“Islam dan Paham Pluralisme Agama”
ISLAM DAN PAHAM PLURALISME AGAMA:
Respon terhadap Isu-isu Pluralisme Agama di Indonesia
Salah satu imbas negatif dari globalisasi (globalization) adalah munculnya tren-tren pemikiran baru. Salah satunya adalah faham “relativisme kebenaran”. Tren yang muncul –dari faham ini—kemudian adalah “Pluralisme Agama”. Satu faham dimana setiap pemeluk agama tidak memiliki hak untuk mengklaim bahwa agamanya yang benar, atau “paling” benar. Tren ini banyak menyita perhatian, dari praktisi hukum hingga –khususunya—para teolog.
Tidak ketinggalan bahwa beberapa pemikir Muslim liberal-sekular ikut menjadi ‘pengasong’ faham ini. Untuk meluluskan dan meng-gol-kan idenya, mereka bekerja keras dan bahu-membahu untuk mencarikan legitimasinya dalam teks-teks suci (nushûsh) Al-Qur’an dan Sunnah.[1] Benarkah faham ini memiliki legitimasi dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Tulisan ini mencoba menjawab tren baru ini, lewat analisis nushûsh (teks-teks) suci: Al-Qur’an dan Sunnah.
Sejarah Kemunculan dan Perkembangan
Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut dengan Pencerahan (Enlightment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama. Di tengah hiruk-pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar gereja, muncullah suatu paham yang dikenal dengan “liberalisme”, yang komposisinya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme.[2]
Sebenarnya kalau ditelusuri lebih jauh dalam peta sejarah peradaban agama-agama dunia, kecenderungan sikap beragama yang pluralistik, dengan pemahaman yang dikenal sekarang, sejatinya sama sekali bukan barang baru. Cikal bakal pluralisme agama ini muncul di India pada akhir abad ke-15 dalam gagasan-gagasan Kabir (1440-1518) dan muridnya, yaitu Guru Nanak (1469-1538) pendiri “Sikhisme”. Hanya saja, pengaruh gagasan ini belum mampu menerobos batas-batas geografis regional, sehingga hanya populer di anak benua India. Ketika arus globalisasi telah semakin menipiskan pagar-pagar kultural Barat-Timur dan mulai maraknya interaksi kultural antar kebudayaan dan agama dunia, kemudian di lain pihak timbulnya kegairahan baru dalam meneliti dan mengkaji agama-agama Timur, khususnya Islam, yang disertai dengan berkembangnya pendekatan-pendekatan baru kajian agama (scientific study of religion), mulailah gagasan pluralisme agama berkembang secara pelan tapi pasti, dan mendapat tempat di hati para intelektual hampir secara universal.[3]
Yang perlu digarisbawahi di sini, gagasan pluralisme agama sebenarnya bukan hasil dominasi pemikir Barat, namun juga mempunyai akar yang cukup kuat dalam pemikiran agama Timur, khususnya dari India, sebagaimana yang muncul pada gerakan-gerakan pembaruan sosio-religius di wilayah ini. Beberapa peneliti dan sarjana Barat, seperti Parrinder dan Sharpe, justru menganggap bahwa pencetus gagasan pluralisme agama adalah tokoh-tokoh dan pemikir-pemikir yang berbangsa India. Rammohan Ray (1772-1833) pencetus gerakan Brahma Samaj yang semula pemeluk agama Hindu, telah mempelajari konsep keimanan terhadap Tuhan dari sumber-sumber Islam, sehingga ia mencetuskan pemikiran Tuhan Satu dan persamaan antar agama. Sri Ramakrishna (1834-1886), seorang mistis Bengali, setelah mengarungi pengembaraan spiritual antar agama (passing over) dari agama Hindu ke Islam, kemudian ke Kristen dan akhirnya kembali ke Hindu lagi, juga menceritakan bahwa perbedaan-perbedaan dalam agama-agama sebenarnya tidaklah berarti, karena perbedaan tersebut sebenarnya hanya masalah ekspresi. Bahasa Bangal, Urdu dan Inggris pasti akan mempunyai ungkapan yang berbeda-beda dalam mendeskripsikan “air”, namun hakikat air adalah air. Maka menurutnya, semua agama mengantarkan manusia ke satu tujuan yang sama, maka mengubah seseorang dari satu agama ke agama yang lain (prosilitisasi) merupakan tindakan yang tidak menjustifikasi, di samping merupakan tindakan yang sia-sia. Gagasan Ramakrishna, persahabatan dan toleransi penuh antar agama, kemudian berkembang dan diterima hingga di luar anak benua India berkat kedua muridnya, Keshab Chandra Sen (1838-1884) dan Swami Vivekananda (1882-1902). Sen ketika mengunjungi Eropa sempat berjumpa dan berdiskusi dengan F. Max Muller (1823-1900), Bapak ilmu Perbandingan Agama modern di Barat, dan menyampaikan gagasan-gagasan gurunya. Vevikananda justru mempunyai justru mempunyai pengaruh lebih besar, dengan mendapatkan kesempatan menyampaikan pesan-pesan gurunya di depan Parlemen Agama Dunia (World’s Parliament of Religion) di Chicago, Amerika Serikat, tahun 1893. Upaya Swani Vevikananda tersebut telah mendapat pujian yang luar biasa dari masyarakat Hindu dan mengangkat namanya sebagai pahlawan nasional. Dengan demikian, dia berhak disebut sebagai peletak dasar gerakan, yang oleh Parrinder disebut, Hindu Ortodok Baru yang mengajarkan bahwa semua agama adalah baik dan kebenaran yang paling tinggi adalah pengakuan terhadap keyakinan ini. Menyusul kemudian tokoh-tokoh India lain seperti Mahatma Gandhi (1869-1948) dan Sarvepalli Radhakrishna (1888-1975) yang juga menyuarakan pemikiran pluralisme agama yang sama.[4]
Sementara itu, dalam diskursus pemikiran Islam, pluralisme agama, masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama yang muncul lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam. Pendapat ini disepakati oleh realitas bahwa gagasan pluralisme agama dalam wacana pemikiran Islam, baru muncul pada masa-masa pasca Perang Dunia Kedua, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat.
Kemudian di lain pihak gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wacana pemikiran Islam melalui karya-karya pemikir mistik Barat Muslim, seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad). Karya-karya mereka ini sangat sarat dengan pemikiran dan gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh-kembangnya wacana pluralisme agama di kalangan Islam.
Barangkali Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh Muslim Syi’ah moderat, merupakan tokoh yang bisa dianggap paling bertanggungjawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional –suatu prestasi yang kemudian mengantarkannya pada sebuah posisi ilmiah kaliber dunia yang sangat bergengsi bersama-sama dalam deretan nama-nama besar seperti Ninian Smart, John Hick, dan Annemarie Schimmel.[5] Dalam Kristen memang John Hick-lah yang paling bertanggungjawab dalam menyebarkan paham pluralisme agama ini.[6]
Respon Islam terhadap Pluralisme
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa “pluralisme agama” merupakah faham yang tidak menemukan legitimasinya di dalam Islam. Menurut Abdilhussein Khisrobenah, al-ta‘addud al-dîniyyah (religious pluralism) adalah satu mazhab yang mengorbankan orisinilitas (al-ashâlah) demi kepentingan banyak aliran (al-katsrah). Konsep ini juga terbagi ke dalam berbagai macam orientasi, seperti pluralisme moral (al-ta‘addudiyyah al-akhlâqiyyah), politik (al-siyâsiyyah), sosial (al-ijtimâ‘iyyah) dan agama (al-dîniyyah).
Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menghampiri kita dalam pluralisme agama ini adalah: apakah seluruh agama dan aqidah (al-adyân wa al-‘aqâ’id) dalam dalam satu kebenaran (haqq)? Tidak diragukan lagi bahwa tesa faham pembatasan (exdusirism, al-inhishâriyyah) merupakan awal yang yang dihadapi oleh seorang pemikir ketika bersinggungan dengan seluruh agama yang ada. Setiap agama meyakini bahwa kebahagiaan dan kebenaran (al-sa‘âdah wa al-haqq) terbatas dalam aqidahnya saja.[7]
Klaim-klaim seperti di atas sebenarnya lahir dari perasaan superior. Ini sebenarnya alami. Karena setiap pemeluk satu agama, pasti menganggap agamanya paling benar, dan yang lain salah. Klaim kebenaran dan keutamaan (afdhaliyyah), misalnya, terdapat di dalam tiga agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam). Umat Yahudi sendiri diakui oleh Allah sebagai umat yang dimuliakan.[8] Kaum Yahudi mengklaim diri mereka sebagai bangsa Allah yang terpilih (sya‘b Allâh al-mukhtâr, the choosen people). Klaim ini lah yang disebut oleh Roger Garaudi sebagai “mitos” tak berdasar.
Roger Garaudy mengutip bunyi dokumen “Bacaan Fundamentalis tentang Zionisme Politik”: “Penduduk dunia dapat dibagi antara Israel dan bangsa lain yang dianggap satu. Israel adalah bangsa yang terpilih: dogma pangkal.” (Rabi Cohen, Le Talmud [Paris: Payot, 1986, hlm. 104). Menurut Garaudy, klaim itu dianggap sebagai “mitos”. Menurutunya, mitos ini adalah kepercayaan, tanpa dasar sejarahpun, yang menurutnya monoteisme lahir bersamaan dengan Perjanjian Lama. Sebaliknya, dari Bibel sendiri, jelas bahwa dua redaktur utamanya, yaitu Yahvis dan Elohis, bukanlah kaum monoteis; mereka hanya memproklamasikan superioritas Tuhan Yahudi terhadap tuhan-tuhan lainnya serta kecemburuan-Nya terhadap yang lain (Keluaran XX: 2-5). Tuhan orang Moab: Kamos dikenal sebagai (Hakim-Hakim XI: 24 dan II Raja-Raja: 27) “tuhan-tuhan yang lain” (I Samuel XVII: 19).[9]
Benar bahwa umat Yahudi merupakan umat yang diberi keunggulan oleh Allah. Ini diakui secara eksplisit di dalam Al-Qur’an. Namun demikian, “keutamaan” ini bukan harga gratis alis cuma-cuma. Ia merupakan keutamaan bersyarat. Ketika syarat itu dilanggar oleh kaum Yahudi, dengan serta-merta keutamaan itu pun lenyap.
Agama Kristen juga mengklaim sebagai agama yang “paling” benar. Bahkan menurut doktrin Gereja (sebelum Konsili Vatikan II) tidak ada keselamatan “di luar Gereja”, extra ecclesiam nulla salus. Meskipun pada Konsili Vatikan II, Gereja merubah teologinya menjadi “teologi inklusif”.[10] Teologi “inklusif” inilah kemudian diadopsi oleh beberapa pemikir Muslim, untuk merubah teologi Islam. Padahal, teologi Islam itu “inklusif” sekaligus “ekslusif”. Artinya, teologi Islam adalah “teologi akomodatif”. Teologi Islam bukan teologi “ekstrim” (Arab: bayna al-ifrâth wa al-tafrîth).
Islam juga oleh Allah diakui sebagai “umat terbaik” (khayra ummatin) yang dilahirkan untuk seluruh manusia (ukrijat li al-nâsi). Predikat “baik” (khayriyyah) ini pun bukan “harga gratis”. Ia memiliki empat syarat penting: (1) menyuruh kepada yang baik (amr bi al-ma‘rûf); (2) mencegah –manusia lain—dari segala bentuk kemungkaran (al-nahy ‘an al-munkar); dan (3) beriman kepada Allah (tu’minûna bi Allâh). Dengan begitu, umat Islam akan memperoleh “kemenangan”.[11]
Al-Qur’an dan “Pluralisme Agama”
Abdul Aziz Sachedina sendiri sangat keliru ketika mengklaim adanya paham pluralisme agama dalam Al-Qur’an. Dalam sub-judul “Pluralisme Agama dalam Al-Qur’an” menulis:
“Saya sepenuhnya bergantung pada Al-Qur’an sebagai sumber normatif bagi satu teologi inklusif. Bagi kaum Muslim, tidak ada teks lain yang menempati posisi otoritas mutlak dan tak terbantahkan selain Al-Qur’an. Maka, Al-Qur’an merupakan kuncu untuk menemukan dan memahami konsep pluralisme agama dalam Islam.”[12]
Namun dengan sangat tidak kritis, Sachedina tidak memunculkan satu fakta pun tentang pluralisme agama dalam Al-Qur’an. Dia malah menyebutkan bahwa gagasan “manusia adalah satu umat” merupakan dasar pluralisme teologis yang menuntut adanya kesetaraan hak yang diberikan Tuhan untuk manusia.[13]
Seorang pluralis ‘anyar’ asal Indonesia, Jalaluddin Rakhmat dalam sub-judul bukunya “Ayat-ayat Pluralisme” menulis:
“Apakah orang-orang kafir (non-muslim) menerima pahala amal salehnya? Benar, menurut Al-Baqarah: 62, yang diulang dengan redaksi yang agak berbeda pada Al-Mâ’idah: 69 dan al-Hajj: 17.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabiin[14], siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan amal saleh, mereka menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”[15]
Secara tidak fair, kemudian Jalal menggunakan dua kitab tafsir. Pertama, tafsir yang ditulis oleh Sayyid Husseyn Fadhlullah, tokoh Hizbullah Lebanon, mewakili mazhab Ahlul Bait, kedua, tafsir al-Manâr, yang ditulis oleh Sayyid Rasyîd Ridhâ, tokoh pembaru Islam yang dikenal sebagai fundamentalis, mewakili mazhab Ahlussunnah.[16]
Alasan Jalal menggunakan dua tafsir itu pun tidak jelas. Ketika Jalal mengatakan bahwa Yahudi, Nasrani, Shabi’in dalam Qs. Al-Baqarah: 62, al-Mâ’idah: 69 dan al-Hajj: 17 sebagai kaum “kafir” (non-Muslim) adalah menyelewengkan ayat Al-Qur’an. Dalam ayat-ayat tersebut, Allah tidak mengatakan mereka sebagai orang “kafir” (non-Muslim). Ini juga kontradiktif dengan pendapat Jalal sendiri, ketika menjelaskan makna “Islam” dalam Qs. Ali ‘Imrân [3]: 85. Jalal mengikuti pendapat Fadhlullah bahwa ayat-ayat itu tidak dihapus (mansûkh). Menurut Fadhlullah, ayat 85 dari surat Ali ‘Imrân adalah menjelaskan “Islam umum” yang meliputi semua risalah langit, bukan Islam dalam artian istilah, yaitu bukan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w.[17] Kesimpulan Fadhlullah, menurut Jalal, diambil dari Qs. Ali ‘Imrân 19. Karena menurut Al-Qur’an, agama itu semuanya Islam.[18]
Fadhlullah dan Ridhâ memang memberikan syarat bahwa agar selamat, seluruh agama: orang beriman, Yahudi, Nasrani, Sabea, harus memiliki tiga syarat: iman kepada Allah, iman kepada hari akhir dan amal saleh. Benar, tapi konsep keimanan kepada Allah, Hari Akhir dan amal saleh tidak ada sebaik dan se-valid Islam. Tuhan (Allah) dalam agama Yahudi adalah Allah “ekslusif”. Keimanan kepada hari akhir pun dirusak oleh kaum Yahudi. Begitu juga dalam Kristen. Kristen mengakui bahwa jalan menuju Allah hanya lewat “Kristus”. Konsep Allah pun berubah menjadi Trinitas (Tritunggal). Hari Akhir pun berbeda konsepnya. Amal saleh pun tidak diketahui bagaimana bentuknya. Ketiga hal tersebut sangat rinci dijelaskan dalam Islam.
