Membumikan Kalām di Perguruan Tinggi: Kontribusi Amal Fathullah Zarkasyi
*)Qosim Nurseha Dzulhadi,
Dosen Islamic Worldview di STIT Ar-Raudlatul Hasanah Medan & Mahasiswa Program Doktor Ilmu Aqidah & Filsafat Islam di Universitas Darussalam Gontor
____
“Fungsi Ilmu Kalām itu ada dua:
membentengi Aqidah dan merespons berbagai pemikiran yang bertentangan dengan
Aqidah itu ” (Amal Fathullah Zarkasyi)
Alhamdulillah,
segala puji dan syukur kepada Allah penulis haturkan. Apa hal? Karena hari ini
(Senin, 21 Shafar 1444/19 September 2022) telah berakhir perkuliahan dengan
Prof. Dr. Amal Fathullah Zarkasyi. Bersyukur karena beliau sampai tuntas menyampaikan
materi Ilmu Kalām dalam keadaan sehat walafiat. Sehingga kami, para
Mahasiswanya, dapat menerima ilmu dari beliau dengan baik. Kesyukuran lainnya,
karena kami mendapatkan Ilmu Kalām langsung dari salah seorang pakarnya.
Apalagi materi yang diampu sangat menarik: ‘Ilmu Kalām Kontemporer’, “New
Kalām” atau ‘Ilm al-Kalām al-Jadīd atau biasa juga disebut dengan
‘Ilmu al-Kalām al-Mu‘āshir’ (Ilmu Kalām Kontemporer). Selama belajar bersama
Prof. Amal kami sangat asyik. Karena beliau menyampaikan materi Ilmu Kalām
Kontemporer dengan penuh semangat, kaya informasi, memotivasi untuk kritis
tetapi objektif dan argumentatif.
Tulisan
ini sejatinya hanya ungkapan kesyukuran kepada Allah karena menjadi salah
seorang mahasiswa Prof. Amal. Secara pribadi, sejak di Program Magister
(2009-2011) penulis sudah “berguru” kepada beliau dalam materi yang sama.
Penulis masih ingat ketika itu mendapat tugas menulis paper dalam bahasa Arab
dengan tajuk ‘al-Syī‘ah wa Ārā’uhā al-Kalāmiyah’ (Syiah dan Pemikiran Kalāmnya). Dan kali ini,
penulis ingin sedikit menuliskan kontribusi beliau dalam “membumikan” Kalām di
Perguruan Tinggi Islam, khususnya di Universitas Darussalam Gontor.
Sekilas Sejarah Kalām
Ilmu
Kalām merupakan ilmu yang unik dalam Islām. Unik karena lahir dari milieu
keilmuan yang genuine Islām. Jadi, Kalām tidak berasal dari tradisi agama lain,
seperti tuduhan Peter dan William Montgomery Watt (Kalām non-Qur’anic
argumentu). Joseph van Ess dan Michael Cook menyatakan bahwa formula debat
dalam Kalām diadopsi dari teks Yunani atau Syiriak. (Prof. Dr. Hamid Fahmy
Zarkasyi, A New Framework for the Study of Islamic Philosophy: A Worldview
Approach (Ponorogo: Unida Gontor Press, 2022), 11).
Padahal,
yang benar, embrio Kalām sudah ada di zaman Kenabian. Karena debat sudah
terjadi antara Rasulullah dengan kaum Ahli Kitab. Dan, perkara-perkara Aqidah
banyak yang ditanyakan oleh para Sahabat kepada Nabi. Itu sebabnya Kitab-kitab
Hadits sudah memuat perkara-perkara tentang Qadar, Iman, Penciptaan, Tawhīd.
Contoh
kecil, ketika Rasulullah bertanya kepada seorang hamba sahaya perempuan: “Di
mana Allah? Dia menjawab: “Di langit.” Kata Rasulullah kemudian: “Merdekakan
dia, karena beriman.” Dan banyak lagi contoh. (Lebih luas, lihat Muhammad
al-Sayyid al-Jalayand, al-Tamhīd li Dirāsat ‘Ilm al-Kalām (Kairo:
al-Maktabah al-Azhariyyah li al-Turāts, 1441/2020), 13-27).
