Perang Pemikiran
PERANG PEMIKIRAN:
Membaca Gerakan Invasi Pemikiran
*) Qosim Nursheha Dzulhadi
“Sungguh, Perang Kebudayaan Merasuk di Waktu Senggang Kita”
―Syekh Muḥammad
al-Ghazālī―
Menurut Muḥammad ‘Imārah, tidak sedikit yang menolak adanya “perang
pemikiran” (al-ghazw al-fikrī). Pandangan ini kemudian melahirkan
pandangan lain, yaitu: bahwa ide perang pemikiran digiring kepada satu
dari dua pernyataan: ilusi atau relita.[1]
Dengan begitu, benar-tidaknya keberadaan perang pemikiran ini masih
menjadi perdebatan dan diskursus hangat sampai saat ini. Tentu saja ini menjadi
penting untuk didiskusikan mengingat kondisi umat Islam yang banyak mendapat
tantangan pemikiran dari dunia luar, Barat[2]
secara khusus.
Tulisan ini
mencoba untuk mengkaji sejauh mana Perang Pemikiran itu ada dan beraksi
di tengah-tengah kondisi umat Islam, yang tengah terpuruk dalam segala lini dan
dimensi kehidupan, seperti saat ini. Hemat penulis, kajian ini menarik untuk
dikaji mengingat banyaknya invasi pemikiran asing (Barat) yang memanfaatkan
kelemahan umat Islam dewasa ini.
Perang Pemikiran: Makhluk Apa?
Dalam bahasa Arab, perang pemikiran dikenal dengan istilah الغزو الفكري,
yaitu berbagai upaya yang dilakukan oleh satu bangsa untuk menguasai bangsa
lain. Perang Pemikiran ini lebih berbahaya ketimbang perang
prajurit/tentara (al-ghazw al-‘askarī), karena Perang Pemikiran
berjalan secara “rahasia”. Sehingga, bangsa yang diperangi tidak merasa bahkan
tidak siap untuk membendungnya. Pada gilirannya, bangsa yang diperangi
menderita sakit pemikiran dan mencintai dan membenci apa yang disukai dan
dibenci oleh musuhnya. Perang Pemikiran ini memiliki banyak otot untuk
memangsa bangsa-bangsa lain dan menghilangkan identitasnya.[3]
Secara umum, Perang Pemikiran ini biasa terjadi terhadap bangsa-bangsa
berkembang (al-umam al-nāmiyah) dan secara khusus terhadap umat Islam.[4]
Menurut Khādim Ḥusain,
kaum Kristen sangat terbiasa melakukan Perang Pemikiran ini, disamping
musuh-musuh Allah lainnya. Tujuannya untuk “menghilangkan” karakteristik
kehidupan Islami, mengalihkan umat Islam agar tidak berpegang kepada akidah dan
etika Islam. Jadi, Perang Pemikiran ini telah merasuk ke dalam berbagai
fondasi Islam, yaitu: akidah, ekonomi, sistem pemerintahan, sistem pendidikan
bahkan penerangan. Jika dikaitkan dengan Islam, maka tujuan Perang Pemikiran
itu adalah untuk:
Menghilangkan karakteristik kehidupan Islami dari tengah-tengah
kehidupan kaum Muslimin; mengukuhkan etika Kristen untuk menggantikan
etika Islam. Kata Allah, “Kaum Yahudi dan Kristen tidak akan pernah ridha
sampai kalian mengikuti millah mereka.” (Qs. al-Baqarah (2): 120); dan jika
kaum Muslimin tidak menerima “kristenisasi”, maka tidak ada jalan lain kecuali
mengeluarkan mereka dari Islam dan membiarkan mereka dalam keadaan tanpa agama.[5]
Penjelasan di atas
mengingatkan kita kepada pandangan sejarawan, sosiolog dan antropolog Muslim
klasik kenamaan, Ibn Khaldūn (w. 808 H). Dalam al-Muqaddimah-nya yang
terkenal itu, Ibn Khaldūn menyatakan[6]:
...أَنَّ
المــَغْلُوْبَ مُوْلَعٌ أَبَدًا بِالاِقْتِدَاءِ بِالْغَالِبِ فِى شِعَارِهِ
وَزِيِّهِ وَنِحْلَتِهِ وَسَائِرِ أَحْوَالِهِ وَعَوَائِدِهِ
“…bangsa
pecundang selalunya mengikuti bangsa pemenang, baik dalam: syiarnya (motto
hidup), pakaiannya, keyakinannya, tindak-tanduknya bahkan kebiasaannya.”
