AL-QUR’AN: KITAB SUCI NAN AGUNG
Pendahuluan
Al-Qur’Én adalah firman Allah yang Mahasuci (al-QuddËs). Ia dibawa turun oleh malaikat JibrÊl: malaikat yang menjadi kepercayaan Allah (al-rËÍ al-amÊn)[1] lagi suci (rËÍ al-quds).[2] Dia diutus oleh Allah untuk membawa Al-Qur’Én ke dalam qalb (hati) Rasulullah s.a.w. Oleh karenanya, siapa yang memusuhi JibrÊl, maka dia kafir dan Allah menjadi “musuhnya”.[3] Karena Al-Qur’Én berasal dari Allah yang Maha Suci; dibawa turun oleh malaikat JibrÊl yang suci; kemudian diwahyukan kepada Nabi Muhammad yang suci, maka Al-Qur’Én adalah “Kitab Allah yang Suci”.
Dan umat Islam seluruh dunia meyakini bahwa Al-Qur’Én adalah “Kitab Suci”. Anehnya, masih saja ada sarjana Muslim yang tidak rela kaum Muslimin meyakini Al-Qur’Én sebagai kitab suci agamanya (Islam). Dengan alasan bahwa Al-Qur’Én harus diletakkan dalam “konteks kesejarahan” ketika wahyu ditulis, Al-Qur’Én dilucuti dari kesuciannya.[4] Ini jelas merupakan satu ide asing (dakhÊl) dan murni gaya orientalis dalam melucuri sakralitas Al-Qur’Én. Karena mereka mengira bahwa yang menjadikan Al-Qur’Én itu suci adalah “konteks sejarah”, bukan Allah ataupun Nabi Muhammad. Untuk itu, pemikiran destruktif dan dekonstruktif ini perlu diluruskan. Agar tidak menjadi virus liar yang menggerogoti keyakinan umat Islam yang sudah “berurat-berakar” dalam ‘nadi keimanan’ mereka. Berikut ini akan dijelaskan kekeliruan pandangan mereka mengenai sakralitas Al-Qur’Én.
KitÉb, MuÎÍaf, dan Al-Qur’Én
Salah satu nama Al-Qur’Én yang ada adalah al-KitÉb, karena ia merupakan kitab yang tertulis. Ini pun diakui oleh penulis MSA, karena menurut mereka Al-Qur’Én menyebutkannya dalam banyak ayatnya.[5] Meskipun jelas ayat-ayatnya yang menyatakan bahwa Al-Qur’Én itu al-KitÉb, mereka tetap “menolak”. Malah berdalih bahwa yang dimaksud oleh Al-Qur’Én adalah “tulisan” secara umum. Menurut mereka, hal itu tidak merujuk kepada satu kesatuan kitab suci utuh. Alasan mereka: Karena pada masa Nabi hidup, “sangat tidak masuk akal” membayangkan sebuah kitab suci yang utuh, karena kelengkapan wahyu sangat bergantung kepada usia Nabi.[6]
Apa yang mereka tulis di atas jelas sekali “kerancuannya”. Pertama, menolak firman Allah bahwa Al-Qur’Én adalah al-KitÉb. Padahal dalilnya sangat jelas. Misalnya dalam Qs. al-Baqarah [2]: 2. Karena kata al-KitÉb dalam Qs. 2: 2 ini adalah Al-Qur’Én. Karena menurut Sayyid Muhammad RasyÊd RiÌÉ, murid Muhammad ÑAbduh (w. 1905), maksud dari al-KitÉb adalah “satu kitab” yang dikenal oleh Nabi Muhammad. Dan kitab ini, tegas RiÌÉ, mencakup segala hal yang dibutuhkan bagi para pencari kebenaran (ÏullÉb al-Íaqq), petunjuk (al-hidÉyah), dan bimbingan (al-irsyÉd) dalam setiap lini kehidupan dunia dan bekal akhirat. Maka Qs. 2: 2 mengisyaratkan itu semua.
