“Syubhat” Seputar Universalitas Al-Qur’ân
Kasus-kasus yang meragukan dan menyerang Al-Qur’an sampai hari ini terus terjadi. Biasanya, isu yang digulirkan adalah: “Al-Qur’an tidak universal, hanya untuk orang-orang Arab”. Jika ‘syubhat’ ini dibenarkan, maka Al-Qur’an adalah “tidak benar”, dan Nabi Muhammad SAW. adalah “nabi orang Arab”, bukan nabi untuk seluruh manusia.
Tak terkecuali di Indonesia, isu itu pun bergulir. Baru-baru ini, seorang diskusan Kristen mengirim posting yang meragukan “universalitas” Al-Qur’an ke forum www.hidayatullah.com. Isinya ingin “meragukan” keyakinan umat Islam, bahwa Al-Qur’an hanya milik orang Arab, karena: Pertama, Al-Qur’an hanya untuk penduduk Mekkah dan sekitarnya. Dalil yang dikemukakan adalah Qs. 6: 92, 27: 91, 28: 85, 42: 7, dan Qs. 43: 31 & 44. Kedua, Al-Qur’an hanya untuk bangsa Arab dan yang berbahasa Arab. Dalil yang dikemukakan adalah: Qs. 12: 2, 14: 4, 13: 37, 16: 103, 19: 97, 20: 113, 26: 193-195, 39: 28, 41: 3, 41: 44, 43: 3, 44: 58, dan 46: 12.
Itulah dua alasan pentung – menurut poster – yang menyatakan bahwa Al-Qur’an benar-benar hanya “milik orang Arab”. Denga demikian, yang ‘sah’ Islamnya adalah bangsa Arab saja, sedangkan Amerika, Belanda, Jerman, Inggris, Malaysia, Filipina, Thalidan, Indonesia dan negara non-Arab lainnya tidak ‘sah’, karena mereka tidak berhak mengklaim Al-Qur’an sebagai kitab suci mereka. Tapi, marilah kita cermati dan kritisi ‘syubhat’ ini secara ‘jurdil’.
Sketsa Singkat Dakwah Nabi SAW
Memang, pada mulanya – karena Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur – dakwa Nabi SAW. dan peran beliau terkesan sederhana. Meskpun demikian, ternyata – tanpa disadari oleh beliau – misinya universal. Hal itu diakui oleh Karen Amstrong dalam “Sejarah Tuhan-nya”. Amstrong menulis, “Ketika mulai berdakwah di Makkah, Muhammad hanya memiliki konsep yang sangat sederhana tentang perannya. Dia tidak berpikir bahwa dirinya tengah membangun sebuah agama universal, melainkan keyakinan kuno yang mengajarkan keesaan Tuhan kepada orang-orang Quraisy. Pada mulanya dia bahkan tak pernah mengira harus berdakwah kepada suku-suku Arab selain penduduk Mekkah dan sekitarnya. (Qs. As-Syûrâ [42]: 7). Dia tak pernah bermimpi akan membangun sebuah teokrasi dan mungkin sama sekali tidak mengetahui apa teokrasi itu: dia sendiri tak mesti memiliki fungsi politik di dalam pemerintahan, kecuali sebagai seorang nadzir, pemberi peringatan. (Qs. Al-Ghâsyiah [28]: 21-22). (Lihat, Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, Mizan, cet. VII, Terj: Zaimul Am, cet. VII, hlm. 197). Tapi, kenyataan tidak demikian. Ternyata dakwah Nabi SAW. merupakan “dakwah universal”. Sehingga, kehadiran beliau dirancang oleh Allah SWT. sebagai rahmatan li’l-‘alamin. “Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad), melainkan sebagai “rahmat” bagi alam semesta.” (Qs. Al-Anbiyâ’ [21]: 107, “Dan Kami mengutusmu sebagai seorang rasul kepada manusia, dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (Qs. Al-Nisâ’ [4]: 79, dan “Tidaklah Kami mengutusmu, melaikan bagi seluruh manusia: sebagai pembawa kabar gembira (basyiran) dan pemberi peringatan (nadziran).” (Qs. Saba’ [34]: 28).
