“Muhammad dan Finalitas Kenabian”
Salah satu konsekwensi dari liberalisme-sekularisme adalah “dekonstruksi” konsep “kenabian” (al-nubuwwah) yang menjadi akidah Islam yang taken for granted. Dekonstruksi konsep nubuwwah ini pada gilirannya “membongkar” keyakinan umat Islam, yang sudah ‘mengendap’ dalam alam bawah sadar akidah mereka. Maka, muncullah interpretasi macam-macam terhadap ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang konsep ini.
Aliran semacam “Ahmadiyah” (yang sudah dikafirkan oleh ijma‘) umat Islam menginterpretasikan bahwa kata “Ahmad” dalam Qs. Al-Shaff: 6 adalah “Mirza Ghulam Ahmad”. Akhirnya dia mengklaim bahwa dirinya adalah “nabi” setelah Nabi Muhammad SAW.
Di Indonesia, misalnya, munculnya aliran sesat yang mengaku sebagai kelompok Al-Qiyadah Al-Islamiyah merupakan contoh konkret dari usaha mengaburkan konsep nubuwwah ini. Konsekwensi selanjutnya adalah –karena sudah mengaku nabi—dia merusak ajaran Islam, seperti haji, shalat, puasa, zakat. Semuanya menjadi “batal” alias tidak wajib. Anehnya, konsep “gila” dan “aneh” ini tetap ada yang mengusung dan mengasongkannya. Bukankah pengusung, pendukung dan pengasongnya lebih “gila” dan “aneh” dari yang didukung itu? Alasan klasik mereka pun akhirnya muncul: “Freedom of speech” or “freedom of belief”.
Khâtam Al-Nabiyyin: ‘Penutup’ Nabi-nabi atau ‘Cincin’ Para Nabi?
Klaim “kenabian” oleh Mirza Ghulam Ahmad di Indonesia didukung dan dibela habis-habisan oleh kelompok yang mendaku sebagai kaum liberal-pluralis. Akhirnya, secara beramai-ramai mereka menghujat fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah “bukan Islam”. Gus Dur, misalnya, meminta agar MUI tidak menggunakan kata “kafir” dan “sesat” terhadap satu golongan yang meyakini satu keyakinan –termasuk di dalamnya Ahmadiyah, Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan Komunitas Eden.
Dalam Islam, pintu masuk akidahnya adalah mengucapkan ‘dua kalimat syahadah’: “Asyhadu anlaa ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah”. ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah’. Kesaksian ini dalam Islam didasarkan kepada satu konsep penting, yakni “khatm al-nubuwwah”, ‘penutup kenabian. Sejak Nabi Muhammad diangkat sebagai Rasul, beliau sudah mengikrarkan bahwa tidak ada nabi setelah beliau. “Dulu kaum Bani Israil diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi (dari mereka) meninggal, nabi-nabi yang lain menggantikannya. Sesungguhnya, tidak ada nabi “sesudahku”…” (Shahih al-Bukhari: XI/271). Itulah penggalan sabda Nabi SAW yang menyatakan bahwa tidak ada nabi setelah beliau. Maka wajar, jika orang yang mengklaim sebagai nabi adalah “di luar Islam” dan harus ditolak. Bahkan, dia adalah “kafir” dan sesat dan menyesatkan.
Pengakuan beliau bukan tak berdasar. Karena beliau adalah nabi yang ‘Laa yanthiqu ‘anil hawa in huwa illa wahyun yuuhaa’. “Beliau tidak pernah berkata menurut hawa nafsunya, melainkan berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya” (Qs. Al-Najm: 3-4). Konsep “khatam al-nabiyyain” adalah berasal dari Allah SWT, bukan dari Nabi SAW (Qs. Al-Ahzab [33]: 40).
