Mengingat Sang `Pemutus Kenikmatan`
Mengingat Sang ‘Pemutus Kenikmatan’
“Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulallah! Sesungguhnya, kematian yang telah dituliskan Allah atasmu telah engkau rasakan. Tidurlah, tidak akan pernah lagi engkau disentuh kematian, setelah ini, selamanya”
―Abū Bakr al-Shiddīq―[1]
Fātihah
Kematian adalah “kemestian”. Datangnya maut merupakan satu “keharusan”. Karena “kematian” (al-mawt) adalah bentuk kesempurnaan, meskipun banyak yang melupakan. Kematian adalah awal perpisahan di dunia, namun awal pertemuan di Akhirat. Siapapun orangnya: orang saleh, orang kaya-dermawan, orang yang rajin tahajjud, orang ahli sedekah, dlsb, tidak akan sempurna hidupnya kalau belum disentuh oleh kematian. Begitu juga sebaliknya, orang-orang jahat dan durjana. Itu sebabnya, kematian disebut juga wafāt: pembayaran yang sempurna, atau penunaian janji yang tertunda.
Saudaraku…
Tidak ada peristiwa yang paling menyesakkan dada, kecuali kematian Rasulullah saw. Uswatun Hasanah itu telah lama pergi meninggalkan kita. Manusia yang paling suci dan paling mulia itu menyisakan selaksa cinta kepada kita. Salah satu bentuk cintanya dapat kita resapi dalam sabdanya di bawah ini:
أَكْثِـــرُوْا مِنْ ذِكـــْرِ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ
“Banyak-banyaklah kalian untuk mengingat sang ‘pemutus’ kenikmatan”
(HR. al-Tirmidzī dan al-Nasa’ī, dari Abū Hurayrah)
Sudah berapa banyak rupanya kita “mengingat” sang ‘pemutus’ kenikmatan (kematian) itu? Atauhkah kita lupa akan perjalan dan pertemuan dengan Allah yang Maha Abadi? Na‘ūdzu billāhi min dzālik! Sungguh, siapa saja yang melupakan “kematian”, berarti telah jauh dari hidayah Al-Qur’an. Artinya, dia tidak yakin dengan Firman Allah, padahal itu merupakan kebenaran. Untuk itu, marilah kita saling-mengingatkan tentang kematian: tentang akhir kehidupan kita di dunia yang fana ini. Sebelum itu, mari kita cermati kata mutiara Imam al-Ghazālī (w. 505 H/1111 M) di bawah ini:
“Hendaklah orang yang kematian menjadi tempat tersungkurnya; tanah tempat berbaringnya; cacing teman akrabnya; malaikat Munkar dan Nakīr teman duduknya; kuburan tempat berdiamnya; perut bumi tempat semayamnya; hari Kiamat perjanjiannya (bertemu dengan Allah); dan surga atau neraka tempat kembalinya, “memikirkan” dan “mengingat” kematian. Ia harus bersiap-siap, memenej (amal) untuknya, tidak berpaling kecuali padanya, penuh perhatian kepadanya, tidak menanti kecuali menantinya. Dus, dia harus menyiapkan dirinya di tengah-tengah orang mati dan dia serasa melihat dirinya dalam golongan orang-orang yang sudah berada dalam kubur. Sungguh, segala yang akan datang itu waktunya teramat “dekat”, dan yang jauh tidak akan datang.”[2]
Kematian adalah benar adanya, pasti kedatangannya, tidak dimajukan atau dimundurkan waktunya. Ia selalu tepat waktu, hanya saja jam, menit, detiknya tidak ada yang tahu. Paling hebat, orang-orang menjadi tahu kalau seseorang sudah ditinggalkan rohnya, dan kembali kepada Tuhannya. Coba bayangkan, seandainya dikabarkan kepada Anda bahwa Malaikat maut akan datang besok untuk mencabut nyawa Anda:
ü Apa yang akan Anda perbuat hari ini?
ü Dalam kondisi bagaimana Anda akan menyambut kematian esok hari?
