Multikulturalisme
Faham “Relativisme” di Balik Multikulturalisme
(Menanggapi Buku Abdul Munir Mulkhan)
Abdul Munir Mulkhan menyatakan bahwa agama-agama seperti: Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu dianggap sebagai “Ahli Kitab” yang dihargai dan dihormati keberadaannya. Tafsir model ini menurutnya adalah “kritis”. Penafsiran ini, lanjutnya, kemudian berkembang di akhir abad ke-21 yang mulai dikenal sebagai Islam Liberal, Islam Kultural, atau Islam Inklusif yang memperoleh basis baru sesudah maraknya wacana tentang Masyarakat Madani…(Lihat, Munir, Satu Tuhan Seribu Tafsir, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius bekerjasama dengan IMPULSE, cet. I, 2007: 35). Di tempat lain, Munir juga menjelaskan bahwa Tuhan menjadikan seseorang Kristiani atau Buddhis, Muslim atau Hinduis dengan cara-cara natural ketika seseorang ditakdirkan secara sosial lahir dari suatu keluarga atau bangsa yang menganut Kristen, Buddha, Islam, atau Hindu. Tuhan pun ternyata melahirkan manusia secara pluralistik sebagai fakta sejarah dan fakta natural alamiah. (ibid., hlm. 61, dalam sub judul ‘Satu Tuhan dan Ajaran-Nya dalam Multitafsir Pemeluk’). Itulah, menurutnya, “takdir sosial”. Hemat penulis, ini adalah pengaruh filsafat fenomenologi. Dimana segala sesuatu dianalisis lewat “fenomena” yang lahir dan muncul. Tentu kita tidak menafikan seluruh pendapat Munir, meskipun harus tidak sepakat pada sebagian yang lain.
Menurut Allah dalam Al-Qur’an, manusia itu pada mulanya adalah “satu umat” (ummatan wahidatan), karena berselisih maka diutuslah para nabi yang dilengkapi dengan kitab-kitab suci (Qs. Al-Baqarah [2]: 213). Menurut Nabi Muhammad s.a.w. setiap bayi dilahirkan dalam keadaan “fitrah”. “Maa min mawludin illaa yuuladu ‘alal fithrah, fa’abawaahu Yuhawwidaanihi aw Yunasshiraanihi aw Yumajjisaanihi” (HR. Al-Bukhari, no. 1358). Jadi, ibu-bapaknya lah yang punya andil besar dalam mengarahkan agamanya. Itu lah mungkin ‘takdir sosial’ yang dimaksud oleh Munir.
Hadits Nabi s.a.w. tersebut jelas menyebutkan bahwa setiap bayi, setiap kita, dilahirkan dalam keadaan “fitrah”. Dan “fitrah” ini adalah “fitrah ke-Tuhanan yang esa”, yang seluruh manusia –pernah—di sumpah di alam azali. (Qs. Al-A’raf [7]: 172). Imam al-Nasafi –dalam tafsirnya— ketika menafsirkan ayat ini menyatakan bahwa maknanya: “Dinyatakan kepada mereka tentang rububiyyah (ketuhanan Allah) dan wahdaniyyat (keesaan-Nya). Hal ini disaksikan oleh akal-akal mereka yang ‘dirakit’ oleh Allah dalam diri mereka yang dijadikan sebagai “pembeda” antara hidayah dan kesesatan (mumayyizah bayna al-hudaa wa al-dhlaalah).”
Oleh karena itu, sekte Muktazilah menyatakan bahwa “akal”lah sang pembeda antara “kejelekan” (al-qubh) dan “kebaikan” (al-hasan). Jadi, menurut sekte ini, taqbih (menganggap jelek) dan tahsin (menganggap baik) sesuatu dapat dilakukan oleh akal secara independen. Lalu bagaimana dengan agama-agama yang memiliki konsep ke-Tuhanan yang berbeda? Konsep “Trinitas” (Tritunggal) atau “Trimurti” misalnya. Ketika dikaitkan dengan Islam, maka ini akan sangat bermasalah.
