“Guntur Romli dan Penyesatan Fatwa Sesat”
Isu aliran-aliran sesat yang ada di Indonesia sepertinya belum berakhir. Isu ini semakin “memanas” setelah MUI mengeluarkan fatwa sesat atas aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang “diasuh” oleh Ahmed Moshaddeq. Bukan hanya itu, MUI pun mengeluarkan 10 kriteria aliran sesat. Dimana setiap aliran yang terkena salah satu poin (kriteria) tersebut, secara otomatis dinyatakan “sesat”.
Adalah Guntur Romli, seorang aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) yang mencoba untuk ‘mementahkan’ keputusan dan fatwa MUI tersebut. Lewat tulisannya di Jawa Pos (http://www.jawapos. com/index. php?act=detail_ c&id=312539) dia menyatakan bahwa fatwa sesat yang dikeluarkan MUI adalah “sesat”.
Dalam tulisannya itu, Guntur menuduh bahwa MUI hanya melakukan “penyesatan” dan “pengkafiran”, bukan melakukan bimbingan. Artinya, Guntur menolak fatwa MUI dan mendukung aliran sesat yang muncul dan berkembang di Indonesia. Saya ‘hampir’ menyimpulkan bahwa setiap orang yang mendukung aliran sesat juga “sesat”. Penolakan Guntur berdasarkan argumentasi yang terkesan dibuat-buat. Guntur menulis:
“Kriteria penyesatan versi mereka harus ditolak karena bertentangan
dengan prinsip-prinsip akidah dan etika dakwah Islam. Dalam akidah Islam, hak pengimanan dan penyesatan hanya milik Allah. Ketika wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad terhenti dengan meninggalnya Nabi, semua orang atau kelompok memiliki derajat yang sama, yaitu berusaha memahami wahyu tersebut.”
Ini adalah argumentasi yang sangat rancu. Justeru yang dilakukan oleh aliran sesat itu malah melanggar konsep Al-Qur’an dan Sunnah. Allah sudah menjelaskan di dalam Al-Qur’an bahwa Nabi Muhammad adalah penutup seluruh nabi (khatam al-nabiyyin) (Qs. Al-Ahzab [33]: 40). Aliran mana pun yang mengaku memiliki “nabi baru” atau “nabi yang lain” selain Nabi Muhammad SAW maka alirannya sesat, tidak benar. Saudara Guntur mungkin lupa bahwa dia juga pernah bersyahadat bahwa “Tidak ada Tuhan selain Allah. Dan Muhammad itu adalah utusan Allah”. Apakah kesaksian ini akan dilanggar gara-gara membela “kebebasan berpikir” yang “kebablasan”?
Jangan lupa, bahwa di dalam sahih al-Bukhari-Muslim diceritakan bagaimana malaikat Jibril mengajarkan rukun iman kepada Nabi SAW di depan para sahabatnya. Malaikat Jibril juga mengajarkan rukun Islam kepada kita. Islam itu pondasinya ada lima: [1] Syahadat; [2] Shalat; [3] Puasa; [4] Zakat; dan [5] Haji. Jika ada aliran yang menyatakan bahwa shalat, puasa, zakat, dan haji tidak wajib, maka aliran ini “sesat”. Juga, aliran yang memiliki syahadat yang menyimpang berarti sudah keluar dari koridor Islam. Yang membela aliran ini, justeru dia yang layak dicap sesat. Apalagi jika ‘sang nabi’ itu sudah bertobat. Anehnya, para pembela dan pendukungnya malah “tidak mau tobat”. Bukankah dia lebih sesat dari yang dibelanya itu?!
Guntur juga menulis: “Derajat mereka hanya sampai pada pencarian kriteria “benar dan salah” dalam menentukan ajaran agama, tidak sampai pada derajat mengetahui
“iman dan kafir”. Wilayah “benar dan salah” adalah lahan manusia yang menjadi bidang garapan “ijtihad”, yakni usaha manusiawi yang sungguh-sungguh untuk memahami. Dalam hal itu pun, hakikat kebenarannya masih sampai pada tahap “kebenaran manusiawi”. Bukan “kebenaran ilahi”.”
