Senin, Juli 28, 2008

Feminisme

Feminisme yang Kutahu

Konon, feminisme berasal dari bahasa Yunani femina atau feminus. Kedua kata ini merupakan gabungan dari duat kata: fe yang berarti “iman” dan mina atau minus yang berarti “kurang”. Jadi, femina berarti kurang iman. Tentu saja ini sangat memojokkan kaum perempuan.

Pandangan hidup Barat yang bias Kristen memang menyatakan demikian. Bahkan, pada zaman dahulu kaum perempuan di Barat diperdebatkan posisinya: apakah dia manusia atau hanya “setengah” manusia. Dalam Kristen dinyatakan perempuan adalah “sumber dosa”. Alasannya? Karena telah menjerumuskan Adam ketika makan buah pengetahuan (buah pengetahuan). Sehingga mereka harus diusir dari surga (Taman Eden). Islam memandang bahwa kesalahan memakan buah khuldi adalah kesalahan kolektif. Namun drama kosmologi ini diakhir ketika Adam dan Hawa memohon ampun dan diampuni oleh Allah.

Istilah eksekusi terkejam sepanjang sejarah yang disebut dengan “Inkuisisi” (Inquitition, Arab: mahakim al-taftisy) mayoritas korbannya perempuan. Bahkan, pihak gereja telah menyediakan berbagai alat penyiksa yang sangat mengerikan. Dari penarik usus dari dubur hingga penggerus vagina. Karena mereka meyakini perempuan tidak patut dihargai karena telah menjadi “biang masalah” dan “pangkal dosa”. Dengan demikian, kaum perempuan terpojok dan dipojokkan. Dimana-mana mereka termarjinalkan dan –sengaja—dimarjinalkan.

Menurutku, ini sangat merendahkan makhluk Allah yang telah dijadikan secara equal dalam dunia. Karena sejak dari surga Adam dan Hawa dijadikan “bersama”: saling membutuhkan dan saling melengkapi. Oleh karenanya, konsep Barat dan Islam dalam memandang perempuan sangat berbeda. Jika Barat melihat kaum perempuan lewat kaca-mata diskriminatif, Islam justru sebaliknya. Islam berpandangan bahwa kaum perempuan adalah “kehidupan” (hayah, konon diambil dari kata Hawa). Maka Islam sangat menghargai perempuan. Tanpanya, dunia tidak ada kehidupan. Sama seperti laki-laki jika tanpa perempuan. Maka mereka tidak pernah bisa hidup. Artinya, Islam sangat menghargai kaum perempuan. Bahkan menempatkannya dalam posisi yang sangat tinggi.

Hadtis Nabi Muhammad s.a.w. menjadi saksi sejarah penghargaan Islam terhadap seorang perempuan. Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan satu hadits lewat jalur Abu Hurairah r.a. bahwa seorang laki-laki mendatangi Rasul s.a.w. dan bertanya: “Wahi Rasulallah, siapakah orang yang paling pantas untuk aku hormati dan hargai (dalam pergaulan)? Beliau menjawab: “Ibumu!” Dia bertanya lagi: “Lalu siapa?” Rasul menjawab lagi: “Ibumu!? Diapun bertanya lagi: “Lalu siapa lagi?” Nabi pun menjawab lagi: “Ibumu?” Untuk yang keempat kalinya dia bertanya: “Lalu siapa lagi?” Rasulullah menjawab: “Bapakmu!”

Anehnya, hadits ini seolah raib dari peredaran. Ketika berbicara tentang perempuan, kaum feminis selalu melupakan jawaban Rasulullah di atas. Bagi mereka tetap saja sekarang dunia diskriminatif terhadap perempuan. Islam pun tidak selamat dari stigma negatif ini. Islam juga dituduh sebagai biang kemunduran, karena telah “memasung” kebebasan kaum perempuan.

Paham yang bias Barat tersebut akhirnya ‘diimpor’ ke seantero dunia: dari Maroko hingga Merauke, dari Chicago hingga Cikaso. Intinya, kata banyak orang, ingin melakukan dekonstruksi tradisi dan budaya yang tengah berlaku. Singkatnya, kaum feminis sangat benci status quo yang banyak merugikan kaum perempuan. Yang terjadi adalah kritik-kritik yang ‘tanpa etik’. Di berbagai belahan negara Islam kaum feminis banyak mengkritik Al-Qur’an yang menurut mereka bias gender. Jika Al-Qur’an saja dikritik sedemikian rupa, konon lagi sunnah Nabi s.a.w. dan fikih Islam. Fikih menurut mereka adalah “produk” ulama klasik yang sudah usang. Makanya perlu dibuang dan dipinggirkan.

