Membangun Budaya Ilmu
Membangun
Budaya Ilmu![1]
“Al-‘Ilmu NËr, ilmu adalah
cahaya. Demikian sebuah ungkapan menyatakan. Tapi kini, ungkapan semacam ini
sudah tidak memiliki pamor lagi”
—M. Mushtafa—[2]
I
Al-FÉtiÍah
Beberapa “santri/wati” yang saya temui,
terutama kalau saya mendapat ticket mengajar di kelas mereka, selalu
saya sindir dengan hal-hal yang berkaitan dengan “pengetahuan” (knowledge),
“ilmu” (al-‘ilm, science), “buku” (book), dan “menulis” (writing).
Tidak banyak yang tertarik, bahkan mayoritas tidak apresiatif. Lebih dari itu, kebanyakan
dari mereka sepertinya hanya “numpang” 3 akhiran “R” saja di Pondok ini, yaitu:
sumur, dapur, dan kasur. Lebih tragis lagi, mungkin kebanyakan
dari mereka hanya terpesona dengan triple F, yakni: Food, Fashion,
and Fun. Hanya mikirkan “perut”, kulit (tempat nyantol segala
model pakaian), dan “hura-hura”. Padahal, mereka sedang berada “di lumbung
padi”. Saya jadi khawatir mereka ditimpa kata pepatah nenek-nenek kita dahulu,
“Ayam mati di lumbung padi.” Padahal Al-Raudlatul Hasanah adalah “lumbung”:
lumbung ilmu pengetahuan. Itu sebabnya, setiap calon santri yang akan masuk ke
pondok ini pasti mendapat pertanyaan besar: “Ke RH Apa yang Kau Cari?”
Kekhawatiran dan kecemasan saya itu bukan lahir dari
minggu kemarin, bulan yang lalu, atau dua tahun silam. Lebih dari itu, rasa
takut, khawatir, bahkan kecewa terhadap fenomena santri/wati “3R atau 3F” sudah
saya rasakan sejak April 2007, awal dimana saya mulai menginjakkan kaki di bumi
wakaf Al-Raudlatul Hasanah, sejak 2002 saya tinggalkan untuk menuntut ilmu di
Bumi Para Nabi, Mesir. Kemudian saya berniat untuk menulis satu buku “saku”
yang dapat menjadi guide (Arab: dalÊl) mereka dalam menuntut
ilmu, dimanapun dan kapanpun mereka berada. Akhirnya, Allah mengabulkan niat
itu, dan terbitlah buku yang amat sederhana, Lezatnya Menuntut Ilmu,
begitu bunyi judulnya.
Namun, malam hari ini saya tidak akan mengulas isu buku
tersebut, karena para santri/wati dapat memilikinya. Tapi saya ingin
menyampaikan beberapa nasehat penting, untuk saya pribadi dan kita semua,
perihal menuntut ilmu. Agar kita punya bekal yang baik dalam menuntut ilmu.
Sehingga, keberadaan kita di pondok ini tidak seperti kata orang, “wujËduhu
kaÑdamihi”, kehadirannya maupun ketidakhadiran podo mawon. Mau ada,
mau tidak ada, hasilnya tetap: sama-sama “tidak menggenapkan dan tidak
mengganjilkan”. Sungguh ironis!
II
Allah
Kita adalah ‘AlÊm
Suatu malam, handphone saya berdering.
Ternyata satu sms masuk. Setelah saya buka rupanya salah seorang alumni 20/2011
mengirim pertanyaan, “Ustadz, ada gak yah ayat-ayat Al-Qur’Én yang berisi
“motivasi”? Saya jawab, “Akhil karÊm, seluruh ayat Al-Qur’Én adalah
“motivasi”.” Mungkin dia merasa kurang puas, atau merasa saya main-main
menjawab sms-nya, dia sms kembali, “Ustadz, maksud saya motivasi yang
langsung.” Saya jawab lagi, “Akhi, semua motivasi Al-Qur’Én itu
langsung.” Entah puas atau tidak, dia balas, “Oh, gitu ya ustadz.
Syukran ya ustadz!” Saya balas, “Sama-sama akhi.”