Mungkin Guntur sangat ‘geram’ kepada pendapat dan fatwa MUI. Sehingga dia menulis dengan membabi-buta. MUI hanya boleh menyelidiki apakah aliran-aliran sesat itu “benar atau salah”. MUI tidak boleh menyatakan “iman dan kafir”. Lalu apa gunanya Allah menjelaskan sifat-sifat orang munafik, orang-orang kafir dan orang-orang beriman jika tidak untuk diketahui? Jadi setiap karakteristika mereka itu masih “nisbi” (relatif), karena boleh “diijtihadi” lagi. Ini sama artinya firman Allah belum final.
Apalagi jika dikatakan bahwa setiap orang punya derajat yang sama dalam memahami wahyu Allah sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Maka muncullah shalat ustadz Roy yang bilingual itu. Kita pun digegerkan oleh Lia Eden yang mengaku sebagai “Jibril”. Mungkin nanti akan muncul lagi aliran yang menyatakan bahwa “aku adalah Allah” dalam wujut manusia. Na‘udzu billah min dzalik. Kenapa ini bisa terjadi? Karena setiap orang boleh memahami wahyu Allah, karena satu derajat. Tukang bakso boleh menafsirkan Al-Qur’an. Insinyur bangunan boleh berbicara tentang metodologi menafsirkan Al-Qur’an. Penjual sayur bayam boleh berbicara tentang hukum pernikahan (munakahat) atau kriminal (jinayat).
Guntur, sama dengan pemikir modernis dan liberal lainnya, ingin menghilangkan otoritas keilmuan para ulama. Karena semuanya, menurut mereka, nisbi. Tidak ada yang valid dan final. Kebenaran pun kebenaran nisbi.
Untuk membela pemikirannya ini, Guntur memplintir kaidah para ulama salaf, wallahu a‘lamu bi al-shawab. Kaidah ini menurutnya, “Pengakuan jujur dan mendalam bahwa yang mengetahui hakikat kebenaran hanyalah Allah.” Kalau pendapat para ulama itu semuanya kita masukkan dalam ‘keranjang’ yang sama. Sama-sama nisib alias relatif, lalu pendapat yang mana yang harus diikuti. Bukankah Nabi telah menjelaskan agar kita berpegang kepada sunnah-sunnah beliau dan sunnah para khulafa’ rasyidun. Bahkan para ulama itu adalah waratstul anbiya’ –yang tentunya ulama yang benar, bukan yang su’ (jahat dan jelek). Kaidah wallahu a‘lamu bi al-shawab adalah “kaidah ketawadu’an”. Itu lah sikap rendah hati para ulama Islam. Itu dalam masalah “ijtihadi”, dalam masalah keimanan: iman-kufur, fasik, munafik, dan hukum-hukum qath‘iy mereka tidak ada yang berbeda pendapat.
Sampai detik ini kita tidak pernah membaca bahwa mereka berijtihad bahwa akan ada nabi baru selain Nabi Muhammad SAW. Mereka malah berijma‘ bahwa orang yang mengaku “nabi” adalah kafir, keluar dari Islam. Nabi-nabi palsu sejak zaman Nabi SAW pun diperangi. Musailamah al-Kadzdzab adalah bukti konkret dalam kasus ini. Itu masih pada masa nabi. Para ulama klasik tidak pernah menyatakan wallahu a‘lamu bi al-shawab, mungkin Musalimah itu benar nabi. Tidak pernah!
Anehnya, Guntur mengakui dalam tulisannya: Syariat hanya bisa menghukumi hal-hal yang tampak, di sinilah sabda Nabi menemukan konteknya: nahnu nahkumu bi al-dlawahir wallahu yatawalla al-sara’ir –“kita (manusia) hanya bisa menghukumi yang lahiriah dan hanya Allah yang bisa menguasai yang batiniah.”