ü Berapa banyak amal-saleh yang sudah Anda siapkan untuk menemani Anda di alam kubur?[3]
Duh, sendainya jarum jam dapat diputar ulang? Sekiranya masa muda kembali lagi? Seandainya kemarin shalatku khusyuk? Sekiranya minggu lalu aku tak menyakitkan hati Si Anu, Si Fulan dan Si Fulanah? Ya Allah, kapan sebenarnya usiaku Engkau tentukan? Kapan sih aku akan dikembalikan? Agar aku siap-siap! Seandainya aku tahu, aku tidak akan menggigil seperti saat ini! Aku takut saat itu datang menghampiriku, sementara aku belum siap!
Kematian Akan Datang, Meskipun Kita Menghindar!
Ada pameo yang menyatakan, “Maut itu seperti pencuri. Datang tak pakai kaki, dan mengambil sesuatu tak menggunakan tangan.” Artinya, begitu rahasia. Dia datang tak ketuk pintu, meskipun tanda kematian dalam diri kita semua orang tahu. Tapi dia tak menyadarinya. Allah berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Sesungguhnya kematian yang kalian lari daripadanya, niscaya dia yang akan menemui kalian. Kemudian, kalian akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui alam ghaib dan alam nyata. Lalu, Dia akan memberitakan kepada kalian seluruhnya, tentang apa-apa yang kalian kerjakan di dunia.” (Qs. Al-Jumu‘ah (62): 8).
Bagaimana mungkin kita dapat menghindar dari kematian, padahal merasakan “maut” adalah hak kita masing-masing,
“Setiap yang bernyawa pasti merasakan kematian. Hanya pada hari Kiamat saja pahala kalian diganjar secara sempurna. Barangsiapa yang ‘digeser’ dari nereka dan masuk ke dalam surga, ia benar-benar menjadi orang yang sukses. Sungguh, kehidupan dunia ini hanya perhiasan yang melenakan.” (Qs. Āli ‘Imrān (3): 185).
Adakah yang dapat menjawab pertanyaan sebelumnya: Kapan, dimana, ketika waktu ngapain, dan dalam kondisi bagaimana dia akan dihampiri kematian? Dalam kondisi taat kepada Allah kah? Atau, ketika sedang bermaksiat kepada-Nya? Sedang bersedih hati mengingat dosa dan kesalahan kah? Atau sedang tertawa terbahak-bahak ketika melakukan maksiat di hadapan-Nya?
Hanya Allah yang dapat menjawabnya,
“Tidak ada satu jiwa pun yang tahu apa yang akan dia kerjakan esok hari. Dan tidak ada satu jiwa pun yang tahu di bumi belahan mana dia akan mati.” (Qs. Luqmān (31): 34). Dan jika kematian itu sudah tiba, adakah yang dapat ‘mengusirnya’. Atau minimal minta ditangguhkan sebentar? Agar kita bisa siap-siap dahulu: berwudhu’ dahulu, shalat sunnat dahulu, baca Al-Qur’an dahulu, istighfar dahulu, tobat dahulu? Tidak mungkin, impossible,
“Jika ajal mereka telah datang, mereka tak dapat menangguhkannya atau memajukannya, meskipun satu saat.” (Qs. Al-Nahl (16): 61).
Akh…., kita kan bisa bersembunyi di balik beton. Atau, kita akan bangun rumah yang paling kuat di dunia, dengan bahan-bahan yang tidak dapat ditembus oleh Malakul Maut. Saudaraku! Itu semuanya sia-sia, hanya akan menghabiskan usia dan dana. Kematian akan datang, dimanapun kita bersembunyi,
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh….” (Qs. Al-Nisā’ (4): 78). Jadi, kita mau lari kemana? Ke tempat yang mana? Ke bukit apa? Ke gunung di sebelah mana? Tembok yang mana yang mampu mengahalau kematian? Benteng yang mana yang dapat menahan tugas Malakul Mauti dari Rabbil ‘Izzati? Tidak akan ada yang bisa melakukannya. Lantas, apakah kita harus takut mati? Tidak, hanya pengecut yang takut akan kematian. Toh, takut dan tidak takut sama-sama dihampiri oleh maut. Mendingan tidak takut! Kalau tidak takut, apakah kita berdiam diri, berpangku tangan tanpa persiapa? Ini lebih konyol lagi!
Ingatlah Kematian, Manfaatkan Usia yang Tersisa!