Kritik ‘Syubhat’ Universalitas Al-Qur’an
Ayat-ayat yang dijadikan dalil dalam “membatalkan” universalitas Al-Qur’an di atas perlu kita paparkan lebih rinci dan detail, agar dapat dipahami dengan benar– baik orang umat Kristen maupun umat Islam sendiri.
Pertama, Al-Qur’an untuk penduduk Makkah dan sekitarnya???
1. Qs. 6: 92 yang menyatakan bahwa agar Nabi Muhammad memberikan peringatan kepada Ummu’l-Qura dan sekitarnya ( wa man haulaha). Dalam hal ini, Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H) dalam tafsirnya – ketika menjelaskan firman Allah wa li tundzira Umma’l-Qura wa man haulaha –menyatakan, “Sesungguhnya Kami menurunkan Kitab ini (Al-Qur’an) kepadamu wahai Muhammad sebagai pembenar (mushaddiq, afirmator) kitab-kitab yang turun sebelumnya. Agar engkau memberikan peringatan tentang azab Allah dan murkanya di Ummu’l-Qura – yaitu Makkah dan siapa yang berada di sekitarnya: Timur dan Barat – yang lari dari Tuhan mereka dan beralih kepada ‘tuhan-tuhan’ dan tandingan-tandingan –Tuhan – (al-andad), dan orang-orang yang mengingkari rasul-rasul-Nya dan orang-orang kafir.” Kemudian, al-Thabari mengutip bebarapa pendapat. Pertama, pendapat dari al-Mutsani dari Abu Shalih → Mu‘awiyah ibn Shalih → ‘Ali ibn Abi Thalhah → Ibnu ‘Abbas tentang firman Allah ( wa litundzira Umma’l-Qura wa man haulaha), maksud dari Umma’l-Qura: Makkah dan sekitarnya: kota-kota ke arah Timur dan Barat. Kedua, pendapat dari Muhammad ibn Sa‘id → dari bapaknya → dari paman bapaknya → dari bapak paman bapaknya → Ibnu ‘Abbas – tentang ayat yang sama – Umma’l-Qura: Makkah, dan sekitarnya: bumi seluruhnya. Ketiga, pendapat dari Muhammad ibn ‘Abd al-A‘la → Muhammad ibn Tsaur → Ma‘mar → Qatadah – ayat yang sama – ia berkata: Makkah. Pendapat ini juga yang dikatakan oleh Ma‘mar, dari Qatadah, ia berkata: “Sampai kepadaku – berita – bahwa bumi dibentangkan dari Makkah. Keempat, pendapat Basyar → Yazid → Sa‘id → Qatadah – tentang ayat yang sama – : kami membicarakan bahwa Ummu’l-Qura: Makkah, dan kami membicarakan bahwa dari Ummu’l-Qura itulah bumi dibentangkan. Kelima, pendapat dari Muhammad ibn al-Husain → Ahmad ibn al-Mufadhdhal → Asbath → al-Suddi – ayat yang sama – : Ummu’l-Qura itu adalah Makkah. Ia disebut sebagai Ummu’l-Qura, karena rumah – tempat ibadah, Ka‘bah – yang pertama kali dibangun berada di atasnya. (Lihat, Abu Ja‘far Muhammad ibn Jarir, Jâmi‘u’l-Bayân ‘an Ta’wîli Āy al-Qur’ân, Cet: Dar al-Salama, Cairo, tahqiq: Ahmad ‘Abd al-Razzaq al-Bakari, Muhammad ‘Ādil Muhammad, Muhammad ‘Abd al-Lathîf Khalaf, dan Mahmoud Mursi ‘Abd al-Hamid, jilid IV, cet. I, 2005), hlm. 3262-3263). Jadi, disebut Ummu’l-Qura, karena Makkah itu “induk” seluruh kota bumi yang ada. Tanah di Makkah secara ilmiah dipastikan sebagai tanah “tertua” dan merupakan pusat bumi oleh para geolog. Tapi, ketika dipahami kata Ummu’l-Qura sebagai “Makkah” saja, maka maknanya akan menjadi sempit. Padahal tidak demikian, Ummu’l-Qura itu merupakan sebutan bagi kota Mekkah, yang artinya induk kota-kota (al-qura, jamak dari kata al-qaryah). Maka ayat Al-Qur’an ini benar, tidak salah.