Kedua, apakah tidak mungkin kitab itu ada pada zaman Nabi Muhammad? Atau, apakah kitab suci itu harus utuh dulu baru kemudian absah dan valid disebut al-kitÉb? Pertanyaan ini dijawab dengan tegas oleh RasyÊd RiÌÉ: “Tidak mengapa wujud kitab itu belum ada secara keseluruhan (belum lengkap) ketika waktu diturunkan!” Karena keberadaan sebagian kitab tersebut sudah menjadi bukti valid akan kebenarannya. Karena sebagian Al-Qur’Én sudah turun sebelum ayat ini turun. Kemudian Nabi Muhammad diperintahkan untuk menuliskannya. Maka ditulislah dan dijaga dengan baik.
Bahkan, tambah RiÌÉ, isyarat itu sudah cukup untuk menunjuk kepada surah al-Baqarah. Karena dia benar karena ayatnya diakhir dengan hudan li’l-muttaqÊn (cukup dan layak menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa). Dan isyarat kepada keseluruhan kandungan al-kitÉb tersebut ketika turun sebagiannya menegaskan bahwa Allah berjanji kepada Nabi akan melengkapi al-kitÉb tersebut. Jadi tidak mengapa ketika turun al-kitÉb tersebut belum ditulis secara utuh. Karena, Anda juga biasa mengatakan: “Saya sedang mendiktekan satu kitab. Atau, kemarilah, akan saya diktekan satu kitab kepadamu!”[7] Artinya: buku atau kitÉb tersebut belum sempurna dituliskan, tapi sudah disebut sebagai kitab.
Jadi, Al-Qur’Én adalah al-KitÉb. Dan bagi siapa saja yang menelaah kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh para ulama kita, tidak akan merasa aneh – apalagi menganggap tak masuk akal – jika Al-Qur’Én itu adalah al-kitÉb. Oleh karena itu, menurut Imam al-KisÉ’Ê, ketika mengomentari kata al-kitÉb dalam Qs. 2: 2, maksudnya adalah: “Isyarat Al-Qur’Én yang berada di langit dan belum turun.”[8] Artinya: menunjukkan bahwa Al-Qur’Én adalah al-kitÉb.
Selain menolak kata al-kitÉb, penulis MSA juga menolak jika Al-Qur’Én merupakan nama dari Al-Qur’Én itu sendiri. Alasan mereka: karena istilah “Al-Qur’Én” melewati proses panjang sebelum kitab suci itu dinamakan demikian.[9] Mereka kemudian mencari justifikasi dari kitab al-ItqÉn karya Imam JalÉl al-DÊn al-SuyËÏÊ (w. 911 H). Dimana menurut mereka, sang iman mencatat bahwa sepeninggal Nabi, para sahabat berbeda pendapat mengenai nama apa untuk menyebut “kitab suci” mereka. Apakah harus disebut “InjÊl” seperti kaum Kristen, atau “Sifr” seperti dalam tradisi Yahudi.