Kita harus cinta dan rindu bertemu Allah, karena Allah akan merindukan pertemuan dengan kita. Nabi yang mulia saw mengingatkan kita, “Siapa yang cinta dan rindu bertemu dengan Allah, Allah akan merindukan pertemuan dengan-Nya.” (Muttafaq ‘Alayh, dari Abū Hurayrah).
Ingatlah pesah Imam ‘Ali, menantu Rasulullah, suami Fāthimah al-Zahrā’ di bawah ini. Semoga qalbu kita menjadi hidup kembali,
إِنَّكـــُمْ فـــِى أَجَلٍ مَحـــْدوْدٍ، وَأَمَلٍ مَمْدُوْدٍ، وَنَفْسٍ مَعْدُوْدٍ، وَلاَ بُـــدَّ لِلْأَجَلِ أَنْ يَتَنَاهـــَى
“Sungguh, kalian semua berada pada ajal yang terbatas; angan-angan yang panjang; dan nafas yang berbilang (sedikit). Sudah pasti, ajal itu akan semakin habis.”[4]
Perhatikanlah! Ajal (batas waktu hidup) kita terbatas, sementara angan-angan kita begitu banyak, padahal nafas kita tinggal beberapa helaan saja. Kematian kita memang tiba-tiba. Mari renungkan kisah di bawah ini!
Dalam satu nasehatnya, ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azīz berkata,
“Jika kalian melewati kuburan, panggillah mereka jika engkau bisa memanggil. Lihatlah, betapa berdempetnya rumah-rumah mereka. Tanyakanlah kepada orang-orang kaya dari mereka, masih tersisakah kekayaan mereka? Tanyakan pula kepada orang-orang miskin di antara mereka, masih tersisakah kemiskinan mereka? Tanyakan tentang lisan-lisan yang dengannya mereka berbicara, sepasang mata yang dengannya mereka melihat indahnya pemandangan.
Tanyakan pula tentang kulit-kulit lembut dan wajah-wajah yang cantik jelita, juga tubuh-tubuh yang halus mulus, apa yang diperbuat ulat-ulat di balik kafan-kafan mereka? Lisan-lisan itu telah hancur, wajah-wajah yang cantik jelit itu telah dirobek-robek ulat, anggota badan mereka telah terpisah-pisah berserakan.
Lalu, di mana pelayan-pelayan mereka yang setia? Di mana tumpukan harta dan sederetan pangkat mereka? Di mana rumah-rumah mewah mereka yang banyak dan menjulang tinggi? Di mana kebun-kebun mereka yang rindang dan subur? Di mana pakaian-pakaian mereka yang indah-indah dan sangat mahal?
Di manakah kendaraan-kendaraan mewah kesukaan mereka? Di manakah kolam renang dan telaga pribadi mereka? Bukankah mereka kini berada di tempat yang sangat sunyi? Bukankah siang dan malam bagi mereka sama saja? Bukankah mereka berada dalam kegelapan?
Mereka telah terputus dengan amal mereka. Mereka telah berpisah dengan orang-orang yang mereka cintai, harta dan segenap keluarganya.
Karena itu, wahai orang yang tak lama lagi akan menyusul ke kuburan! Kenapa engkau terpedaya dengan dunia? Renungkanlah tentang orang-orang yang telah pergi meninggalkan kita. Sungguh, mereka amat berharap untuk bisa kembali ke dunia. Agar bisa menghimpun amal sebanyak-banyaknya. Tetapi, itu semua tidak mungkin terjadi, karena mereka telah dikubur.”
Saudaraku…
Dari nasehat panjang tersebut kita dapatkan, paling tidak ada dua peristiwa penting, yang tidak seorang pun lari darinya. Pertama, kematian. Setiap yang bernyawa pasti akan melewati masa kematian. Allah berfirman,
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Qs. Āli ‘Imrān (3): 185).
Namun, tak seorang pun tahu kapan waktu kematiannya tiba. Bisa sekarang, besok, lusa, atau….Yang jelas kematian pasti akan datang, cepat atau lambat. Jika memang sudah ajalnya, tak seorang pun bisa mengundurkannya.
Kata Allah,
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Munāfiqūn (63): 11).