Jalal juga menolak penafsiran –yang menurutnya—kaum ekslusivis. Dalam sub-judul “Bantahan kaum eksklusivis” Jalal menulis, khususnya pada poin kedua dan ketiga. Poin kedua, Jalal menolak pendapat yang menyatakan bahwa Yahudi, Nasrani dan Shabi’in dalam ayat di atas adalah mereka yang ada sebelum zaman Nabi s.a.w. Karena itu, semua agama kehilangan validitasnya. Sebagaimana kedatangan uang Republik menyebabkan uang Belanda tidak berlaku. Argumentasi berdasarkan analogi ini, menurut Jalal, tidak punya dalil yang memperkuatnya dalam Al-Qur’an dan sunah. Sebuah ayat yang bermakna umum tidak boleh diartikan khusus kecuali dengan keterangan yang kuat.[19]
Apa yang diklaim oleh Jalal adalah keliru. Al-Qur’an memang mengakui bahwa kitab suci umat terdahulu: Taurat yang dibawa oleh Nabi Musa a.s. dan ‘Isa a.s. adalah benar, bahkan mengandung cahaya (kebenaran). Tapi itu sebelum kedatangan Nabi Muhammad s.a.w. Tentang Taurat (Torah) Allah s.w.t. mengakui di dalamnya ada “petunjuk” (hudan) dan “cahaya” (nûr). Tetapi Allah mewakilkan penjagaan Taurat tersebut kepada para rabi dan pendeta mereka, dan mereka menjadi saksi akan hal itu. Hukum-hukum qishâsh pun dijelaskan di dalamnya.[20]
Tentang Injil, Allah s.w.t. mengakui bahwa di dalamnya juga terdapat “petunjuk” (hudan) dan “cahaya” (nûr). Dan Injil (Gospel) ini menjadi “pembenar”/penguat (Al-Qur’an: mushaddiq) bagi Taurat (Torah). Bahkan Injil memiliki satu kelebihan, yakni maw‘izhah (berisi nasehat dan petuah bijak di dalamnya).[21] Tapi ketika berbicara tentang Al-Qur’an, Allah s.w.t. tidak hanya menyatakan bahwa Al-Qur’an sebagai “penguat” atau pembenar (mushaddiq) Taurat dan Injil, melainkan juga sebagai “batu ujian” (mushaddiqan lima bayna yadayhi min al-Kitâb wa muhayminan ‘alahyi). Ini lah ayat yang menyatakan bahwa ajaran Rasul hadir sebagai nâsikh (pengahapus) risalah sebelumnya. Dengan demikian, risalah Judaisme dan Kristianitas dengan sendirinya “gugur”. Keduanya telah sempurna menjadi “Islam” final, di tangan Rasulillah s.a.w.
Dalam sunnah Rasululillah s.a.w. juga disebutkan dengan sangat detil. Beliau bersabda: “Demi zat yang jiwa Muhammad dalam genggaman-Nya, tidak seorangpun yang mendengar dari umat ini: baik Yahudi maupun Nasrani, lalu ia mati dan tidak beriman kepada ajaran yang aku bawa, kecuali dia akan menjadi penghuni neraka.” (HR. Muslim).[22] Seandainya agama Yahudi dan Nasrani masih benar, maka Allah tidak perlu menurunkan “Islam”. Dan jika Islam tidak datang untuk menghapuskan agama sebelumnya, tidak mungkin Rasul s.a.w. menyatakan haditsnya yang sangat ‘tegas’ dan ‘pedas’ di atas.
