Minggu, Maret 23, 2008

“Menanggapi Buku Frans Donald”

Dua tahun terakhir, umat Islam-Kristen Indonesia dihebohkan dengan satu buku yang berjudul Allah dalam Alkitab dan Al-Qur’an: Sesembahan yang Sama atau Berbeda (Semarang: Sabar Publications, cet. I, 2005). Buku karangan seorang Kristen Unitarian (menurut klaimnya), Frans Donald, ini benar-benar mengundang pro-kontra yang sangat dahsyat. Ketua Asosiasi Pendeta Indonesia –yang memberikan kata pengantar buku ini—Dr. Tjahjadi Nugroho, MA memberikan komentar, “Tulisan Frans Donald dalam buku ini merupakan salah satu contoh upaya MENGGEBRAK kebuntuan dialog-dialog agama pragmatis selama ini. Judulnya menohok keras salah satu isyu teologis mendasar di kalangan umat Kristen dan Islam...” Tak ketinggalan, Panglima Barisan Berani Mati Islam sekaligus pengsuh PonPes Soko Tunggal Semarang, KH. Dr. Nuril Arifin, MBA pun berkomentar, “Saking menariknya, jadi Saya bacanya berulang-ulang.”

Penulis sendiri ikut mengacungkan jempol kepada penulis buku ini. Benar-benar buku yang luar biasa. Terlepas dari itu semua, ada beberapa poin penting yang ingin penulis kritik dari buku Fransi ini. Karena ada hal-hal yang berkaitan dengan inti ajaran Islam, yang tidak boleh dikutak-katik lagi.

Al-Qur’an “Firman Allah”, Bukan Perkataan Muhammad

Biasanya, para orientalis menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah “buatan” Muhammad. Sejak awal, musuh-musuh Al-Qur’an bahu-membahu untuk meruntuhkan dan menggugurkan “otentisitas wahyu Allah” ini.

Frans Donald pun tanpa sadar terjebak dalam framework orientalis dalam melihat Al-Qur’an. Ketika menulis tentang Allah Islam dan Allah Kristen, khususnya ketika berbicara tentang Yhwh, Frans menulis: “Yahweh, Allah (Elohim) yang disembah bangsa Israel itulah yang membuat Fir’aun mengaku bertobat dan menjadi Muslim ketika hampir tenggelam di tengah laut pada saat mengejar bangsa Israel. Hal itu ditegaskan oleh Nabi Muhammad s.a.w dalam surat Yunus QS. 10: 90:

“Dan Kami selamatkan Bani Israel melintasi laut, kemudian Fir’aun dan bala tentaranya mengikuti mereka, untuk menzalimi dan menindas mereka. Sehingga ketika Fir’aun hampir tenggelam, dia berkata: Aku percaya bahwa tidak ada Tuhan (Allah) melainkan Tuhan (Allah) yang dipercayai (diimani) oleh Bani Israel, dan Aku termasuk orang-orang Muslim (berserah diri).” (Frans Donald, 2007: 31-32).

Jadi, menurut Frans, firman Allah dan Qs. Yunus [10]: 90 di atas ada “perkataan” Nabi Muhammad s.a.w, bukan perkataan Allah. Ini tentu salah fatal, tidak bisa dibenarkan. Frans mengulangi kesalahan yang salam dalam bukunya. Dia menulis: “Nabi Muhammad s.a.w mengatakan bahwa Isa adalah ‘erkemuka (mulia) di dunia dan di akhirat’ (Qs. Ali Imran, QS. 3: 45) (ibid: 36). Hal seperti ini tidak dapat begitu saja diterima. Karena akibatnya sangat fatal.

