|
|
|
|
BAHAYA SEKULARISASI DAN SEKULARISME
“One of the major failures of most Arab and Western
intellectuals today is that they have accepted without debate or rigorous
scrutiny terms like secularism and democracy, as if everyone knew that these
words mean.”
―Edward W. Said
PENGANTAR
Sejak
1974 Prof. Dr. SMN al-Attas (lahir 1931) sudah mengingatkan umat Islam akan
bahaya ‘sekularisasi’ (secularization) dan ‘sekularisme’ (secularism)
yang datang dari Barat melalui bukunya Islām and Secularism. Sekularisasi
dinilai berbahaya karena ia merupakan proses dari ‘pensekularan’ nilai dan
zaman. Sementara bahaya yang dikandung ‘sekularisme’ karena ia merupakan sebuah
faham yang sudah pasti mengandung worldview Barat sekular. Menurut
al-Attas, keduanya sama-sama berbahaya. Karena sejatinya ‘sekularisasi’ itu
adalah gerakan dan program filosofis. Inilah yang harus diwaspadai oleh umat
Islam. Dan poin ini akan sedikit diulas dalam artikel ini.
ISTAC SEBAGAI RESPONS PEMIKIRAN
Jika
dilihat respons keras al-Attas terhadap ‘sekulariasi’ dan ‘sekularisme’ dapat
dirujuk ke belakang. Dimana menurutnya, sejak dibuka secara resmi ISTAC pada
1991 diantara tujuan utamanya adalah untuk: to conceptualize
(mengkonsep), clarify (mengklarifikasi), dan elaborate (mengelaborasi)
problem-problem keilmuan dan epistemologis yang dihadapi oleh umat Islam saat
ini dan memberikan respons Islam terhadap tantangan intelektual dan kultural
yang datang dari dunia modern (Barat) dan berbagai tantangan pemikiran, agama
dan ideologi.
Dan
masalah ‘sekularisasi’ dan ‘sekularisme’ itu merupakan bagian dari tantangan
pemikiran dan peradaban yang dihadapi oleh umat Islam. Itulah sebabnya mengapa
al-Attas menulis Islām and Secularism. Dan ia ingin mendedikasikan karyanya ini kepada
generasi Muslim yang sedang bangkit. “This book originally dedicated to the
emergent Muslims. Sehingga mereka dapat bertahan dengan cerdas dalam
menghadapi hebatnya arus ‘sekularisasi’ dan mampu memberikan perubahan dalam
ranah pemikiran yang dipandang oleh al-Attas dengan “still floundering”
(lemah) di tengah lautan kebingungan dan keraguan-diri (self-doubt).
Karena ternyata ‘sekularisasi’ nilai dan peristiwa yang telah diramalkan akan
terjadi di dunia Islam sudah terlihat dengan momentum dan desakan yang makin
meningkat, akibat dari lemahnya kefahaman umat Islam terhadap hakikat
sebenarnya dan implikasi sekularisasi, sebagai sebuah program filosofis.
HAKIKAT ‘SEKULARISASI’ DAN ‘SEKULARISME’
Dari
penjelasan al-Attas dapat ditangkap bahwa ‘sekularisasi’ adalah sebuah gerakan
atau program filosofis (a philosophical program). Dan terjadinya
‘sekularisasi’ serta menguatnya ‘sekularisme’ di dunia Islam didasari oleh
ketidak-fahaman umat Islam itu sendiri terhadap hakikat ‘sekularisasi’ dan
‘sekularisme’. Untuk itu penting kiranya memahami apa itu ‘sekularisasi’ dan
‘sekularisme’. Inilah yang akan diulas secara ringkas dalam penjelasan berikut.
Sekularisasi
dikonotasikan sebagai sebuah proses dari mereduksi pengaruh agama, ketika
istilah ini digunakan dalam lingkar legal dan eklesiastikal untuk menjelaskan
tentang transfer institusi keagamaan atau properti dalam melakukan kepemilikan
atau penggunaan yang sifatnya temporal. Misalnya, mengutip dari kamus pertama
bahasa Inggris, yang dikomandoi Samuel Johnson (terbit pada 1755), Keane
menyelisik bahwa secularism dalam sejarah Inggris, adalah: “worldlinness;
attention to the things of the present life” (keduniaan; hanya memberi
perhatian kepada segala hal yang sifatnya saat ini, sekarang ini)... untuk pindah
dari hal spiritual kepada makna biasa... to make worldy (menjadikannya benar-benar
duniawi).
