“Orientalis” Indonesia
TULISAN ini diilhami oleh pengantar Syekh Muhammad al-Ghazālī (1917-1996) dalam bukunya ‘Zhalām min al-Gharb’.[1] Dalam pengantarnya, pemikir besar jebolan Al-Azhar ini menyatakan sebagai berikut:
هناك مستشرقون مصريون!! ولدوا فى
بلادنا هذه، ولكن عقولهم وقلوبهم تربت فى الغرب، ونمت أعوادهم مائلة إليه، فهم
أبدا تبع لما جاء به!!
“Ada banyak orientalis Mesir. Mereka lahir di
negara kita ini, namun akal mereka terdidik di Barat, pohon mereka condong ke
sana, dan mereka selamanya menjadi konsumen apa saja yang dibawa oleh Barat.”
Boleh juga, sepertinya memang demikian, penulis
menyebut demikian di Indonesia. Bahwa di sini, di negeri ini, banyak
“orientalis Indonesia”. Mereka lahir di Indonesia, lalu belajar ke Barat. Ketika kembali ke Indonesia ternyata akal mereka
“di-Barat-kan” (westernized): diliberalkan, disekularkan dan bisa jadi
“dimurtadkan”. Cara berpikirnya sudah jauh meninggalkan “pangkalan Islam”,
dalam istilah Buya Hamka.
Pemikiran “orientalis Indonesia” ini memang
pro-Barat: cinta produk pemikiran mereka dan tergila-gila padanya. Anehnya, itu
dipandang progressif, ilmiah, dan kritis. Padahal, secara tak sadar mereka sedang dijadikan “pion” pemikiran para orientalis. Akhirnya, semua yang berbau agama (Islam) coba
dihilangkan. Apalagi yang berkaitan dengan Al-Qur’an, Nabi Muhammad, aqidah,
dan syariat.
Dan, kaum “orientalis Indonesia” ini semua ngakunya
Muslim. Dan agar dinilai baik dan ramah, mereka mengklaim bahwa mereka paling
toleran, paling humanis, bahkan menyatakan dirinya paling nasionalis. Padahal,
jika ditelisik, klaim-klaim mereka “jauh panggang dari api”.
Mereka penulis sebut sebagai “orientalis Indonesia”
alasannya seperti istilah “orientalis Mesir”, seperti yang disebut oleh Syekh
al-Ghazālī, yaitu:
إنهم من جلدتنا، ويتكلمون
بألسنتنا، بيد أنهم خطر على كياننا! لأنهم كفار بالعروبة والإسلام، أعوان — عن
اقتناع أو مصلحة — للحرب الباردة التي يشنها الاستعمار علينا، بعد الحرب التي مزق
بها أمتنا الكبيرة خلال قرن مضى
“Mereka berasal dari bangsa kita. Berbicara dengan
bahasa kita. Namun, mereka membahayakan identitas (eksistensi) kita. Karena
mereka ini kufur terhadap Arabisme dan Islam, menjadi perpanjangan-tangan —
karena keinginan sendiri atau karena kepentingan tertentu — bagi perang dingin
yang disulut oleh kaum penjajah terhadap kita, usai perang yang telah
mencabik-cabik umat kita yang besar ini seabad yang lalu.”
Itulah kerja “orientalis Mesir” dan “orientalis Indonesia”. Mereka membenci yang berbau Islam. Caranya: mereka menolak yang ke-Arab-araban. Mereka ingin merusak keyakinan umat Islam melalu bahasa Wahyu: bahasa Arab. Awalnya dari bahasa, kemudian merusak Al-Qur’an, aqidah, dan syariat.
Menyerang Kesucian Al-Qur’an
Pembukuan (kodifikasi) Al-Qur’an diragukan oleh
para orientalis. Sumbernya dibilang dari Yahudi dan Nasrani. Ini kata para
orientalis.
Misalnya, dapat dibaca dalam kompilasi Ibn Warraq yang memuat
tulisan para orientalis yang kebenciannya terhadap Islam sudah di ubun-ubun,
terutama karena sakit hati mereka terhadap Al-Qur’an sebagai Wahyu yang terjaga
sampai akhir masa (Qs.16:9). Maka,
mereka coba merusaknya lewat studi Al-Qur’an yang mereka geluti. Sebut saja, misalnya, Theodor Nöldeke, Leone
Caetani, Alphonse Mingana, Arthur Jeffery, David Margoliouth, Abraham Geiger,
dan banyak lagi.[2]
Semua orientalis itu menyerang Al-Qur’an dengan
berbagai tuduhan yang tak berdasar. Orientalis Yahudi, seperti Abraham Geiger
dan Charles Cutler Torrey, mengatakan bahwa Nabi Muhammad banyak meminjam
istilah-istilah Yahudi dan memasukkannya ke dalam Al-Qur’an. Yang Nasrani,
seperti Arthur Jeffery, menyodorkan isu adanya varian Sūrah al-Fātihah dan
teori adanya ayat-ayat yang hilang dari Al-Qur’an. Supaya terkesan ilmiah dan
kritis, pandangannya ini disandarkan kepada Abū ‘Ubayd al-Qāsim ibn Sallam
(154-244 H) dalam bukunya Fadhā’il al-Qur’ān. Padahal, tidak ada
ayat Al-Qur’an yang hilang.