Pada poin ketiga, Jalal menolak penafsiran kaum ekslusivis yang menyatakan bahwa konsep beriman kepada Allah adalah: Allah dalam agama Islam.[23] Tentu saja, karena, seperti yang telah dijelaskan, konsep Allah dalam agama-agama lain “sangat tidak jelas” dan tidak rasional. Misalnya, konsep “Allah” dalam Kristen dikritik habis-habisan oleh Al-Qur’an.[24]
Ketika berbicara tentang konsep agama, Al-Qur’an tidak pernah menggunakan kata agama dalam bentuk yang “plural” (jamak). Kata agama selalu hadir dalam bentuk tunggal, singular. Najaf-Ali Mirzae menyatakan bahwa secara realitas, ketika kita melihat beberapa ayat Al-Qur’an dalam membincang masalah agama-agama (al-adyân), kita menemukan dengan jelas bahwa ayat-ayat tersebut menolak adanya banyak agama (ta‘addud al-adyân). Ayat-ayat tersebut malah mengajak untuk mengimani seluruh nabi-nabi dalam satu waktu, tanpa membedakan antara satu dengan lainnya. Karena para nabi seluruhnya hadir untuk menanamkan satu risalah ilahi yang batas-batasnya meluas sejalan dengan roda zaman dan perubahan kesiapan manusia dan masyarakat. Hingga akhirnya, risalah yang menyatu dan jalan yang lurus (al-shirâth al-mustaqîm) –yang diseru oleh seluruh nabi tersebut—sampai kepada titik kulminasinya dan titik akhir nilainya setelah diutusnya Nabi Muhammad dan diturunkannya Kitab yang mulia.[25]
Oleh karena itu, kita menemukan bahwa kata “agama-agama” (al-adyân) tidak diakui dan tidak dipakai sama sekali di dalam Al-Qur’an yang mulia. Justru kata “Islam” lah yang banyak diulang terhadap risalah para nabi yang terdahulu. Yang membuktikan secara tegas kepada kita bahwa agama itu “satu” dan “jalan” (shirâth) itu satu: yaitu iman kepada Allah dan kufur terhadap “thâghut” dan menanamkan Tawhid dan aqidah Islam bagi seluruh nabi dan rasul.[26]
Dan jalan Allah yang lurus itu adalah yang memerankan agama Islam. Sedangkan beriman kepada sebagian, dan kufur kepada sebagian lain selamanya tidak dapat diterima. Artinya, tidak akan pernah melahirkan kebaikan (al-shalâh) dan kebenaran (al-shawâb) secara pasti. Kiranya ayat yang berbunyi: “wa man yabtaghi ghayral Islâmi dînan falan yuqbala minhu”[27] menunjuk kepada makna ini. Dan ayat ini tidak muncul untuk mengingkari risalah-risalah yang lain. Ia hanya untuk menolak pernyataan yang mengklaim adanya pluralisme agama (al-ta‘addud wa al-takattsur al-dîniy) dalam satu waktu. Hal itu tidak berarti bahwa agama Kristen, misalnya, satu agama yang ditolak. Bagaimana mungkin dia ditolak, karena Kristen juga adalah “Islam” dalam satu fase kehidupan manusia. Ia merupakan risalah ilahi yang benar dan dibenarkan di dalam Al-Qur’an yang mulia. Tujuannya adalah: mengakui agama Kristen dan yang lainnya sebagai “naskah-naskah kuno” (nusakh qadîmah) yang tidak sempurna menurut terminologi modern. Pada akhirnya, risalah ini juga menjadi sempurna dan disebut sebagai “Islam”.[28]
Meskipun tampak rasional, tetapi tidak mudah bagi kaum pluralis untuk menerima Islam sebagai agama yang satu-satunya “benar”. Menurut mereka semua agama itu benar, tidak ada yang salah. Maka, setiap pemeluk agama harus mengedepankan toleransi. Hans Kung, seorang teolog Katolik pernah memberikan seminar di Texas, yang juga dihadiri oleh Muhammad Legenhausen. Dalam ceramahnya dia mengakui bahwa Muhammad s.a.w. adalah nabi yang diutus dari sisi Allah. Sebagian besar umat Islam ketika itu mengucapkan takbir dan tahlil serta memuji Allah. Karena mereka yakin ‘sang pembicara’ telah masuk Islam. Setelah itu, Hans Kung berkomentar: “Tetapi saya tidak mememul Islam.” Kaum Muslim ketika itu merasa aneh dan bertanya: “Bukankah Anda beriman kepada kenabian Muhammad?” Dia kemudian menjawab: “Ya, saya memang mempercayainya, hanya saja saya juga percaya bahwa Kristus adalah Allah itu sendiri.”[29]
Dari sini tampak jelas, bahwa sangat berat bagi kaum pluralis untuk bersikap “inklusif”. Sangat mudah mewacanakan kebenaran yang inklusif, tapi berat ketika harus bersinggungan dengan keyakinan, doktrin atau dogma. Benar bahwa manusia adalah “satu umat”. Tapi manusia ini tidak berada dalam “satu rel kebenaran”. Kebenaran itu sifatnya mutlak, karena dia lahir dari Allah yang kebenaran-Nya Mahamutlak (al-Haqq). Islam tidak mengingkari manusia lain sebagai mitra-interaksi. Tapi dalam aqidah, dalam Islam tidak ada ruang untuk melakukan bergaining position.
Imbas Paham Pluralisme Agama
Kaum pluralis berjuang habis-habisan untuk meluluskan keinginan mereka dalam mengasongkan paham pluralisme agama. Bahkan tidak jarang mereka harus “memelintir” ayat-ayat Al-Qur’an untuk meluluskan tujuannya.
Berikut ini, penulis mencatat dua isu penting berkaitan tentang imbas pluralisme agama: pertama, dekonstruksi konsep Ahlul Kitab dan kedua, konsep kawin campur (beda agama).
Pertama, konsep Ahli Kitab. Menurut kaum pluralis, Ahli Kitab tidak hanya terbatas pada umat Yahudi dan Kristen. Umat-umat lain juga bisa dikategorikan sebagai “Ahli Kitab”. Klaim ini jelas tak berdasar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (unwell-documented). Allah di dalam Al-Qur’an menyatakan bahwa Ahli Kitab hanya Yahudi dan Kristen. Maka pendapat yang menyatakan bahwa agama-agama kultural (al-adyân al-wadh‘iyyah-al-ijtimâ‘iyyah) juga masuk ke dalam Ahli Kitab adalah tidak dapat dibenarkan.[30] Imam Syafi‘i sendiri menolak kelompok lain, selain Yahudi dan Nasrani sebagai “Ahli Kitab”. Sehingga Majusi tetapi dianggap Majusi. Seorang budak Majusi, jika tertawan, maka dia tidak boleh ‘digauli’, karena agamanya adalah agama kedua orangtuanya (Majusi).[31] Dan sembelihan seorang Majusi tidak halal dimakan, meskipun dia menyebut asma Allah s.w.t.[32]
Kedua, kawin campur. Karena menurut kaum pluralis agama itu sama, maka seorang wanita Muslimah “sah-sah” saja untuk kawin dengan laki-laki non-Muslim. Ini merupakan ‘ijtihâd’ yang salah kaprah dan tak berdasar sama sekali. Dalam Fiqih Lintas Agama, misalnya, kaum pluralis mencatat:
“Namun, bila pernikahan laki-laki Muslim dengan wanita non-Muslim (Kristen dan Yahudi) diperbolehkan, bagaimana dengan yang sebaliknya, yaitu pernikahan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim, baik Kristen, Yahudi atau agama-agama non-semitik lainnya? Memang, dalam masalah ini terdapat persoalan serius, karena tidak ada teks suci, baik Al-Qur’an, hadis atau kitab fiqih sekalipun yang memperbolehkan pernikahan seperti itu. Tapi menarik juga untuk dicermati, karena tidak ada larangan yang sharîh. Yang ada justru hadis yang tidak begitu jelas kedudukannya, Rasulullah s.a.w. bersabda, “kami menikahi wanita-wanita Ahli Kitab dan laki-laki Ahli Kitab tidak boleh menikahi wanita-wanit kami (Muslimah). Khalifah Umar ibn Khatthab dalam sebuah pesannya, “Seorang Muslim menikahi wanita Nasrani, akan tetapi laki-laki Nasrani tidak boleh menikahi wanita Muslimah.”[33]
Menurut Imam al-Syirazî, seorang Muslim diharamkan untuk menikahi seorang wanita kaum kafir yang tidak memiliki “kitab”, seperti kaum pagan, juga orang-orang murtad dari Islam, beradasarkan firman Allah s.w.t. ‘wa laa tankihul musyrikât hattâ yu’minna’.[34] Selain Yahudi dan Nasrani, yakni Ahli Kitab, seperti yang beriman kepada kitab Zabur nabi Dawud a.s. dan Shuhuf nabi Syîts, maka hukumnya “tidak halal” bagi seorang Muslim untuk menikahi wanita-wanita merdekanya juga budak-budaknya...[35] Mazhab Imam Syafi‘i dalam hal ini saja sangat keras. Karena seorang Muslim yang menikahi wanita-wanita Ahli Kitab –apa lagi non-Ahli Kitab—memiliki dampak negatif, terutama dalam keluarga dan masyarakat.[36]
Lebih lanjut, tentang pernikahan seorang wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim, penulis buku Fiqih Lintas Agama ‘berijtihad’:
“Jadi, soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.[37]
Penulis Katolik pluralis juga ada yang mendukung konsep perkawinan beda agama ini. Ignatius Haryanto dan Pax Benedanto, misalnya, menulis:
“...ada juga beberapa isu yang selalu dirisaukan umat, misalnya masalah kawin campur. Mengacu pada istilah yang disebutkan oleh Gereja, yang dimaksud dengan kawin campur adalah pasangan perkawinan yang berasal dari latar belakang agama yang berbeda. Keprihatinan lebih besar lagi muncul ketika kawin campur itu menyangkut agama Katolik dengan umat beragama lain di luar Kristen.”[38]
Setelah itu mereka mencantumkan cerita dua orang yang berbeda agama, menikah menjadi suami-istri, namanya Bimo Nugroho (Katolik) dan Taty Aprilliana (Muslimah). Akhirnya mereka berdua bahagia, meskipun awalnya Bimo ditolak oleh orangtua Taty. Mereka menikah di sebuah Gereja di Semarang. Kedua penulis itu ingin menyatakan bahwa inklusif tidak harus mengorbankan keyakinan masing-masing. Kawin tetap jalan, meskipun tidak harus pindah agama. Ini juga adalah trik, bagaimana kaum pluralis mencoga meng-gol-kan tujuannya.