Para
santri yang dicintai Allah! Hal ‘arafta, bahwa kata yang paling banyak
dalam Al-Qur’Én setelah kata “Allah” adalah kata “ilmu”? Mengapa demikian?
Karena Allah kita ingin kita menjadi hamba-Nya yang ‘Élim: pintar,
berilmu, cerdik-pandai, dsb. Itu sebabnya, salah satu nama-Nya yang indah (al-asmÉ’
al-ÍusnÉ) adalah ‘ALÔM: Maha Berilmu. Kalau anta tidak
percaya, coba periksa buku al-MuÑjam al-Mufahras li AlfÉÐ al-Qur’Én al-KarÊm
karya Syekh MuÍammad Fu’Éd ‘Abd al-BÉqÊ.[3] Penjelasannya,
dilakukan oleh Syekh Al-QaraÌÉwÊ (lahir 1926), bahwa Sanking penting ilmu, derivasi dari
kata ع-ل-م di dalam
Al-Qur’Én muncul dalam surat-surat Makkiyyah maupun Madaniyyah. Kata “taÑlamËn”
diulang sebanyak 56 kali, ditambah dengan kata “fasataÑlamËn” yang
diulang sebanyak 3 kali; 9 kali muncul dalam kata-kerja “taÑlamË”, kata
“yaÑlamËn” diulang sebanyak 85 kali; 7 kali muncul kata “yaÑlamË”;
kata “Ñallam” muncul sebanyak 47 kali, berikut derivasinya. Selain itu,
sifat ‘AlÊm (baik dalam bentuk maÑrifah maupun nakirah)
muncul sebanyak 140 kali; kata ‘ilm muncul 80 kali; disamping ada
bentuk-bentuk (ÎÊghah) yang sangat banyak. Ini semua menegaskan
keutamaan ilmu dan keutamaannya ini mendapat sorotan yang sang luar biasa dari
Al-Qur’Én.[4]
Tentunya, selain ayat-ayat
Al-Qur’Én, banyak juga ÍadÊts Baginda Nabi MuÍammad saw. yang “direkam” oleh
berbagai buku para muÍadditsËn kita yang berwibawa, seperti: Imam
al-BukhÉrÊ, Imam Muslim, Imam Ibn MÉjah, Imam AÍmad ibn ×anbal, Imam al-Nasa’Ê,
Imam al-TirmidzÊ, dan lainnya. Semua itu menuntun kita untuk menjadi
manusia-berilmu (al-‘Élim, bukan malah jadi al-jÉhil).
III
Bangunlah
Budaya Ilmu!
Anta/anti tahu mengapa ayat atau “waÍyu” yang
pertama turun kepada Nabi saw. bunyi iqra’, bukan uÑbudillÉh? Bukankah
kewajiban jin dan manusia adalah untuk “menyembah” Allah? Kata
Allah, wamÉ khalaqtu al-jinna illÉ liyaÑbudËni.[5]
Karena Allah menginginkan kita menjadi umat yang genius, pintar, cerdik,
pandai, dsb. Karena “ibadah” tanpa didasari oleh ilmu yang benar sama aja “boong”.
Para santri/wati yang berniat
menjadi ‘ulamÉ’! Apakah kalian tahu bahwa universitas Islam pertama di
dunia ini didirikan oleh Rasulullah? Erm…, sepertinya ia (kata hatimu!)
Memang ia. Universitas itu letaknya di emperen Masjid NabawÊ, di
al-MadÊnah al-Munawwarah. Dari sanalah budaya ilmu disebarkan, sampai ke
pesantren ini. Mahasiswanya dikenal dengan AÎÍÉb al-Øuffah atau Ahl
al-Øuffah. Kisahnya ingin aku tuliskan berikut ini.
Setelah Nabi hijrah ke MadÊnah,
beliau memulai membangun institusi-institusi khusus yang kemudian menjadi model
pendidikan Islam pada masa-masa berikutnya. Madrasah Masjid dikenal sebagai AÎÍÉb
al-Øuffah, atau Ahl al-Øuffah (yaitu orang-orang yang mencari ilmu)
adalah salah satu institusi pendidikan yang dibangun sendiri oleh Nabi di
MadÊnah. Øuffah pada awalnya dibangun untuk tempat tinggal pendatang
baru atau penduduk setempat yang terlalu miskin untuk dapat memiliki rumah sendiri.
