Sesat Pikir “Orientalis” Indonesia
SEORANG sahabat penulis yang tengah menempuh pendidikan di sebuah universitas Islam pernah bercerita: “Kami ketika belajar filsafat Barat dosen pengampunya memberi pesan, agar sebelum memulai belajar, kita menyimpan keyakinan kita dulu, supaya bisa menilai filsafat Barat dengan objektif.”
Begitulah pandangan
ilmuwan Barat, mereka mengajak kita menilai
Islam, mengkaji Islam –bahkan mengkritik Islam menggunakan “kaca-mata” dan
“pisau analisis” keyakinannya— padahal orang Barat (yang kafir) sendiri ketika
mempelajari Islam tidak melepaskan keyakinannya. Maka,
sangat keliru jika ada seorang Muslim, apalagi yang disebut sebagai
intelektual, ketika mengkaji agama lain malah meninggalkan keyakinannya.
Bahkan, lebih parah lagi, dia mengkaji agama lain dengan menggunakan kaca-mata
agama yang dia kaji itu.
Ini justru salah kaprah dan keblinger.
Maka sangat wajar jika kemudian banyak “orientalis Indonesia” yang sesat pikir.
Bukti dari sesat pikir itu banyak contohnya.
Misalnya, sudah ada yang berani mengatakan bahwa makna “kafir” bukan tidak
beriman kepada Allah, tapi maknanya
adalah: tidak beretika, tidak menghormati tamu, tidak baik kepada tetangganya.
Ini jelas sesat sekaligus menyesatkan. Istilah “kafir”
dalam Al-Qur’an maknanya adalah: tidak beriman kepada Allah dan menolak risalah
Rasulullah. Sehingga kata Prof. Izutsu, “Kufr as oppossed to Īmān.”[1]
Artinya, tidak boleh memaknai kāfir sebatas makna
etimologis (bahasa), karena kata kāfir memiliki makna terminilogis (istilah)
dan ia termasuk “kata-kunci” (key-word) yang memiliki makna konseptual. Maka, ketika
seorang “Prof. Dr.” di sebuah perguruan tinggi Islam menyatakan bahwa
perkawinan sejenis sebagai hal yang alami karena tujuan pernikahan adalah
“sakīnah-mawaddah-warahmah” berarti bangunan ilmu syariat dan fiqihnya sudah
runtuh. Dan di saat sekelompok mahasiswa Muslim menegaskan bahwa perkawinan
sejenis itu “indah” sehingga hak-hak kaum homoseksual dan lesbian harus diadvokasi
dapat dipastikan mereka sedang hilang arah dan minus-adab dalam berilmu dan
beragama.
Di sini doktrin orientalis-missionaris Barat tengah
merayakan kemenangan karena berhasil “memurtadkan” pikiran sekaligus
keyakinan.
Akhirnya, yang terjadi, serangan kepada ajaran
Islam tidak perlu orang kafir lagi. Cukup kaum terpelajar Islam yang sudah
mengalami westernized minded (minda alias nalar yang
di-Barat-kan). Akhirnya, Mereka menjadi para “orientalis Indonesia”; baik
secara sadar maupun terpaksa.
Inferiority Complex
Penting dicatat bahwa para ulama dan pemikir Muslim
sudah banyak yang mengingatkan tentang kondisi yang menimpa umat Islam hari
ini. Khususnya, bencana yang menimpa worldview (pandangan
alam/pandangan hidup”) mereka. Dalam bahasa Anwar al-Jundī, mereka telah
banyak “minum racun” orientalisme dan orientalis (sumūm al-istisyrāq wa
al-mustasyriqīn).[2] Karena terlalu banyak “minum racun orientalisme dan
orientalis” akhirnya “orientalis Indonesia” banyak juga yang minder. Agar Islam
maju dan terkesan moderat, maka liberalisme perlu “dihidupkan” kembali, kata
salah seorang dari mereka.
Berarti sebenarnya kaum liberal mengakui bahwa wacana mereka sudah lama
pudar, bahkan mati.