Sikap meniru itu,
kata Ibn Khaldūn, disebut al-iqtidā’. Sikap itu tampak dari perilaku
sang pecundang yang mengimitasi sang pemenang dalam berpakaian (malbas),
berkendaraan (markab) dan senjatanya, bahkan seluruh pernak-pernik
kehidupannya. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam sikap anak terhadap bapak.
Mereka tampak serupa, karena sang anak meyakini bahwa kesempurnaan kepribadian
ada dalam diri bapaknya.[7]
Melalui Perang
Pemikiran ini, musuh merasuk ke tengah-tengah kehidupan berbagai bangsa,
khususnya umat Islam, untuk merusak sejarahnya, masa lalunya dan perikehidupan
orang-orang saleh mereka. Hal itu dilakukan agar hal itu semua digantikan
dengan sejarah bangsa pemenang, perikehidupan tokoh-tokoh dan para pemimpinnya.
Sehingga, sejarah yang dikenal oleh bangsa-bangsa pecundang itu adalah sejarah
bangsa pemenang. Lebih parah lagi, bangsa pecundang itu tidak lagi mengetahui
mana yang “haq” dan mana yang “batil”, kecuali menurut tata-nilai bangsa
pemenang.[8]
Sampai hari ini,
fenomena yang ditegaskan oleh Ibn Khaldūn di atas begitu kentara. Yang paling
dekat adalah di Indonesia. Dimana produk hukum yang ada masih kental nuansa
kolonialis-Belanda. Bahkan untuk memasukkan nilai-nilai Islam begitu susah
dilakukan. Bukan saja karena terbiasa dengan apa yang ada – produk Belanda –
juga sampai hari ini banyak upaya untuk menjegal dan merusak nilai-nilai Islami
yang coba diterapkan ke dalam bangsa Indonesia. Di sini lah problemnya: problem
memasukkan syariat Islam menjadi satu konstitusi.[9]
Fase Perang Pemikiran
Sejatinya, Perang Pemikiran memiliki fase yang begitu
panjang. Ia dimulai sejak risālah Nabi Muḥammad turun. Di sana sudah
terjadi perhelatan antara Tawḥīd dan syirik. Nilai-nilai Islami
kemudian coba dihapuskan wujudnya, meskipun Allah tidak pernah memberikan
kesempatan kepada siapapun yang ingin memadamkan cahaya agama-Nya.[10]
Namun, fase yang dapat dikatakan sangat massif, Perang Pemikiran dapat
dilihat sebelum runtuhnya Khilāfah Islāmiyyah. Ini ditandai dengan adanya Perang
Salib (al-ḥurūb al-ṣalībiyyah), kemudian diikuti oleh gerakan
orientalisme (al-istisyrāq), injilisasi atau kristenisasi (al-tabsyīr),
dan memotong nadi negara khilāfah.
Fase kedua
dari Perang Pemikiran ini dapat dilihat dari jatuhnya Khilāfah
Islāmiyyah. Pasca-runtuhnya Khilāfah Islāmiyyah kemudian lahir berbagai wacana
yang menyerang Islam, seperti: pemisahan agama dari negara, penyebaran
nasionalisme (al-qawmiyyah) untuk melawan Khilāfah Islāmiyyah dan
meruntuhkan Khilāfah. Fase berikutnya, setelah runtuhnya Khilāfah terjadi
perubahan besar-besaran, misalnya: perubahan politik dan perubahan sosial.