Kedua, perhitungan amal. Di Akhirat nanti, setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap amalnya selama hidup di dunia. Kelak amalan mereka akan ditimbang dengan penuh ketelitian. Jika amal kebaikan yang mendominasi, maka ia akan tersenyum bahagia untuk kemudian bisa melanggeng masuk ke dalam negeri kebahagiaan (surga). Namun, jika amal buruk yang menumpuk, maka dia pun akan menangis penuh penyesalan sambil diseret ke dalam kobaran api yang menyala-nyala (neraka).
Allah menjelaskan kepada kita,
Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (Qs. Al-Qāri‘ah (101): 6-11).
Oleh karena itu, dalam hidup kita di dunia ini hanya ada dua pilihan bagi kita. Pertama, senantiasa berbuat taat, agar bisa mati dalam keadaan husnu’l-khātimah dan cukup persyaratan untuk bisa masuk ke dalam Surga. Kedua, berbuat maksiat dan berleha-leha dengan risiko mati dalam keadaan sū’u’l-khātimah dan mampir terlebih dahulu ke dalam neraka karena kurang persyaratan untuk bisa masuk langsung ke dalam Surga. Lalu, manakah yang akan kita pilih?[5]
Anehnya, meskipun kematian itu tiba-tiba dan pasti datang, masih banyak yang lupa. Seolah-olah dia akan hidup 1000 tahun lagi. Padahal, kematian begitu dekat darinya dan persiapannya untuk menyambutnya begitu minim dan ‘miskin’. Padahal, kita harus banyak-banyak mengingat kematian, agar kita banyak persiapan.
Siti ‘Āisyah, istri Rasulullah, pernah bertanya kepada Nabi saw, “Wahai Rasulullah, apakah ada orang yang dibangkitkan oleh Allah bersama kelompok orang-orang yang mati syahid?” “Ya, ada! Yaitu orang yang mengingat kematian dalam sehari-semalam sebanyak 20 kali.” Kemulian orang yang dibangkitkan dengan para syuhada’ ini, kata Imam al-Ghazālī, karena mengingkat kematian menjadikan pelakunya jauh dari dari dunia ketertipuan dan keterperdayaan (dunia), sehingga dia siap-siap untuk Akhirat. Dan melupakan dzikru’l-maut, menyeret manusia ke dalam kubangan syahwat dunia.[6]
‘Umar ibn al-Khatthā berkata, “Suatu malam aku mendatangi Rasulullah dan aku mendapati seorang Anshār bertanya kepada beliau: ‘Wahai Rasul, siapakah orang yang paling cerdas dan paling mulia?’ Beliau menjawab, ‘Yang paling banyak mengingat kematian dan paling banyak persiapannya untuk kematian. Mereka itu lah orang-orang yang cerdas. Mereka pergi dengan kemuliaan dunia dan kehormatan Akhirat.” (HR. Ibn Mājah dan Ibn Abī al-Dunyā).[7]
Saudaraku…
Imam al-Ghazālī juga menambahkan bahwa kematian itu luar-biasa, bahanya besar, namun manusia banyak yang lalai. Mereka lalai karena jarang memikirkan, bahkan tidak pernah mengingatnya. Meskipun mereka mengingatnya, mereka mengingatnya bukan dengan hati ‘kosong, melainkan dengan hati yang penuh-sesak dengan syahwat dunia. Kalau sudah demikian, maka mengingat kematian dalam hatinya tidak akan pernah “manjur”.[8]
Kemudian, mengapa kita diperintahkan untuk mengingat kematian sebanyak-banyaknya? Pertanyaan ini dijawab oleh Imam ibn al-Jawzī (w. 597 H),
“Kalaupun manusia diperintah selalu ingat mati, itu maksudnya agar ia banyak berbuat amal, bukan untuk membayangkan atau mengumpamakannya.”[9] Namun demikian, tidak berarti kita anggap sepele kematian, karena dia terus mengintai kita. Dia terus menunggu waktu yang tepat: yang telah ditentukan dan dijadwalkan oleh Allah.