Menurut
Prof. Amal, banyak faktor juga dalam melahirkan Kalām, faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internalnya ada
dua: beda pendapat tentang takwil sebagian teks agama dan clash politik.
Sementara faktor eksternal pertemuan umat Islām dengan penganut agama lain,
peradaban lain dan gerakan penerjemahan buku-buku. (Prof. Amal Fathullah, Dirāsah
fī ‘Ilm al-Kalām, 14). Diantara penganut agama yang berbeda itu ada
Kristen, kaum Sabea, Buddha, Magia dan Zoroastrian. (Alparslan Açikgenç, Islamic
Scientific Tradition in History (Kuala Lumpur: Penerbit IKIM, 2014), 213).
Tentu
lebih lanjut mengenai sejarah Ilmu Kalām dapat dirujuk karya-karya yang lain.
Apa yang penulis sampaikan hanya sepintas dan ringkas.
Kalām: Definisi dan Fungsi
Prof.
Amal termasuk sedikit dari intelektual Indonesia, mungkin juga di Asia
Tenggara, yang serius mempelajari dan mengajarkan Kalām. Baginya, Kalām
merupakan bagian yang tidak bisa dipisahhkan dari Aqidah Islām.
Tentang
apa itu Ilmu Kalām, Prof. Amal mendefinisikannya dengan mengutip sekian banyak
pandangan ulama dan expert dalam Ilmu Kalām. Beliau mengutip Imam al-Baydhāwī
dan Imam ‘Adhuddīn al-Ījī: “Ilmu Kalām adalah ilmu yang (dengannya) dapat
meneguhkan keyakinan agama di hadapan orang lain (selain Muslim) dengan cara
menyampaikan hujjah (bantahan rasional) dan menolak berbagai keraguan.”
Beliau
juga mengetengahkan pandangan Imam Sa‘duddīn al-Taftāzānī: “Ilmu Kalām
adalah ilmu yang mengulas keyakinan agama dengan menggunakan bukti-bukti
rasional.” Sementara menurut Syekh Muhammad Abduh (w. 1905) Ilmu Kalām
adalah: “Ilmu yang membahas eksistensi Allah; tentang sifat-Nya, apa yang
boleh dinisbatkan kepada-Nya, apa yang wajib dinafikan dari-Nya, dan membahas
tentang kenabian dan yang berkaitan dengan para nabi/rasul.”
Selain
mereka, Prof. Amal juga menyebutkan definisi Ibn Khaldūn, Filsuf Abū Nasr
al-Fārābī, Imam al-Jurjānī (w. 817 H) dan Imam Thāsyī Kubrā Zādah
(Taşköprülüzade) (w. 948 H). (Prof. Dr. Amal Fathullah Zarkasyi, Dīrāsah fī
‘Ilm al-Kalām: Tārīkh al-Madzāhib al-Islāmiyyah wa Qadhāyāhā al-Kalāmiyyah
(Ponorogo: Unida Gontor Press, 2020), 3-4).
Dari
sana dapat dimengerti bahwa Prof. Amal sangat menguasai Kalām sekaligus aliran
pemikiran dalam Islām. Karena karyanya Dirāsah fī ‘Ilm al-Kalām mengulas
aliran Khawārij, Qadariyah (Muktazilah), Jabariyah, Murji’ah, Syiah dan Ahl
al-Sunnah wa al-Jamā‘ah. Dan Kalām ini tidak dapat dipisahkan dari Aqidah
(Tawhīd). Karena ia semacam alat atau “benteng” Aqidah itu sendiri. Itu yang
dapat dipahami dari berbagai definisi di atas.