Munir faham benar tentang ini, sehingga menghindari ranah teologis ketika membicarakan agama. Padahal, masalah agama tidak bisa dipisahkan dari bahasan teologis, karena memang itu ranahnya. Oleh kaerna itu, dia melihatnya dari sisi sosial. Pendapat ini sebenarnya nyeleneh. Karena masalah agama akhirnya menjadi masalah kultur. Semua agama terbentuk dari kultur, bukan masalah “fitrah”. Dengan begitu, hadits Nabi s.a.w. di atas tidak berlaku. Karena Buddhis, Hinduis, Yahudi dan Kristen –singkatnya agama-agama non-Islam—adalah pilihan Tuhan, yang tidak boleh dikutak-katik. Maka tidak ada manfaatnya berbicara tentang “iman-kufur”, hidayah-kesesatan, Islam-non-Islam, haq-batil, dll sebagainya. Padahal seluruhnya dijelaskan oleh Allah s.w.t. di dalam Al-Qur’an. Jika mau merujuk kepada hadits Nabi s.a.w., umat Yahudi dan Kristen –yang punya kitab khusus, sehingga disebut Ahli Kitab oleh Allah—harus “ikut” agama Islam yang dibawa oleh beliau. Dengan sangat tegas beliau menyatakan: “Walladzi nafsu Muhammadin biyadihi! Laa yasma‘u bii ahadun min haadzihil ummah Yahudiyyun wa laa Nashraaniyyun, tsumma yamuutu wa lam yu’min billadzii ursiltu bihii, illaa min ashhaabi al-naar” (Tidak seorang pun dari umat ini yang mendengarku, baik Yahudi maupun Kristen, kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman kepada apa yang aku diutus dengannya (Islam), kecuali dia masuk ke dalam golongan ahli neraka’) (HR. Muslim, no: -240 (153). Apakah peringatan Nabi s.a.w. ini kurang tegas?
Multikulturalisme: Makhluk Apa?
Apa multikulturalisme yang diinginkan oleh Munir? Dia mencatat bahwa “multikulturalisme” adalah penegasan bahwa keragaman adalah fakta natural kehidupan duniawi yang berakar pada pandangan bahwa the others sebagai hal terpenting dalam kehidupan tersebut. (Munir, op.cit., dalam sub judul ‘Empati Kemanusiaan: Inti Kesalehan Multikultural’). Islam sama sekali tidak pernah memaksakan agar semua orang menjadi “Muslim-Mukmin” menurut konsep Islam. Karena hal itu bertentangan dengan konsep Qur’ani (Qs. Al-Kahfi [18]: 29). Pluralitas dalam Islam diakui sebagai sunnatullah.
Makanya, dalam masalah teologi, Munir menawarkan “teologi baru”. Yakni teologi yang lebih manusiawi, terbuka, bebas pemenjaraan Tuhan bagi hawa nafsu serakah pemeluk agama-agama. Teologi ini menurutnya sulit diterima ketika semua pemeluk agama meyakini agama yang dipeluknya adalah agama paling benar, sempurna, tuntas, dan final. (ibid., hlm. 99, dalam sub judul ‘Dematerialisasi Kesadaran Ilahi Akar Aksi Kemanausiaan Kenabian’). Jika yang dimaksud oleh Munir adalah umat Islam, maka benar faktanya. Umat Islam meyakini bahwa agama mereka telah “sempurna” dan “final”. Dan ini bukan keyakinan yang dibuat-buat, Allah sendiri yang mengajarkan demikian (Qs. Al-Ma’idah [5]: 3). Oleh karenanya, ketika menafsirkan ayat ini, Imam Muqatil –dalam tafsirnya—menyatakan bahwa setelah turunnya ayat ini tidak ada lagi turun masalah “halal-haram”, hukum, had, kewajiban (faridhah), kecuali dua ayat dari surah al-Nisa’ [4]: 176. Lewat ayat ini pula Allah meridhai satu agama final, Islam.
Bagaimana mungkin keyakinan umat Islam diubah sedemikian rupa, padahal Allah s.w.t. menjelaskan dengan sangat “terang-benderang”. Islam mengakui bahwa agama-agama lain itu ada, fakta natural dan diakui. Tapi tetap saja, agama “terbaik” dan “final” hanyalah Islam. Dan dari sisi manapun, Islam ‘siap’ diuji, agar terbukti bahwa Islam benar-benar the final religion.
Tentu saja ini sulit diterima oleh Munir. Oleh karenanya,dia banyak mengusung nama-nama pemikir yang getol menyuarakan –menurutnya—kritik “internal”, semacam: Muhammad Syahrur dari Syiria, Nasr Hamid Abu Zaid dari Mesir dan Abdullahi Ahmed An-Na’im dari Sudan, Gus Dur, Nurcholish Madjid, Ulil, dan Syafi’i Ma’arif dari Indonesia. (ibid., hlm. 99). Jadi, ajaran “kumpul kebo” dari Syahrur, “Al-Qur’an sebagai ‘produk budaya’ (muntaj tsaqafi) dan ‘fitnah terhadap Imam Syafi’i’ dari Abu Zaid, “Al-Qur’an adalah kitab porno dari Gus Dur”, “dekonstruksi syari’ah dari An-Na’im dan Ulil” serta “fitnah terhadap Buya HAMKA dari Syafi’i Ma’arif” –bahwa Buya HAMKA itu “pluralis”—adalah kritik internal yang perlu dibudayakan dan disebar-luaskan? Atau “kritik internal” mana yang dimaksud oleh Munir? Munir hanya ‘menarik-narik’ masalah Islam, ketika mau berbicara tentang “multikulturalisme”. Apakah faham ini hanya khusus diajarkan dan disebarkan kepada umat Islam? Ini kah kritik internal itu?