Dan “orientalis Indonesia” yang lain menyatakan
bahwa sebagian ayat mengenai agama lain (utamanya Yahudi dan Kristen) amat
problematis. Maka, kata mereka, perlu menghadirkan pandangan Islam yang toleran
dan humanis.[3] Lalu ada kaum
liberal yang harus menyimpulkan bahwa Al-Qur’an adalah “kitab toleransi”. Untuk
mendukung pandangannya dia menyatakan bahwa ayat-ayat tentang Taurāt dan Injīl
dalam Sūrah al-Mā’idah menunjukkan bahwa Islām amat toleran terhadap kedua
kitab itu.[4] Tapi,
penulisnya melupakan sekian banyak ayat yang mengkritik Taurāt, Injīl dan dogma
agama mereka (misal: tentang nabi Uzair/Ezra, penyembahan patung anak sapi,
dogma Trinitas, dogma ketuhanan Yesus, tuduhan keji kaum Yahudi terhadap ibunda
nabi Isa, sikap Yahudi yang mendustakan para nabi bahkan membunuhnya, rasisme
Taurāt dan Talmūd, dan banyak lagi).[5] Dan, amat sulit untuk membuktikan otentisitas
Taurāt dan Gospel. Apalagi
karena adanya kebiasaan kaum Ahli Kitab merusak kitab
suci.[6]
Butuh Belajar Worldview
Jika sudah banyak mengidap dan minum “racun
orientalisme dan orientalis” maka harus segera diobati. Dan obat yang paling
mujarab adalah kembali belajar worldview (pandangan hidup)
Islām, sebagaimana yang diformulasikan oleh banyak para pemikiran Muslim.[7] Karena dengan mempelajari worldview
dengan baik dan benar segala macam keraancuan berpikir akan terobati. Lebih dari itu, para ulama dan intelektual umat ini
mampu mendiagnosa masalah umat dan penyakit yang tengah menjangkiti mereka.
Di fungsi pentingnya belajar worldview Islam adalah agar mampu memahami
konsep-konsep penting dalam Islām, seperti: konsep Islām, konsep
dunia-akhirat, konsep Tuhan, konsep wahyu, konsep ilmu, konsep pendidikan,
konsep manusia, konsep alam, konsep dīn (agama),
dan konsep-konsep seminal lainnya. Sehingga tidak ada
lagi “orientalis Indonesia” yang mengklaim pakar Al-Qur’an dan Tafsir malah mengkritik Al-Qur’an para ulama. Karena ternyata banyakan diantara
mereka menggunakan metode hermeneutika dalam menafsirkan Al-Qur’an, meskipun
sampai sekarang belum ada hasilnya yang nyata. Padahal
Josef van Ess, profesor emeritus dan pakar sejarah teologi Islām dari
Universitas Tuebingen, Jerman menyatakan:
“We should, however,
be aware of the fact that German hermeneutica was not made for Islamic studies
as such. It was originally a product of Protestant theology. Scheiermarcher
applied it to the Bible. Later on, Heidegger and his pupil Gadamer were deeply
imbued with German literature and antiquity. When such people say ‘text’ they
mean a literary artifact, something aesthetically appealing, normally an
ancient text wich exists only in one version, say a tragedy by Sophocles,
Plato’s dialogues, a poem by Hölderlin. This is not necessarily so in Islamic
studies.”
Maksudnya, perlu diketahui bahwa hermeneutika yang
berasal dari Jerman itu sebenarnya memang bukan ditujukan untuk kajian
keislaman. Pada asalnya ia merupakan produk teologi Protestan. Dipakai untuk
mengkaji Bibel oleh Schleiermarcher, dan belakangan oleh Heidegger
dan Gadamber dalam kajian kesusteraaan Jerman maupun klasik. Yang mereka maksud
dengan ‘teks’ ialah karya tulis buatan manusia, sesutu yang indah lagi menarik,
biasanya sebuah naskah kuno yang hanya terdapat dalam satu versi, seperti kisah
tragedi karangan Sophocles, dialog-dialog karya Plato, atau pun puisi yang
ditulis oleh Hölderlin. Ini jelas tidak sama dengan konsep teks dalam kajian
Islām.[8]
Padahal konsep ilmu Tafsir dan Takwil dalam Islām
sudah mapan (established). Tidak butuh kepada hermeneutika itu. Buku-buku studi Al-Qur’an (‘Uūm al-Qur’ān)
yang ditulis dan diwariskan lebih patut dan lebih utama untuk dibaca,
dipelajari dan diajarkan. Dan karya mereka sudah terbukti menghasilkan
karya-karya tafsir yang hebat dan membangkitkan peradaban ilmu sampai saat ini. Sebut saja,
misalnya, kitab ‘al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān’ karya Imam
az-Zarkasyī (745-794 H); kitab ‘al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān’ karya Imam
as-Suyūthī (w. 911 H); kitab ‘Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān’ karya
Syekh Muhammad ‘Abd al-‘Azhīm az-Zarqānī (w. 1367 H/1948 M); dan banyak lagi.