2. Qs. 27: 91. Ayat ini disalah-pahami oleh sang poster. Dia hanya memahaminya pada kata “Aku hanya diperintahkan menyembah Tuhan negeri ini (Makkah)...”. Sehingga disimpulkan bahwa Al-Qur’an tidak universal. Tentu saja keliru. ayat ini benar, Nabi SAW. hanya menyembah Allah: yang memiliki Ka‘bah, bukan Tuhan yang lain. Dan Ka‘bah bukan “milik khusus” orang Arab, sehingga Tuhan itu bersifat “nasionlis”. Ka‘bah dibangun pertama kali oleh Ibrahim dan anaknya Isma‘il yang di dalam Al-Qur’an disebut bukan “Yahudi”, tidak pula Nasrani, karena Taurat dan Injil diturunkan setelah Ibrahim. (Qs. 2: 140, 3: 65 & 67, Kejadian 11: 31, 14: 13, 32: 28). Bahkan, Musa sendiri bukanlah seorang Yahudi, karena ia bukan keturunan Yehuda, melainkan seorang suku Lewi, keturunan Lewi (Keluaran 6: 16-20). Ini sangat berbeda dengan konsep Tuhan Yahudi: Tuhan khusus bangsa Israel saja. Jadi, ketika Nabi SAW. menyatakan “Tuhan negeri ini (Makkah), itu sangat universal, karena tempat menyembah beliau adalah Ka‘bah, yang sudah ada sejak zaman Ibrahim ‘alayhissalam.
3. Qs. 28: 85. Ayat ini juga benar. Tapi, dipahami berbeda, sehingga disalah-pahami. Ayat ini menerangkan “janji Allah” kepada Nabi Muhammad, bahwa Allah akan mengembalikan beliau ke negeri kelahirannya: setelah beliau hijrah ke Madinah. Ini terjadi pada tahun VIII Hijriyah, yakni “Fathu Makkah” (Pembebasan Kota Makkah). Imam Jalaluddin al-Suyuthi menyebutkan Asbab al-Nuzul ayat ini. Ibnu Abi Hatim mengeluarkan – riwayat – dari al-Dhahhak bahwa beliau berkata: “Ketika Nabi SAW. keluar dari Makkah dan sampai ke Juhfah, beliau merasa rindu untuk kembali ke Mekkah, maka Allah SWT. menurunkan ayat, “Inna al-ladzi faradha ‘alayka al-Qur’ana lardduka ila ma’adin.” (Lihat, Jalaluddin al-Suyuthi, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, (Cairo: Maktabah al-Iman, ttp, hlm. 221). Jadi, tidak ada kaitannya dengan klaim bahwa Al-Qur’an “tidak universal”. Ini juga menunjukkan bahwa janji Allah itu benar, dan Nabi SAW. benar-benar nabi-Nya yang penuh mukjizat.
4. Qs. 42: 7. Ini sama dengan poin pertama.
5. Qs. 43:31. Ayat ini juga disalah-pahami lewat bunyinya, “Mengapa al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang pembesar (penguasa) dari dua negeri ini" (Mekah dan Tha’if).” dan ayat 44 : “Dan sesungguhnya Al-Qur’an adalah peringatan bagimu dan kaummu, kelak kamu akan ditanya.” Padahal ayat ini merupakan bantahan bagi kafir Quraisy, yang menginginkan Al-Qur’an itu diturunkan kepada salah seorang pembesar (yang kaya-raya) dari Makkah atau Tha’if. Sayangnya, sang poster tidak melihat ayat 32, “Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” Harta dan kekayaan yang melimpah ruah, bagi Allah bukan jaminan dan syarat untuk memperoleh kemuliaan. Al-Qur’an juga demikian. Ia dikehendaki oleh-Nya diturunkan kepada seorang nabi yang miskin, buta huruf (ummiy), bukan kepada pembesar yang ada di Makkah maupun Tha’if, meskipun seorang bangsawan yang kaya-raya.