Klaim nubuwwah Mirza Ghulam Ahmad sebenarnya ‘sangat lucu’, karena mirip “dagelan”. Pada mulanya dia mengklaim sebagai “wali Allah yang paling agung”. Kemudian, dia mengklaim sebagai pembaharu (mujaddid) umat Islam yang mengikuti “jalan Kristus”. Fase ketiga, dia mengklaim sebagai “Kristus yang dijanjikan” (al-Masih al-Mau‘ud) [Dr. Thaha al-Dasuqi Hubaisyi, al-Harakat al-Diniyyah fi al-Mujtama‘ al-Mu‘âshir, ttp: 206). Klaim Al-Masih Al-Mau‘ud ini akhirnya ditiru oleh Ahmad Moshaddeq, yang ‘bertapa’ di satu gua di Bogor, kemudian –menurutnya—mendapat wahyu dan mengaku sebagai nabi. Mirza baru mengklaim dirinya sebagai “nabi” pada tahun 1901. Dan pada tahun 1904 dia mengklaim sebagai “Krishna”. Klaimnya ini akhirnya menimbulkan problem serius dengan orang-orang Hindu yang ada di India. (Hubaisyi, ibid.,: 209 & 212). Oleh karena itu sangat “gila” dan “aneh” jika ada yeng menganggap bahwa Ahmadiyah itu adalah “Islam”. Akidah Islam jelas bahwa khatam al-nabiyyin adalah Nabi Muhammad SAW. Siapa yang meyakini ada “nabi” setelah beliau, maka beliau adalah kafir.
Jika kita merujuk buku-buku tafsir standar, seperti Jami‘ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an karya al-Thabari (w. 310), tafsir Ibnu Katsir, tafsir Jami‘ Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi, tafsir al-Manar karya Syeikh Rasyid Ridha, dan tafsir Fii Zhilaal al-Qur’an karya Sayyid Quthb, tidak seorangpun dari mereka yang menafsirkan bahwa kata “khatam al-nabiyyan” adalah ‘cincin para nabi’. Jadi, tidak benar jika ada orang atau pihak yang menyatakan bahwa akan ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW, karena khatam al-nabiyyin artinya adalah “cincin para nabi”.
Nabi Muhammad: “Kenapa Khatam al-Nabiyyin?
Pertanyaan ini perlu dijawab, karena berkaitan dengan akidah umat. Al-Qur’an menyatakan bahwa beliau adalah “nabi pamungkas”, khatam al-nabiyyin (Qs. Al-Ahzab [33]: 40).
Islam datang menyempurnakan agama-agama sebelumnya. “Jika misi Kristen adalah sebagai agama pertama yang membangun ibadah di atas ‘hati nurani manusia’ dan memberikan kabar gembira kepada manusia tentang ‘kasih sayang langit’, maka risalah Islam yang tidak ada ‘tedeng aling-alingnya’ merupakan agama pertama yang menyempurnakan “konsep ketuhanan” (al-fikrah al-ilahiyyah) dan membenarkannya…” (Dr. Ali Abd al-Fattah al-Maghribi, al-Nubuwwah wa al-Anbiya’ fi al-Fikr al-Islamiy, Cet. II, 1994: 248).
Ada dua hal pokok (orientasi) penting dalam Islam, yang menjadikannya sebagai agama universal dan “agama penutup”. Pertama, Nabi Muhammad diutus kepada seluruh umat dunia untuk memberikan petunjuk kepada mereka. Secara realita, ini merupakan sinyal jelas kepada konsep yang luar biasa, yakni konsep “kesatuan manusua” yang dibangun oleh agama Islam. Oleh karena itu, perintah yang ditujukan kepada beliau adalah: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua” (Qs. Al-A‘raf [7]: 185), “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.” (Qs. Al-Anbiya’: 107). Oleh karena itu, agama Islam ini telah sempurna dengan kehadiran beliau, dan tidak akan muncul seorang nabi setelah beliau. (Qs. Al-Ma’idah [5]: 3 dan Qs. Al-Ahzab [33]: 40).
Kedua, beliau diutus membawa satu risalah (misi) pembenar terhadap satu tujuan global, yaitu manusia agar meningkat baik dalam keumuman mereka. Agar manusia memiliki ‘amnusia’ nalar berbeda agar mampu menerima tahdzib (penanaman akhlak, moral yang baik). Dan tidak ada satu fase kehidupan manusia pun yang tidak dibekali oleh beliau dengan petunjuk dan bimbingan. Di masa kehidupan beliau, terbangunlah seluruh ‘aktivitas kemanusiaan’ (al-nasyath al-basyariy) dengan sempurna. (ibid: 249 & 250). Menurut Allah dalam Al-Qur’an, Islam adalah penutup agama-agama dan agama seluruh para nabi. (Lihat lebih detail, Prof. Dr. Ali Jum‘ah, Al-Bayan limaa Yusyhgilu al-Adzhaan: Mi’at Fatwa li Radd Syubah al-Khaarij wa lima Syamula al-Daakhil, 2005: 16-18).