Tapi akhirnya menjadi ciri sebuah “sekolah berpondok”, dimana membaca, menulis,
hukum-hukum Islam, hafalan Al-Qur’Én, tajwÊd, dan ilmu-ilmu Islam lainnya
diajarkan langsung di bawah pengawasan Nabi. ‘UbÉdah ibn al-ØÉmit mengatakan
bahwa Nabi menunjuknya sebagai guru di madrasah Øuffah bagi kelas-kelas
menulis dan ilmu-ilmu Al-Qur’Én.
Lebih lanjut, ada bukti yang cukup
bahwa Øuffah bukanlah satu-satunya sekolah di MadÊnah. Ibn ×anbal,
contohnya, mencatat bahwa pada suatu waktu “sebanyak 70 siswa menghadiri kuliah
dari guru tertentu di MadÊnah, dan bekerja di sana hingga pagi”. Sebenarnya,
terdapat paling tidak “sembilan” masjid di MadÊnah yang berfungsi sebagai
sekolah-sekolah pada zaman Nabi. Dan masyarakat yang tinggal di daerah-daerah
sekitar mengirim anak-anak mereka ke masjid-masjid lokal ini. Masjid Quba tidak
jauh dari MadÊdah. Nabi kadang-kadang pergi ke sana dan secara langsung
mengawasi sekolah di masjid tersebut. Ada ÍadÊts yang umum dari Nabi mengenai
mereka yang menuntut ilmu di sekolah masjid. Beliau juga memerintahkan
masyarakat untuk belajar dari para tetangga mereka.[6]
Aktivitas pendidikan pada masa awal
Islam telah mengakibatkan lahirnya sekelompok illmuwan (komunitas pra-ilmiah)
yang mewariskan tradisi Nabi dalam mengajar dan mencari pengetahuan ke generasi
ilmuwan berikutnya yang menjadi murid mereka. Tak lama kemudian, begitu tradisi
keilmuan diambil alih oleh generasi baru, hasrat untuk belajar meningkat;
sebagai hasilnya, lahirlah kelompok ilmuwan dengan mentalitas ilmiah yang
canggih.[7] Tak lama setelah hasil proses
belajar para ilmuwan ini melahirkan mazhab-mazhar pemikiran, seperti Mazhab
MadÊnah, Mazhab KËfah, Mazhab BaÎrah, dan juga mazhab-mazhab lain, seperti:
KhÉrijiyyah, QÉdiriyyah, Murji’ah, SyÊÑah, Jabariyyah, dan AsyÑariyyah.
Beberapa mazhab tersebut lahir
sebagai hasil dari pergolakan sosial-politik di dalam komunitas Muslim.
Kejadian-kejadian seperti itulah yang mengubah arah sebab-sebab kontekstual dalam
satu masyarakat. Maka kita harus mengakui adanya kekuatan-kekuatan seperti itu
yang dapat mempengaruhi jalannya proses keilmuan[8] dan menjadi cikal-bakal peradaban
Islam yang gemilang di masa berikutnya.
Ayyuha al-Ïalabah, nawwarallÉhu
qulËbakum binËri ‘ilmihi wa maÑrifatihi!
Apa yang dikerjakan para ulama’ kita adalah upaya untuk membangun budaya dan
tradisi keilmuan. Maka kita pun harus punya keinginan yang sama. Jika dalam perjalanan
sejarah peradaban Islam “institusi” pendidikan yang pertama adalah “masjid”,
maka sudah memiliki masjid yang besar di pondok ini. Dan jika dari “serambi
masjid” yang disebut al-Øuffah institusi pendidikan Islam bermula, maka
kitalah yang menjadi Ahl al-Øuffah itu.
