Konsep Ahli Kitab dalam Islam
Konsep Ahl al-Kitāb Dalam Islam:
(Sebuah Pengantar)
Oleh: Qosim
Nursheha Dzulhadi
Mukaddimah
Salah satu
pembahasan penting yang berkaitan dengan paham “pluralisme agama” hari ini
adalah konsep Ahl al-Kitāb (baca: Ahli Kitab). Konsep yang sampai hari
ini menjadi menu bincang yang terus hangat. Terus dibincangkan karena selalu
dikaitkan dengan paham yang menyatakan bahwa selain Yahudi dan Kristen juga
layak disebut Ahl al-Kitāb. Dengan begitu, mereka berhak mendapat
perlakuan layaknya kaum Ahl al-Kitāb. Ini menarik untuk dikaji, karena
konsep Ahl al-Kitāb menjadi pembahasan bahkan perdebatan ulama’ klasik
hingga modern-kontemporer. Untuk itu, tulisan ini mencoba untuk mendiskusikan
konsep Ahl al-Kitāb dari sisi makna, pandangan para ulama’ serta wacana
kontemporer yang memasukkan agama-agama non-semitik ke dalam kelompok Ahl
al-Kitāb.
Konsep Ahl al-Kitāb dalam Al-Qur’ān
Salah satu keunikan Al-Qur’ān adalah sikap terbukanya terhadap kaum
Ahl al-Kitāb, sebagai penganut agama yang absah di zaman nabi mereka
masin-masing. Istilah Ahl al-Kitāb memang khas Islam dan benar-benar
Qur’āni. Dan maksudnya adalah Yahudi dan Kristen. Oleh karenanya, tidak heran
jika sebanyak 31[1]
kali kata Ahl al-Kitāb disebutkan dalam Al-Qur’ān: 2 kali dalam sūrat
al-Baqarah (2): 105, 109; 11 kali dalam sūrat Āl ‘Imrān (3): 64, 65,
69, 70, 71, 72, 75, 98, 99, 110, 113, 119; 4 kali dalam sūrat al-Nisā’
(4): 123, 153, 159, 171; 6 kali dalam sūrat al-Mā’idah (5): 16, 21, 62,
68, 71, 80; masing-masing 1 kali dalam sūrat al-‘Ankabūt (29): 56, sūrat
al-Aḥzāb (33): 26, sūrat al-Ḥadīd (57): 29, dan sūrat al-Ḥasyr
(59): 2; 2 kali disebut dalam sūrat al-Bayyinah (98): 1, 6. Dari 31 kali
penyebutan kaum Ahl al-Kitāb, pandangan simpatik terhadap mereka hanya
dikandung oleh 4 ayat, yaitu dalam Qs. 3: 64, 110, 113 dan 199, dimana keempat
ayat ini turun di Madīnah, sementara 27 ayat lainnya berisi kritik tajam
terhadap Ahl al-Kitāb.[2]
Pandangan Ulamā’ tentang Ahl al-Kitāb
Para ulamā’ memiliki silang pendapat mengenai siapa sebenarnya yang
disebut dengan Ahl al-Kitāb dalam Al-Qur’ān. Menurut mazhab al-Syāfi‘ī
dan Ḥanbalī (al-Ḥanābilah), yang dimaksud dengan Ahl al-Kitāb
adalah kaum Yahudi dan Kristen secara khusus. Menurut Imam al-Syāfi‘ī (150-204
H), Ahl al-Kitāb adalah kaum Banī Isrā’īl, yang mendapat Taurāt dan Injīl.
Tegasnya, Imam al-Syāfi‘ī mengatakan sebagai berikut[3]:
لَيْسَ
نَصَارَى العَرَبِ بِأَهْلِ الكِتَابِ، إِنَّمَا أَهْلُ الكِتَابِ بَنُوْ
إِسْرِائِيلَ وَالَّذِيْنِ جَاءَتْهُمُ التَّوْرَاةُ وَ الإِنْجِيْلُ، فَأَمَّا
مَنْ دَخَلَ فِيْهِمْ مِنَ النَّاسِ فَلَيْسُوْا مِنْهُمْ
“Kristen Arab bukan Ahl al-Kitāb. Yang
disebut Ahl al-Kitāb adalah kaum Banī Isrā’īl dan orang-orang yang turun
kepadanya Taurāt dan Injīl. Sedangkan orang yang masuk ke dalam golongan mereka
tidak dapat disebut sebagai Ahl al-Kitāb.”