Ini adalah “ijtihad” ngawur dan salah kaprah. Menurut al-Qaradhawi, itu masuk ke dalam bentuk mazâliq al-ijtihâd al-mu‘âshir (‘ketergelinciran ijtihad kontemporer’). Pernikahan seorang Muslim dengan wanita Ahli Kitab (al-kitâbiyyah) tidak bisa disamakan dengan seorang Muslimah menikah dengan seorang laki-laki Ahli Kitab (al-kitâbî). Padahal perbedannya sangat mencolok. Seorang Muslim mengakui dasar agama seorang kitâbiyyah. Sehingga, dia menghormatinya, memelihara haknya dan tidak ‘menyita’ aqidahnya. Sedangkan seorang kitâbî tidak mengakui agama sang Muslimah, tidak mengimani kitabnya (baca: Al-Qur’an) dan tidak mengakui nabinya (Muhammad s.a.w.). Bagimana mungkin seorang Muslim dapat hidup di bawah ‘payung’ seorang laki-laki yang tidak memandang hak apapun dari istrinya, yang notabene sebagai Muslimah? Pernyataan mereka bahwa Al-Qur’an hanya mengharamkan kaum wanita musyrik (al-musyrikât) dan kitâbiyyât yang tidak musyrikat, dibatalkan oleh ayat Al-Qur’an yang berbunyi: “Jika kalian mengetahui mereka (para wanita itu) beriman, maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada orang-orang (suami-suami mereka) yang kafir. Mereka (para wanit itu) tidak halal baginya, dan dia tidak halal bagi mereka.”[39]
Di sini, hukum itu disusun berdasarkan “kekafiran” (al-kufr), bukan atas “kemusyrikan” (al-syirk), dimana Allah s.w.t. menyatakan, “...jangan kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Jika pengambilan hukum (al-‘ibrah)[40] lewat kemuman lafaz, maka lafaz “al-kuffâr” (orang-orang, suami-suami kafir), di sini mencakup seorang kitâbî dan seorang pagan (al-watsanî: penyembah berhala). Maka, siapa yang tidak beriman kepada risalah Muhammad s.a.w. maka –menurut hukum-hukum dunia—adalah kafir, tanpa diperdebatkan.[41]
Dalam Islam, seorang Muslim dibolehkan mengawini wanita Ahli Kitab (kitâbiyyah). Tetapi “haram” hukumnya seorang wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim. Dalam hal ini tidak ada “ijtihâd” lagi. Ijmak ulama sudah menyatakan hal demikian.[42]
Tidak hanya itu. Sampai hari ini agama Katolik belum bisa menerima kawin campur secara jujur. Mereka masih menolak adanya kawin campur. Masalah kawin campur menjadi masalah serius dalam tubuh Gereja. Menurut BR. Agung Prihartana, MSF dalam bukunya Pendidikan Iman Anak dalam Keluarga Kawin Campur Beda Agama masalah pendidikan iman anak dalam keluarga kawin campur memang merupakan persoalan yang sangat rumit dan dilematis. Karena itulah Gereja Katolik pernah mengangkat permasalahan ini dalam pertemuan para Uskup sedunia, yang membahas doktrin tentang perkawinan, selama masa persiapan Konsili Vatikan II (1959-1960). Ternyata persoalan ini menjadi topik hangat dalam pertemuan para Uskup tersebut. Beberapa Uskup dari Afrika memohon kepada Takhta Suci, hak untuk menyatakan tidak sahnya sebuah perkawinan campur dan hal menolak memberikan dispensasi bagi pasangan kawin campur beda agama, jika pihak non-baptis menolak memenuhi kewajiannya mendidik anak-anak mereka dalam iman Katolik. Sementara para Uskup Amerika meminta Takhta Suci untuk tidak mudah memberikan dispensasi bagi pasangan kawin campur beda agama, karena perkawinan ini akan sangat merugikan pihak katolik.[43]
Jadi, Gereja melihat bahwa kawin campur adalah masalah serius dalam tubuh Gereja. Maka sangat aneh jika ada intelektual Muslim yang mencoba untuk mengusung dan “mengasong” budaya kawin campur ini. Bukan saja tidak mendapat legitimasi hukum fiqh, juga tidak mendapat legitimasi dari kaum Kristen (baik Katolik maupun Protestan) yang menjadi sasaran ide ini.
