Pendidikan dan Tantangan Masa Depan Umat
BELUM lama
ini penulis bersama Saudara Irwan Haryono, dosen Ilmu Filsafat di STIT
Ar-Raudlatul Hasanah berkesempatan mengunjungi Dr. Adian Husaini, di Hotel
Saka, Medan. Pada Jumatnya (4 November 2022) memang Dr. Adian mengisi Seminar
Nasional tentang Pendidikan Islam di Pesantren, yang diadakan oleh STIT
Ar-Raudlatul Hasanah, Medan.
Kami menemui pendiri dan pembina Attaqwa College
(Depok) dan Ketua Umum DDII itu sekitar pukul 20:50 menit. Penulis sangat
bersyukur, karena selain menjadi moderator dalam seminar yang dihadiri oleh
beliau, juga dapat berbincang ringan, tapi isinya berat. Ya, karena malam ini penulis dan saudara Irwan
Haryono semacam bertemu seorang mentor dan coach pergerakan
dan pemikiran Islam. Ini karena beliau benar-benar membuka pikiran mengenai
beberapa problem yang dihadapi umat. Di antara problem itu dapat diuraikan sebagai
berikut:
Pertama, problem diri umat Islam. Ini beliau kaitkan dengan
suksesi kepemimpinan, seperti Bupati, Gubernur bahkan Presiden. Karena, pergantian Presiden sekalipun tidak akan
mengubah keadaan umat Islam selama umat ini tidak mengetahui problem yang ada
dalam diri mereka sendiri. Karena, dalam pandangan Dr. Adian, dalam kasus
dukung-mendukung calon pemimpin umat Islam selalu menggantungkan kepada sosok
yang dipilihnya. Padahal, mereka sendiri tidak memiliki parameter untuk
mengontrol pemimpin terpilih.
Kendati demikian, Dr. Adian menegaskan bahwa
pergantian pemimpin daerah atau negara tetap penting. Tetapi tidak cukup untuk
melakukan perubahan secara mendasar dan menyeluruh. Kehadiran presiden dan
kepala daerah yang baik bisa mempercepat kebangkitan itu. Terkait dengan kebangkitan itu, Dr. Adian
menyatakan bahwa umat Islam harus mampu menghadirkan satu lapis ulama yang
hebat untuk menyongsong kebangkitan Islam pada 2045 mendatang. Ini artinya,
umat Islam hanya punya waktu 20 tahunan untuk menyiapkan kader ulama yang hebat
dan berwibawa.
Tentu saja ini membutuhkan konsep yang jelas dan roadmap
yang benar. Karena melahirkan ulama bukan pekerjaan mudah. Karena ternyata, Nabi Muhammad ﷺ
sudah memberikan contoh mengenai ini. Dimana beliau tidak hanya meninggalkan
Al-Quran dan Sunnah, tetapi meninggalkan ulama (para mujtahid) dan
pejuang (mujahid). Inilah yang kurang disadari oleh umat Islam selama
ini. Padahal, umat ini sangat membutuhkan bukan saja ulama, tetapi ulama yang
mujahid.
Kedua, problem adab. Ini juga problem besar umat Islam
hari ini. Karena mereka sudah lama mengidap penyakit loss of adab (keruntuhan
adab), sehingga mayoritas umat tak lagi mampu menempatkan segala hal secara
adil. Dalam kasus
keilmuan, misalanya, umat ini sudah banyak yang tidak tahu lagi mana
ilmu-ilmu fardhu ayn dan ilmu-ilmu fardhu kifayah.
Sehingga, mereka tidak mampu lagi membangun fikih
prioritas, dalam bahasa Syeikh al-Qaradhawi (1926-2022).
Padahal, ilmu-ilmu fardh ayn harus lebih diutamakan
oleh umat ini. Karena ilmu-ilmu ini (seperti: cara thaharah, shalat, zakat,
puasa, dll) merupakan fondasi agama. Tetapi, hari ini banyak yang sudah melupakan bahkan
meninggalkannya. Inilah yang oleh para ulama kita yang terus-menerus diingatkan
dalam banyak karya mereka. Misalnya, Imam al-Ghazālī (450-505 H) dalam Ihyā-nya
sampai Prof. Dr. SMN al-Attas (lahir 1931) dalam banyak karyanya
(seperti: Risalah untuk Kaum Muslimin, Islam and Secularism,
dan lainnya).
Ini memang menjadi tanggung jawab umat secara
keseluruhan, khususnya para ulama. Karena kekeliruan dalam memosisikan dan
mengategorikan ilmu akan berakibat fatal dalam keberagamaan umat. Lebih fatal lagi, karena akan menghambat
kebangkitan karena umat tak tahu lagi skala prioritas dalam kehidupannya.
Ketiga, problem pendidikan tinggi. Sederhananya, problem
konsep universitas. Karena, idealnya, universitas itu melahirkan a good
man (manusia yang baik) sekaligus a universal man (manusia kulliy,
universal), bukan parsial. Inilah tujuan utama pendidikan yang terus digaungkan
oleh Prof. Al-Attas dan murid beliau, Prof. Wan.
Dari universitas seharusnya muncul tokoh-tokoh
panutan dan ulama yang menjadi “suluh” umat dalam kegelapan. Tetapi, karena
kebanyakan makna dan tujuan pendidikan di universitas (khususnya Islam) keliru,
maka tak melahirkan manusia beradab. Karena yang berkembang justeru confusion (kebingungan
dan kerancuan). Padahal, universitas Islam adalah “Mikrokosmos” (alam
shaghīr, alam kecil), seperti dijelaskan Prof. Wan Daud ketika menjelaskan
pemikiran Prof. Al-Attas mengenai universitas.
Bukan hanya itu, kurikulum dan metode pendidikan
harus menjadi perhatian serius. Hal ini tak dapat dilepaskan dari fondasi dan
persiapan spiritual, peran otoritas guru, mengetahui hierarki ilmu, ditambah
lagi urgensi bahasa, metode tauhid, fungsi saluran ilmu (pancaindra, akal dan
intuisi), dan lainnya dalam metode pendidikan itu. (Prof. Wan Mohd Nor Wan
Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas,
terj. Hamid Fahmy Zarkasyi, M. Arifin Ismail, dan Iskandar Arnel (Bandung:
Mizan, 1424/2003), 207-214; 255-323).
Tentu saja, terkait dengan isu-isu pemikiran dan
kebangkitan Islam, khususnya di Dunia Melayu, tak dapat dipisahkan dari
pemikiran dan gagasan Prof. Al-Attas. Inilah yang banyak disinggung oleh Dr.
Adian dalam perbincangan kami. Dan, beliau menegaskan berkali-kali pentingnya
memahami pemikiran Prof. Al-Attas melalui buah karya muridnya, khususnya Prof.
Wan. Karena banyak ide-ide dan gagasan Prof. Al-Attas yang tidak tertulis
tetapi disampaikan langsung kepada murid-muridnya.
Bagi penulis, bincang-bincang bersama Dr. Adian tak
hanya membuka cara berpikir tetapi menitipkan pesan. Pesannya menyangkut
tantangan umat kedepan dan solusi dan langkah apa yang harus diambil. Dan
beberapa poin dalam tulisan ini agaknya bisa menjadi renungan awal. Wallahu
a‘lam bis-shawab.*/Medan, Senin, 7 November 2022
Dosen “Islamic Worldview” di STIT Ar-Raudlatul
Hasanah dan Mahasiswa Doktor Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Universitas
Darussalam Gontor)