“Mewaspadai “Injilisasi” Umat Islam”
Mewaspadai “Injilisasi” Umat Islam
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani “tidak akan pernah” ridha (membiarkan engkau bebas bergerak menjalankan aqidah dan rutinitas agamamu) sampai engkau mengikuti ‘millah’ mereka” (Qs. Al-Baqarah [2]: 121)
Pada tahun 1930, dedengkot Missionaris, Samuel Zwemer menyatakan bahwa “sangat sulit” jika umat Islam dikeluarkan dari agamanya. Maka, yang perlu dilakukan adalah membiarkan mereka tetap dalam Islam, tetapi perilaku dan moralitasnya tidak lagi “Islami”.
Dan pada tahun 1978 di Colorado, tepatnya di Green Area, Amerika Serikat seluruh pendeta dunia berkumpul untuk membicarakan strategi melumpuhkan umat Islam. Salah satu caranya adalah “pengiriman roh jahat” ke dalam jiwa orang-orang Islam. Karena mereka meyakini bahwa Yesus Kristus –sebagaimana tercatat dalam Injil—mampu mengusir “roh jahat”. Maka banyak terjadi kaum Muslim yang “kesurupan” tiba-tiba, bahkan ada yang sampai menyebut nama Yesus Kristus –ini pernah terjadi kepada seorang teman penulis sendiri.
Fenomena dan fakta di atas menegaskan bahwa firman Allah dalam Qs. 2: 121 itu adalah “benar”. Dimana-mana umat Islam dirongrong dan diincar aqidahnya. ‘Pencurian’ dan ‘penjambretan’ aqidah terjadi dimana-mana. Bahkan, orang Yahudi-Kristen tidak segan-segan untuk melakukan tindakan amoral, hanya untuk mengeluarkan seorang Muslim (Muslimah) dari aqidah dan agamanya. Isu “Germil” (Gerakan Hamilisasi) bukan hanya isapan jempol belaka. Kasus-kasus semacam itu semakin meyakinkan dan menyadarkan umat Islam bahwa mereka harus extra hati-hati dan waspada dalam menjaga dan memelihara aqidahnya.
Isu adanya Injil berbahasa Arab sempat membuat heboh umat Islam. Abu Sangkan dalam bukunya Energi Cahaya Ilahi (2007) mencatat bahwa awalnya, seorang da’i internasional yang berasal dari Afrika bernama Ahmad Deedat beberapa kali tampil di layar televisi Eropa dan Amerika. Beliau berdebat secara terbuka dengan para pastor. Hasilnya sempat mencengangkan jutaan umat manusia di dunia, mereka menjadi mengerti bahwa Al-Qur’an sesuai dengan logika kebenaran, sementara kesalahan-kesalahan dan kontradiksi dalam Injil semakin terungkap.
Seorang pastor yang terlibat dalam debat tersebut, ketika cermin debat telah berlalu, ia mengatakan, “Kamu wahai umat Islam, berbahagialah dengan Al-Qur’an yang kamu miliki. Kami mengakui gaya bahasanya memang tinggi, rapi, dan mempunyai daya pikat tersendiri. Sedangkan Injil kami ditulis dengan gaya bahasa yang lemah tanpa pesona. Tetapi tunggulah sebentar lagi, kami akan menyusun kembali penulisan Injil seperti bentuk Al-Qur’anmu. Pada saat itu seorang Muslim yang awam tak akan dapat lagi mengklaim bahwa Injil kami lebih rendah kedudukannya dalam bahasa dan makna.”
Selang beberapa hari kemudian setelah pastor berkata demikian, di luar dugaan sebuah tim khusus telah merampungkan “proyek besar” tersebut. Oleh karena itu, Rabithah Al-‘Alam Al-Islami berseru mengingatkan umat Islam agar hati-hati terhadap buku yang diterbitkan oleh pihak Kristen di Cyprus dengan judul Shirathul Masih bi Lisanin ‘Arabiyyin Fasih (Perjalanan Al-Masih dengan Bahasa Arab Fasih).
Injil dalam format baru ini disarikan dari beberapa Injil yang ada, yaitu: Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Ciri-ciri Injil tersebut persis seperti format Al-Qur’an, baik penjilidannya maupun urutan-urutannya. Bagi orang awam Injil tersebut akan dianggapnya Al-Qur’an, karena setiap pasal diletakkan dalam bingkai yang dihiasi ornamen sebagaimana yang ada dalam bentuk Al-Qur’an. Begitu pula letak setiap nama surat. Lebih parahnya lagi, mereka menggunakan kalimah Bismillahirrahmanirrahim pada setiap pasal surat (awalnya). Padahal, kata tersebut hanya ada dalam Kitab Suci umat Islam.