Hal yang sama juga disampaikan oleh Imam al-Syīrāzī (w. 476 H/1083
M)[4] dari kalangan mazhab al-Syāfi‘ī dan Imam Ibn Qudāmah (w. 630
H/1232 M) dari kalangan mazhab Ḥanbalī.[5] Pandangan serupa juga dikemukakan oleh al-Syahrastānī (479-548 H)
dalam al-Milal wa al-Niḥal, Imam al-Syahrastānī (479-548 H) menyatakan
bahwa Ahl al-Kitāb adalah sebutan kepada kaum yang mendapat Taurāt dan
Injīl. Mereka ini lah yang diseru oleh Al-Qur’ān (al-Tanzīl) dengan
sebutan Ahl al-Kitāb.[6] Mereka ini membela agama al-asbāṭ (kelompok Yahudi) dan
mengikuti ajaran Banī Isrā’īl.[7] Hal yang sama juga diungkapkan oleh seorang mufassir Syī‘ah
terkenal, Sayyid Muḥammad Ḥusayn al-Ṭabāṭabā’ī dalam Tafsīr al-Mīzān.
Kata beliau:
أَهْلُ
الكِتَابِ هُمُ اليَهُوْدُ وَ النَّصَارَى عَلَى مَا هُوَ الـــمَعْهُوْدُ فـــىِ
عُرْفِ القُـــرْآنِ
“Ahl al-Kitāb itu adalah kaum Yahudi dan
Kristen, sebagaimana yang dikenal dalam tradisi Al-Qur’ān (ketika menyebut
mereka).”[8]
Berbeda dengan pandangan di atas adalah pendapat mazhab Ḥanafī (al-aḥnāf).
Menurut mereka, Ahl al-Kitāb itu adalah siapa saja yang meyakini
kebenaran satu agama samawi dan memiliki kitab yang diturunkan. Imam
al-Zayla‘ī, misalnya, menyatakan sebagai berikut:
كُلُّ
مَنْ يَعْتَقِدُ دِيْنًا سَمَاوِيًّا وَلَهُ كِتَابٌ مُنُزَّلٌ كَصُحُفِ
إِبْرَاهِيْمَ وَ شِيْثَ وَ زَبُوْرِ دَاوُدَ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ فَهُوَ مِنْ
أَهْلِ الكِتَابِ، فَتَجُوْزُ مُنَاكَحَتُهُمْ وَ أَكْلِ ذَبَائِحِهِمْ خَلَافًا
لِلشَّافِعِى
“Siapa saja yang meyakini (kebenaran) agama
samawi dan memiliki kitab yang diturunkan (sebagai wahyu), seperti: ṣuḥuf
Ibrāhīm, Syīts dan Zabūr Dāwūd as., maka disebut Ahl al-Kitāb. Dengan
demikian, boleh dinikahi dalan sembelihan mereka halal dimakan, sebagai pembeda
dari pendapat al-Syāfi‘ī”[9]
Mufassir dari mazhab Ḥanafī, Imam al-Jaṣṣāṣ dalam Aḥkām
al-Qur’ān-nya menyebut perbedaan pendapat ulamā’ mengenai Ahl al-Kitāb.
Dia menolak jika Majūsī dimasukkan sebagai bagian dari Ahl al-Kitāb.