Para “orientalis Indonesia” pun menyerang Al-Qur’an
dan ini dilakukan secara massif. Misalnya, mereka
menerbitkan buku ‘Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an’, yang pada 2001
bukunya diulas dan didiskusikan oleh kaum liberal. Kandungannya tak jauh
berbeda dengan pandangan orientalis. Misalnya, Al-Qur’an itu tak lepas dari
unsur manusiawi dan tak terpisah dengan konteks kesejarahan yang mengitarinya,
dan lain sebagainya.
Penulis buku ‘Lubang Hitam Agama’ bahkan
menyatakan bahwa kesucian Al-Qur’an adalah palsu. Kodifikasinya pun politis
sekali. Bahkan, di dalamnya ada “jebakan suku Quraisy”. Jelas semua ini tuduhan tak berdasar. Ini lebih berani dari
orientalis yang “asli”.
Begitu juga dengan tim penulis Metodologi
Studi Al-Qur’an (Jakarta: Gramedia, 2009) yang ditulis oleh “trio
liberalis” aromanya juga sama. Mengkritik sakralitas Al-Qur’an.
Kesannya: Al-Qur’an itu sakral (suci) karena disakralkan.
Ada juga yang menulis buku Menggugat Otentisitas
Wahyu Tuhan, dan penulis lainnya yang jelas sekali “racun” orientalisnya
jelas tercium dari lisan dan pena mereka. Karena kesimpulannya: Wahyu Tuhan
“bersembunyi” di balik budaya. Dan jika ditelusuri lebih dalam, tulisan ini jelas
dipengaruhi dari Nasr Hāmid Abū Zayd, liberalis asal Mesir yang “kabur” ke
Leiden, Belanda, yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah muntāj tsaqāfī’ alias
‘produk budaya’. Bau orientalisnya amat menyengat.
Menyerang Nabi Muhammad
Nabi Muhammad ﷺ terus
dicela. Para sahabatnya pun tak lepas dari dicaci-maki. Misalnya, Sayyidina Abū
Hurayrah itu tokoh fiktif. Padahal orientalis saja hanya menyatakan bahwa Abū
Hurayrah terlalu banyak meriwayatkan hadits, padahal hanya sebentar ikut Nabi. Mereka lupa pernyataan Abdullah ibn ‘Umar ibn
al-Khatthāb,
يا أبا هريرة، أنت كنت ألزمنا
لرسول الله صلى الله عليه وسلم وأحفظنا لحديثه
“Duhai Abū Hurayrah, engkau adalah orang yang
paling lekat dengan Nabi dan orang yang paling hafal (menjaga) akan hadits-haditsnya.” (HR: at-Tirmidzī dan al-Hākim).
Dan doa Abū Hurayrah diaminkan oleh Rasulullah
ketika berdoa:
اللهم إني أسألك مثل سألك صاحباي
هذان، وأسألك علما لا ينسى، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (آمين)، فقلنا: يا
رسول الله، ونحن نسأل الله علما لا ينسى، فقال: سبقكما بها الدوسي
“Ya Allah, aku meminta kepada-Mu yang telah diminta
oleh kedua sahabatku ini (maksudnya: Zayd ibn Tsābit dan seorang sahabat
lainnya) dan aku memohon kepada-Mu agar mengaruniakan kepadaku ilmu yang tak
dilupakan (tidak lupa, ingat selamanya), lalu Rasulullah mengatakan: ‘Āmīn’.
Lalu kami pun (Zayd ibn Tsābit dan temannya) berkata pula: ‘Wahai Rasulallah,
kami pun meminta kepada Allah agar diberi juga ilmu yang tak lupa’. Kata Nabi,
‘Kalian terlambat. Sudah didahului oleh laki-laki dari suku Daus tadi (Abū
Hurayrah).”[3]
Bahkan, menurut Imam as-Syāfi‘ī (150-204 H):
أبو هريرة أحفظ من روى الحديث فى
دهره
“Abū Hurayrah adalah orang yang paling hafal hadits
di zamannya.”[4]
Dan menurut Imam al-Bukhārī: “Sekitar 800 orang
ulama yang telah meriwayatkan hadits Nabi dari Abū Hurayrah. Dan dia adalah
seorang yang paling hafal hadits di zamannya.”[5] Dan benar, Abū Hurayrah dalam waktu tiga tahun
bersama Rasulullah mampu menghafal dan menjaga hadits Rasulullah sebanyak 5374
hadits. Jumlah yang fantastis. Itulah buah doanya yang diaminkan oleh
Rasulullah.
