menyangkut tantangan umat kedepan dan solusi dan langkah apa yang harus diambil. Dan beberapa poin dalam tulisan ini agaknya bisa menjadi renungan awal. Wallahu a‘lam bis-shawab.*/Medan, Senin, 7 November 2022

Dosen “Islamic Worldview” di STIT Ar-Raudlatul Hasanah dan Mahasiswa Doktor Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Darussalam Gontor)

 

 

<<Kembali ke posting terbaru

"BERPIKIRLAH SEJAK ANDA BANGUN TIDUR" (Harun Yahya)