Dari Ibn Mas‘ūd ra, dia berkata,
“Rasulullah membuat gambar segi empat. Kemudian beliau membuat garis di tengahnya, sampai keluar dari gambar segi empat itu. Setelah itu, Nabi saw membuat “garis-garis” kecil yang mengarah kepada garis yang ada di tengah tersebut. Lalu, beliau berkata, ‘Ini adalah manusia, dan ini adalah ajalnya yang senantias mengitarinya. Dan garis yang berada di luar ini adalah angan-angannya. Sementara garis-garis kecil ini adalah “penghalang”. Jika penghalang satu tidak mengenainya, akan dikenani oleh yang lain. Jika yang lain tidak mengenainya, maka yang lain akan menimpanya.” (HR. al-Bukhārī).
Jika hadīts digambar, maka bentuknya seperti di bawah ini:
Penghalang[10]
Bayangkan, rupanya ajal begitu dekat dengan kita. Sementara kita selalu membayangkan hal-hal yang jauh dari jangakauan, yaitu “angan-angan” kosong.
Sebab Manusia “Melupakan” Maut
Seperti kata Imam al-Ghazālī sebelumnya, mengingat kematian itu dengan qalbu yang ‘kosong’: kosong dari apa pun kecuali “kematian itu sendiri. Atau, qalbu kita harus dibersihkan dari “cinta” dunia yang berlebihan. Karena “cinta buta” terhadap dunia akan melahirkan sifat “pengecut”: tidak berani menghadapi kematian. Padahal dunia ini banyak yang semu, bahkan palsu.
Mari kita perhatikan untaian hikmah Al-Hikam Ibn ‘Athā’illāh di bawah ini:
الأَكْوَانُ ظَاهِـــرُهَا غِرَّةٌ وَبَاطِنُهَا عِبْـــرَةٌ. فَالنَّفْسُ تَنْظـــُرُ إِلَى ظَاهِرِ غِرَّتِهَا، وَالْقَلْبُ يَنْظـــُرُ إِلَى بَاطِنِ عِبْرَتِهَا
“Alam ini lahirnya adalah “tipuan”, dan batinnya adalah “pelajaran”. Nafsu memandang pada tipuan lahirnya, sementara qalbu memandang kepada pelajaran batinnya.”
Kemudian Syekh Fadhlalla memberikan komentarnya di bawah ini:
“Orang-orang yang mengetahui watak dunia ini, yang tak dapat diandalkan serta selalu berubah, tak akan terkejut atau kecewa ketika kesenangan berubah menjadi kesusahan, kekayaan berubah menjadi kemiskinan, dan malam berubah menjadi siang. Nafsu selalu bereaksi terhadap kesenangan dan kesulitan, sedangkan hati selalu melihat kepada makna, sebab, serta pesan yang ada di balik peristiwa. Orang-orang yang mendapatkan nur Ilahi melihat daya tarik peristiwa dan menyaksikan adanya kepalsuan inti. Orang yang mengetahui realitas batin dan sesuatu tak akan tertipu oleh penampakan lahir.”[11]
Karena syahwat duniawi itulah, maka banyak qalbu manusia menjadi gelap. Sehingga, cahaya Ilahi tak dapat menembusnya. Ibarat cermin yang “pecah” atau “rusak”, sebagus dan seindah apapun suatu benda diletakkan di depannya, tetap saja akan kelihatan buruk. Sehebat dan se-ngeri apapun kematian diberitakan, bagi qalbu yang sudah sakit, bahkan mati, akan dianggap sebagai ‘angin lalu’: tidak membekas, tidak berpengaruh. Biasa-biasa saja! Kenapa? Karena qalbu sudah sakit, sedang rusak, bahkan mati.
Mari kita lihat kembali pernyataan seorang Sahabat bernama Abū al-Dardā’, ketika ditanya oleh seorang laki-laki, “Wahai Abū al-Dardā’, mengapa kita takut mati?” Kemudian beliau menjawab:
لِأَنَّكُمْ أَخْرَبْتُمْ آخـــِرَتَكُمْ، وَعَمَّرْتُمْ دُنْيَاكُمْ، فَأَنْتُمْ تَكـــْرَهُوْنَ أَنْ تُنْقَلُوْا مِنَ الْعُمْرَانِ إِلَى الْخـــُرَابِ
“Karena kalian hancurkan Akhirat kalian dan kalian makmurkan dunia kalian. Akhirnya, kalian tidak mau dipindahkan dari keramaian kepada kehancuran.”[12]
Yah, itulah penyakit manusia – khususnya umat Islam – hari ini. Mereka terlalu cinta kepada “dunia” dan akhirnya “takut mati”. Istilah Rasulullah, hub al-dunyā wa karāhiyat al-mawt. Jadi, sebenarnya, tidak ada larangan kita menguasai dunia. Tapi kalau sudah “terlalu” cinta kepadanya, kita merasa berat untuk meninggalkannya. Tidak boleh sedih, harus tega. Kata Imam Ibn al-Jawzī,
“Jika dalam hati seseorang terlintas perasaan berat berpisah dengan dunia, ketahuilah bahwa dunia bukan negeri kebahagiaan. Kebahagiaan dunia hanya terjadi saat ini terlpeas dari penderitaan. Tidak sulit mencari contoh kasus seperti ini.