Sementara
Talal Asad, melalui studi antropologis, mendapati bahwa istilah ini ditemukan di
sebelah barat laut Eropa pada pertengahan abad ke-16. Ia mencatat bahwa kata “secularism”
dan “secularists” pertama kali diperkenalkan oleh para pemikir liberal
dalam rangka menghindari serangan ateisme. Hanya saja, di abad ke-20, secularism
menjadi kategori kesarjanaan yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial (social
sciences) dan dikaitkan dengan karya-karya Auguste Comte, Emile Durkheim,
Max Weber, Karl Marx, Ferdinand Toennies, dan Ernst Troeltsch. Nikki Keddie
kemudian menggarisbawahi tiga jalan “sekularisasi” yang difahami saat ini,
yaitu sebagai: (1) “an increase in the number of people with secular beliefs
and practices” (sebuah peningkatan jumlah orang dengan keyakinan dan praktik
(keagamaan) yang sekular); (2) “a lessening of religious control or
influence over major spheres of life” (mengurangi kontrol atau pengaruh
agama dalam bidang kehidupan); dan (3) “a growth in state sparation from
religion and in secular regulation of formely religious institutions and
customs” (suatu pertumbuhan dalam rangka memisahkan negara dari agama dalam aturan
institusi keagamaan dan ritual yang formal).
Secara
sederhana, secularism ini berkaitan dengan tiga disiplin ilmu sosial:
filsafat, sosiologi dan ilmu politik. Secara filosofis, secularism
menunjuk pada sebuah penolakan terhadap hal yang bersifat transenden dan
metafisik sembari fokus pada hal eksistensial dan empirik. Di sini ia ketemu
dengan definisi secularism-nya Harvey Cox bahwa secularism itu
adalah: “the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the
turning of his attention away from other worlds and toward this one.”
Secara
sosiologis, secularism korelatif dengan modernisasi, yaitu: satu proses
gradual (perlahan) yang mengarah kepada penghancuran pengaruh agama dalam
institusi sosial, kehidupan komunal, dan hubungan antar-manusia. Ini dalam
istilah Peter Berger adalah: “a process by which sectors of society and
culture are removed from the domination of religious institutions and symbols”
(satu proses menghilangkan sektor sosial dan budaya dari dominasi institusi dan
simbol-simbol agama). Dan secara politis, secularism itu menyangkut
tentang pemisahan bidang publik dan privasi secara khusus dari agama dan
negara. Kriteria breakdown ini identik dengan pembagian secularism yang
dilakukan oleh Charles Taylor.
Bagaimanapun,
baik sekularisasi maupun sekularisme intinya tetap satu:
menghilangkan dan membuang pengaruh agama dari kehidupan masyarakat. Dan inti
agama itu tentu adalah ‘metafisika’ (utamanya: Tawhid, keyakinan, aqidah, lalu
syariah atau hukum Allah). Di sini jelas bertolak-belakang dengan Islam. Karena
jelas diakui oleh sarjana Hindu bahwa: secularism as the product of a
particular moment in post-Reformation Christian history, the European
Englightenment. It becomes institutionalized as a doctrine with the historical
separation of church and state in nineteenth-century liberal society and
eventually becomes globalized through colonialism and the disperal of modern
forms of governane and of corporate, market, and professional values.”
Jadi, ia merupakan pengalaman Barat Kristen, sebagaimana
dikatakan oleh al-Attas dalam Islām dan Secularism-nya. Dan, memang, di abad Pencerahan (Enlightenment)
mayoritas peristiwa intelektual dan budaya terpisah dari etika dan doktrin
Kristen. Lebih
jauh lagi, akhirnya mereka mengonsep ulang Gospel Kristen, mendefinisikan ulang
konsep Tuhan mereka, dan melakukan dehelenisasi dogma Kristen. Karena
mereka tidak dapat memungkiri bahwa problem paling serius kaum Kristen, kata
Prof. al-Attas, adalah ‘problem Tuhan’ (problem of God).