Lebih detil Agung mencatat:
“Kitab Hukum Kanonik (KHK) tahun 1917 mulai membedakan secara yuridis istilah kawin campur beda Gereja (mixta religiosa) dan kawin campur beda agama (disparitas cultus). Namun demikian kitag hukum gerejawi ini tidak membedakan secara khusus bentuk pelayanan pastoral terhadap kedua perkawinan campur tersebut, khususnya berkenaan dengan persyaratan untuk mendapatkan izin bagi perkawinan mixta religiosa dan dispensasi bagi perkawinan disparitas cultus dari ordinasi wilayah. Tentang kawin campur disparitas cultus, KHK tahun 1917 menyatakan secara tegas bahwa perkawinan antara orang yang telah dibaptis di dalam Gereja Katolik atau yang sudah bertobat dari bidaah atau skisma dengan non-baptis dianggap tidak ada (null).[44]
Dalam masalah pendidikan iman anak dalam kasus kawin campur, Gereja Katolik memiliki dua dokumen penting. Pertama, instruksi tentang perkawinan campur, Matrimonii Sacramentum dari kongregasi untuk urusan iman dan kedua, surat apostolik Matrimonia Mixta dari Paulus VI, yang mana keduanya menjabarkan keadilan dan ketetapan dalam mengajukan persyarat untuk memperoleh dispensasi dari halangan perkawinan beda agama. Kedua dokumen tersebut menegaskan bahwa hanya pihak Katoliklah yang mempunyai kewajiban dan tanggungjawab berat untuk mempertahankan kesetiaan dalam iman Katolik dan membaptis serta mendidik anak-anaknya dalam iman Katolik.[45]
Paus Paulus VI mengingatkan bahwa pihak Katolik sebisa mungkin membaptis dan mendidik anak-anak dalam iman Katolik. Pernyataan Paus Paulus VI inilah yang kemudian dirumuskan dalam KHK yang baru dengan kalimat “memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja Katolik”.[46]
Jadi tidak bena istilah “anak-anak” dari perkawinan disparitas cultus bebas memilih agamanya masing-masing. Dalam ‘keluarga pecal’ seperti ini mustahil tidak terdapat gesekan-gesekan aqidah. Agar secara naluri, setiap orang punya keinginan menarik orang lain ke dalam aqidahnya. Gereja bagaimanapun memiliki toleransi setengah hati. Sebagai contoh, yang dicatat oleh Agung, bahwa Gereja menghormati dan menghargai agama-agama lain, yang di dalamnya ada kebenaran dan kesucian. Namun demikian, Gereja tetap mengingatkan pihak Katolik untuk tetap mewartakan Kristus, yang adalah jalan, kebenaran, dan hidup (Yohanes 14: 6), dimana tiap manusia akan menemukan kepenuhan dan kesempurnaan hidup rohani, dan dimana Allah telah mendamaikan dunia dengan diri-Nya.[47]
Paus Paulus VI sendiri mengakui bahwa bentuk dua perkawinan campur (mixta religiosa dan disparitas cultus) menimbulkan banyak persoalan dan kesulitan, karena perbedaan iman dan agama. Pelaksanaan ajaran Injil, pemenuhan pelaksanaan doa dan ibadat serta pendidikan iman anak akan mengalami kesulitan karena adanya perbedaan agama dan iman pasangan suami istri.[48] Perkawinan seorang penganut Katolik dengan penganut Protestan (mixta religiosa) saja dianggap “problem” oleh Gereja, konon lagi seorang Katolik menikah dengan seorang Muslim (Muslimah). Tentu problemnya akan lebih besar dan rumit. Oleh karena itu, Paus Paulus VI tidak mendukung dan juga menganjurkan umat Katolik untuk sebisa mungkin menghindari perkawinan campur. Paus Paulus VI melihat bahwa perbedaan agama ini menghalangi pihak Katolik mencapai persatuan batin yang sempurna, dan kepenuhan persatuan hidup perkawinan.[49] Maka sangat aneh, jika ada kalangan Muslim yang begitu getol berkampanye dalam masalah kawin campur ini.
Epilog
Setelah melihat bagaimana rumitnya paham “Pluralisme Agama”, seyogyanya para pengusung dan pengasong paham ini menyadari bahwa paham ini adalah paham “sinkretisme teologis”. Satu paham dimana kebenaran menjadi relatif. Kebenaran tidak laki menjadi tunggal dan mutlak. Kebenaran menjadi nisbi alias relatif. Maka kebenaran dalam hal ini adalah kebenaran relatif, tidak ada yang mutlak dan absolut. Al-Qur’an sebenarnya sudah menawarkan sejak awal konsep keragaman. Al-Qur’an menawarkan “kemajemukan” (al-tanawwu‘iyyah), bukan “pluralisme” (al-ta‘addudiyyah). Al-Tanawu‘iyyah adalah konsep “Islami-Qur’ani” yang bersandar pada akar filosofis mendalam: yang menegaskan bahwa Allah s.w.t. telah menciptakan kosmos (al-kaun) secara beragam (mutanawwi‘), begitu juga dengan manusia yang menerimanya. Allah s.w.t. menjelaskan, “Diantara tanda-tanda (kekuasaan)Nya adalah penciptaan langit dan bumi, keragamaan lisan-lisan (bahasa) kalian dan warna kulit kalian. Dalam hal demikian itu, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang ‘alim (mengetahui).”[50]
Al-Qur’an menegaskan tentang keberagaman manusia (al-tanawwu‘ al-basyarî) dalam hal berusaha (al-qadhâyâ al-kasbiyyah).[51] Bahkan, Allah s.w.t. mewanti-wanti Rasulullah s.a.w. agar tidak menguasai kemajemukan ini dan melampauinya, karena di dalamnya ada banyak pilihan bagi sebagian orang: untuk memilih ateisme (al-ilhâd) atau politeisme (al-syirk). Allah s.w.t. menjelaskan, “Sekiranya Tuhanmu menghendaki, niscaya seluruh yang di bumi beriman seluruhnya. Apakah engkau (Muhammad) akan memaksa manusia sampai beriman seluruhnya?”[52]
Hal di atas menunjukkan adanya pengakuan atas kemajemukan dengan segala levelnya: kemajemukan fitrah dan usaha. Dan itu dianggap sebagai realitas dalam bangunan alam (al-binâ’ al-kaunî) lewat hukum sunnah-sunnah Tuhan di alam. Juga dalam bangunan teologis dan ibadah (al-binâ’ al-i‘tiqâdî wa al-ta‘abbudî) bagi manusia. Dan Rasulullah s.a.w. diperintahkan agar tidak memaksa atau membenci seseorang jika menyimpang dari apa yang dipilihnya (Nabi s.a.w.)[53]
Maka, penulis menyimpulkan bahwa pluralisme agama tidak dapat diterima oleh Islam. Bukan saja tidak memiliki dasar yang jelas, tetapi juga dapat merusak tatanan konsep Tawhid. Konsep Tawhid dalam Islam merupakan konsep genuine dalam melihat Allah, manusia dan alam. Mencari legitimasi pluralisme agama dalam Islam (Al-Qur’an, sunnah dan syariat Islam) sama artinya meruntuhkan konstruksi Islam yang sudah mapan. Selain itu, pluralisme agama akan membongkar konsep yang sudah al-ma‘lûm min al-dîn bi al-dharûrah, seperti konsep Ahli Kitab dan kawin beda agama. Dengan begitu, pluralisme agama adalah paham yang “merusak” agama, khususnya Islam. Maka dia adalah makhluk “haram” dalam Islam. [Q]. Wallahu a‘lamu bi al-shawâb.
(Minggu, Medan, 23 Maret 2008)
Qosim Nursheha Dzulhadi, peminat Qur’anic-Hadith Studies dan Kristologi.
