Jumat, Oktober 12, 2007

Pluralisme Agama: Antara Islam dan Kaum Liberal

Pluralisme Agama: Antara Islam dan Kaum Liberal

(Catatan Untuk Jalaluddin Rakhmat)


Buku Kang Jalal, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan (Serambi, 2006) masih sangat ‘hangat’ untuk dibincangkan. Bukan saja karena semakin banyak pendukung dan pembela “pluralisme”, juga karena – memang – isu ini sangat aktual. Kang Jalal juga bukan orang pertama dalam mengusung ide yang debatable ini. Alwi Shihab, misalnya, lebih dulu menulis buku Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Mizan, 1997).

Dalam sub judul “Menyikapi Agama Lain: Pluralisme dalam Al-Qur’an”, Jalal menyebut orang-orang yang menolak “pluralisme” sebagai kaum “ekslusivis”, sementara pembela dan pendukungnya dinamakan “pluralis”. Terma kedua inilah yang dibela Jalal dalam bukunya itu. Jalal bangga dengan mengutip buku Gamal Al-Banna, adik bungsu Hasan Al-Banna, yang pluralis – menurutnya – itu. Kaum “ekslusivis” adalah kaum yang menguasai “gudang rahmat Allah”, sehingga orang di luar mereka ‘tidak boleh masuk dan menikmatinya’. Sementara kaum “pluralis” sebaliknya. Karena kaum kedua ini menurut Jalal berkeyakinan bahwa semua pemeluk agama mempunyai peluang yang sama untuk memperoleh keselamatan dan masuk surga. Each one is valid within its particular culture. (Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, 2006: 20).

Negasi Terhadap Ayat-ayat Pluralisme

Menurut Jalal, orang-orang “kafir” (non-muslim) menerima amal salehnya, berdasarkan al-Baqarah: 62, al-Ma’idah: 69 dan al-Hajj:17. (ibid: 21). Kemudian, Jalal mengutip pendapat Sayyid Husseyn Fadhlullah dalam tafsirnya, Tafsir min Wahy al-Qur’an, yang menjelaskan:

“Makna ayat ini sangat jelas. Ayat ini menegaskan bahwa keselamatan pada hari akhirat akan dicapai oleh semua kelompok agama ini yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya berkenaan dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat: memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir, dan amal saleh (cetak tebal dari Jalal).” (ibid: 23).

Ayat-ayat di atas menurut Jalal adalah “ayat-ayat pluralisme”. Sejatinya, ayat-ayat Al-Qur’an yang membicarakan konsep “agama-agama” (al-adyan), kita menemukan bahwa Al-Qur’an “menolak” mentah-mentah konsep pluralisme agama itu. Ayat-ayat Al-Qur’an – yang berbicara tentang agama – justeru mengajak kita untuk mengimani seluruh nabi-nabi, tanpa membeda-bedakan mereka. Karena seluruh para nabi turun untuk mengukuhkan “satu risalah Tuhan” yang meluas cakupannya sejalan dengan perputaran zaman dan perubahan kesiapan manusia dan masyarakat. Sehingga, sampailah risalah yang “satu” dan “jalan yang lurus” itu kepada titik kulminasi kesempurnaanya dan puncak nilainya setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW dan turunya Al-Qur’an.

Oleh karena itu, kita menemukan kata “agama-agama” (al-adyan) sama sekali “tidak diakui” dan “tidak dipakai” di dalam Al-Qur’an. Sebaliknya, yang banyak diulang-ulang adalah kata “al-Islam” untuk seluruh risalah para nabi terdahulu. Hal ini menegaskan bahwa agama (al-din) itu “satu” dan jalan (al-shirath) itu “satu”, yakni keimanan kepada Allah, kufur kepada thagut (yang disembah selain Allah), pengukuhan tawhid dan akidah Islam bagi seluruh nabi dan rasul. Ini sangat sederhana, mudah difahami dan benar-benar dan aksiomatik.

Ini sangat kontradiktif dengan apa yang difahami oleh Jalal. Dia mengakui “pluralisme” agama, banyak agama. Untuk menguatkan pendapatnya, Jalal mengutip Qs. Al-Ma’idah: 48. Padahal, ayat ini sama sekali tidak – sedang – membicarakan konsep “pluralisme” agama. Ayat ini hanya membicarakan “syir‘ah dan minhaj”.

Jalal juga mengutip pendapat Sayyid Rasyid Ridha dalam menafsirkan Qs. Al-Nisa’: 123 dengan 62. Tentu kita sepakat bahwa “keselamatan”di akhirat tidak berdasarkan jinsiyyah diniyyah (kelompok keagamaan). Seperti yang dikatakan Ridha – dan dikutip oleh Jalal –, bahwa syarat keselamatan itu ada tiga: keimanan kepada Allah, beriman kepada hari pembalasan dan amal saleh. (Jalal, ibid: 29). Pendapat Ridha ini harus dilihat kembali dengan jeli, karena Jalal tidak mengutip pendapatnya secara komprehensif.

Pertama, Ridha di awal penafsiran terhadap Qs. Al-Baqarah: 62 “sangat mengecam” tingkah laku orang-orang Yahudi. (Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar), Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, 1: 333-334). Ketika menafsirkan Qs. Al-Baqarah: 61, Ridha menyatakan: “Ini bentuk (contoh) lain yang dengannya Allah mengingatkan Bani Isra’il dalam konteks penyeruan (dakwah) mereka untuk memeluk Islam” (Hadza dharb akhar mimma dzakkara Allahu ta‘ala bihi Bani Isra’il fi siyaqi da‘watihim ila al-Islam). (ibid: 329).