Tetapi, jika ia sedih berpisah dengan dunia karena banyak amal yang dilalaikannya, itulah kesedihan yang terjadi pada ulama salaf. Mu‘ādz ibn Jabal berdoa menjelang kematiannya, “Ya Allah, Engkau tahu aku tidak mencintai dunia dan berlama-lama tinggal di sana, karena aku bisa tidur lelap pada waktu malam, atau menanam pephohonan di waktu siang. Tetapi, semata karena dahaga terik membara, karena derita sepanjang masa, karena halaqah (lingkaran) zikir yang senantiasa dipadati kafilah ulama’.”[13]
Selain itu, yang membuat seorang manusia melupakan “kematian”, karena dia merasa berumur panjang. Sekiranya dia tahu bahwa usianya hanya terletak pada satu helaan nafas, dia akan bergegas menuju Rabb-nya, yang telah menetapkan tanggal kematiannya dan kembali kepada-Nya. Mari renungkan kata hikmah dari Syekh Abū Madyān al-Maghribī (w. 594) berikut ini:
عُمْـــرُكَ نَفْسٌ وَاحـــِدٌ، فَاحْرِصْ أَنْ يَكُوْنَ لَكَ لاَ عَلَيْكَ
“Usiamu hanya satu tarikan nafas. Berjuanglah, agar ia berguna bagimu, tidak mencelakakanmu.”
Kemudian, Ibn ‘Ilā al-Shiddīq al-Syāfi‘ī mengulas pernyataan di atas dan menulis,
“Wahai sālik, Syekh ra. mendorongmu untuk berpacu, membangkitkan seluruh potensimu, menyalakan api kerinduan dalam hatimu, serta menyadarkanmu bahwa usia hanyalah satu tarikan nafas. Masa lalu telah berlalu dan masa depan belum lagi tiba. Waktumu hanyalah detik-detik yang sedang kau jalani. Apakah dalam detik-detik itu kau mengutamakan Tuhan dengan menunjukkan ketaatan?! Sungguh tepat ungkapan syair berikut:
Yang berlalu telah lenyap, sedang yang diharap belumlah
tampak
Satu-satunya milikmu adalah yang sekarang sedang
kaujejak
Wahai kau, pemilik usia yang hanya sesaat, apakah kau akan memanfaatkannya untuk melakukan ketaatan sehingga kau memperoleh kelezatan abadi serta menikmati kedekatan dengan Tuhan Yang Maha Esa, merasakan nikmat yang tak pernah terlihat mata, tak pernah terdengar telinga, dan tak pernah terlintas dalam hati manusia?!
Berjalanlah dengan lurus, karena kau tak direndahkan
Sungguh ini sesuatu yang baik dan inilah kedudukannya
Saudaraku, mengapa engkau tetap bermalas-masalan? Bangkitlah, sambutlah taman penuh cahaya cemerlang yang disediakan bagi mereka yang taat. Mengapa kau masih abai dan meremehkan, sementara dari lautan karunia inilah segala pengetahun dijabarkan?
Wahai kau yang mendatangi makhluk dengan hati, bersihkan hatimu dengan air istighfar. Bersihkanlah najis yang mengotorinya untuk ketujuh kalinya dengan tanah keimanan. Jangan kau hadapkan hatimu kecuali kepada-Nya. Jangan tunjukkan kehinaan dan kerendahan kecuali di hadapan-Nya.”[14]
Begitulah, kita tahu usia ini singkat. Demikianlah, jika kita faham pasti kembali.