Maka, sekali lagi, sekularisasi kata al-Attas
didefinisikan sebagai: “pembebasan manusia pertama dari kungkungan agama
lalu dari kungkungan metafisika yang mengontrol akal manusia dan bahasanya.”.
Dan dimensinya ada tiga: (1) the disenchantment of nature (penghilangan
pesona dari alam tabi’i; (2) the desacralization of politics (peniadaan
kesucian dan kewibaaan agama dari politik); dan (3) the deconsecration of
values (penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari
kehidupan).
Konsekuensi logis dari “penghilangan pesona dari alam
tabi’i” adalah: manusia tidak lagi menggap alam ini kudus, sehingga mereka
bebas bertindak apa saja terhadapnya. Dan, “peniadaan kesucian dan wibawa
agama dari politik” mengakibatkan: penghapusan peran agama dari pada
kekuasaan dan otoritas politik. Padahal agama adalah syarat utama bagi
perubahan politik. Sedangkan konsekuensi dari “penghapusan kesucian dan
kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan” adalah: menjadikan semua karya
budaya dan setiap sistem nilai, termasuk agama dan pandang alam (worldview)
yang memiliki makna lahir dan tidak boleh ubah lagi, bersifsat sementara dan
nisbi (relative).
Konsekuensi-konsekuensi di atas, kata al-Attas,
seluruhnya bertentangan dengan worldview Islam. Karena Islam menilai
alam tabi’i kudus, suci, karena diciptakan oleh Allah. Dan agama, dalam Islam,
sangat menentukan perjalanan politik dengan cara memperbaikinya melalui nilai-nilai
agama. Dan hal-hal yang sifatnya metafisik serta nilai-nilai adalah permanen,
bukan relatif atau nisbi.
Demikian sedikit ulasan mengenai konsep ‘sekularisasi’
dan ‘sekularisme’ yang disampaikan oleh Prof. SMN al-Attas dalam karyanya Islām and Secularism. Karena karya ini amat penting maka butuh elaborasi
lebih lanjut dan lebih mendalam. Karena, baik sekularisasi dan sekularisme,
sangat berbahaya bagi kehidupan manusia. Dan pesan Prof. al-Attas ini harus
disambut secara serius melalui program-program pemikiran dan keilmuan,
diantaranya adalah melalui ‘islamisasi ilmu-ilmu kontemporer’ yang memang sudah
disekularkan oleh peradaban Barat sekular yang sekarang merasuk ke seluruh lini
kehidupan manusia. Wallāhu a’lam bis-shawāb.[]
Sumber Bacaan:
<<Kembali ke posting terbaru
Koreksi Kritis atas Pluralisme Agama
Oleh M. Anwar Djaelani, Dosen The elKISI Institute
Judul buku : Islam Vs Pluralisme Agama Penulis : Qosim Nurseha Dzulhadi Penerbit : Pustaka Al-Kautsar – Jakarta Tahun terbit : Oktober 2019 Tebal : xxxviii + 298 halaman Pertarungan antara yang haq dan yang bathil akan terus berlangsung. Misal, terasa kencang dirasakan bahwa mulai awal 2000-an dihembus-hembuskan Pluralisme Agama, sebuah faham yang munkar karena mengusung konsep “kesamaan agama”. Maka, mengingat daya rusaknya yang hebat, MUI mengeluarkan fatwa keharamannya pada 2005. Pluralisme Agama, menurut MUI adalah “Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga”. Maka, -sekali lagi, pada 2005- MUI bersikap tegas: Pluralisme Agama, haram! Meski begitu, tetap saja ada yang membela dan bahkan –langsung atau tidak langsung- mengampanyekan ajaran sesat itu. Salah satunya, adalah disertasi Abd. Moqsith di UIN Jakarta yang berjudul ”Pluralitas Umat Beragama dalam Kitab Al-Qur’an: Kajian terhadap Ayat-ayat Pluralis dan Tak Pluralis”. Penulisan disertasi bertahun 2007 itu dibimbing oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat. Sementara, sebagai penguji, antara lain adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra dan Prof. Dr. Zainun Kamal. Lalu, pada 2009, disertasi tersebut diterbitkan sebagai buku dengan judul: “Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an”. Untuk merespon buku yang disebut terakhir itu, maka buku berjudul “Islam Vs Pluralisme Agama” ditulis oleh Qosim Nurseha Dzulhadi. Sebenarnya, karya lulusan Al-Azhar