Kedua, tiga syarat “keselamatan” bagi agama-agama non-Islam (Yahudi dan Nasrani) juga harus dilihat dengan baik dan komprehensif. Ketika menafsirkan Qs. Al-Baqarah: 41 (wa awfu bi‘ahdi uwfi bi‘ahdikum), Ridha menjelaskan dua bentuk janji. Pertama, janji mereka (Bani Isra’il, Yahudi) kepada Allah yang diketahui lewat kitab (Taurat) yang diturunkan kepada mereka: (1) menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun; (2) beriman kepada para rasul-Nya, ketika dalil-dalil (bukti) yang menguatkannya tampak; (3) tunduk kepada syariat dan hukum-hukum-Nya; (4) akan diutus seorang “Nabi” dari tengah-tengah saudara mereka, yakni “Bani Isma‘il” yang akan membangun satu bangsa baru. Inilah beberapa janji yang ada (termaktub) nashnya di dalam kitab mereka. Janji ini, menurut Ridha, masuk ke dalam “janji agung” (al-‘ahd al-akbar) yang diambil dari seluruh manusia berdasarkan “fitrah”: tadabbur dan periwayatan yang benar. Dan segala sesuatu ditimbang lewat ‘neraca’ nalar (akal) dan penelitian yang benar (kritis), bukan lewat hawa nafsu dan buaian yang menipu (al-ghurur). Sekiranya Bani Isra’il melihat “Janji Ilahi Umum” (al-‘ahd al-Ilahiy al-‘Amm) ini, atau janji-janji khusus yang ada teksnya tersebut di atas, niscaya mereka beriman kepada “Nabi Muhammad SAW” dan mengikuti “cahaya” (Al-Qur’an) yang diturunkan bersamanya. Dengan begitu, mereka akan menjadi orang-orang yang ‘sukses’ (min al-muflihin). (Ridha, ibid: 290).

Sedangkan janji Allah kepada mereka adalah: (1) mengokohkan (menguatkan kedudukan mereka, memberikan tempat yang layak) di ‘Tanah Suci’ (al-ardh al-muqaddasah); (2) mengalahkan umat-umat yang kafir (al-umam al-kafirah); (3) derajat yang tinggi di dunia dan kemudahan hidup di dalamnya. Inilah janji-janji Allah yang terdapat di dalam Taurat yang mereka miliki. Tidak diragukan bahwa Allah ta‘ala telah menjanjikan “kebahagiaan akhirat” (sa‘adah al-akhirah). Tetapi, hal itu tidak ada buktinya di dalam Taurat, yang ada hanya sinyal-sinyal saja. Oleh karena itu, sebagian peneliti berhipotesa bahwa orang-orang Yahudi tidak percaya kepada “hari kebangkitan” (al-ba‘ts). (ibid: 290-291). Dengan begitu, dapat dipertanyakan: Bagaimana keimanan orang-orang non-Islam terhadap hari pembalasan itu? Benarkah cara yang mereka tempuh atau tidak?

Lebih jelas, ketika menafsirkan Qs. Al-Baqarah: 42 (wa aminu bima anzaltu mushaddiqan lima ma‘akum), Ridha menyatakan: “Terhadap ajaran-ajaran Taurat dan kitab-kitab para nabi, seperti Tawhid, larangan melakukan pekerjaan keji (al-fawahisy) kemungkaran, serta menyeru kepada kebajikan dan hal-hal yang berkaitan dengan petunjuk (al-irsyad) yang membawa kepada kebahagiaan (al-sa‘adah). Jika kalian lihat (wahai orang-orang Yahudi) dalam Al-Qur’an, kalian akan mendapatinya membenarkan tujuan agama Ilahi yang ada di dalam kitab kalian dan dasar-dasarnya serta janji-janji para nabi. Kalian juga akan tahu bahwa “spirit” yang dibawanya adalah spirit yang dibawa oleh para nabi sebelumnya. Dan kalian akan mengerti bahwa “Nabi” ini tidak punya kepentingan apa-apa: yang hanya mengajak kalian kepada apa yang diseru oleh Musa dan para nabi terdahulu; mengukuhkan kebenaran (al-haqq) dan memberikan hidayah kepada seluruh makhluk setelah dikacaukan oleh penakwilan – yang tidak benar – dan kebodohan taklid. Maka, cepat-cepatlah kalian mengimani kitab (Al-Qur’an) tersebut yang memiliki bukti yang kuat dari dua arah: pertama, kemukjizatannya dan kedua, dia membenarkan apa yang ada dalam kitab kalian (Taurat). (ibid: 291).

Ketiga, pendapat Ridha juga harus dikritisi. Secara normatif, yang mengklaim sebagai agama (umat) yang paling baik dan benar adalah Yahudi dan Nasrani. Yahudi dan Nasrani mengklaim bahwa mereka adalah “anak-anak Allah” dan para kekasihnya (Qs. Al-Ma’idah: 18); Yahudi dan Nasrani mengajak orang masuk agama mereka agar mendapat “hidayah” (Qs. Al-Baqarah: 135); dan mereka malah mengejek umat Muhammad SAW (Qs. Ali ‘Imran: 75). Inilah sebenarnya yang disebut dengan “angan-angan” (al-amaniy). Oleh karena itu, dalam surah al-Nisa’: 123 itu dijelaskan bahwa “barangsiapa yang mengerjakan satu bentuk kejahatan”, maka akan dibalas dengan kejahatan.