Jika di zaman ‘AbbÉsiyah, selain
masjid (jÉmiÑ) tempat belajar-mengajar, juga berdiri pada tahun 1067
“universitas” NiÐÉmiyyah (dimana Imam al-GhazÉlÊ menjadi “rektornya”), maka
kita sudah punya kelas-kelas untuk belajar. Disamping masjid kita yang begitu
“megah”. Jika di zaman itu sudah terdapat lembaga riset dan penterjemahan Bayt
al-×ikmah, pusat studi dan diskusi DÉr al-‘Ilm, DÉr al-Kutub, Majlis
al-NaÐar, dan sebagainya[9], maka juga memiliki “maktabah” (library)
yang tak kalah koleksi bukunya, terutama buku-bukut turÉts (klasik). Jadi,
apa yang belum kita punya sebenarnya? Yang belum kita punya hanya dua: niat yang
ikhlas dalam menuntut ilmu dan “rakus” atau “loba” terhadap ilmu.
Ini lah yang sering kita sebut dengan ÍirÎun.
Jika “niat” kita sudah benar-ikhlas,
maka yang harus kita tumbuhkan dalam diri kita masing-masing adalah rasa
“rakus” terhadap ilmu-pengetahuan. Karena niat saja tidak cukup. Sebaliknya,
“semangat” menuntut ilmu yang tinggi jika didasari niat yang ikhlas akan
“bubar”. Tidak akan bertahan lama. Saudaraku, coba kita perhatikan nasihat yang
sangat tulus dari Imam al-ZarnËjÊ di bawah ini:
((ثم لا بد له من النية في زمان تعلم العلم، إذ النية هي الأصل فـي
جميع الأحوال، لقوله عليه الصلاة والسلام: (إنما الأعمال بالنيات) (حديث صحيح).
وعن رسول الله صلى الله عليه وسلم: (كَمْ مِنْ عَمَلٍ يُتَصَوَّرُ بِصُوْرَةِ
أَعْمَالِ الدُّنْيَا وَيَصِيْرُ بِحُسْنِ النِّيَّةِ مِنْ أَعْمَالِ
الآخِـــرَةِ، وَكَمْ مِنْ عَمَلٍ يُتَصَوَّرُ بِصُوْرَةِ أَعْمَالِ الآخِـــرَةِ
ثُمَّ يَصِيْرُ مِنْ أَعْمَالِ الدُّنْيَا بِسُوْءِ النِّيَّةِ). و ينبغي أن
ينوي المتعلم بطلب العلم رضا الله تعالى والدار الآخرة، وإزالة الجهل عن
نفسه وعن سائـــر الجهال، وإحياء الدين وإبقاء الإسلام، فإن بقاء الإسلام بالعلم،
ولا يصح الزهد والتقوى مع الجهل. وأنشـــد الشيخ الإمام الأجل برهان الدين
صاحب الهداية شعرا لبعضهم:
فـَــــسَـــــادٌ
كَـــــبِـــــيْـــــرٌ عَـــــالِـــــمٌ مُـــــتَـــــهَـــــتِّـــــكٌ *
وَأَكْـــــبَـــــرُ مِـــــنْـــــهُ جَـــــاهِـــــلٌ
مُـــــتَـــــنَـــــسِّـــــكُ
هُـــمَا
فِـــتْنَــــةٌ فِـى الْـــعَالَـــَمِيْــــنَ عَــظِيْمـــَةٌ * لِـــــمَـــــنْ
بِـــــهِـــــمَــا فِـي دِيْـــنِـــــهِ يَـــــتَمَـــــسَّكُ
وينوى
به الشكر على نعمة العقل وصحة البدن، ولا ينوى به إقبال الناس ولا استجلاب حطام
الدنيا والكرامة عند السلطان وغيره.))
Namun demikian, kita diboleh untuk
mencari “kehormatan” (popularitas) jika untuk menegakkan al-amr bi al-maÑËr
wa al-nahy ‘an al-munkar, menegakkan kebenaran, membela kemuliaan agama,
bukan untuk kehormatan dirinya atau memuaskan hawa nafsunya. Itu dibenarkan,
sebatas kebutuhan untuk melakukan hal-hal tersebut.[10] Maka, bangunlah budaya dan tradisi
ilmu dan keilmuan di pondok ini, karena Allah dan penuh integratis diri sebagai
Muslim. Hilangkanlah “kebodohan” dalam diri dan orang lain, tegakkan Islam, dan
majukan peradaban Islam yang bermartabat. Memulainya? Pakai saja rumus Aa Gym,
3M: (Mulai dari diri sendiri, Mulai dari yang paling kecil, dan Mulai sekarang
juga). That’s all!
