Senin, Juni 16, 2008

Ahmadiyah: Aliran Sesat dan Menyesatkan


Klaim Sesat Mirza Ghulam Ahmad

‘Bul ‘ala Zam-Zam fatu’raf’. “Kencingilah sumur Zam-Zam, niscaya engkau akan terkenal”. Kiranya adagium ini sangat tepat bagi para pembela kesesatan aliran sempalan Ahmadiyah. Bagaimana tidak, Ahmadiyah yang jelas-jelas bertentangan dengan nash Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad s.a.w. malah dibela habis-habisan atas nama “kebebasan beragama” dan “berkeyakinan”. Mereka berlagak jadi ‘pahlawan kesiangan’ dalam membela kesesatan Ahmadiyah. Dalam beberapa bukunya, Mirza Ghulam Ahmad menyatakan dirinya sebagai “nabi”. Lihat misalnya: al-Istifta’ (Rabwah-Pakistan: Maktabah al-Nashrah, edisi Jumadal Ukhra, 1378, hlm. 17, 61, dan 66). Mirza juga mengklaim dirinya sebagai “rasul” dan mendapat “risalah” (Lihat, al-Istifta’, hlm. 86 dan 87; Tadzkirah, hlm. 274, 352, 387, 486, 489, 628, dan 629).

Mirza juga mengklaim dirinya mendapat “wahyu” di daerah Qadyan, tempat dimana dia dilahirkan, dibesarkan, dan dibela oleh Inggris sampai dia diangkat sebagai ‘nabi’ dan ‘rasul’. (Lihat, al-Istifta’, hlm. 82 dan Tadzkirah, hlm. 275). Dalam kedua karyanya itu, Mirza mengatakan, “Innaa anzalnaahu qariiban minal Qadyaan.” Karena kenabian Mirza didukung penuh oleh sang penjajah (Inggris), maka dia pun harus menjadi ‘nabi’ yang tunduk kepada tuannya. Karena Mirza berhutang budi kepada Inggris. Oleh karenanya, dia menganjurkan umat Islam di negerinya untuk tidak melawan dan memerangi Inggris atas nama “jihad”. (Lihat bukunya, Mawaahib al-Rahmaan, (Rabwah-Pakistan: Wakalah al-Tabsyir li al-Tahrik al-Jadid li al-Jama’ah al-Ahmadiyah, cet. II, 1380 H/1960 M, hlm. 25. Di sana Mirza mengatakan, “...wa lidzaalika wajaba ‘alaa kulli Muslimin wa muslimatin syukru haadzihi al-dawulah (al-Barithaniyyah)...wa haraamun ‘alaa kulli Mu’minin an yuqaawimahaa “biniyyat al-jihaad”, wa maa huwa jihaadun bal aqbahu aqsaami al-fasaad.”) Jadi, haram hukumnya umat Islam India untuk memerangi Inggris, karena itu bukan “jihad”, melainkan seburuk-buruk jenis kerusakan.

Dari beberapa klaim Mirza di atas, masih adakah umat Islam yang berakal sehat dan ‘sehat’ akidahnya yang menyatakan bahwa ajaran Mirza (dan Ahmadiyah) tidak sesat? Bukan para pembela kesesatan itu lebih sesat dari yang dibelanya?

Kontroversi SKB Tiga Mentri

Prediksi banyak kalangan tentang SKB ternyata menjadi kenyataan. Bahwa akan semakin banyak orang (pihak) yang berusaha untuk membubarkan Ahmadiyah. SKB yang dikeluarkan (9/06/2008) tidak menyelesaikan masalah, bahkan memperuncing permasalahan yang ada. Nyatanya memang SKB tersebut tidak menyentuh permasalahan inti. SKB hanya memberikan peringatan, bukan pembubaran. Dan ini diakui sendiri oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji (Media Indonesia, 10/06/2008). Orang-orang yang membela Ahmadiyah, sejatinya tidak mengerti inti permasalahan. Setiap mereka mengandalkan ‘jurus’ HAM dan konsep kebebadan beragama. Tentu berbeda dengan Ahmadiyah. Ahmadiyah justru dengan bebas “mengobok-obok” agama Islam. Memang, pada poin kedua dari SKB itu dicatat: “Seluruh penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) diingaatkan agar menghentikan pengakuan adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW”. Karena disinyalir bahwa JAI tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad (w. 1908) sebagai “nabi”, hanya sebagai “mujaddid” saja. Tapi nyatanya tidak. Mereka tetap mengakui bahwa Mirza adalah “nabi”.

Dalam buku Kami Orang Islam (KOI) (Penerbit: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, cet. V, 1985, hlm. 27) disebutkan: “Keadaan sebenarnya hanyalah ini: bila saya (Mirza-red) menyebutkan diri saya seorang Nabi, saya maksudkan hanya bahwa Allah s.w.t. berbicara dengan saya, bahwa Dia sangat sering berkata-kata dengan saya dan Dia bercakap-cakap dengan saya dan menerima pengabdian saya dan mewahyukan kepada saya hal-hal ghaib dan membukakan kepada saya rahasia-rahasia yang berhubungan dengan masa datang dan yang tidak Dia bukakan kepada orang yang tidak Dia cintai dan dekat kepada-Nya. Sesungguhnya Dia mengangkat saya sebagai nabi dalam arti itu.”

