“Nabi Perempuan: Adakah?”
Nabi Perempuan: Adakah?
Rabu, 01 November 2006
Aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) menulis, bahwa konsep “nabi” dan “rasul”, tak hanya dimonopoli kaum laki-laki. Benarkah demikian?
Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi *)
Dalam situs JIL (www.islamlib.com, 25/10/2006), seorang aktivitsnya, Abd Moqsith Ghazhali menulis tentang “Nabi Perempuan”. Setelah panjang lebar menerangkan konsep “nabi” dan “rasul”, ia menyimpulkan, “Namun, setelah saya cek ke sejumlah kitab, ternyata status kenabian tak hanya dimonopoli kaum laki-laki. Ada juga nabi dari kalangan perempuan. Misalnya Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah (Juz II, hlm. 59) mengutip satu pendapat yang menyatakan bahwa tak tertutup pintu bagi hadirnya nabi perempuan. Dikemukakan bahwa Maryam atau Bunda Maria adalah salah seorang nabi. Perempuan lain yang diangkat menjadi Nabi, menurut pendapat ini, adalah Sarah (ibu Nabi Ishaq, isteri Nabi Ibrahim), dan ibu Nabi Musa.
Ulama yang berpendapat demikian misalnya bersandar pada ayat Al-Qur’an, wa awhayna ila ummi musa an ardhi'ihi fa idza khifti 'alaihi, fa alqihi fi al-yamm (telah Kami wahyukan kepada ibu Musa; susukanlah dia, dan apabila kamu khawatir kepadanya maka lemparkanlah ia ke dalam sungai (Nil).
Bagi ulama tersebut, wahyu hanya terjadi pada diri seorang nabi. Oleh karena itu, perempuan yang mendapatkan wahyu adalah seorang Nabi. Saya menyertai ulama tersebut; bahwa wahyu bukan hanya turun kepada laki-laki, melainkan juga terhadap perempuan. Alquran telah menunjukkan bahwa Tuhan tak melakukan diskrminasi jenis kelamin dalam perkara pewahyuan sekaligus penabiaan.”
Dengan demikian, Moqsith mengambil pendapat yang menyatakan bahwa ada “nabi perempuan”. Kesimpulan Moqsith terlalu dini anti-klimaks. Hanya berdasarkan pendapat Ibnu Katsir di dalam al-Bidayah wa al-Nihayah-nya dan ayat yang menyatakan tentang wahyu dia langsung menyimpulkan bahwa benar-benar ada “nabi perempuan”. Benarkah demikian???
Moqsith sangat tidak komprehensif ketika membahas wakna “wahyu” dalam Islam, maka wajar jika konklusinya “nyeleneh”. Tulisannya yang singkat dan sangat sederhana itu pun terkesan “tendensius” dan dipaksaan. Sepertinya dia sedang “geram” pada sementara pendapat yang ada dalam masalah ini.
Konsep Etimologis “Wahyu” dalam Islam
Dosen fakultas Akidah & Filsafat, Universitas Al-Azhar, Cairo, Dr. Muhammad Sayyid Ahmad al-Musayyar di dalam bukunya al-Risâlah wa al-Rusul fî al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah (2001: 10, 12, 14 & 18) menjelaskan tentang konsep wahyu dalam Islam. Secara etimologis, “wahyu” terbagi empat:
Pertama, bermakna “isyarat” (al-isyârah). Makna ini dijelaskan oleh Allah SWT., “Fakharaja ‘ala qawmihi mina’l-mihrabi fa awha ilayhim an sabbihuhu bukratan wa ‘asyiyyan” (Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang) (Qs. Maryam [19]: 11). Makna “wahyu” di sini menunjuk kepada kisah nabi Zakariya.
Kedua, bermakna “ilham secara fitrah” (al-ilham al-fithriy). Makna “wahyu” ini dijelaskan oleh Allah SWT. dalam firman-Nya, “Wa awha rabbuka ila al-nahli anittahidziy mina’l-jibali buyutan wa mina’s-syajari wa mimma ya‘risyun. Tsumma kuliy min kulli al-tsamarat faslukiy subula rabbiki dzululan yakruju min buthuniha syarabun mukhtalifun alwanuhu fihi syifa’un linnasi inna fi dzalika la’ayatan liqawmin yatafakkarun” (Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”, kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.) (Qs. Al-Nahl [16]: 68-69). Jadi, arti “pewahyuan” (al-iha’) di sini adalah “al-ilham al-fithriy”, petunjuk (al-hidayah), arahan (al-tawjih) bagi lebah untuk menempuh sebab-sebab dalam mempertahankan eksistensinya, melakukan kerjanya lewat fitrahnya dan instingnya yang sangat menakjubkan.
Ketiga, “ilham Tuhan” (al-Ilham al-Ilahiy). Artinya, apa yang disematkan oleh Allah ta‘ala ke dalam hati hamba-hamba-Nya yang terpilih, yang berkaitan dengan jalan-jalan kebaikan, arah kebaikan, dan cara berbuat kebaikan. Hal ini dijelaskan oleh-Nya, “W awhayna ila ummi Musa an ardhi‘hi fa idza khifti ‘alayhi fa’alqihi fi’l-yammi wa la takhafiy wa la tahzaniy inna raaduhu ilayki wa ja‘iluhu mina’l-mursalin” (Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari para rasul) (Qs. Al-Qashash [28]: 7).