‘Allamah Thabathaba’i menafsirkan bahwa itu bentuk mutlak, yang meliputi ganjaran duniawi yang ditetapkan oleh syariat Islam, seperti hukum qishash bagi pelaku kriminal; potong tangan bagi pencuri; cambuk (jilid) atau rajam bagi pezina, dan lainnya; baik berupa hukum-hukum politik dan lainnya. Juga, mencakup ganjaran ukhrawi yang telah ditetapkan oleh Allah dalam kitab-Nya (Al-Qur’an) dan lewat lisan Nabi-Nya (Muhammad SAW). (Lihat: Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Beirut-Lebanon: Mu’assasah al-A‘lami li al-Mathbu‘at, 1991, 5: 88-89).

Pendapat Sayyid Husseyn Fadhlullah dalam tafsirnya, Tafsir min Wahy al-Qur’an dan Ridha dalam al-Manar tidak berbeda, bahwa keselamatan itu dicapai oleh tiga hal: keimanan, hari akhir dan amal saleh. Padahal perlu dipertanyakan: keimanan kepada Allah dan hari akhir dalam masing-masing agama itu, apakah dapat dibenarkan secara fitrah dan akal sehat?

Penafsiran Kontemporer

Ada satu penafsiran menarik dari seorang mufassir kontemporer asal Mesir, Syeikh Muhammad Mutawally Sya‘rawi. Ketika menafsirkan Qs. Al-Baqarah: 62, beliau menjelaskan:

“Ayat ini dimulai dengan “inna al-ladzina amanu”, sesungguhnya orang-orang yang beriman, maksudnya iman fitrah sebagaimana yang diturunkan bersama Adam di muka bumi. Namun kemudian kaumnya kafir sehingga turunlah azab dan musnahlah manusia, seperti yang menimpa kaum Nuh beserta ajarannya dan pengikutnya yang sampai detik ini masih ada, seperti Yahudi, Nasrani dan Shabi’ah. Terakhir, Allah ingin menggabungkan dan mengumpulkan risalah kenabian yang telah lalu dengan satu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Maksud kata al-ladzina amanu adalah orang yang beriman mulai dari masa nabi Adam dan nabi-nabi seterusnya, termasuk kepada nabi Musa (Yahudi) nabi Isa (Kristen) hingga ajaran Shabi’ah. Allah ingin menyampaikan kepada mereka yang beriman ini bahwa masa iman mereka sudah habis, dan mereka harus mengikuti apa yang dibawa nabi Muhammad, walaupun ia pernah hidup pada masa nabi Adam atau Idris, Nuh, Ibrahim, Hud, dst. Agama Islam telah menghapuskan akidah terdahulu yang pernah ada di muka bumi dan menjadikannya terfokus pad satu agama.

Falahum ajruhum ‘inda rabbihim wala khaufun ‘alayhim wala hum yahzanun, “Orang yang beriman kepada Islam ini tidak akan merasa takut dan tidak akan merasa bersedih hati”. Sebaliknya, yang tidak beriman akan merasa takut dan bersedih hati. Ini merupakan pengumuman tentang kesatuan agama baru. Agama ini mengatur semua yang berada di muka bumi ini hingga hari kiamat kelak. Adapun mereka yang masih bertahan dengan ajaran lama, dan tidak percaya dengan agama baru ini, mereka akan dihisab pada hari kiamat.

Dengan demikian, Allah ingin menepis dugaan orang yang mengikuti agama sebelum datangnya Islam bahwa agama mereka masih relevan dengan “Dan barangsiapa yang mengikuti selain agama Islam sebagai agama maka tidak akan diterima” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 85), ditambah dengan “Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanya agama Islam” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 19).

Kesimpulannya, babak penyisihan kedudukan iman di dunia ini telah jelas. Barangsiapa yang beriman kepada Nabi Muhammad tidak akan takut dan tidak akan bersedih di hari kiamat. Kepada orang yang tidak beriman Allah berkata: “Sesungguhnya Allah memisahkan mereka pada hari kiamat.”

Allah selalu mengabungkan antara ‘amana wa ‘amila shalihan’, iman dan amal saleh. Itu karena, apabila iman tidak dikaitkan dengan perbuatan baik, maka ia tidak ada gunanya. Allah ingin agar iman itu merupkan patokan untuk menyetir kehidupan manusia. Konsekuensiyang didapat dari aktifnya iman dalam kehidupan sehari-hari (lewat amal saleh) ialah: hilangnya rasa takut di dunia dan rasa sedih di akhirat.” (Syeikh Muhammad Mutawally Sya‘rawi, Tafsir Sya‘rawi, Jakarta: Duta Azhar, Terjemah: Tim Terjemah Safir al-Azhar (Medan), 2004, 1: 266-268).

Islam Tidak Menolak Agama-agama

Sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya, bahwa agama itu satu, al-din bukan al-adyan. Inilah konsep yang tegas dari Allah dalam Al-Qur’an. Menurut Najaf-Ali Mirzaei, al-shirath al-mustaqim itu lah yang memerankan agama Islam. Sedangkan mengimani “sebagian” dan “mengingkari” sebagian yang lain, selamanya tidak dapat diterima. Artinya, hal itu tidak membawa kemaslahatan dan kebenaran yang pasti. Kiranya ayat “wa man yabtaghi ghayra al-Islama dinan falan yuqbala minhu wa huwa fi al-akhirati min al-khasirin” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 58) mengisyaratkan hal itu.