Perubahan sosial ini ditandai dengan lahirnya westernisasi alias pembaratan (al-taghrīb),
yang ditandai dengan: sekularisme (al-‘almāniyyah)[11],
nasionalisme (al-qawmiyyah), dan liberalis perempuan (taḥrīr
al-mar’ah).[12]
Seolah-olah Islam mengekang kehidupan para wanita. Padahal, sejak turunnya risālah
Islam, posisi wanita dimuliakan. Islam membawa warna berbeda bagi
perempuan, jauh dibanding masah Jahiliyyah. Bahkan, penghormatan Islam terhadap
kaum perempuan jauh di atas penghormatan Barat.[13]
Sekadar Contoh
Fase-fase Perang Pemikiran di atas bukannya makin surut,
malah semakin dahsyat gelombangnya. Bak air bah, berbagai tangan Perang
Pemikiran begitu sulit dibendung dan dihadang. Berbagai pemikiran Barat,
seperti: sekularisme, hermeneutika, pluralisme agama[14] dan lain sebagainya menjadi bukti nyata betapa umat Islam tengah
diinvasi secara pemikiran.[15]
Bagi kalangan liberal-sekular, pluralisme adalah satu kemestian,
jika suatu negara ingin maju dan berkembang. Karena memang tidak boleh ada
campur-tangan agama dalam hal-hal duniawi, khususnya dalam ranah politik.[16] Padahal sekularisme adalah bentuk Perang Pemikiran yang
sudah lama dihembuskan untuk meruntuhkan sendi-sendi kehidupan dan nilai-nilai
Islami. Baik sekularisme maupun sekularisasi adalah murni produk Barat dan
tidak kompatibel – jika diamalkan – dengan ajaran Islam.[17] Ini lah yang dilakukan oleh Kamal Attaurk: pengusung sekularisme
dan penghancur khilāfah islāmiyyah.[18] Di era kontemporer ini, usulan sekularisme diusung kembali salah
satunya oleh akademisi asal Sudan, Abdullahi Ahmed An-Na’im.[19] Padahal Islam tidak dapat disatukan dengan sekularisme. Karena
Islam tidak terpisah dari ranah kehidupan, termasuk politik. Bahkan, pemikir
Barat sekelas David de Santillana, orientalis Italia, sendiri mengaku bahwa
Islam adalah agama sekaligus negara (dīn wa dawlah).[20]
Bentuk lain dari Perang Pemikiran juga adalah: diterimanya “hermeneutika”
sebagai metode penafsiran kitab suci, khususnya Al-Qur’an di Perguruan Tinggi
Islam.[21] Padahal hermeneutika, sebagai metode penafsiran Bible, dipandang
memiliki banyak masalah serius. Konon lagi jika diterapkan untuk menafsirkan
Al-Qur’an. Padahal Al-Qur’an tidak mungkin ditafsirkan dengan metode
hermeneutika yang murni Barat.
Sebagai contoh, dalam hermeneutika ada satu konsep yang disebut
dengan “kematian” sang pengarang.[22] Karena dimensi zaman dan tempat yang memisahkan antara teks dan
pembaca menjadi “penghalang” di hadapan upaya untuk memahami teks. Sehingga
muncul satu pertanyaan: Dari manakah muncul penafsiran? Dari pembicara
(pengarang)? Atau dari pembaca? Atau dari teks?[23] Pertanyaan ini dapat dijawab bahwa yang melahirkan atau
memproduksi “teks” adalah pembaca. Sementara menurut hermeneutika, “teks”
adalah segala sesuatu yang ditetapkan oleh tulisan. Jadi, segala yang tertulis
adalah teks. Sementara menurut para ulama’ Uṣūl al-Fiqh, yang dimaksu
dengan teks adalah ayat-ayat yang muḥkam: ayat yang hanya menerima satu
makna, karena ia merupakan lawan dari mutasyābih.[24]
Dari sana menjadi jelas bahwa dalam hermeneutika, pembaca bisa bisa
menempati posisi pengarang atau pembicara. Pembicara ini lah yang menjadi
“produsen” teks. Teks ini kemudian menjadi banyak, sebanyak pembacanya.[25] Karena, seperti kata Paul Ricoeur, sangat memungkinkan sang
pembaca “mengeluarkan” penafsiran dari teks yang tidak menjadi tujuan sang
pengarang. Sehingga tujuan akhir hermeneutika itu adalah: memahami sang
pengarang secara lebih baik daripada pengarang memahami dirinya sendiri.[26]
Bagaimana jadinya jika konsep hermeneutika di atas diterapkan untuk
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Apakah benar seorang mufassir dapat
memahami Allah secara lebih baik daripada Allah memahami diri-Nya sendiri?