Yang diinginkan Munir sebenarnya adalah “Islam” dalam multitafsir. Setiap orang punya hak untuk menafsirkannya, karena Islam tidak boleh dimonopoli oleh satu golongan atau satu mazhab saja. Oleh karena itu, dia tidak segan-segan untuk memasukkan Ahmadiyah dalam jajaran Syi’is, Sunnis, NU dan Muhammadiyah. Munir menulis: “Semua Muslim meyakini bahwa ada satu jalan mencapai Tuhan dengan satu ajaran-Nya. Namun “yang satu” dari Tuhan harus diberi arti bukan tak terbagi, melainkan suatu kemahaluasan di mana setiap orang bisa melalui jalan itu dengan caranya sendiri. Hal ini berarti ada beragam surga sesuai media dan cara mencapainya yang seluruhnya berada di dalam tataran yang sama. Karena itu penting dibayangkan adanya “kamar-kamar” surgawi bagi Sunnis, Syi’is, Sufis, NU dan Muhammadiyah atau Ahmadiyah.” (ibid., hlm. 114, dalam sub judul ‘Solidaritas Kemanusiaan Global’). Jika yang disejajarkan itu Sunnis, Syi’is, Sufis NU dan Muhammadiyah sangat mungkin. Namun jika Ahmadiyah juga disatukan, ini sudah tidak benar. Beberapa golongan yang disebut di awal tidak ada yang berbeda dalam menyikapi ushul al-din (dasar-dasar agama), sementara Ahmadiyah jelas-jelas di luar Islam. Karena Ahmadiyah memiliki kitab suci sendiri (Tadzikrah) dan nabi sendiri (Mirza Ghulam Ahmad).
“Khayalan” Munir di atas dia ulangi di tempat lain dari bukunya. Dia menyatakan: “Dari sini mungkin bisa dibayangkan “kamar-kamar surga” yang berbeda-beda, sesuai cara, media dan paham keagamaan setiap orang dan kelas sosialnya. Karena itu, bisa jadi ada “kamar surga” bagi Muhammadiyah yang berbeda dengan “kamar surga” pengikut NU, pengikut Syi’ah ataupun Ahmadiyah. Bahkan, bisa dibayangkan “kamar surga” bagi pemeluk agama berbeda dan partai politik yang berbeda.” (ibid., hlm. 124). Bahkan, untuk mendukung konsep “multikulturalisme”nya, Munir menawarkan “sinkretisasi agama-agama besar dunia”. Alasannya, karena semua pemeluk agama gagal menampilkan wajah Tuhan yang lebih ramah dan bersedia menerima pluralitas cara mencari surga-Nya. Juga, manusia sudah jadi “srigala” atas manusia lainnya. (ibid., hlm. 147, dalam sub judul ‘Sinkretisasi Etika Kemanusiaan Agama-Agama: Mencari Solusi Konflik’).
Apa yang ditawarkan oleh Munir sulit untuk diterima oleh umat Islam. Hemat penulis, penganut agama yang paling “toleran” adalah umat Islam. Paham keagamaan dan teologis tidak bisa dilihat hanya dari sudut. Apalagi jika hanya dilihat dari “fenomena sosial” yang sempit. Paham keagamaan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari Al-Qur’an dan sunnah Nabi s.a.w. Alih-alih menawarkan konsep teologis yang lebih humanis, Munir terjebak dalam ‘asongan relatifisme’. Oleh karenanya, dia menawarkan metode kritik internal yang diasong oleh Syahrur, Abu Zaid, An-Na’im, Gus Dur, Cak Nur, Ulil dan Syafi’i Ma’arif. Tidak hanya itu, Ahmadiyah yang jelas-jelas konsep akidahnya berbeda dengan ajaran Islam diberi ‘kapling surga’. Intinya, Munir menawarkan faham “relatifisme” yang disembunyikan dalam ‘baju’ “multikulturalisme”. Wallahu a’lamu bi al-shawab. [Q]
(Medan, 4 Juli 2008).