Kalau Begitu, Jangan Gentar Menghadapi Mati!
Kalau kematian itu pasti, mengapa kita takut. Kalaupun waktu, tempat, cara (sebab) dan rasanya “dirahasiakan” oleh Allah dari yang hidup, itu agar kita bersiap-siap menghadapinya. Karena biasanya kita harus, ‘sedia payung sebelum hujan’. Yang penting kita persiapkan adalah amal-saleh sebanyak-banyaknya. Agar sisa usia kita tak ada yang sia-sia.
‘Abd al-Rahman al-Aswad, ketika ajal hendak menjemputnya, menangis. Kemudian dia ditanya, “Apa yang membuatmu menangis, padahal engkau begini dan begini (memiliki keutamaan dalam ibadah, zuhud dan tawadhu’)?” Ia menjawab, “Aku menangis, demi Allah, karena merasa kasihan atas shalatku dan puasaku.” Kemudian ia membaca Al-Qur’an, hingga wafat.
Yazīd al-Ruqasyī juga menangis ketika ajal hendak menjemputnya. Ia berkata (kepada dirinya sendiri), “Wahai Yazīd, siapa yang menshalatimu ketika engkau mati? Siapa yang mau berpuasa untukmu? Siapa yang mau memintakan ampun atas dosa-dosamu.” Setelah itu, ia mengucapkan syahadat dan wafat.[15]
Mari, kita perhatikan kisah yang dahysat di bawah ini!
Ketika seorang hamba yang terkenal zuhud, ‘Abd Allah ibn Idrīs dalam kondisi sakaratul maut, ia menjerit. Mendengar jeritan itu, putrinya menangis. ‘Abd Allah berkata, “Wahai putriku, jangan kau menangis. Aku telah mengkhatamkan Al-Qur’an di rumah ini sebanyak empat ribu kali. Semuanya kulakukan demi menghadapi saat-saat seperti sekarang ini.”[16]
Khātimah
Lihatlah, akhir hidup orang-orang saleh itu. Begitu indah, menakjubkan. Jika ulama’-ulama’ saleh seperti mereka saja demikian, konon lagi Rasulullah dan para Sahabatnya. Sekarang, kita tanyakan kepada diri kita masing-masing. Ingin dalam kondisi apa kita menghadap Allah swt.? Yang jelas, kita semuanya ingin wafat dalam keadaan husnu’l-khātimah. Tapi mari kita bantu dengan amal-saleh kita. Kita manfaatkan sisa usia yang belum tahu kapan berakhir dan berhenti. Kita tidak tahu dengan sebab apa Allah mengeluarkan ruh kita. Kita tak faham bagaimana akhir hidup kita. Yang jelas, kita serahkan seluruhnya kepada Allah. Kerja kita hanya: meluruskan niat, membulatkan ikhtiar dan sungguh-sungguh dalam ibadah.
Allāhumma’-khtim lanā bi husni’l-khātima, walā takhtim ‘alaynā bisū’il-khātimah
*) Disampaikan dalam pengajian mingguan Guru-guru Siti Hajar Islamic Fullday School, pada hari Senin, 16 Muharram 1433 H/12 Desember 2011). Salam takzim dari hamba Allah, yang merindukan “ampunan” Allah, Qosim Nursheha Dzulhadi di Taman Bahagia. (Q)
Daftar Pustaka
‘Abd al-Rahman ibn al-Jawzī, Terapi Spiritual: Agar Hidup Lebih Baik dan Sembuh dari Segala Penyakit Batin, Terj. A. Khosla Asy’ari Khatib (Jakarta: Zaman, cet. I, 2010).
Abdul Jabbar, Paspor Kematian: Jalan Menuju Surga-Mu (Jakarta: Cicero Publishing, cet. I, 2008).
Abū Manshūr al-Tsa‘ālibī (350-429 H), Durar al-Hikam, tahqīq dan review: Bagian Tahqīq Dār al-Shahābah li al-Turāts (Thanthā-Mesir: Dār al-Shahābah li al-Turāts, cet. I, 1416 H/1995 M).