Menurut Syeikh Muhammad ‘Abduh, ketika Islam datang, ketika manusia terpecah dalam golongan-golongan dalam agama, padahal mereka tidak memiliki keyakinan yang kokoh. Mereka saling cerca dan saling laknat. Dan mereka mengklaim paling ‘kuat berpegang kepada tali Allah’. Perpecahan, perselisihan dan saling tipu dianggap sebagai sebab terkuat dalam jalan Allah. Semua itu ditolak mentah-mentah oleh Islam. Allah menegaskan, tidak ada keraguan di dalamnya, bahwa agama Allah dalam setiap zaman dan menurut lisan seluruh nabi adalah “satu”. (Qs. Ali ‘Imran [3]: 19, 67, Qs. Al-Syura [42]: 13, Qs. Ali ‘Imran [3]: 64). (Syeikh Muhammad ‘Abduh, Risalah al-Tawhid, Cet. I, 2001: 211-212).
Setelah menjelaskan kelebihan dan keistimewaan Islam, Syeikh Muhammad ‘Abduh menjelaskan: “Oleh karena itu, seluruh kenabian (al-nubuwwat) ditutup dengan kenabian Muhammad SAW. Seluruh risalah usai dengan adanya risalahnya, sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Kitab (Al-Qur’an) dan dikuatkan oleh sunnah yang sahih. Hal itu juga dibuktikan dengan ‘luluh-lantaknya’ para pengklaim kenabian dan risalah setelahnya. Akhirnya dunia menjadi ‘tenteram’, karena telah mereguk nikmatnya ilmu. Sampai akhirnya tidak adalah jalan untuk menerima propaganda orang yang yang mengklaim “kenabian” dan “risalah”, bahwa dia berbicara tentang tentang Allah lewat satu syariat, atau melakukan perintah untuk menyampaikan wahyu-Nya. Begitulah terbukti kebenaran ‘kabar gaib’: ‘Tidaklah Muhammad itu salah seorang bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, malainkan (dia) utusan Allah dan “khatam al-nabiyyin” (penutup para nabi). Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Qs. Al-Ahazab [33]: 40). [‘Abduh, ibid.,: 227).
Suatu ketika, Abu Tsumamah Harran ibn Hubaib alias “Musailamah al-Kadzdzab” berkirim surat kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya dia menulis: Min Musailamah rasulillah ilaa Muhammad rasulillah. Salaamun ‘alayka, amma ba‘du..Fa’inni qad asyraktu fi al-amri ma‘aka. Wa anna lanaa nishfa al-ardhi wa li quraisyin nishfa al-ardhi. Wa laakin Quraisyan ya‘taduun’ (Dari Misailamah utusan Allah kepada Muhammad utusan Allah. Salam untukmu! Sungguh, aku bersama kamu sama-sama satu hal (nabi dan rasul). Dan kita punya setelah tanah, dan Quraisy punya setengahnya. Tetapi Quraisy melampui batas).
Surat beliau dijawab oleh Nabi Muhammad SAW: ‘Bismillaahirrahmaanirrahiim. Min Muhammadin rasulillah ilaa Misailamah al-Kadzdzaab. As-Salaamu ‘ala man ittaba‘a al-hudaa, amma ba‘du…Fa’inna al-ardha lillaahi yuuritsuha man yasyaa’u min ‘ibaadihi, wa al-‘aaqibatu lil muttaqiin’ (Bismillaahirrahmaanirrahiim. Dari Muhammad utusan Allah kepada “Musailamah sang pendusta”. Salam sejahtera bagi siapa yang mengikuti petunjuk. Sungguh, tanah itu adalah milik Allah. Dia yang mewariskan kepada hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Dan akhir yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa).
Musailamah tidak mengingkari “kenabian” Nabi Muhammad SAW, tetapi dia ingin menjadi seorang raja. (Dr. Maghribi, op.cit.,: 252-253). Mirza, Lia Eden, Ahmad Moshaddeq dan ‘para nabi palsu’ yang tanpa nubuwwah dan risalah itu juga tidak ada yang mengingkari kenabian Nabi Muhammad SAW. Mereka hanya ingin dianggap nabi, tidak lebih. Tapi harus ditegaskan –seperti surat Nabi SAW kepada Musailamah—bahwa setiap ‘nabi’ yang datang harus membawa nubuwwah dan risalah yang membuat manusia lebih baik, bukan malah menggugurkan atau menghabuskan nubuwwah dan risalah nabi-nabi sebelumnya. Jika ini yang terjadi, maka dia adalah “kadzdzab” , pendusta, pembohong. Wallahu a‘lamu bi al-shawab.[] (Medan, Kamis: 3 Januari 2008)