Kedua, Al-Qur’an hanya untuk bangsa Arab dan yang berbahasa Arab??? Mari kita lihat dengan kritis klaim tak berdasar ini.
Dalil-dalil yang dikemukakan adalah: Qs. 12: 2, 14: 4, 13: 37, 16: 103, 19: 97, 20: 113, 26: 193-195, 26: 198-199, 39: 28, 41: 3, 41: 44, 43: 3, 44: 58, dan 46 : 12. Setiap ayat dari ayat-ayat Al-Qur’an ini menyatakan bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dalam “bahasa Arab”. Dan menurut poster, Al-Qur’an “tidak universal”. Jadi, Al-Qur’an hanya untuk bangsa Arab! Tentu saja keliru. Kenapa Allah memilih bahasa Arab sebagai kitab suci-Nya yang terakhir? Pertama, sampai hari ini, bahasa yang berasal dari rumpun semit yang masih bertahan sempurna adalah bahasa Arab. Bible: Old Testament yang diklaim bahasa aslinya bahasa Ibrani (Hebrew) telah musnah, sehingga tidak ada naskah asli dari Perjanjian Lama. Meskipun begitu, menurut Isrâ’il Wilfinson, dalam bukunya Târîk al-Lughât al-Sâmiyyah (History of Semitic Language), seperti yang dikutip Prof. Al-A‘zamî, ternyata bahasa asli PL itu tidak disebut Ibrani. Bahasa pra-pengasingan (pre-exilic language) yang digunakan oleh Yahudi adalah dialek Kanaan dan tidak dikenal sebagai Ibrani. Orang-orang Funisia (atau lebih tepatnya, orang-orang Kanaan) menemukan alfabet yang benar pertama kali ± 1500 S.M, berdasarkan huruf-huruf ketimbang gambar-gambar deskriptif. Semua alfabet yang berturut-turut seterusnya adalah utang budi pada, dan berasal dari, pencapaian Kanaan ini. (Prof. Dr. M.M. Al-A‘zamî, The History of The Qur’ânic Text from Revelation to Compilation (edisi Indonesia), terjemah: Sohirin Solihin, dkk., GIP, 2005, hlm. 259).
New Testament (Gospel, Injil) yang diklaim bahasa aslinya adalah bahasa “Yunani” juga sudah hilang, sehingga tidak ada naskah asli dari Injil. Bahkan, ini bertentangan dengan bahasa Yesus, yang sama sekali tidak paham bahasa Yunani. Bukankah ini ‘mencederai’ saktralitas Injil yang diklaim sebagai ‘firman Tuhan’? Kedua, bahasa Arab memiliki kelebihan: (1) Sejak zaman dahulu kala hingga sekarang bahasa Arab itu merupakan bahasa yang hidup, (2) Bahasa Arab adalah bahasa yang lengkap dan luas untuk menjelaskan tentang ketuhanan dan keakhiratan, (3) Bentuk-bentuk kata dalam bahasa Arab mempunyai tasrif (konjungsi), yang amat luas hingga dapat mencapai 3000 bentuk perubahan, yang demikian itu tak terdapat dalam bahasa lain. (Lihat, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag, edisi revisi, Juli 1989, hlm. 375 (foot-note). Ketiga, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW. dalam bahasa Arab yang nyata (bilisanin ‘Arabiyyin mubinin), agar menjadi: mukjizat yang kekal dan menjadi hidayah (sumber petunjuk) bagi seluruh manusia di setiap waktu (zaman) dan tempat (makan); untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya: dari kegelapan “syirik” kepada cahaya “tauhid”, dari kegelapan “kebodohan” kepada cahaya “pengetahuan”, dan dari kegelapan “kesesatan” kepada cahaya “hidayah”. Tiga poin itu