Dr. ‘Ā’id al-Qarnī, Dr. Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-‘Urayfī dan Syekh Muhammad Husayn Ya‘qūb, Malam Pertama di Alam Kubur, Terj. Abu Ibrahim Al-Qudsi (Solo: Aqwam, cet. XXI, 1428 H/2007 M).
Dr. ‘Āisyah ‘Abd al-Rahmān (Bint al-Syāthi’), Ma‘a al-Mushthafā Saw (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1993).
Ibn ‘Athā’illāh, Al-Hikam, Terj. Lisma Dyawati Fuaida (Jakarta: Serambi, cet. I, 1429 H/2008 M).
Imam Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, 4 Jilid (Beirut-Lebanon: Dār al-Fikr, 1428-1429 H/2008 M).
Imam Abū Zakariyyā Yahyā ibn Syaraf al-Nawawī al-Dimasyqī (631-676 H), Riyādh al-Shālihīn (Jeddah: Jāmi‘ Manshūr al-Sya‘bī, cet. I, 1423 H/2002 M).
Syekh Abū Madyān al-Maghribī, Mengaji Al-Hikam: Jalan-Kalbu Para Perindu Tuhan, Terj. Fauzi Bahreisy (Jakarta: Zaman, cet. I, 2011).
[1] Dr. ‘Āisyah ‘Abd al-Rahmān (Bint al-Syāthi’), Ma‘a al-Mushthafā Saw (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1993), hlm. 257.
[2] Imam Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, 4 Jilid (Beirut-Lebanon: Dār al-Fikr, 1428-1429 H/2008 M), 4: 464.
[3] Dikutip dari Abdul Jabbar, Paspor Kematian: Jalan Menuju Surga-Mu (Jakarta: Cicero Publishing, cet. I, 2008), hlm. xxi.
[4] Lihat, Abū Manshūr al-Tsa‘ālibī (350-429 H), Durar al-Hikam, tahqīq dan review: Bagian Tahqīq Dār al-Shahābah li al-Turāts (Thanthā-Mesir: Dār al-Shahābah li al-Turāts, cet. I, 1416 H/1995 M), hlm. 25.
[5] Abdul Jabbar, Paspor Kematian, hlm. 4-6.
[6] Imam al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, 4: 466.
[7] Ibid., 4: 467.
[8] Ibid., 4: 467.
[9] Lihat, ‘Abd al-Rahman ibn al-Jawzī, Terapi Spiritual: Agar Hidup Lebih Baik dan Sembuh dari Segala Penyakit Batin, Terj. A. Khosla Asy’ari Khatib (Jakarta: Zaman, cet. I, 2010), hlm. 94.
[10] Imam Abū Zakariyyā Yahyā ibn Syaraf al-Nawawī al-Dimasyqī (631-676 H), Riyādh al-Shālihīn (Jeddah: Jāmi‘ Manshūr al-Sya‘bī, cet. I, 1423 H/2002 M), hlm. 254.
[11] Ibn ‘Athā’illāh, Al-Hikam, Terj. Lisma Dyawati Fuaida (Jakarta: Serambi, cet. I, 1429 H/2008 M), hlm. 152. Buku ini diterjemahkan dari The Wisdom of Ibn ‘Ata Allah yang diinterpretasi oleh Syekh Fadhlalla Haeri, terbitan The Zahra Foundation, dengan merujuk kepada edisi Arabnya, Kitāb al-Hikam, terbitan Dār al-Fikr, ttp.
[12] Abū Manshūr al-Tsa‘ālibī, Durar al-Hikam, hlm. 26.
[13] Imam Ibn al-Jawzī, Terapi Spiritual, hlm. 94.
[14] Syekh Abū Madyān al-Maghribī, Mengaji Al-Hikam: Jalan-Kalbu Para Perindu Tuhan, Terj. Fauzi Bahreisy (Jakarta: Zaman, cet. I, 2011), hlm. 55-57.
[15] Dr. ‘Ā’id al-Qarnī, Dr. Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-‘Urayfī dan Syekh Muhammad Husayn Ya‘qūb, Malam Pertama di Alam Kubur, Terj. Abu Ibrahim Al-Qudsi (Solo: Aqwam, cet. XXI, 1428 H/2007 M), hlm. 25.
[16] Ibid., hlm. 21.
0 Comments:
Posting Komentar
<<Kembali ke posting terbaru