Keempat, bisikan (al-waswasah). Artinya, apa yang dimasukkan oleh setan ke dalam jiwa dan menipu manusia dari kebenaran (al-haqq) dan kebaikan (al-khayr). Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT., “Kadzalika ja‘alna likulli nabiyyin ‘aduwwan syayatina’l-insi wa’l-jinni yuhiy ba‘dhuhum ila ba‘dhin zukhrufa’l—qawli ghururan wa law sya’a rabbuka ma fa‘aluhu fadzarhum wa ma yaftarun. Wa litashgha ilayhi af’idatu’l-ladzina la yu’minuna bi’l-Akhirati wa liyardhawhu wa liyaqtarifu ma hum muqtarifun” (Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan) (Qs. Al-An‘am [6]: 112). Jadi, setan adalah makhluk pembangkang dan tiran (al-mutamarrid al-thagiyah): apakah jenisnya dari jin atau manusia. Kedua-duanya menghalang-halangi setiap seruan kebenaran: menanamkan “keraguan” (syubhat), mengobarkan fitnah dan menghalangi jalan kebenaran.
Berbicara tentang Qs. Maryam [19]: 11 (“fa awha ilayhim an sabbihuhu bukratan wa ‘asyiyyan”) , Ibnu Katsir menyatakan bahwa makna wahyu di sini adalah “perkara yang tersembunyi” (al-amr al-khafiyy): apakah itu lewat satu tulisan, seperti yang dikatakan oleh Mujahid dan al-Suddiy, atau artinya “isyarat”, sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid, Wahab ibn Munabbih dan Qatadah. (Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, cet. Cairo: Dar al-Taqwa, jilid I, juz I, cet. I, 1999, hlm. 59).
Kesimpulan yang “Keliru”
Apa yang disimpulkan oleh Moqisth adalah keliru. Anggapan ulama yang menganggap ibu Musa dan Sarah sebagai “nabi” harus dilihat lagi secara kritis. Karena tidak ada penjelasan rinci yang menyatakan bahwa keduanya dianggap sebagai “nabi”. Sampai hari ini, tidak ada pendapat atau buku yang menjelaskan bahwa ibu Musa dan Sarah (ibu nabi Ishaq dan istri nabi Ibrahim itu) menyampaikan risalah, atau memberi peringatan (al-indzar).
Ibu Katsir sendiri, ketika menjelaskan ayat, “Wa awhayna ila ummi Musa an ardhi‘ihi...dst” (Qs. Al-Qashash [28]: 7-9) menyatakan, “Wahyu ini adalah wahyu dalam arti “ilham” dan “irsyad” (petunjuk), seperti firman Allah yang berbunyi, “Wa awhya rabbuka ila al-nahl, dst.” (Qs. Al-Nahl [16]: 67-68). Ini, menurut beliau, bukan wahyu dalam arti “kenabian” (al-nubuwwah), sebagaimana yang diklaim oleh Ibnu Hazm dan para Mutakallimin lainnya. Yang benar adalah yang pertama (baca: al-ilham wa al-irsyad), seperti yang dijelaskan oleh Abu al-Hasan al-‘Asy‘ari dari kelompok Ahlu Sunnah wal Jama‘ah.
Menurut al-Suhayli: “Nama ibu Musa adalah Ayarikha, dikatakan pula: Ayadzikhat. Maksud ayat di atas adalah: ibu Musa diberi petunjuk (ursyidat) kepada apa yang kami sebutkan, kemudian dia diperintahkan agar tenang: tidak takut dan tidak sedih. Meskipun Musa pergi, Allah akan mengembalikannya kepadamu. Dan Allah akan menjadikannya seorang nabi yang diutus (nabiyyan mursalan): yang meninggikan kalimat-Nya di dunia dan akhirat...” (Lihat, Ibnu Katsir, Ibid., hlm. 288).
Dr. Al-Musayyar juga menjelaskan syarat-syarat seorang nabi atau rasul, yakni: (1) manusia, (2) laki-laki, (3) merdeka (bukan budak), (4) terhindar dari aib (cacat): maksum dari perbuatan dosa dan salah, dan (5) Allah mewahyukan satu syari‘at kepadanya. (Lihat, op. cit., hlm. 56, 58, 59, & 60).
Sebagian orang, menurut beliau, berusaha untuk “menyematkan’ kenabian (al-nubuwwah) itu kepada perempuan, seperti ibu Musa dan Maryam, berdasarkan firman Allah, “wa awhayna ila ummi Musa an ardhi‘ihi.” (Qs. Al-Qashash [28]: 7) dan, “Fa’arsalna ilayha ruhana fatamatstsala laha basyaran sawiyyan.” (Qs. Maryam [19]: 17). Dalil itu tertolak, karena “wahyu” kepada ibu Musa adalah “wahyu berupa ilham” (wahyu ilham), bukan “wahyu kenabian” (wahyu nubuwwah). Dan tidak lazim bahwa wahyu itu sebagai kenabian. (Ibid., hlm. 58).
Dengan demikian, pendapat yang diikuti oleh Moqsith adalah pendapat yang tidak lebih dari sekadar “berwacana” yang ‘miskin’ makna. Dr. Muhammad Husein al-Dzahabi di dalam bukunya “al-Wahyu wa al-Qur’an al-Karim” (1986: 18) menyatakan bahwa “wahyu” turun kepada para nabi. Dengan begitu, pendapat yang menyatakan bahwa ibu Musa, Sarah dan Maryam sebagai “nabi” adalah pendapat yang keliru dan tidak dapat dibenarkan. Sejak zaman nabi-nabi Israil pun tidak pernah ada riwayat yang menyatakan bahwa terdapat “nabi” perempuan, konon lagi Kanjeng Nabi SAW. telah diproklamirkan oleh Allah SWT. sebagai “pamungkas” para nabi. (Qs. Al-Ahzab [33]: 40). Wallahu a‘lamu bi al-shawab. (Kairo, 30 Oktober 2006).
*) Penulis adalah alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo-Jurusan Tafsir dan ‘Ulumu’l-Qur’an dan peminat Qur’anic Studies & Christology.
http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3788&Itemid=60