Jadi menurut mazhab Ḥanafī Ahl al-Kitāb tidak hanya kaum Yahudi dan
Kristen, namun semua yang mendapat kitab suci.[10]
Pandangan yang
sama datang dari Imam Ibn Ḥazm al-Andalusī (348-456 H).[11] Dalam salah satu karyanya yang fenonemal, al-Fiṣal, dia
menyatakan bahwa Ahl al-Kitāb tidak hanya terbatas pada Yahudi dan
Kristen. Hanya saja Majūsī meskipun dianggap sebagai Ahl al-Kitāb mereka
tidak mengakui sebagian nabi.[12] Tentunya hal ini amat berbeda dengan apa yang diajarkan Islam,
bahwa tidak boleh membeda-bedakan rasul dan nabi Allah.[13]
Kemudian penting
dicatat bahwa terdapat pandangan kaum liberal-pluralis yang menyatakan bahwa
selain Yahudi dan Kristen dapat juga dimasukkan ke dalam Ahl al-Kitāb.
Alasannya, karena konsep Ahl al-Kitāb tidak sesempit yang dipahami. Untuk
itu, penting untuk memperluas cakupan makna Ahl al-Kitāb ini. Berikut
ini akan diulas pandangannnya secara ringkas dan sederhana.
Kaum Pluralis-Liberal dan Ahl al-Kitāb
Kaum pluralis-liberal biasanya cenderung bersikap longgar dalam
menyikapi ayat-ayat Ahl al-Kitāb. Sehingga mereka dengan leluasa
membongkar konsep Ahl al-Kitāb yang menurut mereka tidak harus mengikuti
pandangan ulamā’ klasik. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa Majūsī dan
Konghucu pun layak disebut sebagai Ahl al-Kitāb. Karena menurut mereka
maknanya tidak sempit, bisa diperluas hingga mencakup agama-agama yang memiliki
kitab suci.[14]
Sandaran kaum
liberal-pluralis adalah pendapat Syekh Muḥammad ‘Abduh, Sayyid Rasyīd Riḍā,
‘Abd al-Ḥamīd Ḥakīm dan yang lainnya.[15] Pandangannya ini tentunya bertentangan dengan teks-teks Al-Qur’an
dan Sunnah, yang menyatakan secara tegas bahwa Ahl al-Kitāb hanya
mencakup Yahudi dan Kristen. Jika Majūsī (Zoroaster) saja tidak dapat
digolongkan ke dalam Ahl al-Kitāb, konon lagi Konghucu dan yang lainnya.
Begitu juga dengan penganut agama Sabea (al-Ṣābi’ūn), bukan bagian dari Ahl
al-Kitāb. Ia hanya dianggap sebagai Ahl al-Kitāb oleh mazhab Ḥanafī.
Kaum Majūsī
dianggap sebagai Ahl al-Kitāb berdasarkan satu riwayat dari Imam ‘Alī
ibn Abī Ṭālib yang menyatakan bahwa mereka tergolong kepada Ahl al-Kitāb.
Namun yang benar adalah mereka bukan Ahl al-Kitāb. Ini berdasarkan
Firman Allah yang berbunyi, “An taqūlū innamā unzila al-kitāb ‘alā ṭā’ifataini
min qablinā”. Sekiranya Majūsī bagian dari Ahl al-Kitāb, maka
kelompok ini menjadi tiga, bukan lagi dua. Ini tentunya bertentangan dengan apa
yang ditunjukkan oleh ayat tersebut. Sebagaimana juga ḥadīts Nabi saw. menyatakan,
“Sunnū bihim sunn ata ahl al-kitāb” (Terapkanlah hukum atas mereka
sebagaimana yang berlaku terhadap kaum Ahl al-Kitāb).[16] Ḥadīts ini menegaskan bahwa Majūsī memang bukan Ahl al-Kitāb.
Karena jika mereka bagian darinya, niscaya Nabi saw. akan menyatakan bahwa
mereka golongan Ahl al-Kitāb.[17]
Dari beberapa
pandangan di atas dapat dilihat bahwa berdasarkan Firman Allah swt. (ayat-ayat
Al-Qur’an) dan sabda Nabi Muḥammad saw. (Ḥadīts-Sunnah) dan pandangan ulama’
(seperti Imam al-Syāfi‘ī, Imam Abū Isḥāq al-Syīrāzī dan Imam Ibn Qudāmah al-Maqdisī)
dapat dilihat bahwa pendapat yang benar adalah Ahl al-Kitāb hanya
mencakup kaum Yahudi dan Kristen, tidak yang lain.