IV
Al-KhÉtimah
Sebagai penutup, aku ingin sampaikan
wahai para santri, ÏÉlib ‘ilm, bahwa sudah seharusnya anta/anti menjadikan
“buku” sebagai the best friend-nya, bukan yang lain. Khayru jalÊsin
fÊ al-zamÉni kitÉbun (“Sebaik-baik teman adalah sebuah buku), kata al-MaÍfËÐÉt
yang sudah kalian hafal sejak kelas satu di pondok ini. Karena menjadikan
“buku” sebagai “teman” artinya kalian cinta buku. Supaya buku itu menjadi teman
yang baik, maka bawalah ke mana-mana. Karena pasti anta akan
membutuhkannya. Karena harus kita catat baik-baik bahwa “ilmu” itu lebih utama
daripada “harta”. Untuk membuktikan ini, mari kita lihat dialog antara Imam
‘AlÊ karramallÉhu wajhah dengan 10 orang dari kelompok (aliran,
sekte) al-KhawÉrij di bawah ini.
Orang pertama dari mereka bertanya
kepada Imam ‘AlÊ, “Wahai ‘AlÊ, menurutmu apa yang lebih utama, ilmu atau
harta?” Imam ‘AlÊ menjawab, “Ilmu lebih utama dari harta.” Si
penanya berkata, “Apa buktinya?” Kata Imam ‘AlÊ, “Ilmu adalah warisan
para nabi, sementara harta adalah warisan QÉrËn, SyadÉd, dan FirÑaun.” Si
penanya pun pergi.
Orang kedua mengajukan pertanyaan
yang sama, dan Imam ‘AlÊ menjawab, “Ilmu lebih utama dari harta.” “Apa
buktinya?, kata si penanya. Imam ‘AlÊ menjawab, “Ilmu menjagamu,
sementara engkau menjaga hartamu.” Akhirnya yang bertanya menyingkir.
Orang ketiga mengajukan hal yang
sama, dan Imam ‘AlÊ memberikan jawab, “Ilmu lebih utama dari harta.” “Apa
buktinya?” Kata Imam ‘AlÊ, “Pemilik harta banyak musuhnya, sementara
pemilik ilmu banyak sahabatnya.” Ia pun akhirnya pergi.
Orang keempat maju dan bertanya hal
serupa. Imam ‘AlÊ menjawab, “Ilmu lebih utama dari harta.” “Apa alasanmu?, tanyanya.
Imam ‘AlÊ menjawab, “Jika engkau mengeluarkan uangmu dia akan berkurang,
tapi ilmu yang engkau sebarkan akan bertambah.” Ia pun pergi meninggalkan
Imam ‘AlÊ.
Orang kelima mengajukan hal yang
sama, dan Imam ‘AlÊ menjawab, “Ilmu lebih utama dari harta.” “Mengapa
demikian?, katanya. Kata Imam ‘AlÊ, “Pemilik harti dipanggil dengan
panggilan “kikir” dan “celaan”, sedangkan pemilik ilmu dipanggil dengan sapaan
keagungan dan kemuliaan.” Ia pun akhirnya beranjak.
Orang keenam pun begitu, dan dijawab
oleh Imam ‘AlÊ, “Ilmu lebih utama dari harta.” Kok bisa demikian?,
tanyanya. Kata Imam ‘AlÊ, “Harta harus dijaga dari pencuri, sementara ilmu
tidak perlu dijaga-jaga.” Ia pun pergi membawa jawaban itu.
Orang ketujuh datang dan bertanya
hal senada, Imam ‘AlÊ menjawab, “Ilmu lebih utama dari harta.” Mengapa?,
tanyanya. Kata Imam ‘AlÊ, “Pemilik harta akan “dihisab” (diperhitungkan
hartanya) di hari Kiamat, sedangkan pemilik ilmu akan diizinkan memberi
syafaat.” Ia pun pergi meninggalkan Imam ‘AlÊ.