Buku itu mereka kelompokkan dalam pasal demi pasal sebanyak 30 bab. Hal tersebut mereka lakukan dengan tujuan untuk menyamai Al-Qur’an yang terdiri dari 30 juz. Untuk memisahkan kalimat demi kalimat, mereka pergunakan penomoran sebagaimana ayat dalam Al-Qur’an. Bahkan dipergunakan pula penulisan waqaf (tanda berhenti), dan gaya tulisannya pun persis tulisan Khat Utsmani seperti yang ada dalam Al-Qur’an. (Lihat: Abu Sangkan, Energi Cahaya Ilahi: Aktualisasi Spirit Shalat Khusyuk dalam Kehidupan Nyata, 2007, hlm. 35-36 & 38).
Harus diakui bahwa “Injilisasi” terhadap umat Islam terus gencar dilakukan. Bahkan sejak tahun 90-an, usaha-usaha semacam itu semakin drastis. Dr. Anis Shoros, salah seorang Kristen Arab yang pernah menjadi lawan debat Ahmad Deedat, pernah menulis satu buku yang menyerupai Al-Qur’an dengan judul The True Furqan (Al-Furqan al-Haq). Buku ini juga sempat membuat gempar dan heboh umat Islam. Betapa tidak! Dia diformat mirip Al-Qur’an. Bahkan, salah satu nama suratnya adalah surat al-Zina (Surah Perzinaan). Surat itu berbicara tentang dibolehkannya praktet perzinaan. Sebelum The True Furqan Shoros, sudah beredar juga lima surat palsu: Surah Al-Moslemoon, Al-Washaya, dll.
Contoh Kasus Kamus al-Munjid
Apa yang mereka usahakan adalah perpanjangan dari usaha Musailamah al-Kadzdzab. Musailamah sempat membuat beberapa surat tandingan terhadap Al-Qur’an, seperti: Surah al-Difda‘ (Surat Katak), Surah al-Fiil (Surat Gajah) dan surah tentang wanita hamil (al-Hubla). Semuanya gugur di depan kemukjizatan Kitabullah, Al-Qur’an Al-Karim. Salah satu kamus terkenal dan menjadi salah satu rujukan di berbagai pondok pesantren Kamus al-Munjid, juga tak terlepas dari usaha “Injilisasi”. Maklum saja, karena penulisnya, Louis Ma’luf adalah seorang Kristen. Bahkan, cetakan ke-14 dicetak oleh percetakan Katolik (al-Mathba‘ah al-Katsulikiyyah). Sebagai contoh, al-Munjid mencatat tentang Adam: “Huwa al-Insan al-awwal wa Abu al-jins al-basyariy. Khalaqahullahu ‘ala shuratihi wa wadha‘ahu fi Firdausi ‘Adn wa khalaqa Hawwa’ min dhal‘ihi wa ja‘alaha imra’atahu. Wa ‘asha Adam wa Hawwa’ awamira Allahi fa thuridaa min jannah al-firdaus, wa lakinnahuma wa‘adaa bimukhallishin huwa Al-Masih” (Adam adalah manusia pertama dan nenek moyang jenis manusia. Dia diciptakan oleh Allah menurut bentuk-Nya dan menempatkannya di Firdaus Eden. Dan Allah menciptakan Hawa’ dari tulang rusuknya (Adam) dan menjadikannya sebagai istrinya. Kemudian Adam dan Hawa melanggar perintah-perintah Allah, sehingga mereka diusir dari Firdaus. Tetapi, mereka menjanjikan seorang ‘juru selamat’; Kristus). (Lihat, al-Munjid, cet. XXI, 1973, hlm. 31, dalam entri alif bagian al-A‘lam). Adam dalam Al-Qur’an memang bermaksiat (tidak menaati perintah) kepada Allah. Tetapi dia langsung bertobat kepada Allah, dan tobatnya diterima (Qs. Al-Baqarah [2]: 37). Dia tidak ada menjanjikan seorang “juru selamat”, yaitu Yesus Kristus, seperti yang dicatat oleh al-Munjid. Tentang nabi Nuh a.s. al-Munjid mencatat: “Min aqdami rijal al-Tawrah. Naja wa ahlu baytihi min al-thufan wa tasalsala minhu al-jins al-basyariy al-jadid” (Nuh adalah salah seorang tokoh lama (klasik, terdahulu) Taurat. Dia dan keluarganya selamat dari “banjir bah” dan darinya lahir keturunan jenis manusia yang baru). (ibid., hlm. 579). Tentu saja ini bertentangan dengan teks Al-Qur’an yang menyatakan istrinya tidak selamat. Karena istrinya dan anaknya durhaka dan tidak mau menaati perintah suaminya (Lihat analisis menarik tentang ini: Ibnu Sahid as-Sundy, Duri di Ranjang Nabi: Kisah Kedurhakaan Istri Nabi Nuh dan Luth a.s., Yogyakarta: Media Insani, 2007).