Ayat ini bukan untuk mengingkari risalah-risalah yang lain. Ayat ini hanya untuk menolak pendapat yang menyatakan pluralisme agama (al-ta‘addud wa al-takattsur al-diniy) dalam satu zaman (waktu). Tidak berarti bahwa Kristen itu agama yang tertolak. Bagaimana mungkin terjadi, padahal Kristen adalah Islam itu juga, yang turun dalam satu fase kehidupan manusia. Kristen adalah satu risalah Ilahi yang benar, dibenarkan di dalam Al-Qur’an yang mulia. Tujuannya adalah mengakui Kristen dan agama yang lainya, dimana agama-agama tersebut – diakui oleh Islam sebagai bentuk toleransi – merupakan naskah-naskah kuno yang tidak sempurna menurut terminologi modern. Pada akhirnya, risalah tersebut menjadi sempurna dan disebutlah “Islam” sebagai namanya. (Najaf-Ali Mirzaei, I‘adah al-Shiyaghah li Mafhum al-Din, bayna al-Wahdah wa al-Ta‘addud, dalam Jurnal Al-Hayat, edisi: 11, tahun IV, 2003: 8).

Jika seluruh ajaran agama dilihat dengan kritis, dengan mudah dapat dijawab bahwa “pluralisme” adalah ide kacau dan tak bertanggung-jawab. Orang yang mengimani “Tawhid Islam”, “Trinitas Kristen”, dan “Ketuhanan Brahma Budha” tergelincir ke dalam jurang paradoksal dan kontradiksi yang nyata dan jelas.

Jika Jalal mengutip Qs. Al-Ma’idah [5]: 48 lalu menyimpulkan tiga kesimpulan yang kontraktif:

  1. Agama itu berbeda-beda dari segi aturan hidupnya (syariat) dan pandangan hidup (akidah). Karena itu, pluralisme sama sekali tidak berarti semua agama itu sama. Perbedaan sudah menjadi kenyataan.
  2. Tuhan tidak menghendaki kamu semua mengatur agama yang tunggal. Keragaman agama itu dimaksudkan untuk menguji kita semua. Ujiannya adalah seberapa banyak kita memberikan kontribusi kebaikan pada umat manusia. Setiap agama disuruh bersaing dengan agama yang lain dalam memberikan kontribusi kepada kemanusiaan (al-khayrat).
  3. Semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Buddha, Nasrani, Yahudi kembalinya kepada Allah. Adalah tugas dan wewenang Allah untuk menyelesaikan perbedaan di antara berbagai agama. Kita tidak boleh mengambil alih Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apa pun, termasuk dengan fatwa. (Jalal, op. cit.,: 32-34).

Penulis juga akan menyimpulkan tiga hal:

  1. Dari segi “syir‘ah dan minhaj” (bukan “syariat” dan “akidah”) agama (Yahudi, Kristen dan Islam) memang berbeda. Dari sisi akidah (tawhid, bukan sekedar pandangan hidup) ketiga ama itu – pada mulanya – adalah sama (Qs. Al-Ma’idah: 43-47). Kemudian Allah menghapus ajaran agama-agama itu (Qs. Al-Ma’idah: 48-50). Pada fase berikutnya, Allah menyatakan bahwa orang-orang Yahudi melakukan distorsi (tahrif) terhadap Taurat. “Syir‘ah-minhaj” (syariat, hukum-hukum/aturan hidup, format dan etika ibadah) itu lah yang diakui oleh Allah berbeda. Ia menjadi dasar dalam pluralistas syariat-syariat. Perhelatan yang terjadi dalam agama-agama samawi adalah: baik-buruk; adil-zalim; bersih-kotor, Allah-thaghut, dan dualisme-dualisme agama lainnya.
  2. Keragaman agama memang untuk menguji kita, tapi ujiannya adalah: memilih agama yang benar, bukan bagaimana sebanyak mungkin kita memberikan kotribusi al-khayrat kepada manusia. Karena dasarnya harus benar. Bukankah kita sepakat bahwa agama itu seluruhnya adalah “Islam”?! Dari Adam-Muhammad adalah Islam. Tapi Islam yang dibawa Muhammad adalah pamungkas. Jika tidak, beliau tidak akan mengilustrasikan dirinya sebagai “batu bata” akhir dalam satu bangunan Islam itu.
  3. Apakah benar semua agama kembali kepada Allah? Semestinya Jalal bersikap kritis. Apakah benar Hindu dan Buddha kembali kepada Allah? Padahal sejak awal yang masuk dalam ‘kamus pluralisme’ Jalal hanya agama: Yahudi, Nasrani, Sabea. Ini adalah konklusi yang menghancurkan konsistensi. Hemat penulis – setelah mempelajari ajaran agama Hindu dan Buddha – Hindu dan Buddha akan kembali kepada pembuat agamanya, bukan kepada Allah. Tidak ada dasarnya bahwa Hindu dan Buddha itu disebut sebagai “agama Allah”. Yang benar, keduanya adalah agama buatan manusia (al-din al-wadh‘iy), bukan al-din al-samawiy.