Kairo dan ISID –kini Unida- Gontor ini sudah selesai ditulis pada 2009. Sayang, karena sejumlah kendala, baru bisa terbit pada 2019. Lewat Kata Pengantar sepanjang 18 halaman, Qosim langsung menukik. Pertama, “Dipuji Berlebihan”, demikian bunyi sebuah sub-judul. Mengapa? Hal ini karena, pujian sejumlah tokoh atas isi buku Moqsith “Melebihi kandungan buku yang sebenarnya, yang banyak mengandung manipulasi pendapat ulama dan referensi”. Terasa sekali, “Terkesan dipaksakan” (h. xxv). Azyumardi Azra, misalnya. Dia bilang, “Salah satu kekuatan utama buku ini adalah penguasaan penulis yang mendalam atas khazanah Islam klasik”. Padahal, kata Qosim, banyak ditemukan pembacaan terhadap buku-buku tersebut yang benar-benar bias; Bias pemikiran liberal, pluralis, dan akhirnya tak toleran terhadap pendapat orang lain (h. xxix). Kedua, “Tidak Metodologis”. Moqsith “Hanya mengambil pendapat yang sesuai dengan paham pluralisme agama yang sedang diusungnya,” tulis Qosim (h. xxxiii). Lebih lanjut, mari rasakan semangat Qosim dalam mengritisi buku Moqsith, dalam empat bahasan utama. Bab I: “Manipulasi Fakta Sejarah Dakwah, Mencomot Ibnu Arabi dan Jalaluddin Ar-Rumi”. Di sini ada subjudul: “Ibnu Arabi Tidak Pluralis”. Juga, “Jalaluddin Ar-Rumi Bukan Pluralis”. Bab II, berjudul: “Mendudukkan Tiga Pandangan terhadap Pluralitas Agama”. Di bab ini, ada subjudul: Misi Agama versi Liberal”. Bab III, berjudul: “Manipulasi Seputar Al-Qur’an dan Kemajemukan Agama”. Di sini ada subjudul: “Beragam Syariat Satu Tujuan: Bagaimana?” Juga, “Tiga Agama, Satu Tuhan; Maksudnya?” Terakhir, bab IV, “Meluruskan Pandangan Al-Qur’an terhadap Agama lain”. Meski hadir terlambat, buku Qosim ini tetap penting sebagai bagian dari usaha merawat tradisi ilmiah. Bahwa, di dunia keilmuan, mengritisi sebuah karya adalah hal yang sangat lazim. Contoh, sebuah artikel bisa kita “lawan” dengan artikel dan bahkan dengan buku. Sebuah buku bisa kita respon lewat buku atau bahkan melalui karya ilmiah semisal skripsi. Aktivitas kritik keilmuan seperti yang tersebut di atas, itu sehat dan wajar serta merupakan warisan budaya dari para ulama terdahulu. Landasan teologisnya, juga ada: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS An-Nahl [16]: 125). Buku Qosim ini berharga, sedemikian rupa Dr. Anis Malik Thoha turut memberi Kata Pengantar. Anis adalah penulis buku “Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis” (terbit 2005, berasal dari disertasinya di Islamic International University – Islamabad). Dia mengungkapkan sebuah keanehan: “Apa yang harus ditoleransi kalau semuanya sama dan tak ada perbedaan yang hakiki dan mendasar?” (h. xiv). Selanjutnya, secara tak langsung, Anis mengapresiasi kritik Qosim yang disalurkannya lewat buku. Bahwa, buku Moqsith “Secara kasat mata judulnya saja sudah mengundang perdebatan …., belum lagi argumen-argumen yang dibangun di dalam lembaran-lembaran buku itu yang tentu diduga kuat sangat sarat dengan akrobat-akrobat nalar, sehingga kehadiran kritik seperti ini bukan hanya menjadi wajar, tapi bahkan memang diperlukan” (h. xvi). Alhasil, tak berlebihan jika di epilog buku Qosim ini, Dr. Adian Husaini juga memberikan penghargaan. Adian menulis, bahwa buku Qosim menjadi penting dibaca, karena secara khusus mengkritik disertasi doktoral Moqsith -secara ilmiah- sebagai upaya “Meluruskan pemahaman yang keliru terhadap Islam” (h. 283). Alhamdulillah. Mari, selalu-lah bersikap kritis. Selamat membaca! []
<<Kembali ke posting terbaru
Sesat Pikir “Orientalis” Indonesia
SEORANG sahabat penulis yang tengah
menempuh pendidikan di sebuah universitas Islam pernah bercerita: “Kami
ketika belajar filsafat Barat dosen pengampunya memberi pesan, agar sebelum
memulai belajar, kita menyimpan keyakinan kita dulu, supaya bisa menilai
filsafat Barat dengan objektif.”
