Loss of Adab, Kebingungan Ilmu dan Pemimpin Palsu
Tulisan ini “diilhami” oleh temuan penting Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas (lahir 1931) mengenai loss of adab (keruntuhan atau hilangnya adab), kebingungan (kerancuan) ilmu (confusion of knowledge) dan konsep kepemimpinan. Ketiga hal ini, dalam pandangan al-Attas, tak dapat dipisahkan karena saling memberikan konsekuensi terhadap yang lainnya. Inilah yang diebut oleh al-Attas dengan “dilema” umat Islam. Ketiganya akan diulas secara rinkgas dalam tulisan ini.
Dalam
pandangan al-Attas, problem utama yang dihadapi oleh umat Islam adalah “loss
of adab (keruntuhan atau kehancuran adab), yaitu kehancuran dan
keruntuhan disiplin: disiplin tubuh, akal (mind) dan jiwa (soul).
Puncaknya adalah: hilangnya pengenalain (recognition) dan pengakuan (acknowledgement).
Implikasi utamanya adalah hilangnya keadilan (loss of justice). Tetapi,
problem utamanya tetap ada pada kerancuan ilmu. Dari sana kemudian muncullah,
jika boleh dikatakan, istilah “lingkaran setan” antara ketiganya, yaitu: kebingungan
ilmu menciptakan kondisi loss of adab, kemudian keduanya melahirkan para
pemimpin palsu (false leaders). (SMN al-Attas, Islam and Secularism
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 105-106).
Dilema
yang disampaikan oleh al-Attas di atas sejatinya merupakan otokritik terhadap
kondisi nyata yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Pemikiran al-Attas yang
luar biasa ini mengingatkan pada konsisi yang pernah dialami oleh Imam Abu
Hamid al-Ghazali (450-505 H). Karena di zamannya krisis utama umat Islam adalah
mengenai adab, problem keilmuan dan ulama yang melahirkan para pemimpin
yang tidak baik, seperti nasihat-nasihat beliau dalam al-Tibr al-Masbūk fī
Nashīhat al-Mulūk (Beirut-Lebanon: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1409/1988;
Imam al-Ghazali, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Beirut-Lebanon: Dār al-Fikr, 1428/2008):
1/79-109).
Fenomena
keruntuhan adab, menurut al-Attas, melahirkan hilangnya keadilan (justice),
baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Konsekuensi logisnya, hilangnya
keadilan melahirkan hilangnya wisdom (hikmah) atau kebijaksaan.
Karena keduanya memang direfleksikan oleh adab. Ketika keadilan
dan hikmah sirna maka individu dapat berlaku zalim atau bersikap tidak
adil (unjustice) sehingga tidak mampu meletakkan sesuatu secara
proporsional. Karena yang terjadi adalah corruption of knowledge karena
telah telah terjadi disintegrasi adab. (SMN al-Attas, Prolegomena to
the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 16-19).
Dan,
disintegrasi adab tersebut mewujud dalam masalah-masalah spiritual,
intelektual, dan kultural, seperti: menyamakan Kitab Suci Al-Qur’an dengan
kitab-kitab lain; menyetarakan Nabi Muhammad dengan nabi-nabi lain; menyamakan
ilmu agama dengan ilmu lain; menyamakan hidup di dunia dengan hidup di akhirat;
pemimpin sejati disejajarkan dengan para pemimpin palsu. (SMN al-Attas, “Introduction”,
dalam al-Attas (ed), Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah:
Hodder and Stoughton-King Abdul Aziz University, 1979), 14).
Dari
problem loss of adab itulah sejak lama al-Attas mengevaluasi kandungan
dan tujuan utama pendidikan tinggi Islam, yang beliau paparkan sejak 1970
silam. Bahkan problem utama pendidikan Islam berkaitan dengan hakikat dan
tujuan pendidikan. Maka dirumuskanlah oleh al-Attas konsep ta’dīb untuk
pendidikan Islam. Ia mengkritik konsep tarbiyah maupun ta‘līm,
karena keduanya sudah ada di dalam ta’dīb. (SMN al-Attas, The Concept
of Education in Islam (Kuala Lumpur: Ta’dib International, 2019), 13-33).
Sehingga, melalui ta’dīb ini diharapkan fenomena loss of adab
yang terus menggejala di tengah-tengan umat Islam dapat diatasi dengan baik.
Diantara
fenomena loss of adab adalah hilangnya pengenalan (recognition)
dan pengakuan (acknoledgement) dalam ranah keilmuan dan ulama. Sehingga
muncullah kerancuan dan kebingungan ilmu pengetahuan. Ini kemudian menjadikan
seorang Muslim tak mampu lagi membedakan mana ilmu-ilmu yang dikategorikan fardhu
‘ayn mana pula yang tergolong fardhu kifayah. Lebih parah lagi,
konsepsi ilmu yang hebat ini tidak terbina dengan baik di banyak perguruan
tinggi Islam. Akibatnya, sudah muncul pandangan bahwa ilmu itu neutral
(bebas-nilai, value free). Padahal, sebenarnya ilmu tidak
bersifat neutral: tidak bebas nilai alias sarat nilai (value laden).
Karena konsep ilmu, baik dalam Islam maupun Barat, tidak lepas dari worldview
(pandangan alam). (SMN al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan
Alam (Pulau Pinang-Malaysia: Penerbit Universiti Sains Malaysia, 2007),
9-23; al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001),
49-50). Akibat dari rusaknya konsep ilmu fardhu ‘ayn, tegas al-Attas, muncullah
kebingungan dan kerusakan ilmu. Dan ini disebabkan oleh rusaknya konsep
pendidikan. (SMN al-Attas, “Introduction”, 8).