Terakhir, penulis menyimpulkan bahwa sudah terjadi pergeseran ‘peta pemikiran’ Jalal, dari pakar komunikasi menjadi ‘pakar pluralisme’ dengan dasar inkonsistensi. Selain itu, konsep pluralisme sebenarnya ditolak oleh Al-Qur’an. Dengan demikian, “ayat-ayat pluralisme” adalah ayat-ayat yang banyak dimanipulasi agar sesuai dengan ‘syahwat penafsirnya’. Menundukkan ‘leher-leher’ ayat Al-Qur’an agar sesuai dengan syahwat pluralisme adalah ‘penyelewengan’ yang tidak dapat ditolerir.

Wallahu a‘lamu bi al-shawab. [] (Medan, 19 September 2007).

 

<<Kembali ke posting terbaru

Imam al-Thufi dan “Fitnah” Sekularisme

Jumat, 24 November 2006

Salah satu 'inflitrasi' pemikiran kalangan sekularisme dan liberalisme adalah melakukan "fitnah". Diantaranya fitnah terhadap pendapat Najm al Din al-Thufi [bagian 1]

Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi

Dalam ranah maqashid al-Syari’ah, kaum liberal-sekular sepertinya tidak ingin ketinggalan untuk melakukan “fitnah” dan serangan terhadap syariat Islam. Nama-nama tokohnya, seperti Mohammad Abid al-Jabiri, Hassan Hanafi, Thib Tizini, al-Abd al-Majid al-Syarafi, al-Munshif Abd al-Jalil, Said al- Asymawi, dan Muhammad Jamal Barut merupakan pentolannya. Biasanya, terma-terma seperti al-maqashid, al-mashalih, al-maghza (maksud, tujuan), al-jauhar (esensi), dll, bukan hal yang asing bagi mereka. Meski begitu, istilah ini persis seperti kaum Khawarij ketika menolak Imam Ali untuk melakukan al-tahkim (arbitrasi) dengan Mu’ awiyah yang mengatakan, “Tidak boleh berhukum kecuali dengan hukum Allah.” Kemudian dibalas oleh Imam Ali, “Kalimatu haqqin yuradu biha bathil.”

Mereka mencoba untuk melakukan ‘infiltrasi’ pemikiran ‘nyeleneh’ dan ‘miring’ lewat istilah-istilah yang cukup akrab bagi pemikir Musim seperti di atas. Nah, salah satu cara untuk melakukan infiltrasi pemikiran, mereka menggunakan tokoh dan pemikir besar dalam konsep al-mashlahah dalam konsep Ushul Fiqh, yakni Imam Sulaiman ibn Abd al-Quwa ibn Sa'id al-Thufi (w. 716 H).

Memang, dalam konsep al-mashlah, al-Thufi dikesankan mengedepankan al-mashlahah (al-maqashid) daripada nash (baca: teks), ketika terdapat kontradiksi. Itu lah yang diklaim oleh Muhammad Jamal Barut dalam bukunya al-Ijtihad: al-Nash, al-Waqi’, al-Mashlahah. Akhirnya, Barut menyimpulkan bahwa al-Thufi menyatakan adanya naksh (penghapusan) nash-nash dan di-takhsish oleh al-mashlahah. Karena al-Thufi menganggap al-mashlahah bagian terkuat dan terkhusus dari dalil-dalil syar ‘i.

Memang, di dalam bukunya “Risalah fi Ri’ ayah al-Mashlahah, al-Thufi menyatakan, “Qad qararna anna al-mashlahah min adillah al-syar’i, wa hiya aqwaha wa akhashshuha, falinuqaddimaha fi tahshili al-mashalih.” (Kami telah menetapkan bahwa al-mashlahah merupakan bagian dari dalil-dalil hukum (syar’i), dan ia merupakan dalil yang paling kuat dan khusus darinya (hukum). Oleh karenanya, hendaklah kita mengedepankannya dalam mendulang berbagai kemaslahatan).

Pendapat al-Thufi ini kemudian disambut hangat oleh Asymawi (pemikir sekular terkenal dari Mesir) lewat bukunya al-Islam al-Siyasiy (Islam Politik). Ia menganggap pendapat al-Thufi sebagai satu celah rasional yang agung (fathan aqliyyan azhiman). Karena menurut Nawal al-Sadawi al-mashlahah merupakan dasar (fondasi) dalam menyimpulkan satu hukum (al-tasyri’). Menurutnya juga, teks itu mengikut al-mashalah, karena teks sudah tsabit (tetap, fixed), sementara al-mashlahah senantiasa berubah (mutaghayyirah).

Pendapat di atas kemudian ditimpali oleh al-Shadiq dalam bukunya “al-Qur’an wa al-Tasyri’.” Ia menyatakan bahwa itulah titik kebenarannya (aynu al-shawab) dan pendapat yang lebih dekat dari hakikat hukum-hukum Al-Qur’an (al-ahkam al-Qur’a aniyyah) dan spirit Islam (ruh al-Islam).

Al-Mashlahah Menurut al-Thufi

Apa yang diklaim oleh al-Jabiri Cs di atas merupakan “fitnah” yang disematkan kepada imam al-Thufi. Dalam hal ini, Abd al-Karim Hamidy juga terjebak dan ikut menyalahkan al-Thufi. Beliau malah memasukkan al-Thufi ke dalam kelompok kaum rasional (al-naz’ ah al-‘aqlaniyyah). (Lihat, Dr. Abd al-Karim Hamidy, Dhawabith fi Fahm al-Nash, cet. I, 2005: 61).