Begitulah pandangan
ilmuwan Barat, mereka mengajak kita menilai
Islam, mengkaji Islam –bahkan mengkritik Islam menggunakan “kaca-mata” dan
“pisau analisis” keyakinannya— padahal orang Barat (yang kafir) sendiri ketika
mempelajari Islam tidak melepaskan keyakinannya. Maka,
sangat keliru jika ada seorang Muslim, apalagi yang disebut sebagai
intelektual, ketika mengkaji agama lain malah meninggalkan keyakinannya.
Bahkan, lebih parah lagi, dia mengkaji agama lain dengan menggunakan kaca-mata
agama yang dia kaji itu.
Ini justru salah kaprah dan keblinger.
Maka sangat wajar jika kemudian banyak “orientalis Indonesia” yang sesat pikir.
Bukti dari sesat pikir itu banyak contohnya.
Misalnya, sudah ada yang berani mengatakan bahwa makna “kafir” bukan tidak
beriman kepada Allah, tapi maknanya
adalah: tidak beretika, tidak menghormati tamu, tidak baik kepada tetangganya.
Ini jelas sesat sekaligus menyesatkan. Istilah “kafir”
dalam Al-Qur’an maknanya adalah: tidak beriman kepada Allah dan menolak risalah
Rasulullah. Sehingga kata Prof. Izutsu, “Kufr as oppossed to Īmān.”
Artinya, tidak boleh memaknai kāfir sebatas makna
etimologis (bahasa), karena kata kāfir memiliki makna terminilogis (istilah)
dan ia termasuk “kata-kunci” (key-word) yang memiliki makna konseptual. Maka, ketika
seorang “Prof. Dr.” di sebuah perguruan tinggi Islam menyatakan bahwa
perkawinan sejenis sebagai hal yang alami karena tujuan pernikahan adalah
“sakīnah-mawaddah-warahmah” berarti bangunan ilmu syariat dan fiqihnya sudah
runtuh. Dan di saat sekelompok mahasiswa Muslim menegaskan bahwa perkawinan
sejenis itu “indah” sehingga hak-hak kaum homoseksual dan lesbian harus diadvokasi
dapat dipastikan mereka sedang hilang arah dan minus-adab dalam berilmu dan
beragama.
Di sini doktrin orientalis-missionaris Barat tengah
merayakan kemenangan karena berhasil “memurtadkan” pikiran sekaligus
keyakinan.
Akhirnya, yang terjadi, serangan kepada ajaran
Islam tidak perlu orang kafir lagi. Cukup kaum terpelajar Islam yang sudah
mengalami westernized minded (minda alias nalar yang
di-Barat-kan). Akhirnya, Mereka menjadi para “orientalis Indonesia”; baik
secara sadar maupun terpaksa.
Inferiority Complex
Penting dicatat bahwa para ulama dan pemikir Muslim
sudah banyak yang mengingatkan tentang kondisi yang menimpa umat Islam hari
ini. Khususnya, bencana yang menimpa worldview (pandangan
alam/pandangan hidup”) mereka. Dalam bahasa Anwar al-Jundī, mereka telah
banyak “minum racun” orientalisme dan orientalis (sumūm al-istisyrāq wa
al-mustasyriqīn). Karena terlalu banyak “minum racun orientalisme dan
orientalis” akhirnya “orientalis Indonesia” banyak juga yang minder. Agar Islam
maju dan terkesan moderat, maka liberalisme perlu “dihidupkan” kembali, kata
salah seorang dari mereka.