Atau, apakah benar seorang mufassir dapat memamahi Al-Qur’an dengan
“lebih baik” dan lebih mengerti maksudnya dari Allah? Tentu saja ini tidak
dapat diterima oleh akal sehat sedikitpun. Oleh karenanya, metode hermeneutika
untuk menafsirkan Al-Qur’an menjadi sangat layak untuk ditolak.
Untuk menafsirkan Al-Qur’an, para ulama’ tidak membutuhkan
hermeneutika. Karena di dalam tradisi keilmuan Islam dikenal metode Tafsīr
dan Ta’wīl.[27] Oleh karena itu, para ulama’ Islam tidak pernah mengalami problem
ketika menafsirkan ayat-ayat Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an. Kalau metode
dan cara-kerja Tafsīr dan Ta’wīl tidak bermasalah dalam
menafsirkan Al-Qur’an, mengapa harus menggantinya dengan hermenutika yang belum
teruji dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Apa yang dijajakan oleh Barat kepada dunia Islam melalui produk
pemikiran mereka, sejatinya mereka tengah melancarkan Perang Pemikiran,
yang terkadang tidak disadari kehadirannya. Sejatinya, mereka ingin menipu umat
Islam dan menjadikan mereka seperti istri Aladin. Mereka memberikan lampu yang
palsu yang dipoles seolah lebih indah, lebih mahal dan lebih berharga. Istri
Aladin pun takjub dan akhirnya tertipu. Lalu, ia pun menyerahkan lampu ajaibnya
kepada sang penjahat. Begitu sejatinya ending dari Perang Pemikiran.
Diam-diam merayap, tapi pasti. Untuk itu, kaum Muslimin tidak boleh
lalai dan tertipu. Karena Perang Pemikiran dapat masuk kapan saja,
terutama ketika kaum Muslimin merasa nyaman dan aman dengan kondisinya saat
ini. Wallāhu al-hādī ilā al-ṣawāb!
*) Makalah disampaikan dalam Kajian Rutin Guru-guru Siti Hajar,
Senin 29 Dzulqa’dah 1433 H/15 Oktober 2012 M.
[1] Muḥammad
‘Imārah, al-Ghazw al-Fikrī:Wahm am Ḥaqīqah? (Universitas Al-Azhar-Kairo:
al-Amānah al-‘Āmmah li al-Lajnah al-‘Ulyā li al-Da‘wah al-Islāmiyyah, ttp),
hlm. 3.
[2] Penting
dicatat bahwa “Barat” bukan letak geografis. Barat adalah alam pikiran
pandangan hidup. Seperti juga Barat, Kristen, Islam, Hindu, bahkan Jawa adalah
sama-sama pandangan hidup. Lebih detail, lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, “Barat”
dalam Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat: Refleksi tentang Islam, Westernisasi
& Liberalisasi (Jakarta: INSISTS, 2012), hlm. 32.
[3] Lihat,
http://ar.wikipedia.org/wiki/الغزو-الفكرى (diakses Sabtu, 13 Oktober 2012).
[4] ‘Alī ‘Abd al-Ḥalīm
Maḥmūd, al-Ghazw al-Fikrī wa al-Firaq al-Mu‘ādiyah li al-Islām (al-Riyāḍ:
Universitas Islam Imam Muḥammad ibn Sa‘ūd, 1401 H/1981 M), hlm. 9.
[5] Khādim Ḥusain
Ilāhī Bakhsy, “al-Ghazw al-Fikrī Ta‘rīfuhu wa Ahdāfuhu”, dalam http://www.paldf.net/forum/showthread.php?t=181051
(diakses pada Ahad, 14 Oktober 2012).
[6] Lihat, ‘Abd
al-Raḥmān ibn Khaldūn, Muqaddimah Ibn Khaldūn (Beirut-Lebanon: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1427 H/2006 M), hlm. 116.
[7] Ibn Khaldūn,
Muqadimah Ibn Khaldūn, hlm. 116.
[8] ‘Alī ‘Abd al-Ḥalīm
Maḥmūd, al-Ghazw al-Fikrī wa al-Firaq al-Mu‘ādiyah li al-Islām, hlm. 9.