Selain
definisi, apa yang disebutkan di atas memuat satu poin penting dari Ilmu Kalām,
yaitu fungsi. Dan menurut Prof. Amal fungsi Kalām itu ada dua: (1) membela
Aqidah dan (2) merespons (membantah) pemikiran yang bertentangan dengan
Aqidah/menyerang atau merusak Aqidah. (Lihat, Amal Fathullah Zarkasyi, al-Nushūsh
al-Kalāmiyah (Ponorogo: Darussalam Press, 1436 H/2015), ز-ح
Fungsi
Ilmu Kalām yang disebutkan oleh Prof. Amal sejalan dengan fungsi yang
disampaikan oleh para ulama. Selain yang disebutkan sebelumnya, penting kiranya kembali ditegaskan di sini
tentang fungsi Kalām itu. Misalnya,
menurut Hujjatu’l-Islām Imam Abū Hāmid al-Ghazālī (450-505 H) yang menyebutkan
fungsi Ilmu Kalām itu adalah: “Hifzh ‘Aqīdat Ahl al-Sunnah wa Hirāsatuhā min
Tasywīsy Ahl al-Bid‘ah (Memelihara Aqidah Ahlus-Sunnah dan membentenginya dari
pemikiran-pemikiran ahli bid‘ah). (Imam Abū Hāmid al-Ghazālī, al-Munqidz
min al-Dhalāl, ed. Mahmūd Bījū (Suriah: Dār al-Taqwā/Yordania: Dār al-Fath,
1992), 39.
Hal yang mirip disebutkan oleh Ibn Khaldūn
(732-808 H) ketika menjelaskan apa itu Ilmu Kalām. Dia menyebutkan di dalam
Muqaddimah-nya, “Huwa ‘ilm yatadhammanu al-hijāj ‘an al-‘aqā’id al-īmāniyyah
bi’l-adillah al-‘aqliyyah wa al-radd ‘alā al-mubtadi‘ah al-munharifīn fī al-i‘tiqādāt
‘an madzhab al-Salaf wa Ahl al-Sunnah wa sirr hādzihi al-‘aqā’id al-īmāniyyah
huwa al-Tawhīd” (Satu ilmu yang menghimpun berbagai hujjah/bantahan
rasional dalam membentengeni aqidah-keimanan dengan menggunakan dalil rasional
dalam membantah pemikiran ahli bid‘ah yang menyimpang dari mazhab Salaf dah
Ahlus-Sunnah. Dan rahasia aqidah-keimanan ini adalah Tawhid). (Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah,
ed. Abdullah Muhammad Darwīsy (Damaskus: Maktabah al-Hidāyah, 1425 H/2004):
(2/205).
Jadi,
Kalām menurut para ulama dan Prof. Amal adalah ilmu alat: pengetahuan yang
memuat how to ‘menguatkan keyakinan internal dan membantah serangan eksternal’.
Poin inilah yang berulang-ulang disampaikan oleh Prof. Amal di dalam kelas:
“Ilmu Kalām itu li barhanat ‘alā haqīqati’l-Islām (meneguhkan kebenaran Islām)
wa radd al-syubuhāt (membantah berbagai upaya musuh dalam meragukan kebenaran
Islam).
Buah Pena dan Pemikiran
Dalam upaya
“membumikan” Kalām di Perguruan Tinggi Prof. Amal benar-benar serius. Hal ini
dapat dibuktikan dengan banyaknya “buah pena” beliau yang seluruhnya berporos
pada Kalām-Aqidah-Tawhīd. Karyanya
sudah dimulai ketika beliau menulis tesis Master di Universitas Kairo, Dār
al-Ulūm pada 1407 H/1986 M dengan judul ‘al-Ittijāh al-Salafī fī al-Fikr
al-Islāmī al-Hadīts bi Indūnīsiyā’ (Aliran Salafi dalam Pemikiran Islām
Modern di Indonesia).
Kemudian,
disusul oleh karya-karya yang lain, seperti: Dirāsah fī ‘Ilm al-Kalām
(2003, cet ke-5, 2020); ‘Aqīdat al-Tawhīd ‘inda al-Falāsifah, wa
al-Mutakallimīn wa al-Shūfiyah (2009, cetakan ke-4, 2021); Konsep Tauhid
Ibn Taymiyyah dan Pengaruhnya di Indonesia (Ponorogo: Darussalam University
Press, 2010; Nazhariyat al-Fanā’
‘inda Abī Yazīd al-Bisthāmī (2015); al-Nushūsh al-Kalamiyah
(1436/2015); dan lainnya.