Akhirnya, Dr. Hamidy menyimpulkan bahwa piranti tunggal dari al-Thufi dalam konsep al-mashlahah-nya adalah: al-mashlahah tersebut dapat diterima oleh akal, mampu merealisasikan manfaat bagi hamba (manusia), apakah al-mashlahah tersebut sejalan dengan teks atau kontrakdikftif. Karena teks-teks (nash-nash) menurut al-Thufi, kata Dr. Hamidy, tidak dapat dipahami (mubhamah) dan terbatas (qashirah) dalam memenuhi maslahat manusia. (Ibid., hlm. 67).

Beliau juga menyatakan bahwa al-Thufi membangun teorinya di atas konsep adanya kontradiksi antara nash dan mashalih para mukallafi (hamba). Ini tertolak, menurutnya, karena tidak ada al-mashlahah yang hakiki, melainkan ditunjukkan oleh syari’at: baik secara nash (nashan) maupun ijtihad (ijtihadan). Apapun yang berlawan dengan itu, merupakan mashalih yang ilusif dan tertolak .” (Ibid., hlm. 79).

Padahal, maksud al-Thufi dalam mengedepankan al-mashlahah daripada teks, tidak seperti yang dipahami olah kaum sekular tersebut. Maka, menurut Yusuf al-Badawi di dalam bukunya Maqashid al-Syari’ ah ‘inda Ibni Taimiyyah, seperti yang dikutip oleh Samim Abd al-Wahhab al-Jundi, bahwa teori al-mashlahah al-Thufi berdasarkan empat hal.

Pertama, indefendensi (istiqlal) nalar (akal) dalam mengetahui al-mashalih dan al-mafasid dalam ranah muamalat, bukan ibadat. Kedua, al-Mashlahah merupakan satu dalil syar’i yang terpisah dari nash-nash. Ketiga, ranah kerja al-mashlahah adalah muamalat, kebiasaan (al-‘adat), bukan ibadat. Keempat, al-Mashlahah merupakan dalil syar’i yang paling kuat. Ia lebih dikedepankan daripada nash dan ijma’ sebagai pengkhususan (al-takhshish) dan penjelas (al-bayan), bukan pembatalan (al-ibthal) dan acuh tak acuh terhadap nash dan ijtihad tersebut. (Lihat, Dr. Samim Abd al-Wahhab al-Jundi, Ahammiyat al-Maqashid fi al-Syari’ ah al-Islamiyyah wa Atsaruha fi Fahm al-Nash wa Istinbath al-Ahkam, 2003: 63).

Memang, al-Thufi di dalam Risalah fi Ri’ ayat al-Mashlalah di atas, menyatakan bahwa al-mashlahah mungkin saja bertentangan dengan nash dalam berbagai perkara yang bukan ibadat. Dalam hal seperti ini, yang harus diambil adalah al-mashlahah bukan nash -- , karena ia merupakan hal yang qath’iy. Ini lah tujuan dari politisasi para mukallaf (siasat al-mukallafin). Namun demikian, menurut Al-Raisuniy, di dalam bukunya al-Ijtihad: al-Nash, al-Waqi’ , al-Mashlahah, al-Thufi tidak pernah memberikan satu contoh secara riil tentang kontradiksi antara nash dan al-mashlahah itu. Maka, pendapatnya tetap hanya sekadar satu teori. (Dr. Ahmad Idris al-Tha’ an al-Haj, al-Madkhal al-Maqashidiy li al-Khithab al-‘ Almaniy: Dirasah Naqdiyyah, dalam jurnal Al-Muslim Al-Mu’ ashir’, vol. 28, edisi 114: Rajab Sya’ ban-Ramadhan 1425 H/Oktober –Nopember-Desember 2004, hlm. 44).

Jadi tidak benar jika al-Thufi meninggalkan nash. Al-Thufi dalam teori al-mashlahah-nya tetap memiliki piranti yang jelas. Al-Thufi tetap mencari al-maqashid itu lewat nash . Jadi ada perbedaan antara konsep al-maqashid para Ushuliyyun dengan konsep yang ingin diterapkan oleh kaum sekularis. Kaum sekular mencari al-maqashid lewat al-maqashid (tujuan, kepentingan) mereka sendiri, keinginan akal mereka dan kehendak hawa-nafsu mereka. Ini merupakan perbedaan yang mendasar antara keduanya. (Ibid., hlm. 37).

Hemat penulis, al-Thufi banyak dipengaruhi oleh ijtihad khalifah Umar ibn Khatthab, yang mengedepankan al-mashlahah daripada nash. Sebagai contoh, Umar tidak memberikan zakat kepada para mu’allaf. Padahal, dalilnya tsabit, qath’iy al-dalalah (Qs. Al-Tawbah [9]: 60).

Meskipun begitu, Umar tetap berijtihad berbeda. Padahal nash tersebut dilaksanakan oleh Nabi SAW. dan para sahabat di masa Nabi SAW. dan Abu Bakar. Keduanya menganggap bahwa hukum potong tangan merupakan hukum yang memilik nash (al-hukm al-manshush ‘alayhi) di dalam Al-Qur’an: satu kewajiban yang digariskan oleh Allah SWT. Tetapi, Umar --meskipun ada nash ini-- tetap berijtihad, karena syarat-syarat “potong-tangan” itu tidak sempurna. Ketika itu umat Islam tidak dalam keadaan lemah, yang mengharuskan mereka untuk memikat hati kaum musyrikin dan munafik. Dan jika ‘illat (sebab ada tidaknya) hukum tersebut terpenuhi, maka hukumnya kembali kepada hukum awal pemberlakuan potong-tangan. (Lihat lebih detail, Dr. Muhammad ‘Imarah, al-Nash al-Islamiy: Bayna al-Ijtihad, al-Jumud wa al-Tarikhiyyah, cet. I, 1998, hlm. 48-49 dan Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Dhawabith al-Mashlalah fi al-Syari’ ah al-Islamiyyah, cet. IV, 2005, hlm. 152-175). [bersambung]

