Tafaqquh fi al-Din
Sebelum memaknai lebih jauh “tafaqquh” aku ingin berimprovisasi dulu tentang kata ini ini. Para ushuliyyun memaknai kata fiqh dengan “al-fahm” muthalqan: pemahaman secara mutlak. Artinya, pemahaman yang tidak terikat (muqayyad). Oleh karenanya, makna fiqh digunakan dalam terma apapun. Imam Abu Hanifah pun memberi judul buku akidahnya (tawhid) dengan al-Fiqh al-Akbar.
Ada juga yang memahami bahwa fiqh berbeda dengan fahm dan ‘ilm dan ma’rifah. Fiqh tidak sekadar “pemahaman”, ilmu atau pengetahuan. Ia adalah pemahaman yang sangat mendalam (al-fahm al-‘amiq). Makanya para fuqaha’ adalah orang-orang yang punya pengetahuan dan pemahaman yang sangat baik terhadap hukum. Untuk dasar-dasar fiqh ini dipahami dengan baik dan benar serta mendalam oleh sekelompok ulama kita yang disebut ushuliyyun (ahli ushul fiqh).
Dan pemahaman yang mendalam disebut juga oleh para ulama dengan tafaqquh. Aku ingin menyebutnya “berfiqih-fiqih”: berdalam-dalam dalam pemahaman dan penguasaan ilmu. Oleh karenanya, aku memberi judul refleksi ini dengan tafaqquh. Aku ingin mengajak siapa saja untuk –belajar—berpikir mendalam tentang agama.
Sejatinya, judul di atas adalah penggalan dari firman Allah s.w.t. (Qs. Al-Tawbah [9]: 122). Dimana Dia menjelaskan bahwa tidak seharusnya seluruh orang Mukmin pergi bertempur ke medan perang. Harus ada beberapa orang dari setiap komunitas (nafara min kulli firqatin tha’ifatun) yang mendalami agama (liyatafaqqahu fi al-din).
Aku kemudian berpikir panjang: apa benar seperti itu? Apakah kita tidak wajib pergi ke Palestina untuk membantu para pejuang di sana? Benarkha kita tidak dibenarkan untuk pergi ke Irak atau Chechnya? Jawabannya adalah “benar”. Tidak semua kita diwajibkan memikul senjata (baik mesin maupun manual, seperti tombak dan pedang) dan bertempur melawang musuh. Karena sudah ada saudara-saudara kita yang dipersiapkan sebagai hard power perjuangan. Dan ternyata harus ada yang menjadi soft power perjuangan untuk membela Islam. Ini pula mungkin rahasianya kenapa ‘Hujjat al-Islam’ Abu Hamid al-Ghazali (w. 505/1111) “tidak ikut” Perang Salib (Crusade) di Palestina. Beliau malah ‘asyik-masyuk’ dengan penanya di Qubbah al-Shakhrah (Dom of The Rock) untuk menulis magnum-opus’nya Ihya’ ‘Ulum al-Din yang “fenomenal” itu.
Mari kita merenung sejenak untuk masalah ini! Tafaqquh fi al-din adalah konsep keilmuan Islam yang sangat luar biasa. Artinya, Allah menginginkan agar umat Islam tidak main-main dalam masalah agama. Karena agama punya hubungan diametral dengan umat: dari dunia sampai akhirat. Karena tugas seorang faqih itu sangat berat. Pertama dia harus “paham” (fiqh) apa yang dia pelajari. Dan kedua dia harus mampu memahamkan ilmu yang dia pahami –secara mendalam itu—kepada orang lain. Dan orang tersebut harus “paham” dan bisa “memahamkan” orang lain. Karena tugas seorang mutafaqqih itu ada dua. Pertama, melakukan indzar (peringatan) kepada kaumnya (liyundziru qawmahum idza raja’u ilayhim). Kedua, dengan indzar ini kaumnya ‘sadar’ dan waspada (la’allahum yahdzarun) terhadap situasi dan kondisi.
Sebagai mundzir tentunya harus mumpuni ilmunya. Karena mundzir dan mundzar adalah dua sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan. Mundzir yang ‘miskin’ ilmu pengetahuan dapat dipastikan tidak akan mampu menyentuh qalbu sang mundzar. Meskipun dapat, dipastikan tidak akan maksimal. Lebih celaka lagi, seorang mundzir yang tak berbekal ilmu. Dia tidak akan mampu tampil sebagai “mundzir” yang elegan dan meyakinkan. Sebaliknya, dia malah akan menjadi “mundzir dhall dan mudhill”. Bukankah ini sangat berbahaya?
Oleh karena itu, firman Allah di atas perlu mendapat perhatian khusus dan serius. Karena semuanya –mohon maaf—sudah berada dalam ‘kalkulasi Ilahi’ bahwa memang setiap Mukmin harus sadar dimana dia ditempatkan. Kullun ya’malu ‘ala syakilatihi. Setiap orang harus berakting sesuai lakonnya.
Yang jelas, kita harus terus bergerak “dinamis” dalam memajukan dan menghidupkan keilmuan Islam. Untuk membela din. Karena jika “statis”, Iqbal, berati kita “mati”. “Static condition means dead,” katanya. [Q] Jum’at, 1 Agustus 2008.
Centre of Islamic and Occidental Studies (CIOS), ISID-Gontor Ponorogo
0 Comments:
Posting Komentar
<<Kembali ke posting terbaru