[1] Buku yang paling anyar yang mengasongkan faham ini di Indonesia adalah “Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan” (Serambi, 2006) karangan Jalaluddin Rakhmat dan “Al-Qur’an Kitab Toleransi” (2008) karangan Zuhairi Misrawi.
[2] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif (Kelompok GEMA INSANI), 2005), hlm. 16-17. Buku Anis ini merupakan buku yang sangat komprehensif dan kritis dalam membahas tren pluralisme agama. Penulis akan banyak mengutip buku yang ‘kaya’ ini.
[3] Ibid., hlm. 20-21.
[4] Ibid., hlm. 21-22.
[5] Ibid., hlm. 23. Seorang pemikir Muslim kontemporer asal Amerika, Muhammad Longhausen, menceritakan bahwa beliau pernah mengikuti perdebatan tentang “apakah seluruh agama berada dalam kebenaran” yang diadakan antara Seyyed Hossein Nasr dan John Hick. Mereka berdua berbeda pendapat dalam poin penting tersebut –yang merupakan ‘barang asongan’ kaum pluralis. John Hick berusaha untuk menyelesaikan kontradiksi yang ada, yang mengharuskannya untuk membenarkan aqidah-aqidah Kristen (al-‘aqâ’id al-Masîhiyyah). Sementar itu, Nasr membela “keyakinan” bahwa pluralisme mengharuskannya mengandung dan menguasai kontradiksi tersebut. Lihat wawancara Dr. Muhammad Longhausen dalam jurnal al-Hayât al-Thayyibah, al-Ta‘addudiyyah bayna al-Islâm wa al-Librâliyyah: Hiwâr fî al-Bunyi wa al-Munthaliqât, (Lebanon-Beirut: al-Hayât al-Thayyibah, edisi ke-11, thn. ke-4, 2003/1423), hlm. 24. Artinya, memang belum ada titik final di antara pendukung pluralisme agama ini.
[6] Salah satu buku yang mencoba untuk mencari legitimasi paham “Pluralisme Agama” adalah karya Andrew D. Clarke & Bruce W. Winter (penyunting), Satu Allah Satu Tuhan: Tinjauan Alkitabiah Tentang Pluralisme Agama, terj. Martin B. Dainton, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, cet. VI, 2006). Bagian buku ini yang membahas tentang paham Pluralisme Agama adalah tulisan-tulisan: (1) Bruce C. Winter, Orang Kristen mula-mula dan Pluralisme Agama (hlm. 75-98); dan (2) Thorsten Moritz, Pluralisme Agama dalam Surat Efesus (hlm. 111-135).
[7] Abdilhussein Khisrobenah, al-Ta‘addud al-Dîniyyah: Ru’yah min al-Minzhâr al-Dîniy, diarabkan oleh Mâjid ‘Ali, dalam al-Hayât al-Thayyibah, ibid., hlm. 72-73.
[8] Lihat misalnya: Qs. Al-Baqarah [2]: 48 & 122, dan Qs. Al-A‘râf [7]: 140.
[9] Roger Garaudy, Mitos dan Politik Israel, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 19.
[10] Dua orang penulis Kristen-Katolik menegaskan bahwa salah satu dokumen Konsili Vatikan II, Nostra Aetate (Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristen), jelas-jelas menyebutkan demikian:
Persaudaraan semesta tanpa diskriminasi
Maka Gereja mengecam setiap diskriminasi antara orang-orang atau penganiayaan berdasarkan keturunan atau warna kulit, kondisi kehidupan atau agama, sebagai berlawanan dengan semangat Kristus. Oleh karena itu, Konsili Suci, mengikuti jejak para Rasul kudus Petrus dan Paulus, meminta dengan sangat kepada umat beriman kristiani, supaya bila ini mungkin “memelihara cara hidup yang baik di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi” (1 Petrus 2: 12), dan sejauh tergantung dari mereka hidup dalam damai dengan semua orang, sehingga mereka sungguh-sungguh menjadi putra Bapa di sorga (Nostra Aetate 5). Lihat: Ignatius Haryanto dan Pax Benedanto, Terbuka terhadap Sesama Umat Beragama: Aktualisasi Ajaran Sosial Gereja tentang Agama yang Inklusif, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 33. Diakui memang, bahwa hubungan antara umat Katolik dengan umat beragama lain baru mendapatkan basis yang lebih baik dalam 40-50 tahun terakhir, khususnya sejak diselenggarakannya Konsili Vatikan II. Konsili yang bersejarah itu menunjukkan betapa berubahnya pandangan Gereja Katolik selama ini, khususnya dalam melihat hubungan dengan umat beragama lain. Sejumlah dokumen dalam konsili itu merevisi pandangan Gereja, “dengan mengakui adanya keselamatan di luar Gereja”. Sebelumnya, Gereja menganggap diri memiliki hak ekslusif atas keselamatan, setidaknya melihat pada pandangan Gereja dalam Konsili Florence tahun 1351 dan juga ajaran Cyprianus, “Extra Ecclesiam Nulla Salus” (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Ibid., hlm. 47-48.
[11] Qs. Ali ‘Imrân [3]: 110.
[12] Abdul Aziz Sachedina, Kesetaraan Kaum Beriman: Akar Pluralisme Demokratis dalam Islam, terj. Satrio Wahono, (Jakarta: Serambi, cet. I, 2002), hlm. 54-55.
[13] Ibid., hlm. 59.
[14] Menurut Jalal, “Shabi’in” berdasarkan kitab-kitab tafsir, bisa menunjuk pada berbagai agama selain Islam. (Lihat: bukuk Jalal hlm. 22 (foot-note)). Kesimpulan Jalal ini jelas sangat simplistik. Tanpa kritisisme yang memadai dia cepat menyimpulkan bahwa buku-buku tafsir menjelaskan bahwa Shabi’in itu menunjuk pada berbagai agama selain Islam. Pada tidak sesederhana kesimpulannya. Shabi’in dibahas oleh para mufassir Muslim secara panjang lebar. Jika berbagai agama selain Islam disebut Shabi’in, maka konsep Shabi’in dalam Al-Qur’an akan berantakan. Apalagi jika disesuaikan dengan kondisi sekarang. Apakah mungkin Hindu, Budha, Konfusiusme, Taoisme, dll juga dapat disebut sebagai “Shabi’in”?
[15] Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, (Jakarta: Serambi, cet. I, 2006), hlm. 22-23.
[16] Ibid., hlm. 22.
[17] Jalal juga, mengutip Murtadha Muthahhari menyatakan, bahwa makna “Islam” dalam Qs. Ali ‘Imrân [3]: 85 adalah kepasrahan kepada al-Haqq, Kebenaran atau Allah dan bukan agama terakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. ibid., hlm. 36. Di sini Jalal ingin merusak makna “Islam” dalam konsep Al-Qur’an. Menurut Muhammad Legenhausen, tidak diragukan bahwa “Islam” memiliki makna umum yang sesuai dengan Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Musa a.s. yang sesuai dengan kaum Muslim. Sebagian masalah yang tampaknya termonopoli di dalam Al-Qur’an berkaitan dengan konsep Islam Umum (al-Islâm al-‘Amm), yang dieksprsikan dengan sikap penyerahan diri (al-taslîm) kepada Allah secara umum. Hanya saja, Al-Qur’an ketika berbicara tentang “Islam”, maksudnya adalah: bahwa setiap selain agama Muhammad s.a.w. sekarang ini “tidak diterima” dari seorangpun. Artinya, “Islam” dalam maknanya yang umum saat ini terbatas dalam “Islam” dalam maknanya yang “khusus” (anna al-Islâm fî ma‘nâhu al-‘amm inhashara hâliyan fî al-Islâm bimafhûmihi al-khâsh). Al-Hayât al-Thayyibah, op.cit., hlm. 38.