Padahal, jika kita rujuk langsung ke dalam al-ItqÉn ceritanya berbeda. Para sahabat berbeda pendapat dalam masalah penyebutan Al-Qur’Én bukan sepeninggal Nabi, melainkan ketika Abu Bakr al-ØiddÊq selesai melakukan kodifikasi.[10] Jadi, mereka mengusulkan penyebutan untuk kodifikasi yang dilakukan oleh Abu Bakr, bukan untuk menyebut isi dan kandungan Al-Qur’Én. Karena namanya Allah langsung yang menyebutkan, bukan buatan para sahabat. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya ayat yang menyebut kitab suci kaum Muslimin ini dengan “Al-Qur’Én”.[11]
Jadi, meskipun cerita penyebutan Al-Qur’Én dengan MuÎÍaf seperti yang diusulkan oleh ÑAbd AllÉh ibn MasÑËd tidak serta-merta hal itu menjadi dalil dan dalih bahwa Al-Qur’Én sebagai wahyu Allah menjadi tidak sakral. Juga tidak sebaliknya, bahwa kata MuÎÍaf merupakan sakralisasi Al-Qur’Én. Karena kitab suci yang agung ini sudah “sakral” sejak semula. Anehnya, istilah MuÎÍaf pun dipermasalahkan. Hanya karena berasal dari bangsa Ethiopia (×abasyah), yang menurut mereka merupakan tradisi Kristen di sana untuk merujuk InjÊl yang dibukukan.[12] Padahal, Al-Qur’Én tidak disebut sebagai MuÎÍaf pun namanya sudah Al-Qur’Én dan banyak lagi. Bahkan, menurut AbË al-MaÑÉlÊ ÑAzÊzÊ ibn ÑAbd al-Malik yang dikenal dengan Syaidzalah dalam bukunya al-BurhÉn, Allah menamai Al-Qur’Én dengan 55 jenis nama.[13]
Meragukan MuÎÍaf
Para penulis MSA juga meragukan keabsahan MuÎÍaf Al-Qur’Én. Mengutip Taufik Adnan Amal, mereka menyatakan bahwa banyaknya para penulis wahyu memunculkan berbagai spekulasi tentang adanya sejumlah mushaf pada masa Nabi. Ahmad von Denver, salah seorang penulis sejarah Al-Qur’Én modern, meyakini paling tidak ada 23 mushaf yang dialamatkan kepada para penulis wahyu.
Mereka juga mempermasalahkan masalah beragama surah Al-Qur’an berikut susunannya yang berada di tangan para sahabat, seperti: Mushaf Ubay ibn KaÑb, Mushaf Ibn MasÑËd, dan Mushaf Ibn ÑAbbÉs. Ringkasnya, menurut mereka, bentuk mushaf pada masa Nabi “jika memang ada” – sekali penulis menegaskan pendapat mereka: “jika memang ada” – itu pasti jauh dari sempurna.[14]
Dari pandangan penulis MSA di atas, dapat dipahami sebenarnya mereka pun tidak terlalu yakin dengan ide yang mereka tuangkan. Bahkan jelas sekali tidak kritis dalam mengutip pendapat Ahmad von Denver dari Taufik Adnan Amal. Karena masalah banyaknya mushaf para sahabat tidak menggambarkan bahwa itu mushaf yang benar. Melainkan mushaf pribadi yang biasanya banyak bercampur dengan pandangan, penjelasan, dan catatan pribadi. Maka adalah wajar jika terjadi perbedaan dalam meletakkan surat dan ayat Al-Qur’an. Dan ini sudah banyak dibahas dengan sangat baik oleh para ulama yang berwibawa dan bermartabat dalam studi Al-Qur’Én.[15] Tapi anehnya, tetap pendapat yang “lemah” yang mereka ambil. Ini artinya tidak ada niat baik untuk mencari kebenaran.
Pandangan mereka yang menafikan kesempurnaan MuÎÍaf di zaman Nabi Muhammad adalah pendapat “aneh” dan sangat ganjil. Padahal, sejarah mencatat bahwa pada masa Nabi Muhammad Al-Qur’an sudah lengkap. Meskipun tidak dikompilasi seperti yang kita lihat sekarang. Tetapi “wahyu” sudah turun sempurna.
Meragukan Kodifikasi Al-Qur’an
Penulis MSA juga meragukan kodifikasi Al-Qur’an yang dilakukan oleh Abu Bakr al-ØiddÊq. Bahkan Abu Bakr sendiri tidak pernah menyetujui usulan ‘Umar untuk mengkodifikasi Al-Qur’an. Akhirnya pendapat yang diambil adalah: ‘Umar sendiri yang mengkodifikasi Al-Qur’an.[16] Mereka juga menuduh bahwa susunan surat merupakan “ijtihÉd” dan “kesepakatan” para panitia pembukuan Al-Qur’an, hanya karena Al-Qur’an tidak ditulis sesuai kronologis turunnya.[17] Berbagai riwayat yang menegaskan bahwa susunan surat dan ayat berdasarkan petunjuk Nabi pun mereka tolak. Alasannya riwayat-riwayat tersebut problematik, karena menurut mereka: nama-nama surah datang belakangan, muncul dalam beragam nama, dan penyusunan sempurna mengandaikan kelengkapan ayat.[18]
Jadi, dasar penolakan mereka sangat lemah. Hanya karena mereka tidak setuju dengan riwayat yang jelas-jelas akurat dan banyak bertebaran mereka menjadi tidak menerima. Juga, karena nama-nama Al-Qur’an beragama kemudian mereka tolak. Satu ciri skeptisisme yang begitu nyata. Dan ini bias filsafat Barat yang mencoba “mendekonstruksi” segala bentuk kemapanan.