Sebagai bukti
bahwa Ahl al-Kitāb hanya kaum Yahudi dan Kristen, seorang pakar
perbandingan agama (muqāranat al-adyān), al-Bīrūnī (w. 440 H/1048 M)
setelah meneliti agama Hindu di India menyimpulkan bahwa agama ini tidak
termasuk ke dalam Ahl al-Kitāb. Kesimpulannya, agama Hindu hanya dapat
digolongkan ke dalam agama yang mempercayai Tuhan.[18]
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa Ahl al-Kitāb dalam Islam adalah kaum Yahudi dan
Kristen. Berbagai ayat Al-Qur’an yang menyebutkan kata Ahl al-Kitāb
seluruhnya merujuk kepada Yahudi dan Kristen, bukan kepada yang lain.[19] Sementara agama-agama selain dua agama ini tidak dapat digolongkan
ke dalam Ahl al-Kitāb. Ia hanya merupakan agama-agama budaya (cultural
religions), yang berkembang sesuai dengan budaya dimana agama itu dikreasi.
Meskipun Yahudi
dan Kristen dianggap sebagai Ahl al-Kitāb tidak berarti agama mereka
benar. Agama mereka salah karena telah banyak melakukan distorsi dan
interpolasi terhadap kitab suci dan ajaran agama mereka sendiri.[20] Untuk itu, seruan Al-Qur’an kepada kaum Ahl al-Kitāb sejatinya
mengajak kepada satu dasar agama dan keyakinan yang sama (kalimat sawā’)[21], dimana tidak ada sesembahan yang hakiki dan sejati kecuali Allah.
selain itu, Al-Qur’an mengajak agar kaum Ahl al-Kitāb tidak menjadi apa
pun dan siapa pun sebagai “tuhan” selain Allah (arbāb min dūnillāh).
Dan dari diskusi
mengenai Ahl al-Kitāb ini dapat disimpulkan bahwa hanya Islam lah agama
yang benar (Qs. 3: 19, 85). Selain Islam tidak lah benar: mengandung kebāṭilan,
kesesatan, kekufuran bahkan kesyirikan. Untuk itulah, dalam Islam, kaum Ahl
al-Kitāb yang meyakini ajaran agama Islam lalu memeluknya tidak lagi
dianggap sebagai Ahl al-Kitāb, melainkan Muslim atau Mukmin. Wallāhu
a‘lamu bi al-ṣawāb. [Q]
*) Makalah disampaikan
di Islamic Fullday School Siti Hajar, Senin, 08 Dzulqa‘dah 1433 H/24 September
2012 M.
[1] Lihat, Muḥammad
Fu’ād ‘Abd al-Bāqī, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm
(Cairo: Dār al-Ḥadīts, 1428 H/2007 M), hlm.117-118.
[2] Jarot Wahyudi, Ahl al-Kitāb: An Quranic Invitation to
Inter-Faith Co-Operation (Yogyakarta: Pilar Religia [Kelompok Pilar Media],
2006), hlm. 19.
[3] Imam Muḥammad
ibn Idrīs al-Syāfi‘ī, al-Umm, ed. Dr. Rif‘at Fawzī ‘Abd al-Muṭṭalib,
Jilid 6 (al-Manṣūrah-Mesir: Dār al-Wafā’, 1422 H/2001 M), hlm. 18.
[4] Lihat, Imam
Abū Isḥāq Ibrāhīm ibn ‘Alī al-Syīrāzī, al-Muhadzdzab: Fī Fiqh al-Imā
al-Syāfi‘ī, ed. Prof. Dr. Wahbah al-Zuḥaylī, Jilid 4 (Damascus: Dār
al-Qalam/Beirut: al-Dār al-Syāmiyah, 1417 H/1996 M), hlm. 150-253.
[5] Imam Abū Muḥammad
‘Abd Allāh ibn Aḥmad ibn Qudāmah al-Maqdisī, al-Mughnī ‘alā Mukhtaṣar
al-Kharqī, ed. ‘Abd al-Salām Muḥammad ‘Alī Syāhīn, Jilid 6 (Beirut-Lebanon:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), hlm. 414-416.