*) Penulis adalah alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo-Jurusan Tafsir dan ‘Ulumu’l-Qur’an dan peminat Qur’anic-Hadith Studies dan Kristologi.

http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3893&Itemid=60

 

<<Kembali ke posting terbaru

Guntur dan “Pembajakan” Sirah Nabi


Senin, 10 September 2007

Entah ingin mengulang terkenal sepeti Ulil Abshar atau tidak, tulisannya yang mengatakan Nabi Muhammad ”dibesarkan” Kristen ternyata hanya membajak

Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi

Tulisan Mohammad Guntur Romli, seorang aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) (Kompas, 1 September 2007) menarik untuk dicermati. Setelah membaca tulisannya yang lumayan panjang itu, penulis berkesimpulan bahwa Guntur ingin menyatakan bahwa Nabi Muhammad tumbuh dan ‘dibesarkan’ oleh milieu Kristen. Artinya, lingkungan dan kaum cerdik pandai Kristen punya andil yang cukup vital terhadap pribadi dan nubuwwah (kenabian) Nabi Muhammad SAW. Tentu saja tulisan tersebut ‘menarik’: perlu dicermati dan dikritisi.

Maryam dan Yesus di Ka‘bah

Mengutip Muhammad bin Abdillah al-Azraqi – dalam Akhbar Makkah – Guntur menyatakan bahwa terdapat “gambar dan arca Isa (Yesus) dan ibunya, Maryam (Maria) di Ka‘bah”. Benarkah demikian?

Sejarawan Muslim terkemuka, Ibnu Katsir (w. 774 H) membeberkan – dengan panjang lebar – situasi dan kondisi ketika Fathu Makkah dalam bukunya yang terkenal, al-Bidayah wa al-Nihayah. Beliau menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW memang melihat patung nabi Ibrahim as. dan Maryam (Maria) di Ka‘bah. Tapi, dia tidak menyebutkan adanya arca Isa (Yesus) di sana. Ketika melihat gambar keduanya, beliau berkata, “Dan mereka sudah mendengar bahwa malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah (bait) yang di dalamnya terdapat gambar Ibrahim. Lalu bagaimana pula seandainya gambar ini memanah – mengundi nasib dengan anak panah.” (Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, 1998, 4: 698). Justru di sini Nabi SAW tidak setuju adanya patung kedua orang yang dimuliakan itu.

Kenapa saya mengutip Ibnu Katsir? Karena beberapa buku yang dikutip oleh Guntur masih diragukan validitasnya, seperti al-Halabi dan Ibnu Jarir al-Thabari. Buku sirah Ibnu Hisyam (w. 218 H) yang paling otentik pun tidak ada menyebutkan patung Maryam dan Isa (Yesus). Yang disebutkan hanya gambar para malaikat, nabi Ibrahim as. dan yang lainnya. Nabi SAW akhirnya marah dan mengatakan, “Mereka telah menjadikan ‘syaikh’ kita mengundi nasib dengan anak panah. Ibrahim tidak ada kaitannya dengan pengundian nasib seperti itu.” Lalu beliau membaca ayat, “Ibrahim itu bukan seorang Yahudi tidak pula Kristen, melainkan orang yang hanif (lurus) dan menyerahkan diri (muslim), tidak pula seorang yang musyrik (Ali Imran: 67).” Lalu beliau menyuruh agar seluruh gambar-gambar itu diubah (dihapus). (Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, tahqiq dan syarh: Musthafa al-Saqa, Ibrahim al-Abyari dan Abd al-Hafizh Syalabi, 1997, 4: 61).

Pendapat Ibnu Hisyam ini mengandung dua kemungkinan. Pertama, kata “yang lainnya” (ghairuhum), menunjukkan adanya ‘lukisan/gambar’ Maryam dan Isa (Yesus), bukan “arca” Maryam dan Yesus seperti pendapat yang di‘comot’ Guntur. Kedua, Nabi SAW tidak membiarkan gambar-gambar tersebut (para malaikat, nabi Ibrahim dan yang lainnya) menghiasi dinding Ka‘bah). Maka, gambar-gambar itu pun dihilangkan. Jadi, tidak benar jika arca – pendapat yang dikutip Guntur – tersebut baru hancur pada masa Yazid bin Muawiyah. Hal ini dikuatkan dengan fakta historis, bahwa pada masa Yazid ibn Muawiyah tidak pernah dibicarakan masalah penghancuran gambar-gambar (arca) tersebut.

Afirmasi Al-Qur’an

Al-Qur’an (Qs. Al-Ma’idah: 82), menurut Guntur, mengakui kedekatan orang Kristen dengan Muhammad. Tentu kita tidak menyangkal fakta historis ini, tapi ini perlu dilihat secara jeli dan ‘jurdil’, tidak asal afirmasi. Benar sekali bahwa Waraqah bin Naufal, kakak sepupu Khadijah sebagai orang Kristen, namun Kristen yang masih mengikuti millah Ibrahim yang hanif. Tapi, pengakuan Waraqah tentang kenabian Nabi SAW perlu dilihat dengan kritis. Setelah berbicara tentang sosok Jibril yang datang kepada Nabi SAW di Gua Hira’, Waraqah menyatakan: “Jika itu benar wahai Khadijah, berarti Muhammad adalah “Nabi umat ini”. Dan aku sudah tahu bahwa dia adalah seorang nabi yang ditunggu-tunggu (nabiyyun yuntazhar) oleh umat ini. Ini adalah masanya.” (Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, 1988, 1: 228).