[9] Penjelasan
lebih lanjut, Otje Salman Soemadiningrat, Menyikapi dan Memaknai Syariat
Islam Secara Global dan Nasional: Dinamika Peradaban, Gagasan dan Sketsa
Empiris (Bandung: Refika Aditama, 2004), hlm. 67-75.
[10] Cermati Firman
Allah dalam Qs. al-Tawbah (9): 32-33. Lihat juga, Qs al-Ṣaff (61): 8-9.
[11] Termasuk
gagasan sekularisme dalam pendidikan diajukan oleh pemikir liberal Arab-Mesir,
Zakī Najīb Maḥmūd dan kawan-kawan. Lihat bantahahannya dalam ‘Alī Laban, al-Ghazw
al-Fikrī fī al-Manāhij al-Dirāsiyyah (awwalan) fī al-‘Aqīdah: Fī al-Radd ‘alā
Zakī Najīb Maḥmūd wa Ghairihi (Cairo: Dār al-Wafā’, ttp).
[12] Lebih luas,
lihat ‘Alī Muḥammad Garīsyah dan Muḥammad Syarīf Zabīq, Asālīb al-Ghazw
al-Fikrī li al-‘Ālam al-Islāmī (al-Madīnah al-Munawwarah: Dār al-I‘tiṣām, 1399
H/1979 M), hlm. 16-91. Pemikir yang telah terbaratkan (westernized) dari
Mesir yang mengusung ide “Liberasi Kaum Perempuan” adalah Qāsim Amīn melalui
karyanya Taḥrīr al-Mar’ah. Buku ini diterbitkan tahun 1899 atas dukungan
Syekh Muḥammad ‘Abduh, Sa’d Zaghloul dan Aḥmad Luṭfī al-Sayyid. Buku itu
kemudian disusul oleh karyanya yang lain, al-Mar’ah al-Jadīdah, tahun
1900. Inti kedua buku itu adalah: mengenakan jilbab bukan bagian dari ajaran
Islam dan seruan untuk membuka jilbab tidak berarti keluar dari agama.
[13] Lihat, Waḥīd
al-Dīn Khān, al-Mar’ah baina Syarī‘at al-Islām wa al-Ḥaḍārah al-Gharbiyyah,
Terj. Sayyid Ra’īs Aḥmad al-Nadwī (Cairo: Dār al-Ṣaḥwah, 1414 H/1994 M). lihat
juga, Muḥammad ibn Aḥmad Ismā‘īl al-Muqaddam, al-Mar’ah baina Takrīm
al-Islām wa Ihānat al-Jāhiliyyah (Cairo: Dār Ibn al-Jawzī, 1426 H/2005 M).
[14] Ulasan
mendalam dan kritis terhadap tren pluralisme agama, lihat Anis Malik Thoha,
Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis (Jakarta: Gema Insani Press, 1428
H/2007 M).
[15] Mengenai
berbagai bentuk invasi pemikiran terhadap pemikiran Islam, lihat Adian Husaini,
Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal
(Jakarta: Gema Insani Press, 1426 H/2005 M), hlm. 255-368.
[16] Lihat, M.
Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan, Kebebasan dan Kebangsaan
(Jakarta: 2010). Lihat juga, Luthfi Assyaukani, Islam Benar versus Islam
Salah (Depok: KataKita, 2005).
[17] Kritik tajam
dan mendasar terhadap sekularisme, dapat disimak dalam karya Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur-Malaysia:
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1993). Di
Indonesia, tokoh yang dianggap memiliki pengaruh besar dalam menyebarkan
sekularisasi dan sekularisme adalah Nurcholish Madjid dalam beberapa
makalahnya. Lihat, Nurcholish Madjid, “Masalah Pembaruan Pemikiran dalam
Islam”, dalam Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung:
Mizan, Edisi Baru, 1429 H/2008 M), hlm. 240-248; “Sekali Lagi tentang
Sekularisasi”, dalam Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan,
hlm. 249-266; dan “Sekularisasi Ditinjau Kembali”, dalam Nurcholish Madjid, Islam,
Kemodernan dan Keindonesiaan, hlm. 298-302.
Namun telah terbukti bahwa ide sekularisasi dan sekularismenya
merupakan “jiplakan” dari Harvey Cox dalam bukunya The Secular City. Lihat,
Adnin Armas, “Menelusuri Gagasan Sekularisasi Nurcholish Madjid”, Tsaqafah (Vol.