[6] Imam Abū
al-Fatḥ Muḥammad ‘Abd al-Karīm ibn Abī Bakr al-Syahrastānī, al-Milal wa
al-Niḥal, ed. Ṣidqī Jamīl al-‘Aṭṭār (Beirut-Lebanon: Dār al-Fikr, 1422
H/2002 M), hlm. 168.
[7] Imam
al-Syahrastānī, al-Milal wa al-Niḥal, 168.
[8] Lihat, Imam
Sayyid Muḥammad Ḥusayn al-Ṭabāṭabā’ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān,
Jilid 5 (Beirut-Lebanon: Mansyūrāt Mu’assasah al-A‘lamī li al-Maṭbū‘āt, 1417
H/1997 M), hlm. 130.
[9] Lihat, Imam
Fakhr al-Dīn ‘Utsmān ibn ‘Alī al-Zayla‘ī al-Ḥanafī, Tabyīn al-Ḥaqā’iq Syarḥ
Kanz al-Daqā’iq, Jilid 2 (Būlāq-Mesir: al-Maṭba‘ah al-Kubrā al-Amīriyyah,
1315 H), hlm. 110.
[10] Lihat, Dr.
‘Abd al-Karīm Zaydān, Aḥkām al-Dzimmiyyīn wa al-Musta’minīn fī Dār al-Islām
(Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1402 H/1982 M), hlm. 11-12.
[11] Untuk biografi
Ibn Ḥazm al-Andalusī, karyanya berikut pemikiran dan kritiknya terhadap agama
Yahudi dapat, lihat Qosim Nursheha
Dzulhadi, “Ibn Ḥazm al-Andalusī dan Taurāt Yahudi: Satu Pandangan Kritis”,
dalam al-‘Ibrah (Vol. 9, No. 1, Sya‘bān 1433 H), hlm. 85-120.
[12] Imam Abū Muḥammad
‘Alī ibn Aḥmad (dikenal dengan Ibn Ḥazm), al-Fiṣal fī al-Milal wa al-Ahwā’
wa al-Niḥal, taḥqīq: Muḥammad Ibrāhīm Naṣr dan ‘Abd al-Raḥmān ‘Umairah,
Jilid 1 (Beirut: Dār al-Jīl, 1416 H/1996 M), hlm. 109. Tentang Yahudi, lihat al-Fiṣal,
1: 177-179.
[13] Qs. al-Baqarah
(2): 136, 285.
[14] Lihat,
misalnya, Nurcholish Madjid, “Pijakan Keimanan Bagi Fiqih Lintas Agama”, dalam
Mun’im A. Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat
Inklusif-Pluralis (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan The
Asia Foundation, 2004), hlm. 48-54. Lihat juga, Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab
pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis terhadap Keselamatan Non-Muslim
(Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2005), hlm. 69-70.
[15] Lebih luas,
lihat Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi
Berbasis Al-Qur’an (Depok: KataKita, 2009 M).
[16] HR. al-Syāfi‘ī
dan Mālik ibn Anas.
[17] ‘Abd al-Karīm
Zaydān, Aḥkām al-Dzimmiyyīn, hlm. 14-15.
[18] Lihat, Abū Rayḥān
Muḥammad ibn Aḥmad al-Bīrūnī, Fī Taḥqīq mā li al-Hind min Maqūlah Maqbūlah
fī al-‘Aql aw Mardzūlah (Heydar Abad-India: Maṭba‘ah Maljis Dā’irat
al-Ma‘ārif al-‘Utsmāniyyah, 1377 H/1958 M).
[19] Lihat, Muḥammad
Fu’ād ‘Abd al-Bāqī, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm
(Cairo: Dār al-Ḥadīts, 1428 H/2007 M).
[20] Ayat-ayat yang
menegaskan bahwa kaum Ahl al-Kitāb melakukan distorsi (taḥrīf)
dan interpolasi dapat disimak dalam Firman Allah dalam Qs. al-Baqarah (2): 75,
al-Nisā’ (4): 46, al-Mā’idah (5): 13, 41.
[21] Qs. Āl ‘Imrān
(3): 64.