Berarti sebenarnya kaum liberal mengakui bahwa wacana mereka sudah lama
pudar, bahkan mati.
Dan “orientalis Indonesia” yang lain menyatakan
bahwa sebagian ayat mengenai agama lain (utamanya Yahudi dan Kristen) amat
problematis. Maka, kata mereka, perlu menghadirkan pandangan Islam yang toleran
dan humanis. Lalu ada kaum
liberal yang harus menyimpulkan bahwa Al-Qur’an adalah “kitab toleransi”. Untuk
mendukung pandangannya dia menyatakan bahwa ayat-ayat tentang Taurāt dan Injīl
dalam Sūrah al-Mā’idah menunjukkan bahwa Islām amat toleran terhadap kedua
kitab itu. Tapi,
penulisnya melupakan sekian banyak ayat yang mengkritik Taurāt, Injīl dan dogma
agama mereka (misal: tentang nabi Uzair/Ezra, penyembahan patung anak sapi,
dogma Trinitas, dogma ketuhanan Yesus, tuduhan keji kaum Yahudi terhadap ibunda
nabi Isa, sikap Yahudi yang mendustakan para nabi bahkan membunuhnya, rasisme
Taurāt dan Talmūd, dan banyak lagi). Dan, amat sulit untuk membuktikan otentisitas
Taurāt dan Gospel. Apalagi
karena adanya kebiasaan kaum Ahli Kitab merusak kitab
suci.
Butuh Belajar Worldview
Jika sudah banyak mengidap dan minum “racun
orientalisme dan orientalis” maka harus segera diobati. Dan obat yang paling
mujarab adalah kembali belajar worldview (pandangan hidup)
Islām, sebagaimana yang diformulasikan oleh banyak para pemikiran Muslim. Karena dengan mempelajari worldview
dengan baik dan benar segala macam keraancuan berpikir akan terobati. Lebih dari itu, para ulama dan intelektual umat ini
mampu mendiagnosa masalah umat dan penyakit yang tengah menjangkiti mereka.
Di fungsi pentingnya belajar worldview Islam adalah agar mampu memahami
konsep-konsep penting dalam Islām, seperti: konsep Islām, konsep
dunia-akhirat, konsep Tuhan, konsep wahyu, konsep ilmu, konsep pendidikan,
konsep manusia, konsep alam, konsep dīn (agama),
dan konsep-konsep seminal lainnya. Sehingga tidak ada
lagi “orientalis Indonesia” yang mengklaim pakar Al-Qur’an dan Tafsir malah mengkritik Al-Qur’an para ulama. Karena ternyata banyakan diantara
mereka menggunakan metode hermeneutika dalam menafsirkan Al-Qur’an, meskipun
sampai sekarang belum ada hasilnya yang nyata. Padahal
Josef van Ess, profesor emeritus dan pakar sejarah teologi Islām dari
Universitas Tuebingen, Jerman menyatakan:
“We should, however,
be aware of the fact that German hermeneutica was not made for Islamic studies
as such. It was originally a product of Protestant theology. Scheiermarcher
applied it to the Bible. Later on, Heidegger and his pupil Gadamer were deeply
imbued with German literature and antiquity. When such people say ‘text’ they
mean a literary artifact, something aesthetically appealing, normally an
ancient text wich exists only in one version, say a tragedy by Sophocles,
Plato’s dialogues, a poem by Hölderlin. This is not necessarily so in Islamic
studies.”
Maksudnya, perlu diketahui bahwa hermeneutika yang
berasal dari Jerman itu sebenarnya memang bukan ditujukan untuk kajian
keislaman. Pada asalnya ia merupakan produk teologi Protestan. Dipakai untuk
mengkaji Bibel oleh Schleiermarcher, dan belakangan oleh Heidegger
dan Gadamber dalam kajian kesusteraaan Jerman maupun klasik. Yang mereka maksud
dengan ‘teks’ ialah karya tulis buatan manusia, sesutu yang indah lagi menarik,
biasanya sebuah naskah kuno yang hanya terdapat dalam satu versi, seperti kisah
tragedi karangan Sophocles, dialog-dialog karya Plato, atau pun puisi yang
ditulis oleh Hölderlin. Ini jelas tidak sama dengan konsep teks dalam kajian
Islām.