Jadi, wujud Abū Hurayrah itu ada. Pasti. Bukan fiktif. Apalagi ia
sosok yang diadakan oleh sekelompok orang. Ini tuduhan tak ilmiah sama sekali. Sebaliknya,
secara ilmiah terbukti beliau adalah salah seorang Sahabat Rasulillah.[6]
Jadi, “orientalis Indonesia” lebih berani daripada
orientalis aslinya ketika mengatakan bahwa sosok Abū Hurayrah itu tidak ada.
Bahkan, ‘adālah para Sahabat dikritik habis-habisan. Akhirnya, ada yang
berani menyatakan Sahabat Nabi kafir dan murtad. Ini jelas gaya Syiah: sekte
sempalan yang didirikan oleh si Yahudi yang bernama Abdullah ibn Saba’. Maka,
mereka menuduh bahwa setelah Nabi wafat semua orang (sahabat) murtad. Dengan
jelas tertulis seperti berikut ini:
كان الناس أهل الردة بعد النبي،
إلا ثلاثة.
“Semua manusia murtad seteleh Nabi (wafat), kecuali
tiga orang.”
Ketiga orang itu adalah: al-Miqdād ibn al-Aswad,
Abū Dzar al-Ghiffārī, dan Salmān al-Fārisī.[7] Nah, jika para Sahabat dikatakan murtad, kembali kufur,
maka Rasulullah gagal mengkader umat. Itu maknanya, Islam yang ada adalah tidak
benar. Dan tentunya pandangan
ini bertolak-belakang dengan fakta sejarah dan
keilmuan yang aksiomatik. Tentu saja ini tidak benar. Karena para Sahabat
digelar langsung oleh Allah dalam Al-Qur’an sebagai: as-Sābiqūna
al-Awwalūna (Generasi Awal) yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar.
Mereka semua diridhai oleh Allah dan mereka ridha kepada Allah. Bahkan, Allah
telah siapkan surga untuk mereka. Mereka kekal di dalamnya (Qs.9:100).
Mendekonstruksi Syariah
Para orientalis adalah pembenci syariat Islam.
Segala hal yang berkaitan dengannya tak luput dari hujatan mereka. Mereka
membenci syariat poligami, fara’idh (kewarisan), hudud (rajam,
potong tangan, qishash), dan lainnya. Sebaliknya, mereka
malah ingin mendekonstruksi hukum syariat itu sendiri. Maka muncullah gerakan
asing dan aneh, seperti LGBTQ, yang terus digaungkan atas nama kebebasan dan
HAM. Kemudian, para “orientalis Indonesia” pun
ramai-ramai mendukungnya. Bahkan sekelas “Prof. Dr” yang nota-bene Muslim pun
ikut melegitimasinya.
Kondisi ini sejatinya menguatkan pandangan yang
menyatakan bahwa “perang pemikiran” itu ada dan nyata. Dan apa yang pernah disinyalir
oleh Nabi Muhammad sebagai “masuk lubang biawak” kian kemari kain kentara.
Semoga Allah senantiasa memberi taufiq-Nya agar kita istiqamah di
jalan-Nya. Wallāhu a‘lam bis-shawāb.[]
[1] Lihat
Syekh Muhammad al-Ghazālī, Zhalām min al-Gharb (Damaskus: Dār al-Qalam,
cet. II, 1440/2019).
[2] Lihat, Ibn Warraq
(ed.), The Origins of the Koran: Classic Essays on Islam’s Holy Book (New
York: Prometheus Books, 1998).
[3] (HR: al-Hākim,
al-Mustadrak (3/508).
[4] Imam Syamsuddīn
ad-Dzahabī, Tadzkirah al-Huffāzh (1/36); Imam Ibn Hajar
al-‘Asqalānī, al-Ishābah fī Ma‘rifat as-Shahābah (4/205).
[5] Imam
Ibn Hajar, al-Ishābah (4/206).
[6] Lihat, Dr. al-Hārits ibn Sulaymān, Abū Hurayrah Shāhibu
Rasūlillāh wa Khādimuhu: Dirāsah Hadītsiyah Tārīkhiyah Hādifah (Kuwait:
Maktabah Kuwait al-Wathaniyyah, 2007).
[7] Lihat, Abū ‘Amr Muhammad ibn
‘Umar ‘Abd al-‘Azīz al-Kisysyī, Rijāl al-Kisyyī (Beirut-Lebanon: Mu’assasah
al-A‘lamī li al-Mathbū‘āt, 1430 H/2009), 14.
0 Comments:
Posting Komentar
<<Kembali ke posting terbaru