Tidak heran jika beberapa ajaran Islam yang sudah mapan ingin didekonstruksi. Masalah warisan ditolak habis-habisan. Karena menurut mereka pembagian yang diatur oleh Allah yang menyatakan bahwa li al-dzakari mitslu hazhzhil untsayain adalah tidak fair dan diskriminatif. Tidak benar jika perempuan hanya mendapat setengah bagian laki-laki, demikian biasanya alasan mereka. Padahal tidak selamanya laki-laki mendapat 2:1 dari bagian perempuan. Itu hanya satu kasus.

Di Indonesia, hukum fikih pun harus dirombak. Mereka akhirnya mengusulkan agar laki-laki pun mengalami haid laiknya perempuan. Laki-laki juga harus memiliki masa iddah dan dinikahi perempuan. Itu hanya contoh dari apa yang mereka sebut dengan equality. Semua harus sama, harus adil. Para fuqaha’pun dituduh memiliki kepentingan.

Anehnya, kaum feminis ingin sama hanya dalam masalah agama. Dalam masalah dunia mereka tidak ingin disamakan. Lihatlah Aminah Wadud yang mendobrak tradisi imamah dan khutbah yang telah dipraktekkan 14 abad lebih. Menurutnya yang menjadi “imam” dan “khatib Jum’at” tidak harus laki-laki. Perempuan juga punya hak yang sama. Aksi konyolnya ini menuai badai kritik dari berbagai penjuru dunia. Pro kontra pun terjadi. Yang pro menganggapnya sebagai “gebrakan positif”. Tapi mereka lupa bahwa makmumnya campur laki-laki dan perempuan dalam satu shaf. Bahkan banyak yang tidak berjilbab. Apakah sah shalat bagi perempuan yang tidak menutup aurat? Haruskah persamaan seperti itu? Bukankah ini kebebasan yang kebablasan. Itu kah doktrin “feminisme”? Haruskah semuanya equal, sama, serupa dan satu derajat?

Dalam kasus sepak-bola, misalnya, mereka juga tidak pernah ingin disamakan. Angkat besi pun demikian. Karena itu jelas merugikan. Di sini mereka mengklaim hal itu “tidak adil” dan absurd untuk dilakukan. Karena menurut mereka ini tidak equal, salah kaprah. Tidak mungkin kesebelasan perempuan diadu dengan kesebelasan laki-laki. Bukankah ini juga equal?

Lebih parah lagi, kaum feminis berani mendukung perilaku asusila semacam lesbianisme dan homoseksualitas. Bagi mereka hal itu adalah manusiawi dan nature. Ironisnya, yang mendukung praktek amoral itu adalah tokoh yang sudah menyandang gelar professor dalam bidang agama. Dalam Kristen praktek seperti itu memang biasa terjadi dan sudah dimaklumi: bukan hal aneh dan terlarang. Makanya Uskup Robinson yang homoseks tetap diangkat sebagai “uskup” di negeri Paman Sam. Di sini kaum feminis melakukan dikotomi antara perilaku sosial dan moral.

Islam sangat berbeda. Perilaku sosial sangat diametral dengan moral. Karena keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan. Oleh karenanya, konsep ilmu dan moral dalam Islam dan Barat sangat kontradiktif.


Suatu hari, seorang ibu naik bus yang sudah dipenuhi oleh penumpang. Dia terpaksa berdiri di sebelah kursi yang diduduki oleh seorang laki-laki. Si ibu tadi kemudian berkata agak jengkel kepada si laki-laki, “Pak, kenapa gak berdiri? Seharusnya bapak yang berdiri dan saya yang duduk. Saya kan perempuan, bapak kan laki-laki. Apa gak kasihan lihat perempuan berdiri? Dengan tersenyum si bapak menjawab, “Bukankah sekarang perempuan menuntut persamaan? Siapa yang duluan masuk bus, dia yang mendapat kursi. Yang terlambat memang harus berdiri!” Si ibu pun diam seribu bahasa.[Q]

Qosim Nursheha Dzulhadi

 

<<Kembali ke posting terbaru

"BERPIKIRLAH SEJAK ANDA BANGUN TIDUR" (Harun Yahya)