Sebagai penutup, mari renungkan nasihat penting
dari Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, rektor Universitas Darussalam (Unida),
Gontor sekaligus pakar kajian worldview Islām (karena salah
seorang murid Prof. Dr. SMN al-Attas) berikut ini:
“Mendemo pembakar Al-Qur’an sangat perlu, supaya
mereka toleran dan menghormati apa yang dianggap suci oleh orang Islām itu.
Namun, yang lebih perlu adalah mendemo tulisan orientalis dan murid-muridnya
yang merusak akidah, menafikan syariat, dan merendahkan status Al-Qur’an dari
Wahyu menjadi sekadar “karangan” Nabi Muhammad Saw. Karena, menyerang ajaran
Al-Qur’an itu lebih dahsyat dari sekadar membakar Mushaf Al-Qur’an.”[9]
Memang, ajaran Islām saat ini tengah diserang
habis-habisan: dari Maroko hingga Merauke, dari Al-Qur’an hingga Tasawuf, dan
pernikahan hingga moral. Semuanya memang sedang diuji dan dicoba.
Tapi, dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah
serta dekat dengan para ulama yang istiqāmah, umat Islām akan bertahan dengan
kebenaran Islām dan ketinggian nilai-nilainya yang memang sesuai dengan fitrah
manusia. Semoga umat menyadarinya dan segera ambil langkah. Wallāhu
a‘lam bis-shawāb. []
[1] Lebih luas, lihat Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in
the Qur’ān (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2002),
119-127).
[2] Lihat Anwar al-Jundī, Sumūm al-Istisyrāq wa al-Mustasyriqīn fī
al-‘Ulūm al-Islāmiyyah (Beirut: Dār al-Jayl/Kairo: Maktabah at-Turāts
al-Islāmī, cet. II, 1405 H/1985 M).
[3] Lihat Mun’im
A. Sirry, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi atas Kritik Al-Qur’an
terhadap Agama Lain (Jakarta: Gramedia, 2013).
[4] Zuhairi
Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan
Lil‘Alamin (Jakarta: Pustaka Oasis, 2017), 258-264).
[5] Tentang
Judaisme, lihat ‘Abd al-Fattāh Husayn az-Zayyāt, Mādzā Ta‘rif ‘an
al-Yahūdiyyah (Markaz ar-Rāyah li an-Nasyr wa al-I‘lām, 1998).
[6] Lihat
Abu Ferik Ibn Muttalib, Sedjarah Singkat tentang Bijbel dan Al-Qur’an
dan Hubungan Antaragama (Sebuaj Studi Perbandingan) (Djakarta: Jajasan
Lembaga Penjelidikan Islam, 1962; lihat juga dua karya Dr. Munqidz
as-Saqqār, Hal al-‘Ahd al-Qadīm Kalimat Allāh? (Kairo:
Maktabah an-Nāfidzah, cet.
I, 2006) dan Hal al-‘Ahd al-Jadīd Kalimat Allah? (Kairo:
Maktabah an-Nāfidzah,
cet. I, 2006).
[7] Lihat
Sayyid Qutb, Khashā’ish al-Tashawwur al-Islāmī (Kairo: Dār al-Syurūq, . Lihat juga Syed Muhammad Naquib
al-Attas, Islām and Secularism
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1993).
[8] Lihat Dr.
Syamsuddin Arif, “Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an”, dalam Dr. Syamsuddin
Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran (Jakarta: GIP,
1429 H/2008 M), 183).
[9] Lihat
Harda Armayanto (ed.), Hamid Fahmy Zarkasyi: Nasihat-Nasihat
Peradaban (Ponorogo: Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS),
cet. I, 2021), 16).
0 Comments:
Posting Komentar
<<Kembali ke posting terbaru