berjalan terus atas izin Allah sampai dunia ini hancur, yakni Risalah (Islam), Rasul (Muhammad SAW) dan Kitab (Al-Qur’an)). (Lihat, Prof. Dr. Thaha Musthafa Abu Karisyah, Dawr al-Azhar wa Jami‘atihi fi Khidmat al-Lughah al-‘Arabiyyah wa al-Turats al-Islamiy, dalam buku Nadwat al-Lughah al-‘Arabiyyah, bayna al-Waqi‘ wa al-Ma’mul, 2001, hlm. 42). Karena Islam itu satu risalah (misi) yang “universal” dan “kekal”, maka mukjizatnya harus retoris (bayaniyyah), linguistik (lisaniyyah) yang kekal. Dan Allah telah berjanji untuk memelihara Al-Qur’an, seperti yang Ia jelaskan, “Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Dzikra (Al-Qur’an) dan Kami pula yang memeliharanya.” (Qs. 15: 9). Keempat, menurut Syeikhu’l-Islam, Ibnu Taimiyah, “Taurat diturunkan dalam bahasa Ibrani saja. Dan Musa ‘alayhissalam tidak berbicara kecuali dengan bahasa itu. Begitu juga halnya dengan al-Masih: tidak berbicara tentang Taurat dan Injil serta perkara lain kecuali dengan bahasa Ibrani. Begitu juga dengan seluruh kitab. Ia tidak diturunkan kecuali dengan “satu bahasa” (bilisanin wahidin): dengan bahasa yang dengannya diturunkan kitab-kitab tersebut dan bahasa kaumnya yang diseru oleh para rasul. Seluruh para nabi, menyeru manusia lewat bahasa kaumnya yang mereka ketahui. Setelah itu, kitab-kitab dan perkataan para nabi itu disampaikan: apakah diterjemahkan untuk mereka yang tidak tahu bahasa kitab tersebut, atau orang-orang belajar bahasa kitab tersebut sehingga mereka mengerti makna-maknanya. Atau, seorang utusan menjelaskan makna-makna apa yang dengannya ia diutus oleh rasul dengan bahasanya...” (Lihat, Ibnu Taimiyah, al-Jawb al-Shahih liman Baddala Dina’l-Masih (Jawaban Yang Benar, Bagi Perubah Agama Kristus), (Cairo: Dar Ibnu al-Haytsam, 2003, jilid 1 (2 jilid), hlm. 188-189).
Jadi, Al-Qur’an sama dengan Taurat dan Injil yang diturunkan kepada Musa dan Yesus: dalam satu bahasa, bahasa kaumnya. Jika dari segi bahasa satu kitab suci dianggap tidak universal, maka harus fair. Bible juga tidak universal. Hanya saja, Al-Qur’an secara substani benar-benar “universal”, tidak seperti Bible – yang secara bahasa dan substansinya tidak universal.
Karena substansi Al-Qur’an itu “universal”, maka Islam adalah agama univesal. Kenabian yang ada sebelum Islam, hanya diperuntukkan pada kaum tertentu atau zaman tertentu (lokalitas). Nuh hanya diutus kepada kaumnya (Qs. 7: 59); Hud kepada kaumnya (Qs. 7: 65); Shaleh kepada kaumnya (Qs. 7: 73); Luth kepada kaumnya (Qs. 7: 80); Syu‘aib kepada kaumnya (Qs. 7: 85); dan Musa kepada Fir‘aun dan para punggawanya (Qs. 7: 103).
Dakwah Nabi SAW. di “Ummu’l-Qura”, yaitu Makkah: bukan hanya untuk orang-orang Makkah saja, juga bukan hanya untuk orang Quraisy, tidak untuk Jazirah Arabia saja, tapi untuk seluruh alam. (Qs. 25: 1, 34: 28, 7: 158, dan 9: 33). Wallahu a‘lamu bi al-shawab. [] (Cairo, 26 September 2006).
*NB: Tulisan Ini Pernah Dimuat di www.hidayatullah.com. Bagi Yang ingin merujuknya dipersilahkan.