Benar sekali! MUI pun hanya mengkhumui yang zahir, bukan yang batin. Karena secara lahir aliran sesat itu sesat, maka dia disesatkan. Kenapa mesti diributkan. Penulis pun boleh menghukumi saudara Guntur ini. Karena Anda membela aliran sesat –secara zahir—maka Anda juga sesat –secara zahir. Masalah batin, kita serahkan kepada Allah. Tapi ingat, bahwa 10 kriteria sesat yang dikeluarkan MUI tidak bertentangan dengan rukun Islam. Jadi tidak ada alasan bahwa kriteria itu akan menutup “pintu dialog” versi Guntur. Abu Bakar pun tidak mau berdialog dengan Umar ibn al-Khatthab ketika banyak orang munafik yang menolak mengeluarkan zakat. Mereka malah diperangi.
Salah Faham
Ada kesalah-fahaman yang cukup berbahaya dari gaya berpikir Guntur. Dalam tulisannya dia menyatakan: “Namun, dasar tersebut tidak menjadi pijakan kriteria sesat itu.
Tengoklah poin kesepuluh kritertia itu yang ambigu dan bias “menyesatkan”. Bagi mereka, kriteria kelompok sesat adalah “mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar'i seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya” . Hakikatnya, poin itu masih membuka kesempatan boleh “mengafirkan sesasama muslim dengan dalil syar'i”. Padahal, yang seharusnya ditradisikan adalah larangan mengafirkan sesama muslim meskipun bersenjata dalil syar'i karena selama ini tidak ada pengafiran tanpa digunakannya dalil syar'i. Misalnya, Khawarij yang mengafirkan Imam Ali Ra. Mereka mengunakan dalil-dalil syar'i, mengutip ayat-ayat Alquran dan Hadis.”
Guntur ingin menyatakan bahwa MUI tidak boleh “mengkafirkan” aliran dan kelompok sesat itu. Karena itu tidak benar. Tidak boleh ada saling kafir-mengkafirkan. Ini kesimpulannya. Bukan hanya mengaku Nabi, pergi ke dukun saja Nabi sudah mengkafirkan pelakunya. Man ata kahinan, wa shaddaqahi bima yaqul, faqad kafara bima unzila ‘ala Muhammad (Siapa yang mendatangi seorang dukun dan membenarkan apa yang dikatakannya, dia telah kafir kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad) [HR. Ahmad dan al-Hakim]. Dalam riwayat lain disebutkan ‘arrafan’ (mendatangi orang pintar). Konon lagi yang mengaku sebagai “nabi”. Ini logika apa?! Khawarij memang mengkafirkan Imam Ali lewat dalil-dalil syar‘i. Tetapi dalil-dalil itu dipahami secara terbalik, diplintir sedemikian rupa agar sesuai dengan hawa nafsunya. Oleh karena itu, Imam Ali menyatakan, “Kalimatul haqqi yuradu biha batil” (Kata yang benar, tetapi maksudnya busuk (batil)). Ini sama dengan Mirza Ghulam Ahmad, pencentus Ahmadiyah. Dia juga menggunakan dalil syari‘i ketika mendaku sebagai “nabi”. Firman Allah dalam surah al-Shaff (Qs. 61: 6) diklaim mendukung ‘kenabiannya’. Kata “Ahmad” dalam surah itu ditafsirkan sebagai “Ahmad” dirinya.
Padahal itu adalah nubuwat dari nabi ‘Isa as., yang meramalkan kehadiran Nabi Muhammad SAW. Tentu saja maksud Mirza sangat baik, tapi tetap batil. Tidak dapat dibenarkan.
Penulis kira, mendukng sebuah pemikiran dan aliran pun kadang harus cerdas. Jika tidak, kita malah terjebak dalam ambiguitas pemikiran. Bukan hanya itu, kita juga justru akan terjebak dalam pengkafiran pihak lain. Wallahu a‘lamu bi al-shawab. [] (Kamis, 15 Nopember 2007)