Tentu
pandangan keliru di atas tidak akan terjadi jika konsep ta’dīb yang men-tadbir
dan membina adab dilakukan dengan tepat. Karena salah satu landasan
paling utama dalam pemikiran filsfat pendidikan Islam al-Attas adalah konsepnya
mengenai adab yang sangat komprehensif. Karena secara alami, analisis
beliau mengenai problem pendidikan, intelektual, dan kebudayaan menunjukkan
fakta bahwa problem-problem itu berakar pada faktor-faktor eksternal dan
internal. Penyebab eksternal disebabkan oleh tantangan religius-kultural dan
sosial-politik dari Barat, sedangkan yang internal tampak dalam tiga bentuk
fenomena yang saling berhubungan, yaitu kekeliruan dan kesalahan dalam memahami
ilmu dan aplikasinya, ketiadaan adab, dan munculnya pemimpin-pemimpin
yang tidak layak memikul tanggungjawab secara benar dalam segala bidang. Namun,
dari semua itu, ketiadaan adab-lah yang harus ditinjau dan dikoreksi
secara efektif jika Muslim ingin menyelesaikan problem kebingungan dan
kekeliruan dalam bidang keilmuan dan menanggulangi munculnya kepemimpinan palsu
dalam segala bidang. (Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan
Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy Zarkasyi, M. Arifin Ismail
dan Iskandar Arnel (Bandung: Mizan, 1424/2003), 198-199).
Dari
loss of adab lahir kebingungan dan kerancuan ilmu; dari kerancuan ilmu
dan loss of adab lahirlah para pemimpin palsu. Yaitu, para pemimpin yang
tidak identitas dan integritas dalam memimpin. Sehingga, mereka tidak amanah
dalam menjalankan kepemimpinan mereka. Bahkan, dalam pandangan al-Attas, dari loss
of adab dan corruption of knowledge secara khusus, melakhirkan ulama
palsu (false ‘ulama), yaitu mereka yang membatasi ilmu hanya pada domain
fiqh. “...who restrict knowledge (al-‘ilm) to the domain of jurisprudence
(fiqh). Sehingga, mereka tidak layak mengikuti para mujtahidun: para Imam
hebat yang upaya individual mereka mengukuhkan mazhab hukum fiqih dan hukum
dalam Islam. (SMN al-Attas, “Introduction”, 8).
Maka,
dalam sejarah Islam kita mengenal para ulama sebagai sosok generik: dia pakar
Kalam, Tafsir, Ushul Fiqih, Filsafat, bahkan Fiqih. Sebut saja misalnya, Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafi’i, Imam Ahmad, Imam al-Bukhari, Imam
Muslim, Imam al-Dzahabi, Imam ibn al-Atsir, Imam al-Baqillani, Imam Ibn
‘Asakir, Imam ibn Katsir, bahkan Imam Nawawi al-Bantani, Tengku Muhammad Hasbi
as-Shidieqi, Buya Hamka, dan banyak lagi. Mereka contoh dari ulama sejati itu.
Selain ulama yang “palsu”, hari ini banyak
bermunculan kaum intelektual sekular, yang mengambil inspirasi dari Barat.
Secara ideologi, mereka sejalan dengan kaum “pembaharu” modernis dan para
pengikutnya; sebagian mereka bahkan mengikuti pandangan kaum “pembaharu”
tradisionis dan para pengekornya. Kebanyakan mereka tidak mengambil pengetahuan
dan epistemologi Islam sebagai dasar intelelektualitas dan spiritualitas
mereka. Jadi, mereka ini terpisah jauh dari pendekatan kogninitif dan
metodologis terhadap sumber dan pengajaran Islam. (SMN al-Attas,
“Introduction”, 10). Ini semuanya disebabkan oleh loss of adab itu.
Namun,
penting pula untuk dicatat bahwa loss of adab tidak serta-merta melahirkan
ketiadaan ilmu. Tetapi maknanya juga kehilangan kapasitas dan kemampuan untuk
mengenal dan mengakui para pemimpin sejati. (SMN al-Attas, “Introduction”, 12).
Ini mengingatkan pada peringatan futuristik dari Nabi Muhammad, “Akan datang
waktunya kepada manusia, yaitu tahun-tahun penuh kedustaan. Dimana saat itu
pendusta dianggap benar dan orang jujur dinilai sebagai pendusta; pengkhianat
diberi amanah sementara yang amanah dianggat pengkhianat; lalu berbicaralah
saat itu Ruwaibidhah. Rasulullah ditanya: “Apa Ruwaibidhah itu? Rasulullah
menjawab, “Orang yang jahil (dungu, bodoh) berbicara mengenai urusan orang
banyak (rakyat).” (HR. Ibn Majah (4036) dan Ahmad ibn Hanbal (7912).
Terakhir,
dapatlah menjadi perhatian kita bersama bahwa jika hari ini dirasakan
bermunculan pemimpin publik yang kurang cakap, tidak kapabel, tidak memiliki
idenitas dan integritas, problem utamanya dapat dicari dalam penyelenggaraan
pendidikan kita. Karena pendidikan yang menanamkan adab (ta’dīb)
tidak akan merusak konsep ilmu dan ulama. Dan, jika penyakit loss of adab dapat
diobati, diantara keuntungannya adalah tidak akan terjadi “korupsi”. Dan, demikian,
tidak akan ada lagi muncul para pemimpin palsu. Wallahu a’lam bis-shawab.[]