Selain
buku, Prof. Amal juga menulis beberapa tulisan di jurnal ilmiah dalam tema yang
sama: Kalām-Aqidah-Tawhīd. Pada 1430 H Prof. Amal menulis tentang “al-Salaf
wa al-Salafiyah fī al-Fikr al-Islāmī” (Jurnal Tsaqafah, Vol. 5, No. 1
(Jumadal Ula 1430): 181-211). Kemudian menulis “Ma‘ālim al-Fikr al-Islāmī
Qabla Zhuhūr al-Ittijāhi al-Salafī bi Indūnīsiyā”.
Pada
2010 beliau menulis “Dzāt dan Sifat Allah dalam Konsep Tauhid Mu‘tazilah”
(Jurnal Islamica, Vol. 5, No. 1 (September 2010): 190-199). Di tahun yang sama
beliau menulis “Aqīdat al-Tawhīd bayna al-Tashawwuf al-Sunnī wa al-Tashawwuf
al-Falsafī” (Jurnal Tsaqafah, Vol. 6, No. 2 (Oktober 2010): 379-398). Dan
pada April 2011 beliau menulis “Aqidah al-Tawhīd ‘inda Ibn Taymiyyah”
(Jurnal Tsaqafah, Vol. 7, No. 1 (April 2011): 191-211).
Ide
Prof. Amal tentang pembaruan pemikiran dapat dapat dibaca dalam “Tajdid dan
Modernisasi Pemikiran Islam” (Jurnal Tsaqafah, Vol. 9, No. 2 (November
2013): 396-417). Dalam tulisannya ini Prof. Amal mendudukkan makna dan hakikat ‘tajdīd’
(pembaruan) dalam Islām. Tulisan Prof. Amal yang satu ini amat menarik. Maka
penulis ingin sedikit mengulasnya. Karena di dalamnya Prof. Amal mengkritik
ide-ide modernisasi yang tidak sesuai dengan ruh tajdīd yang benar.
Misalnya, Prof. Amal mengkritik modernisasi ala Syed Ahmad Khan (1817-1898).
Karena pembaruan kurikulum yang dilakukannya malah bukan kurikulum Islami.
Kurikulum pendidikannya meniru Barat. Dan pemikirannya yang berbau “inkar
al-sunnah” dikritik oleh Sayyid Jamāluddīn al-Afghāni via karyanya al-Radd ‘alā
al-Dahriyyīn. Kemudian
Prof. Amal juga mengkritik Sir Muhammad Iqbal. Kata Prof. Amal, sekalipun Iqbal
mengkritik peradaban Barat tetapi dia amat mengagumi reformasi Kemal Attaturk
yang sekuler.
Selain
Ahmad Khan dan Iqbal, Prof. Amal juga mengkritik modernisasi ala Qasim Amin
dari Mesir. Walaupun tidak pakar dalam ilmu agama, Qasim Amin kerapa kali
berbicara hijab, talak, poligami, bahkan mengusulkan agar wanita Muslimah
melepaskan diri dari tradisi-tradisi masa lalu, untuk kemudian meniru Barat.
Berkenaan
dengan pemikiran Qasim Amin itu, penulis jadi ingat kepada kata hikmah dari
Imam Ibn Hajar al-‘Asqalānī, “Man takallama fī ghayri fannihi atā
bi’l-‘ajā’ib” (Siapa saja yang bicara pada bidang yang tak dikuasainya maka
hanya akan mengeluarkan hal-hal lucu nan aneh). Karena yang dilakukan oleh
Qasim Amin, Prof. Amal, bukan ‘tajdīd’ melainkan “taghrīb”
(westernisasi).