Pengutipan pengakuan nabi oleh Mirza menunjukkan keyakinan JAI akan kenabiannya. Dalam buku KOI, hlm. 65, JAI mengemukakan ayat 6 dari surat as-Shaf yang artinya: “Dan ingatlah ketika Isa putra Maryam berkata: Hai Bani Isra’il, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumnya yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (akan datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku yang namanya Ahmad.” JAI berkomentar, ‘Dalam ayat ini nama Ahmad adalah diperuntukkan kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad karena beliau sama dengan nabi Isa a.s. dalam sifat-sifatnya’. Ini juga berarti pembenaran JAI akan kenabian Mirza. (Lihat: Dr. H. Ramli Abdul Wahid, MA, Benarkah Jemaah Ahmadiyah Indonesia Tidak Mengakui Mirza Ghulam Ahmad Sebagai Nabi,(Waspada, 06/06/2008). Karena jika JAI tidak mengakui Mirza sebagai “nabi”, maka mereka ‘kufur’ kepada Mirza. Dan ini tidak mungkin. Padahal Mirza dalam tiga bukunya: Maktub Ahmad, al-Istifta’ dan Mawahib al-Rahman mengklaim dirinya sebagai “nabi”, bahkan sebagai “Kristus yang dijanjikan” (al-Masih al-Maw’ud).

Menarik apa yang dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra. Bahwa SKB tidak perlu dikeluarkan untuk membubarkan Ahmadiyah. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono punya wewenang sendiri dalam membubarkannya. (Analisa, 14/06/2008). Apalagi jika dilihat komposisi pemeluk agama yang ada di Indonesia, maka presiden harus melihat mayoritas umat Islam. Presiden juga harus mengerti mana yang menjadi persoalan politik, dan mana yang berkaitan dengan “akidah”. Masalah “akidah” harus menjadi supreme di atas yang lainnya. Penulis yakin, ‘naluri akidah’ Bapak Presiden juga ‘menjerit’ ketika akidahnya diacak-acak dan diutak-atik oleh Ahmadiyah.

Pesan untuk Presiden dan Mentri Agama!

Kepada Bapak Presiden, SBY dan Mentri Agama, Maftuh Basyuni penulis menyampaikan ‘suara kebenaran’. Bahwa Indonesia sudah sejak lama ingin dijadikan sebagai ‘humus’ penyebaran ajaran sesat Ahmadiyah. Hazrat Amirul Mukminin Khalifah Al-Masih (baca: Mirza Ghulam Ahmad) ke 4 sudah mengagendakan “renca jahat” ini di Inggris. Mereka ingin menjadikan Indonesia sebagai “negara Ahmadiyah terbesar di dunia”. (Lihat: M. Amin Jamaluddin, Ahmadiyah Menodai Islam (Kumpulan Fakta dan Data), (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LIPI), cet. II, 2007, hlm. 16 dan 17). Ajaran Mirza dan alirannya Ahmadiyah bertentangan dengan nash Al-Qur’an kita yang mulia (Qs. Al-Ahzab [33]: 40). Nabi s.a.w. juga menjelaskan dengan sangat tegas bahwa, ‘laa nabiyya ba’dii’ (tidak ada seorang nabi pun setelah aku). (HR. Al-Bukhari). Beliau juga menjelaskan, “Kerasulan dan kenabian telah berakhir; karena itu, tidak ada rasul maupun nabi sesudahku.” (HR. Al-Tirmidzi). Sejak lama, Ahmadiyah dikafirkan di negerinya sendiri. Sampai hari ini, negara Saudi Arabia tidak memberikan kesempatan para Ahmadi (penganut aliran Ahmadiyah) untuk menunaikan ibadah haji, karena memang menyimpang akidahnya. Oleh karena itu, para ulama kita di MUI sejak 1980 hingga 2005 “tidak keliru” ketika menyatakan bahwa Ahmadiyah “di luar Islam”, “sesat dan menyesatkan”, dan orang Islam yang mengikutinya adalah “murtad” (keluar dari Islam). Bahkan para ulama kita itu menyatakan bahwa pemerintah “berkewajiban” untuk “melarang” penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya. (Lihat: Fatwa Munas VII Majelis Ulama Indonesia, (edisi kedua, 2005, hlm. 97).

Dapat disimpulkan di sini bahwa aliran dan faham Ahmadiyah ibarat ‘duri dalam daging’ dalam tubuh akidah Islam. Pengaruhnya sudah ‘berurat berakar’ dan ‘menggurita’. Padahal ajaran dan fahamnya begitu sesat dan menyesatkan. Fakta itu tidak mungkin disemubunyikan bagi siapa saja yang memiliki akidah yang benar (salamat al-‘aqidah). Kewajiban setiap Muslim adalah menjaga akidah dirinya, keluarga dan sudaranya. Dan memang SKB tidak menyelesaikan persoalan. Semestinya, pemerintah mengeluarkan “keppres” yang menyatakan bahwa: ‘Ahmadiyah sesat dan menyesatkan, maka mulai hari ini Jemaat Ahmadiyah dibubarkan’. Wallahu a’lamu bi al-shawab. [Q].

 

<<Kembali ke posting terbaru

"BERPIKIRLAH SEJAK ANDA BANGUN TIDUR" (Harun Yahya)