Orang kedelapan bertanya hal yang
sama, dan Imam ‘AlÊ menjawab, “Ilmu lebih utama dari harta.” “Apa dasar
jawabanmu?, tanyanya. Kata Imam ‘AlÊ, “Harta akan habis selaras dengan
perjalanan masa, sedangkan ilmu tidakan habis dan tidak akan binasa.” Ia
pun pergi.
Orang kesembilan bertanya pula, dan
Imam ‘AlÊ menjawabnya, “Ilmu lebih utama dari harta.” Alasannya, kata
Imam ‘AlÊ, “Harta membuat hati keras, sementara ilmu menerangi qalbu.”
Ia pun akhirnya beranjak dan puas dengan jawaban Imam ‘AlÊ. Kemudian, orang
kesepuluh mengajukan pertanyaan serupa dan dijawab oleh Imam ‘AlÊ, “Ilmu
lebih utama dari harta.” “Alasannya?, tanyanya pula. “Pemilik harta
dipanggil “tuan” karena hartanya, namun pemilik ilmu mendapat gelar “hamba”
karena ilmunya.” Lalu Imam ‘AlÊ berkata, “Sekiranya mereka masih
bertanya, maka aku akan memberikan jawaban yang berbeda, selama aku hidup.”
Akhirnya, kesepuluh orang KhawÉrij tadi datang menemui Imam ‘AlÊ dan “memeluk
Islam”.[11]
Para santri/wati, mulai sekarang
berniatlah untuk menjadi seorang ‘Élim. Minimal sesuai dengan
kecenderunganmu dan cita-citamu. Jangan biarkan kesempatan pergi begitu saja. Jangan
jagi santri pengamal “akhiran” 3R atau 3F. Sungguh, sangat merugi! Isilah waktu
luangku dengan kegiatan ilmiah: belajar, diskusi, menulis, dan berdebat, agar
gizi nalar dan nutrisi akalmu semakin banyak. Selamat memulai dan pasti
sukses!
—WallÉhu min
warÉ’ al-qaÎd wa minhu al-‘awn wa bihi al-tawfÊq—
Taman Bahagia,
2/5/2012
Salam Iqra’ wa al-Qalam,
AbË MuÍammad ‘AbdullÉh ‘AzzÉm
Daftar Pustaka
‘Abd al-BÉqÊ, MuÍammad Fu’Éd, al-MuÑjam
al-Mufahras li AlfÉÐ al-Qur’Én al-KarÊm, (Cairo: DÉr al-×adÊts, 1428 H/2007
M).
Açýkgenç, Prof. Dr. Alparslan, “Lahirnya
Tradisi Keilmuan dalam Islam”, dalam Islamia, (Vol. III, No. 4, 2008).
al-QaraÌÉwÊ,
Syekh
Dr. YËsuf, al-‘Aql wa al-‘Ilm fÊ al-Qur’Én al-KarÊm, (Cairo: Maktabah
Wahbah, 1416 H/1996 M).
Ibn AbÊ Bakr (UÎfËrÊ), Syekh
MuÍammad (dikenal dengan ‘), SyarÍ al-MawÉÑiÐ al-‘UÎfËriyyah,
(Jakarta: DÉr al-Kutub al-IslÉmiyyah, cet. I, 1429 H/2008 M).
Ibn IsmÉÑÊl, Syekh IbrÉhÊm, SyarÍ
TaÑlÊm al-MutaÑallim, (Jakarta: DÉr al-Kutub al-IslÉmiyyah, cet. I, 1428
H/2007 M).
Mushtafa, M.,
“Pengantar Penyunting”, dalam Khaled M. Abou El Fadl, Musyawarah Buku:
Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab, Terj. Abdullah Ali,
(Jakarta: Serambi, cet. I, 1423 H/2002 M).
Zarkasyi, Dr. Hamid Fahmy, “Peran Sentral
Universitas Islam”, dalam Islamia, (Volume III, No. 3, 2008).
[1] Disampaikan pada acara Bedah Buku
Lezatnya Menuntut Ilmu: Begini Seharusnya Anda Menuntut Ilmu, (Depok: Indie
Publisihing, cet. I, 1433 H/2012 M) di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah,
pada hari Rabu tanggal 2 Mei 2012 M.