Kata Rabb dalam Islam

Tujuan Frans yang ingin mendamaikan perselisihan umat Islam-Kristen terakait kata God dan Lord membuatnya harus menarik kesimpulan premature. Frans sangat tergesa-gesa ketika menyatakan bahwa kata Lord (Inggris) sepadang dengan kata Rabb (Arab), yang bermakna “tuan”, bukan “tuhan”. Frans menulis: “Kata Tuhan di dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Tuan yang diperhalus dengan tambahan huruf ‘h’ diantara ‘tu’ dan ‘an’, menjadi Tuhan. Dari akar katanya, tidak ada perubahan atau perbedaan makna antara Tuhan dan Tuan, yang sama-sama berarti ‘yang dihormati’ atau ‘pimpinan’. Padanan katanya di dalam:

Bahasa Arab : Robb

Bahasa Inggris : Lord

Bahasa Ibrani : Adonay

Bahasa Yunani : Kurios

Penting dipahami, lanjut Frans, bahwa di dalam Alkitab atau Bible berbahasa Indonesia, Allah pasti Tuhan tapi Tuhan belum tentu Allah. (ibid: 23). Yesus di dalam Injil juga disebut sebagai lord (kurios), yang dalam Alkitab bahasa Indonesia diterjemahkan Tuhan. “God has made Jesus...both Lord and Chrsist” (Kisah Para Rasul 2: 36), dalam bahasa Indonesia menjadi: “Allah telah membuat Yesus...menjadi Tuhan dan Kristus.” Makna kata Tu(h)an Yesus tidak beda dengan Tu(h)an Abraham. Dalam bahasa Jawa diterjemahkan menjadi Gusti Yesus. Yesus disebut Lord (Tuhan) bukan God (Allah). Dengan pemahaman yang benar tentang istilah penting ini, maka umat Islam tidak perlu berkeberatan jika Yesus oleh umat Nasrani disebut sebagai Tuhan. Tuhan Yesus bukan dimaksud sebagai Allah Yesus. (ibid: 24).

Tentu saja Frans keliru jika menganjurkan umat Islam untuk tidak “keberatan” dalam penerjemahan kata Lord atau tuan menjadi rabb dalam bahasa Arab. Kata rabb dalam Islam terkait erat dengan sosok yang Mahaesa, Allah s.w.t. Dalam Islam, “Allah” dan “Rabb” person-nya satu, yaitu Allah. Allah disebut sebagai al-Ism al-A‘zham, nama yang sangat agung. Nama-nama Allah yang indah (al-Asma’ al-Husna) seluruhnya bermuara pada zat yang disebut dengan Allah. Bagaimana dengan rabb? Kata rabb dalam Islam bermakna “Tuhan” yang memberikan tarbiyah (edukasi) kepada seluruh makhluk-Nya. Bertebaran ayat-ayat Al-Qur’an yang menggunakan kata rabb, seperti: rabbul masyriqaini wa al-maghribaini (Qs. Al-Rahman []:), rabb al-samawati wa wal ardhi, dll. Semuanya mengindikasikan bahwa hanya Allah sebagai “pendidik” terbaik bagi alam semesti. Oleh karena itu, seluruh bentuk pujian hanya untuk “Allah” sebagai rabb (pendidik) semesta alam. Al-hamdu lillahi rabbil ‘Alamin (Qs. Al-Fatihah [1]: 2).

Jika Allah merupakan satu-satunya sesembahan (al-ma’luh, al-ma‘bud) maka rabb satu-satunya Allah yang begitu ‘lemah-lembut’ dalam mendidik makhluknya. Makanya, wahyu pertama yang turun kepada Rasulillah s.a.w di Gua Hira menggunakan kata-kata rabb, bukan kata Allah. Sehingga, dalam ilmu Tawhid, Tawhid itu terbagi kepada tiga bagian penting: [1] Tawhid Uluhiyyah (penyembahan kepada Allah yang hanya berhak dianggap sebagai satu-satunya sesembahan, al-Ilah); [2] Tawhid Rububiyyah (mentauhidkan Allah, yang hanya Dia sebagai pendidik terbaik, rabb); dan [3] Tawhid al-Asma’ wa al-Shifat. Jika rabb, tidak bisa diterjemahkan menjadi “Lord” atau “Tuan”. Ini salah kaprah. Dalam bahasa Arab, “tuan” biasa disebut “sayyid”, bukan “rabb”.

Wallahu a’lamu bi al-shawab. [Q] (Medan, 19 Maret 2007).

 

<<Kembali ke posting terbaru

"BERPIKIRLAH SEJAK ANDA BANGUN TIDUR" (Harun Yahya)