Kemudian
Prof. Amal juga mengkritik modernisai sekuler ala Ali Abd al-Rāziq yang menolak khilafah. Dan, dia menyesuaikan
hukum-hukum Al-Qur’ān, sunnah dan fiqih dengan pemikiran Barat. Kritik-kritik
Prof. Amal terhadap modernisasi beberapa pemikir di atas sejatinya itulah
aplikasi dan fungsi Kalām. Ia digunakan untuk merespons pemikiran yang
menyimpang dan keluar dari koridor Islām. Maka amat aneh kalau ada yang
mengharamkan belajar ilmu ini. Padahal sejak awal Imam Abū al-Hasan al-Asy‘arī
(260-323 H/873-935) sudah memberikan alasan mengapa belajar ilmu Kalām itu
penting dalam karyanya Risālah fī Istihsān al-Khawdh fī ‘Ilm al-Kalām.
Sama seperti yang sudah disampaikan oleh Imam al-Ghazālī dalam al-Munqidz
min al-Dhalāl sebelum ini. Dan tentang pengaruh gerakan Salaf di Indonesia, Prof.
Amal menulis “Ta’tsīr al-Harakah al-Salafiyah bi Mishr ‘alā al-Mujaddidīn bi
Indūnīsiyā fī Tathwīr al-Tarbiyah al-Islāmiyyah” (Jurnal Studia Islamika,
Vol. 20, No. 2 (Agustus 3013): 274-324).
Kemudian,
Prof. Amal juga mengkritik pandangan Prof. Fauzan Saleh dalam “Benarkah Kita
Murji’ah? Catatan atas Artikel Prof. Dr. Fauzan Saleh” (Jurnal Tsaqafah,
Vol. 10, No. 2 (November 2014): 413-422). Tulisan Prof. Fauzan Saleh yang
dikritik oleh Prof. Amal tajuknya “Kita Masih Murji’ah: Mencari Akar Teologi
Pemahaman Umat Islām Indonesia” (Jurnal Tsaqafah, Vol. 7, No. 2 (Oktober
2011).
Dalam
tulisannya Prof. Amal meluruskan beberapa kekeliruan Prof. Fauzan Saleh.
Misalnya, pernyataan Prof. Fauzan Saleh bahwa Khalifah Utsman melakukan
nepotisme, karena mengangkat Amr ibn Ash sebagai Gubernur Mesir, Muawiyah sebagai
Gubernur Syam dan Sa‘ad ibn Abī Waqqāsh sebagai Gubernur Irak dan Persia. Jelas
ini tuduhan tak berdasar dan cukup gegabah. Apalagi yang dituduh adalah
generasi terbaik umat ini, Sahabat Nabi.
Kata
Prof. Amal, tampaknya dalam masalah agama Prof. Fauzan Saleh merujuk pendapat
kaum orientalis. Ini tentu bahaya dan pasti sukar objektif. Namanya juga
orientalis. Mereka itu ibarat “musang berbulu ayam”. Licik. Masalah pengertian Aswaja, Prof.
Fauzan juga keliru. Karena ia hanya memasukkan Maturidi dan Asy‘ari. Yang
benar, kata Prof. Amal, Aswaja adalah yang berpegang kepada sunnah Rasulullah.
Mereka ini adalah para Sahabat, Tabi’in dan para Imam yang mengikuti hidayah mereka. Prof.
Amal kemudian menyimpulkan bahwa Aswaja itu adalah: golongan Salaf, karena berpegang
teguh kepada Al-Qur’ān dan hadits Rasulullah, baik tersirat maupun tersurat,
serta berpegang kepada sunnah para Sahabat. Maka, siapa saja yang berpegang
kepada Al-Qur’ān, sunnah Nabi dan sunnah para Sahabat, maka dia Aswaja.
Dan,
pada 2020 bersama Prof. Hamid, Tonny Ilham Prayogo dan Rahmat Ardi Nur Rifa
Da’i menulis “Ibn Rushd’s Intellectual Strategies on Islamic Theology”
(Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol. 20, No. 1 (Februari 2020): 19-34). Tentu Ibn
Rusyd adalah Filsuf sekaligus mutakallim (teolog).