[2] M. Mushtafa, “Pengantar
Penyunting”, dalam Khaled M. Abou El Fadl, Musyawarah Buku: Menyusuri
Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab, Terj. Abdullah Ali, (Jakarta: Serambi,
cet. I, 1423 H/2002 M), hlm. 5. Adagium al-‘ilm nËr sejatinya milik Imam
al-SyÉfiÑÊ (150-204 H).
[3] Lihat, Syekh MuÍammad Fu’Éd ‘Abd
al-BÉqÊ, al-MuÑjam al-Mufahras li AlfÉÐ al-Qur’Én al-KarÊm, (Cairo: DÉr al-×adÊts,
1428 H/2007 M), hlm. 576-591.
[4] Lihat, Syekh Dr. YËsuf
al-QaraÌÉwÊ, al-‘Aql wa al-‘Ilm fÊ al-Qur’Én al-KarÊm, (Cairo: Maktabah
Wahbah, 1416 H/1996 M), hlm. 71.
[5] Lihat, Qs. al-DzÉriyÉt (51): 56.
[6] Lihat, Prof. Dr. Alparslan
Açýkgenç, “Lahirnya Tradisi Keilmuan dalam Islam”, dalam Islamia, (Vol.
III, No. 4, 2008), hlm. 37.
[7] Misalnya, ‘Abd AllÉh ibn ‘Umar (w.
697 M), ×asan ibn MuÍammad ibn al-×anafiyyah (w. 700 M), MaÑbad al-JuhanÊ (w.
703 M), SaÑÊd ibn al-Musayyab (w. 709 M), ‘Urwah ibn al-Zubayr ibn al-‘AwwÉm
(w. 712 M), IbrÉhÊm al-NakhaÑÊ (w. 717 M), Aban ibn ‘UtsmÉn (w. 718 M), MujÉhid
ibn Jabr (w. 718 M), ‘Umar ibn ‘Abd al-‘AzÊz (w. 720 M), Wahb ibn Munabbih (w. 110,
114/719, 723 M), ×asan BaÎrÊ (w. 728 M), ‘AÏÉ’ ibn AbÊ RabÉÍ (w. 732 M), ×ammÉd
ibn AbÊ SulaymÉn (w. 737 M), GhaylÉn al-DimasyqÊ (w. 740 M), al-ZuhrÊ (w. 742
M), Jahm ibn ØafwÉn (w. 746 M), WÉÎil ibn ‘AÏÉ’ (w. 748 M), ‘Amr ibn ‘Ubayd (w.
760-1 M), Ibn IsÍÉq (w. 768 M), JaÑfar al-ØÉdiq (w. 765 M), AbË ×anÊfah (w. 767
M), Zurarah ibn AÑyÉn (w. 767 M), al-AwzaÑÊ (w. 774 M), SulaymÉn ibn JarÊr (w.
793 M), HisyÉm ibn al-×akam (w. 795-6 M), MÉlik ibn Anas (w. 796 M), AbË YËsuf
(w. 799 M), SufyÉn al-TsawrÊ (w. 778 M), al-SyÉfiÑÊ (w. 819 M), dan banyak
lagi.
[8] Prof. Dr. Alparslan Açýkgenç,
“Lahirnya Tradisi Keilmuan dalam Islam”, hlm. 39.
[9] Lihat, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi,
“Peran Sentral Universitas Islam”, dalam Islamia, (Volume III, No. 3,
2008), hlm. 7.
[10] Imam Syekh IbrÉhÊm ibn IsmÉÑÊl,
SyarÍ TaÑlÊm al-MutaÑallim, (Jakarta: DÉr al-Kutub al-IslÉmiyyah, cet. I,
1428 H/2007 M), hlm. 21-23, 24.
[11] Lihat, Syekh MuÍammad ibn AbÊ Bakr
(dikenal dengan ‘UÎfËrÊ), SyarÍ al-MawÉÑiÐ al-‘UÎfËriyyah,
(Jakarta: DÉr al-Kutub al-IslÉmiyyah, cet. I, 1429 H/2008 M), hlm. 10-11.
0 Comments:
Posting Komentar
<<Kembali ke posting terbaru