3, No. 2, Jumadal Ula 1428 H), hlm. 399-414. Lihat juga, Faisal Ismail,
Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid Seputar Isu Sekularisasi dalam
Islam (Jakarta Barat: Lasswell Visitama, 2010).
[18] Lebih luas,
lihat Dhabith Tarki Sabiq, Kamal Attaturk: Pengusung Sekularisme dan
Penghancur Khilāfah Islāmiyyah, Terj. Abdullah Abdurrahman dan Ja’far
Shadiq (Jakarta Selatan: Senayan Publishing, 2008).
[19] Abdullahi
Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariat
Islam, Terj. 1428 H/2007 M).
[20] Lihat, Muḥammad
‘Imārah, al-Islām fī ‘Uyūn Gharbiyyah: Baina Iftirā’ al-Juhalā’ wa Inṣāf
al-‘Ulamā’ (Cairo: Dār al-Syurūq, 2006), hlm. 145-146. Lihat juga, Yūsuf
al-Qaraḍāwī, Meluruskan Dikotomi Agama & Politik: Bantahan Tuntas
terhadap Sekularisme dan Liberalisme, Terj. Khoirul Amru Harahap (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2008).
[21] Lihat, Farid
Esack, “Hermeneutika Al-Qur’an: Beberapa Problem dan Prospeknya”, dalam Marzuki
Wahid, Studi Al-Qur’an Kontemporer: Perspektif Islam dan Barat (Bandung:
Pustaka Setia, 1426 H/2005 M), hlm. 129-156; Hendar Riyadi, Tafsir
Emanspiatoris: Arah Baru Studi Tafsir Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 1426
H/2005 M), hlm. 115-190; Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah
Kajian Hermeneutik (Jakarta: Parmadina, 136-168; dan Sahiron Syamsuddin,
dkk., Hermeneutika Mazhab Yogya (Sleman-Yogyakarta: Penerbit Islamika,
2003).
[22] Muḥammad ‘Imārah,
Qirā’ah al-Naṣṣ al-Dīnī baina al-Ta’wīl al-Gharbī wa al-Ta’wīl al-Islāmī
(Cairo: Maktabah al-Syurūq al-Dawliyyah, 2006 M), hlm. 13.
[23] Muḥammad
‘Imārah, Qirā’ah al-Naṣṣ al-Dīnī, hlm. 14-15.
[24] Lihat,
al-Tahānawī, Kasysyāf Iṣṭilāḥāt al-Funūn wa al-‘Ulūm, di-Arab-kan dari
Persia oleh: ‘Abd Allāh al-Khālidī, taḥqīq: ‘Alī Daḥrūj, Jilid 2 (Beirut-Lebanon:
Maktabah Lubān Nāsyirūn, 1996), hlm. 1437.
[25] Muḥammad
‘Imārah, Qirā’an al-Naṣṣ al-Dīnī, hlm. 15.
[26] Paul Ricoeur, Min
al-Naṣṣ ilā al-Fi‘l: Abḥāts al-Ta’wīl (Du texte à l’action: Essais
d’herméneutique), Terj. Muḥammad Barādah dan Ḥassān Borqiyah (Cairo: Ein
for Human and Social Studies, 2001), hlm. 107, 110-111.
[27] Para ulama’
kita telah banyak menulis buku-buku penting mengenai Tafsīr dan Ta’wīl.
Diantara buku yang paling penting tentang ini adalah al-Burhān fī ‘Ulūm
al-Qur’ān karya Imam Badr al-Dīn Muḥammad ibn ‘Abd Allāh al-Zarkasyī dan al-Itqān
fī ‘Ulūm al-Qur’ān karya Imam Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī. Tentang Ta’wīl
dapat disimak juga karya Syaikh al-Islām Ibn Taimiyyah, al-Iklīl fī
al-Mutasyābih wa al-Ta’wīl. Bahkan sejatinya, konsep Tafsīr dan Ta’wīl
dalam tradisi keilmuan Islam begitu kaya, dibandingkan dengan konsep-konsep
keilmuan asing seperti hermeneutika. Lihat, A. Qadri Azizy,
Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hlm. 50-52.
0 Comments:
Posting Komentar
<<Kembali ke posting terbaru