Dan ketika menjelaskan tentang Nabi Muhammad s.a.w., al-Munjid mencatat: “Muhammad (570-632 M/11 H): al-nabiyyu al-‘arabiyyu. Da‘a ila al-Islam...” (Muhammad (570-632 M/11 H): seorang nabi Arab, yang menyeru kepada Islam...). (ibid., hlm. 522). Jadi, Nabi Muhammad s.a.w. itu bukan “nabi Islam”, melainkan “nabi Arab”. Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang perlu mendapat perhatian banyak kalangan. Mungkin sudah saatnya, pondok-pondok pesantren untuk menggunakan kamus-kamus yang Islami, seperti Lisan al-‘Arab karya Ibnu Manzhur; al-Qamus al-Muhith, Mukhtar al-Shihhâh; al-Mu‘jam al-Wasith, dll. Bahkan, contoh-contoh yang ada di dalam kamus-kamus tersebut sangat Islami, karena pengarangnya adalah Muslim dan memiliki keilmuan Islam yang sangat luas.
Teka-teki Problem Bible
Sebagaimana diakui oleh umat Kristen sendiri bahwa Bible dijadikan sebagai Kitab Suci pasca-kematian Musa dan Yesus Kristus. Dengan begitu, Bible tidak terlepas dari berbagai interes manusia (penulisnya). Bahasa asli Bible (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) saja tidak mampu diselamatkan oleh orang Kristen sendiri. Maka wajar jika mereka mengakui “keagungan” Al-Qur’an yang secara keseluruhan merupakan wahyu Allah (Kalamullah). Ia bukan fifty-fifty (ucapan Allah sekaligus ucapan selain Allah) sebagaimana halnya Bible. Michael Keene dalam bukunya The Bible mencatat bahwa kitab-kitab yang menyusun Kitab Suci Ibrani dan, dengan variasi-variasi kunci dalam susunannya, Perjanjian Lama disusun selama 900 tahun. (Michael Keene, Alkitab: Sejarah, Proses Terbentuk, dan Pengaruhnya, terj. Y. Dwi Koratno, Yogyarkarta: Kanisius, 2006, hlm. 68). Untuk menyususn Gospel (Injil, PB), umat Kristen membutuhkan empat tahap. Pertama, surat-surat yang dikirim ke berbagai gereja pada pertengahan abad pertama oleh para rasul dikumpulkan dan diedarkan secara luas, sementara surat-surat Paulus diletakkan bersama dalam suatu kumpulan terpisah. Surat kepada jemaah Efesus bisa jadi merupakan pendahuluan editorial pada kumpulan ini karena meringkaskan seluruh pewartaan Paulus yang paling penting. Kedua, tradisi lisan tentang Yesus sungguh-sungguh bernilai tinggi dan, pada waktunya, banyak yang dimasukkan ke dalam empat Injil yang tertulis. Ketiga, Perjanjian Baru diterbitkan oleh Marcion, dikenal sebagai seorang bidah, tahun 140 M berisi Injil Lukas dan sepuluh surat Paulus, tidak seperti kitab yang sudah diedarkan secara luas dalam Gereja. Dan keempat, daftar kitab dalam Fragmen Muratorian (190 M) memasukkan keempat Injil, Kisah Para Rasul, 13 surat Paulus, surat Yohanes dan Yudas, dan Kitab Wahyu, tetapi menghilangkan surat Ibrani, Yakobus, dan dua surat Petrus. Klemens dari Aleksandria (
215 M) memasukkan Ibrani, sedangkan Eusebius (
340 M) meragukan nilai Kitab Wahyu. (ibid., hlm. 78 & 79). Masalah bahasa Bible pun menjadi problem. Karena tidak bisa mempertahankan bahasa asli Bible (Ibrani dan Arami), umat Kristen terpaksa menjadikan bahasa Yunani sebagai lingua-franca kitab suci mereka. Keene mengakui hal ini dan menyatakan bahwa menjelang akhir abad ke-4 SM bahasa Yunani telah menjadi sarana komunikasi utama di banyak dunia yang telah dikenal. Di kalangan masyarakat Yahudi yang secara luas tersebar melintasi Mediterania dan Timur Tengah hanya sedikit orang yang berbicara bahasa Ibrani, sehingga masyarakat secara keseluruhan tidak bisa membaca kitab suci mereka sendiri. Dalam suatu dunia yang didominasi oleh budaya dan bahasa Yunani, kebutuhan untuk menterjemahkan kitab suci Ibrani ke dalam bahasa Yunani mendesak dilakukan. Pekerjaan ini dimulai pada abad ke-3 SM. (ibid., hlm. 70).