Menggagas Kalām Jadīd
Diantara
kedalaman pemahaman Prof. Amal mengenai Ilmu Kalām adalah gagasannya untuk
mewujudkan Ilm al-Kalām al-Jadīd/al-Mu‘āshir (Ilmu Kalām Baru
atau Kontemporer). Dan jika
merujuk bukunya yang berjudul ‘Dirāsah fī ‘Ilm al-Kalām’ maka akan
ditemukan satu bab khusus mengenai ulasan Ilmu Kalām Kontemporer ini. Di bab
ke-5 buku beliau sebutkan tentang ‘al-Mutakallimūn fī al-‘Ashr al-Hadīts’
(Mutakallim di Era Modern). Maka, disebutlah dua tokoh penting (guru dan
murid), yaitu: Sayyid Jamāluddīn al-Afghāni dan Syekh Muhammad Abduh. (Prof.
Amal, Dirāsah fī ‘Ilm al-Kalām, 319-385).
Dan
di awal perkuliahan tentang materi ini, Prof. Amal tak hanya menyinggung
al-Afghāni dan Abduh, tapi lebih banyak lagi. Semua nama-nama hebat beliau masukkan
ke dalam daftar “Mutakallim Kontemporer”. Maka disebutlah nama Syiblī al-Nu‘mān
al-Hindī, Badiuzzaman Said Nursi, Mawlana Wahīduddīn Khān, Syekh ‘Abd al-Majīd
al-Zandānī sampai Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Sebagai
pengayaan materi, kami diharuskan membaca beberapa buku terkait metode
penelitian Aqidah dan Ilmu Kalām Kontemporer, seperti: ‘Ilm al-Kalām
al-Jadīd’ yang diedit oleh Dr. ‘Abd al-Jabbār al-Rifā‘ī, Tajdīd
al-Manhaj fī al-‘Aqīdah al-Islāmiyyah karya Yahyā Hāsyim Hasan Farghal, Manāhij
al-Bahts fī al-‘Aqīdah al-Islāmiyyah karya Abd al-Rahman ibn Zayd
al-Zunaydī, Manāhij al-Fikr al-‘Arabī al-Mu‘āshir fī Dirāsat Qadhāyā
al-‘Aqīdah wa al-Turāts karya Syākīr Ahmad al-Syahmūdī, dan Jurnal Qadhāyā
Islāmiyah Mu‘āshirah (Edisi XIV, 1422/2001) yang mengulas isu-isu Ilmu Kalām
Kontemporer dan wacana pembaruan Ilmu Kalām.
Dan,
ini yang paling utama, esensi Ilmu Kalām Kontemporer itu adalah: untuk
merespons wacana dan isu-isu kekinian dengan metode yang sejalan dengan
tantangan yang dihadapi. Misalnya, seperti yang dilakukan oleh Said Nursi
(merespons wacana pemikiran dengan metode nalar-falsafi dan sains modern). Hal
yang sama dilakukan oleh Wahīduddīn Khān melalui ilmu dan sains modern. Dan
al-Zandānī melalu metode I‘jāz Ilmī, dan metode yang lain. Tapi, intinya tetap
sama: membentengi Aqidah dan merespon serangan dari luar.
Dari
paparan di atas dapatlah penulis simpulkan bahwa Prof. Amal adalah seorang
pakar Kalām yang cukup baik dan mumpuni. Karyanya dan pemikirannya menunjukkan
bahwa beliau sungguh-sungguh ingin “membumikan” Kalām di Perguruan Tinggi
Islām. Tujuan utamannya jelas: memperkuat benteng ke dalam dan keluar. Orang
yang paham Kalām akan kuat Aqidahnya dan tidak takut serangan dari luar. Karena
dia sudah punya ilmu dan alat sekaligus dalam membentengi Aqidah dan
pemikirannya. Wallāhu A‘lamu bis-Shawāb.[]
Dimuat di www.hidayatullah.com (Selasa,
20 September
2022)
____
Kampus Universitas Darussalam Gontor,
Senin malam, 21 Shafar 1444 H/19 September 2022 M
0 Comments:
Posting Komentar
<<Kembali ke posting terbaru