[18] Ibid., hlm. 23-24.
[19] Ibid., hlm. 30.
[20] Qs. Al-Mâ’idah [5]: 43-45.
[21] Qs. Al-Mâ’idah [5]: 46-47.
[22] Imam Muslim ibn al-Hajjâj, Shahîh Muslim, (Kairo: Dâr ibn al-Haytsam, 2003), 4: 243.
[23] Ibid.
[24] Misalnya, Qs. Al-Mâ’idah [5]: 72, “Telah kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah itu “Kristus” putera Maryam...” Konsep “Trinitas” (Arab: Tatslîts, Tsâlûts) pun dikritik dalam Qs. Al-Mâ’idah [5]: 73, “Telah kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah itu ‘satu’ dari yang ‘tiga’ (Trinitas). Padahal Allah itu “Esa”. Bahkan, jika mereka –yang mengatakan demikian itu—tidak berhenti dari klaim mereka yang batil ini, niscaya mereka akan disentuh oleh azab yang pedih. Kemudian, Allah s.w.t. mengajak mereka untuk bertobat dan mohon ampun kepada-Nya (Qs. Al-Mâ’idah [5]: 74).
[25] Najaf-Ali Mirzae, I‘âdah al-Shiyâghah limafhûm al-Dîn, bayna al-Wahdah wa al-Ta‘addud, dalam al-Hayât al-Thayyibah, op.cit., hlm. 8.
[26] Ibid.
[27] Qs. Ali ‘Imrân [3]: 58. Artinya: “Barangsiapa yang mencari agama selain “Islam”, maka dia tidak akan pernah diterima.”
[28] Al-Hayât al-Thayyubah, op.cit., hlm. 8.
[29] Muhammad Longhausen, al-Hayât al-Thayyibah, ibid., hlm. 35.
[30] Lihat: Nurcholis Madjid, Pijakan Keimanan bagi Fiqih Lintas Agama, dalam Mun’im A. Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis,, (Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan Asia Foundation, cet. III, 2004), hlm. 50-53. Dalam hal ini, Nurcholish mengadopsi pendapat Rasyid Ridha yang menyatakan bahwa pengertian “Ahli Kitab” sebenarnya tidak boleh dibatasi hanya pada kaum Yahudi dan Nasrani, tetapi juga harus meliputi kaum Sabi’in dan Majusi, sertai kaum Hindu, Budha dan Konghucu.
[31] Imam Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Idris al-Syafi‘î (150 H-204 H), al-Umm, (Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, 1990), III: 289.
[32] Ibid.
[33] Ibid., hlm. 163.
[34] Qs. Al-Baqarah [2]: 221. Lihat: Syeikh Imam Abu Ishâq Ibrahim ibn ‘Ali ibn Yusuf al-Fayrûz Abâdî al-Syîrâzî, al-Muhadzdzab fî Fiqh al-Imâm al-Syâfi‘î, (Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, ttp.), II: 44.
[35] Ibid.
[36] Lihat lebih detil: Humaidhi ibn Abdul Aziz ibn Muhammad Al-Humaidhi, Bolehkah Rumah Tangga Beda Agama?: Kupas Tuntas Polemik Seputar Pernikahan dan Rumah Tangga Beda Agama Menurut 4 Mazhab, terj. Mutsanna Abdul Qahhar dan Wahyuddin, (Solo: al-Tibyan, cet. I, 2007), hlm. 48-50.
[37] Mun’im A. Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama, op. cit., hlm. 164.
[38] Ignatius Haryanto dan Pax Benedanto, op.cit., hlm. 80.
[39] Qs. Al-Mumtahanah [ ]: 10.
[40] Yaitu adagium para Ushûliyyûn, ‘al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafzhi, la bikhushûshs al-sabab’.
[41] Dr. Yusuf al-Qaradhawi, al-Ijtihâd al-Mu‘âshir, bayna al-Indhibâth wa al-Infirâth, (Kairo: Dar al-Tawzi‘ wa al-Nasyr al-Islâmiyyah, 1994), hlm. 58-59.
[42] Lihat lebih detil: Humaidhi bin Abdul Aziz bin Muhammad Al-Humaidhi, Bolehkan Rumah Tangga Beda Agama?: Kupas Tuntas Polemik Seputar Pernikahan dan Rumah Tangga Beda Agama Menurut 4 Madzhab, terj. Mutsanna Abdul Qahhar dan Wahyuddin, (Pustaka At-Tibyan: Solo, cet. I, 2007), hlm. 38-59. Buku ini sangat komprehensif dan argumentatif dalam membahas polemik pernikahan beda agama, yang sekarang menjadi tren baru, khususnya pernikahan para artis dan selebritis di Indonesia. Kasus yang paling mencolok adalah perkawinan Dedy Corbuzier (Katolik) dan Kalina (Muslimah). Judul asli buku ini adalah Ahkâm Nikâh al-Kuffâr‘alâ al-Madzâhib al-Arba‘ah.
[43] BR. Agung Prihartanan, MSF, Pendidikan Iman Anak dalam Keluarga Kawin Campur Beda Agama, (Yogyakarta: Kanisius, cet. I, 2007), hlm. 6-7. Agung mengutip pernyataan Gereja tersebut dari Acta et Documenta Concilio Oecumenico Vaticano II, 1960-1969, vol. II, bab V, hlm. 40.
[44] Ibid., hlm. 11.
[45] Ibid., hlm. 22-23.
[46] Ibid., hlm. 23.
[47] Ibid., hlm. 36.
[48] Ibid., hlm. 37.
[49] Ibid., hlm. 37-38.
[50] Lihat: Qs. Al-Rûm [ ]: 32, Qs. Al-Baqarah [2]: 164, dan Qs. Fâthir [ ]: 27-28.
[51] Lihat: Qs. Al-Syûrâ [ ]: 8, Qs. Al-Hâjj [ ]: 67.
[52] Qs. Yûnus [ ]: 99.
[53] Lihat lebih detil: Thâhâ Jabir al-‘Ulwânî, al-Ta‘addudiyyah...Ushûl wa Murâja‘ât: Bayna al-Istitbâ‘ wa al-Ibdâ‘, dalam serial Abhâts ‘Ilmiyyah (11), (Herndon-Amerika Serikat: The International Institute of Islamic Thought, cet. I, 1996), hlm. 21-32.
0 Comments:
Posting Komentar
<<Kembali ke posting terbaru