Tidak sampi di situ, terjemahan itu pun menjadi masalah. Pasalnya, terjemahan tersebut tidak menjadi terjemahan “paten” dan “final”. Semuanya bersifat temporal. Karena Bible –disebabkan tidak memiliki bahasa aslinya lagi—harus disesuaikan dengan roda perkembangan zaman. Karena terjemahan Bible tidak bisa dilakukan “sekali” untuk selamanya. V. Indra Sanjaya Pr., seorang imam diosesan Keuskupan Agung, Semarang dalam bukunya Tentang Alkitab mengakui problem ini. Dalam sub-judul “Sekali untuk Selamanya?” dia menjawab pertanyaan tersebut: “Pertanyaan di atas menyangkut ‘nasib’ terjemahan yang kita miliki. Apakah Alkitab yang kita miliki –yang merupakan terjemahan itu—bisa berlaku sepanjang segala abad sehingga tidak setiap saat kita harus ganti dan beli yang baru? Sayang sekali, jawabannya negatif. Alkitab kita tidak bisa berlaku untuk selama-lamanya. (Lihat: V. Indra Sanjaya Pr., Tentang Alkitab, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm. 41. Lihat juga: Christopher D. Hudson, Carol Smith dan Valerie Weidemann, Buku Pintar Alkitab: Cara Terlengkap, Termudah, dan Menyenangkan untuk Memahami Firman Allah, terj. Michael Wong, Jakarta: PT. Bethlehem Publisher, 2008).
Belum lagi Kristen Katolik dan Kristen berbeda pendapat tentang jumlah kitab suci. Sehingga muncullah istilah “Apokripa” (Injil-injil rahasia). (Lihat lebih detil: Deshi Ramadhani, sj, Menguak Injil-injil Rahasia, Yogyakarta: Kanisius, 2007). Maka wajar sekali jika mereka “stress” dan kecewa dengan Kitab Suci mereka sendiri. Sehingga, pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan mantan guru besar di Universitas Birmingham, Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks Al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Kur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures)” (Lihat: Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: GIP, 2008, hlm. 3). Karena mereka menyadari bahwa kitab suci mereka tidak lagi “asli”. Sehingga, atas dasar kebencian terhadap autentisitas dan orisinilitas Al-Qur’an mereka mencoba untuk meruntuhkan keagungannya lewat berbagai cara. (Lihat kajian kritis tentang usaha misionaris-orientalis dalam mengobok-obok Islam dan Al-Qur’an: Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an: Kajian Kritis, Jakarta: GIP, 2005). Bahkan, untuk menolak kenabian (nubuwwah) nabi Muhammad s.a.w. mereka berani melakukan manipulasi dan memutarbalikan ayat-ayat Bible yang meramalkan kehadirannya sebagai “nabi pamungkas”. (Lihat: Prof. David Benjamin Keldani (Abdul Ahad Dawud), Menguak Misteri Muhammad s.a.w., Jakarta: Sahara Intisains, 2006).
Bagaimanapun Al-Qur’an akan tetap “agung” dan “berdiri tegar” di depan para penghujat dan para musuhnya. Pintu tantangan dari Al-Qur’an masih terbuka lebar bagi siapa yang ingin ‘menguji’ kebenaran dan keabsahan The Last Testament ini. Allah pun telah berjanji untuk senantiasa menjaga dan memelihara wahyu terakhir-Nya ini, “Sesungguhnya, Kamilah yang menurunkan al-Dzikra (Al-Qur’an) ini. Dan Kami pulalah yang memelihara (menjaga)nya.” (Qs. Al-Hijr [15]: 9). Inilah yang membuat mereka “putus asa” dari keagungan Islam. “Pada hari ini orang-orang kafir telah berputus asa untuk (mengalahkan) agama kalian. Sebab itu janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.” (Qs. Al-Ma’idah [5]: 3). (Medan, 26 Maret 2008)
Wallahu a‘lamu bi al-shawab. [Q]
Qosim Nursheha Dzulhadi, peminat Qur’anic-Hadith Studies dan Kristologi.
0 Comments:
Posting Komentar
<<Kembali ke posting terbaru