Menolak ×adÊts Nabi
Ragama bacaan terhadap Al-Qur’an juga membuat penulis MSA “geram”. Karena menurut mereka ragam bacaan adalah hal yang tak dapat diterima, tidak masuk akal. Hadits Nabi yang menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam “tujuh huruf” pun akhirnya dicurigai. Menurut mereka: Hadits ini merupakan upaya antisipasi terhadap kesimpang-siuran bacaan. Karena terlalu banyak versi bacaan yang muncul, sehingga kaum Muslimin kebingungan mana bacaan yang benar dan mana yang salah. Mereka menambah argumentasi bahwa: penilaian benar dan salah menyangkut Al-Qur’an adalah sesuatu yang berbahaya, dan karenanya, mereka mengakomodir semua versi itu dengan memberikan justifikasi Hadits Nabi tersebut.[19]
Tanpa penelitian yang kritis dan memadai terhadap Hadits mengenai aÍruf sabÑah atau sabÑah aÍruf penulis MSA menolak Hadits Nabi yang saÍÊÍ di atas. Alasannya pun tidak masuk akal: kaum Muslimin bingung memilih bacaan mana yang benar dan mana yang salah. Padahal yang benar adalah disebabkan oleh beberapa faktor berikut, diantaranyas:
1. Perbedaan dalam bahasa, sebagaimana diisyaratkan Hadits riwayat Abu al-ÑÓliyah.
2. Perbedaan dalam beberapa kosa kata, seperti ungkapan: halumma, taÑÉlÉ, ÑalÊm, ÍakÊm, ghafËr, dan raÍÊm, asalkan tidak mengakhiri/mencampur ayat tentang azab dengan ayat rahmat atau ayat tentang rahmat dengan ayat tentang azab.
3. Perbedaan mengenai jumlah ayat pada satu surat tertentu.
4. Perbedaan yang ditimbulkan karena faktor ketidakmampuan mengucapkan sebuah kata yang disebabkan karena usia masih belia. Diantaranya anak yang masih kecil.
5. Perbedaan yang timbul karena kelemahan yang disebabkan karena ketidaktahuan (diantara mereka adalah hamba sahaya).
6. Perbedaan yang timbul karena kelemahan yang disebabkan karena usia lanjut (diantara mereka adalah kakek dan nenek yang sudah lanjut usia).[20]
Lantas, mengapa Nabi mengusulkan agar Al-Qur’an turun dalam “tujuh huruf”? Ini karena berbagai pertimbangan Rasul, berdasarkan riwayat yang ada, yaitu:
1. Rasulullah menyaksikan sebagian umatnya yang mengalami kesulitan dalam membaca Al-Qur’an.
2. Rasulullah s.a.w. memandang perlu untuk mengambil sebuah tindakan, dengan tujuan untuk memberikan kemudahan kepada umatnya dalam hal membaca Al-Qur’an.
3. Rasulullah menginginkan keputusan itu bersumber dari wahyu. Karena itu beliau memohon hal tersebut kepada JibrÊl a.s. Dalam hal ini beliau dibantu oleh malaikat MikÉ’Êl. Saat itu, MikÉ’Êl berkata kepada JibrÊl: “Mintakanlah tambahan untuknya!”