Padahal konsep ilmu Tafsir dan Takwil dalam Islām
sudah mapan (established). Tidak butuh kepada hermeneutika itu. Buku-buku studi Al-Qur’an (‘Uūm al-Qur’ān)
yang ditulis dan diwariskan lebih patut dan lebih utama untuk dibaca,
dipelajari dan diajarkan. Dan karya mereka sudah terbukti menghasilkan
karya-karya tafsir yang hebat dan membangkitkan peradaban ilmu sampai saat ini. Sebut saja,
misalnya, kitab ‘al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān’ karya Imam
az-Zarkasyī (745-794 H); kitab ‘al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān’ karya Imam
as-Suyūthī (w. 911 H); kitab ‘Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān’ karya
Syekh Muhammad ‘Abd al-‘Azhīm az-Zarqānī (w. 1367 H/1948 M); dan banyak lagi.
Sebagai penutup, mari renungkan nasihat penting
dari Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, rektor Universitas Darussalam (Unida),
Gontor sekaligus pakar kajian worldview Islām (karena salah
seorang murid Prof. Dr. SMN al-Attas) berikut ini:
“Mendemo pembakar Al-Qur’an sangat perlu, supaya
mereka toleran dan menghormati apa yang dianggap suci oleh orang Islām itu.
Namun, yang lebih perlu adalah mendemo tulisan orientalis dan murid-muridnya
yang merusak akidah, menafikan syariat, dan merendahkan status Al-Qur’an dari
Wahyu menjadi sekadar “karangan” Nabi Muhammad Saw. Karena, menyerang ajaran
Al-Qur’an itu lebih dahsyat dari sekadar membakar Mushaf Al-Qur’an.”
Memang, ajaran Islām saat ini tengah diserang
habis-habisan: dari Maroko hingga Merauke, dari Al-Qur’an hingga Tasawuf, dan
pernikahan hingga moral. Semuanya memang sedang diuji dan dicoba.
Tapi, dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah
serta dekat dengan para ulama yang istiqāmah, umat Islām akan bertahan dengan
kebenaran Islām dan ketinggian nilai-nilainya yang memang sesuai dengan fitrah
manusia. Semoga umat menyadarinya dan segera ambil langkah. Wallāhu
a‘lam bis-shawāb. []
Lebih luas, lihat Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in
the Qur’ān (Montreal: McGill-Queen’s University Press, 2002),
119-127).
Lihat Anwar al-Jundī, Sumūm al-Istisyrāq wa al-Mustasyriqīn fī
al-‘Ulūm al-Islāmiyyah (Beirut: Dār al-Jayl/Kairo: Maktabah at-Turāts
al-Islāmī, cet. II, 1405 H/1985 M).
Lihat Mun’im
A. Sirry, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi atas Kritik Al-Qur’an
terhadap Agama Lain (Jakarta: Gramedia, 2013).
Zuhairi
Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan
Lil‘Alamin (Jakarta: Pustaka Oasis, 2017), 258-264).
Tentang
Judaisme, lihat ‘Abd al-Fattāh Husayn az-Zayyāt, Mādzā Ta‘rif ‘an
al-Yahūdiyyah (Markaz ar-Rāyah li an-Nasyr wa al-I‘lām, 1998).
Lihat
Abu Ferik Ibn Muttalib, Sedjarah Singkat tentang Bijbel dan Al-Qur’an
dan Hubungan Antaragama (Sebuaj Studi Perbandingan) (Djakarta: Jajasan
Lembaga Penjelidikan Islam, 1962; lihat juga dua karya Dr. Munqidz
as-Saqqār, Hal al-‘Ahd al-Qadīm Kalimat Allāh? (Kairo:
Maktabah an-Nāfidzah, cet.
I, 2006) dan Hal al-‘Ahd al-Jadīd Kalimat Allah? (Kairo:
Maktabah an-Nāfidzah,
cet. I, 2006).
Lihat
Harda Armayanto (ed.), Hamid Fahmy Zarkasyi: Nasihat-Nasihat
Peradaban (Ponorogo: Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS),
cet. I, 2021), 16).
<<Kembali ke posting terbaru
|