4. JibrÊl a.s. membawa perintah untuk membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf setelah Nabi s.a.w. mengulang-ulang permohonannya, agar Allah mengabulkan harapannya. Setelah itu datanglah perintah Allah sebagaimana tertera dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ubay ibn KaÑb: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan Anda untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf. Barangsiapa membaca dengan satu huruf di antaranya, berarti ia telah membacanya seperti ia (Rasul) membaca.”[21]
Selain itu – mungkin karena tidak menguasai ilmu QirÉ’Ét, wallahu a’lam – penulis MSA juga menolak ragam qirÉ’Ét yang dikenal sejak zaman Rasulullah. Ragamnya yang begitu banyak menurut mereka adalah karena faktor “kekuasaan” yang tentunya sangat lekat dengan kepentingan. Ibn MujÉhid yang membicarakan qirÉ’Ét sabÑah dianggap “tidak disetujui” oleh banyak ulama.[22] Dan ini pun mereka kaitakan dengan “kekuasaan”. Padahal ada puluhan bahkan ratusan qirÉ’Ét Al-Qur’an, lantas mengapa Ibn MujÉhid hanya memilih “tujuh”? begitu kata mereka.[23] Mereka lupa bahwa memang haditsnya adalah “tujuh huruf”. Tapi karena Hadits ini sudah “ditolak” lebih awal, jadi bebas saja untuk tidak mempercayai usaha Ibn MujÉhid. Karena, memang, tegas mereka, sejarah Al-Qur’an adalah sejarah “kekuasaan”.[24]
Mengaitkan usaha para pakar qirÉ’Ét Muslim dengan “kekusaan” – bahkan bisa jadi menurut mereka kepentingan – mengingatkan kita kepada seorang filsuf Barat, Jürgen Habermas. Dimana menurutnya segala sesuatu harus dipahami lewat motif kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan kepentingan kekuasaan (power interest). Jadi, penulis MSA memahami kodifikasi Al-Qur’an dan qirÉ’Ét murni karena faktor kepentingan dan kekuasaan yang ada. Sungguh, satu tuduhan yang tidak berdasar dan sulit dibuktikan. Karena apa yang mereka ungkapkan hanya berdasarkan “dugaan”. Tidak lebih. Bisa jadi karena faktor ketidaktahuan juga. Karena pepatah Arab menyatakan, al-NÉs aÑdÉ’u mÉ jahilË (manusia memang cenderung memusuhi apa yang tidak diketahuinya).
Tuduhan Sakralisasi Al-Qur’an
Selain berbagai kerancuan di atas penulis MSA juga banyak melakukan tuduhan terhadap upaya “pengagungan Al-Qur’an. Mereka, misalnya, menyatakan bahwa Qs. al-Baqarah [2]: 177 yang menyebutkan kata al-KitÉb mengharuskan agama Islam menyebut Al-Qur’an dengan al-KitÉb. Menurut mereka ini adalah konsekuensi logis dari ayat tersebut. Kemudian mereka kaitkan kembali dengan proses kodifikasi Al-Qur’an. Tapi mereka menuduh kembali bahwa proses kodifikasi itu pun “berjalan rumit”.[25]
Kemudian, mereka juga menyatakan bahwa klaim mukjizat terhadap Al-Qur’an termasuk faktor mengapa Al-Qur’an disebut “sakral” dan berasal dari Allah.[26] Jadi kalau bisa, mereka berharap, tidak usah ada klaim “mukjizat” bagi Al-Qur’an.
Di samping itu, menurut mereka, tafsir-tafsir yang ditulis oleh para ulama memiliki andil besar dalam “mensakralkan” Al-Qur’an.[27] Disamping adanya larangan menterjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa non-Arab, dituduhkan oleh mereka, sebagai satu upaya “mensakralkan Al-Qur’an juga.[28]
Tuduhan Tabu-Tabu yang Menggelikan
Yang lebih “menggelikan”, penulis MSA menyatakan bahwa salah satu faktor mengapa Al-Qur’an menjadi Kitab Suci, adalah diciptakan segala bentuk tabu-tabu. Seperti faktor teknologi, yang menjadikan penjilidan Al-Qur’an menjadi lebih baik. Kemudian cara membawa Al-Qur’an, cara menyentuhnya, membawa dan memperlakukannya, merupakan tabu-tabu yang menjadikan Al-Qur’an suci.[29] Padahal semestinya memang demikian. Karena Al-Qur’an itu “suci”, maka setiap individu Muslim tidak bisa menyamakan interaksi dengan Al-Qur’an dengan buku-buku bacaan lainnya. Karena Al-Qur’an adalah Firman Allah, bukan novel, buku sejarah, atau lainnya.
Bahkan, Imam al-NawawÊ mengarang buku khusus mengenai adab (etika) berinteraksi dengan Al-Qur’an, al-TibyÉn fÊ ÓdÉb ×amalat al-Qur’Én (Etika Pembawa Panji Al-Qur’an), disamping buku SyarÍ al-Muhadzdzab dan al-AdzkÉr. Diantara adabnya adalah: berwudhu sebelum menyentuh dan membaca Al-Qur’an, banyak membacanya, tidak boleh melupakan ayat yang sudah dihafal – karena menjadi dosa besar – , sebanyak mungkin mengkhatamkannya, dslb.[30]
Dengan sangat berani mereka menuduh bahwa anjuran untuk “berwudhu” sebelum membaca Al-Qur’an adalah “penafsiran ulama” – yang dilakukan secara tendensius. Padahal tuduhan mereka terhadap penafsiran ulama terhadap Qs. al-WÉqiÑah [56]: 79[31] yang dianggap “tendensius” adalah tuduhan tak berdasar. Karena berwudhu sebelum membaca Al-Qur’an adalah anjuran Nabi.[32] Jadi bukan penafsiran tendensius dari kalangan ulama.
Selain itu, dan ini sangat aneh, Hadits yang menyatakan harus bersiwak – bisa juga sikat gigi – sebelum membaca Al-Qur’an juga disepelekan.[33] Menurut mereka, “Argumennya mudah ditebak, karena Al-Qur’an adalah kata-kata Allah yang suci, untuk mengucapkan mulut manusia pun harus dalam keadaan suci dan bersih.”[34] Tentu saja demikian adabnya, karena Al-Qur’an Kalamullah itu lah kita tidak dibenarkan semena-mena berinteraksi dengannya. Logikanya, siapapun tidak rela kalau surat dari ibunya diperlakukan semena-mena oleh teman atau kawannya. Apatah lagi Al-Qur’an yang merupakan Kalamullah yang agung, harus lebih dihormati dan diagungkan di atas segalanya. Kecuali jika naluri kita sudah mati dan tidak bisa membedakan mana novel picisan dan mana Al-Qur’an. wallÉhu aÑlamu bi al-ÎawÉb!
[1] Qs. al-SyuÑarÉ’ [ ]: 193-194.
[2] Cermati Qs. al-Baqarah [2]: 87.
[3] Lihat, Qs. al-Baqarah [2]: 97-98.
[4] “Kapan dan Bagaimana Al-Qur’Én Menjadi Kitab Suci?”, dalam Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie, dan Ulil Abshar-Abdalla, Metodologi Studi Al-Qur’Én, (Jakarta: Gramedia, 2009), hlm. 3. Selanjutnya, buku ini akan disingkat dengan MSA.
[5] Misalnya, Qs. al-Baqarah [2]: 2, 89, Óli ÑImrÉn [3]: 3, al-NisÉ’ [4]: 136, dan al-AnÑÉm [6]: 38.
[6] MSA, hlm. 9.
[7] Lihat, Sayyid Muhammad RasyÊd RiÌÉ, TafsÊr al-ManÉr, 12 Jilid, (Cairo: DÉr al-ManÉr, cet. II, 1366 H/1947 M), 1: 123.
[8] AbË Muhammad ÑAbd al-×aqq ibn GhÉlib ibn ÑAÏiyyah al-AndalusÊ (w. 546 H), al-MuÍarrar al-WajÊz fÊ TafsÊr al-Qur’Én al-ÑAzÊz, taÍqÊq: ÑAbd al-SalÉm ÑAbd al-SyaÉfÊ Muhammad, 6 Jilid, (Beirut-Lebanon: DÉr al-Kutub al-ÑIlmiyah, cet. I, 1422 H/2001 M), 1: 83.
[9] MSA, hlm. 9.
[10] Lihat, al-SuyËÏÊ, al-ItqÉn fÊ ÑUlËm al-Qur’Én, taÍqÊq: Pusat Studi Al-Qur’Én, 7 Jilid, (al-Madinah al-Munawwarah-Saudi Arabia: MujammaÑ al-Malik Fahd li al-ÙibÉÑah al-MuÎÍaf al-SyarÊf, 1426 H), 2: 344. Dalam hal ini, Imam al-SuyËÏÊ menyebutkan cerita penyebutan kodifikasi Al-Qur’Én Abu Bakr dari dua sejarawan Muslim. Pertama, IbrÉhÊm ibn ÑAbd AllÉh ibn ÑAbd al-MunÑÊm AbË IsÍÉq SyihÉb al-DÊn al-×amawÊ al-SyÉfiÑÊ dalam bukunya al-TÉrÊkh al-MuÐaffarÊ. Dan kedua, Ibn Asytah dalam kitabnya al-MaÎÉÍif. Dan kitab al-MaÎÉÍif dinyatakan hilang.
[11] Misalnya, Qs. al-WÉqiÑah [56]: 77, al-Muzzammil [73]: 20, dan al-BurËj [85]: 21.
[12] MSA, hlm. 10.
[13] al-SuyËÏÊ, al-ItqÉn, 2: 336.
[14] MSA, hlm. 11-12. Pandangan mereka didasarkan kepada pendapat Taufik Adnan Amal dalam Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’Én, (Yogyakarta: FKBA, 2001). Satu buku mengenai sejarah Al-Qur’an yang banyak “membeo” dan “membebek” kepada metodologi studi Al-Qur’Én Orientalis Barat.
[15] Lihat, misalnya Prof. Dr. Muhammad MusÏafÉ Al-AÑÐamÊ, The History of the Qur’Énic Text from Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testaments, (Jakarta: Gema Insani Press, cet. II, 1427 H/2006 M), hlm. 167-230. Bandingkan dengan Dr. Abdul Shabur Syahin, Saat Al-Qur’an Butuh Pembelaan, terjemah: Khairul Amru Harahap dan Akhmad Faozan, (Jakarta: Erlangga, cet. I, 2006), hlm. 218-301. Lihat juga, Adnin Armas, Metodologi Bibel dan Studi Al-Qur’an: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005).
[16] MSA, hlm. 13.
[17] Ibid., hlm. 13-14.
[18] Ibid., hlm. 15.
[19] Ibid., hlm. 17.
[20] Dr. Abdul Shabur Syahin, Saat Al-Qur’an Butuh Pembelaan, terjemah: Khairul Amru Harahap dan Akhmad Faozan, (Jakarta: Erlangga, cet. I, 2006), hlm. 66-67.
[21] Ibid., hlm. 84-85.
[22] MSA, hlm. 18.
[23] Ibid., 18.
[24] Ibid., hlm. 19. Masalah qirÉ’Ét ini akan dibahas secara detail dan mendalam pada bagian tersendiri. Insya Allah.
[25] MSA, hlm. 21.
[26] Ibid., hlm. 23.
[27] Ibid., hlm. 25.
[28] Ibid., hlm. 26-28.
[29] Ibid., hlm. 28.
[30] Lebih detil, lihat al-SuyËÏÊ, al-ItqÉn, 2: 657-718.
[31] MSA, hlm. 29.
[32] Lihat, al-ItqÉn, 2: 667.
[33] Lihat, al-ItqÉn, 2: 670-671.
[34] MSA, hlm. 30.