Peristiwa “Gua Hira” itulah yang disebut oleh Waraqah sebagai “Namus” alias “rahasia” yang pernah turun kepada Musa. Lalu Waraqah berikrar: “Amboi, seandainya aku ketika itu – ketika Nabi SAW dimusuhi oleh kaumnya dan dikeluarkan dari Mekah – kuat (kokoh) dan hidup ketika kaummu mengeluarkanmu.” “Apakah mereka akan mengeluarkanku?” tanya Nabi SAW. “Ya, tidak ada seorang pun yang datang membawa seperti apa yang engkau bawa kecuali dimusuhi. Seandainya umurku sampai pada masamu itu, niscaya aku akan menolongmu sekuat tenagaku.” (Wa in yudrikuni yaumuka, anshuruka nashran mu’azzaran). (Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, 1998, 3: 6).

Di sini, Waraqah mengakui bahwa Nabi SAW adalah “nabi akhir zaman”: nabi umat ini. Jika Waraqah hidup pada masa risalah dan kenabian beliau, kemungkinan besar akan memeluk Islam.

Juga tidak benar jika Nabi SAW berjalan-jalan di pasar tujuannya adalah menyimak dan mengamati seluruh kegiatan pasar yang berfungsi pula sebagai “festival kebudayaan” (Qs. Al-Furqan: 7). Ini adalah pemahaman salah Guntur terhadap ayat. Padahal maksud ayat di atas adalah penjelasan tentang sifat kemanusiaan (basyariyyah) Rasul SAW. Karena orang-orang kafir menolak bahwa “seorang nabi” tidak selayaknya melakukan hal-hal seperti manusia biasa: mencari rizki di pasar-pasar. Oleh karena itu – dalam ayat tersebut – orang-orang kafir menyangkal: “Wa qalu: ‘Ma lihadza al-rasuli ya’kulu al-tha‘ama wa yamsyi fi al-aswaq...” (Kenapa rasul ini makan makanan dan berjalan-jalan di pasar (mengais rizki) di pasar-pasar....?) Apa yang dilakukan Guntur adalah “pembajakan makna dan subtansi ayat”, dan ini sangat tidak ilmiah dan tidak sepatutnya terjadi.

Guntur kemudian menyebutkan dua pusat kekristenan: Yaman dan Syam; yang menjadi tujuan niaga kafilah Quraisy. Yaman dikuasai oleh dinasti Habsyah (Etiopia) yang mengikuti aliran monopisit-koptik, sedangkan Syam diperintah oleh dinasti Ghassan yang mengikuti aliran monopisit-yakobis. Muhammad telah mengunjungi dua kawasan itu ketika masih remaja bersama kafilah pamannya, dan saat jadi buruh niaga Khadijah, demikian tulis Guntur. Yang ingin disampaikannya adalah: Muhammad telah terpengaruh oleh tradisi Kristen di kedua wilayah itu sejak dini.

Sejatinya, ketika Rasul SAW pergi – ketika berumur 12 tahun – ke Syam bersama pamannya, Abu Thalib, pendeta Buhaira justru menerangkan tentang tanda-tanda kenabian Rasul SAW. (Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, 1998, 2: 630).

Buku-buku sirah tidak menyebutkan keterpengaruhan beliau dengan budaya (tradisi) Kristen yang ada di sana. Ibnu Hisyam sendiri menyebutkan Buhaira malah bertanya atas nama Lata dan ‘Uzza kepada Nabi SAW, kemudian beliau menolak kedua nama tuhan orang kafir Quraisy itu. Nabi sejak dini sudah membenci kedua sosok tuhan itu. Akhirnya Buhaira menuruti kata Nabi SAW dan mengganti nama Lata dan ‘Uzza dengan kata “Allah”. Setelah Nabi SAW menjawab pertanyaan Buhaira, terjadilah dialog yang cukup panjang antara dia dengan Abu Thalib: “Apa posisi anak ini bagimu?” “Dia anakku”, jawab sang paman. “Dia bukan anakmu, sepertinya bapak anak ini sudah tidak ada (wafat).” “Dia adalah anak saudaraku”, jelas Abu Thalib. “Apa yang terjadi atas ayahnya?” tanya Buhaira. Abu Thalib menjawab: “Ayahnya telah meninggal, ketika ibunya mengandung dia.” “Anda benar”, tegas Buhaira. “Bawa pulanglah anak saudaramu ke kampung halamannya. Hati-hatilah terhadap orang Yahudi. Sungguh, jika mereka melihatnya dan mengetahui apa yang aku ketahui, mereka akan bertindak tidak baik kepadanya. Akan terjadi peristiwa besar (sya’nun ‘azhim) kepada anak saudaramu ini. Cepatlah bawa dia pulang ke kampung halamannya”, perintah Buhaira. (Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, 1997, 1: 219-220). Jadi, tidak ada interaksi dan proses keterpengaruhan Nabi SAW oleh tradisi Kristen di Syam.

Peristiwa kedua adalah ketika Nabi SAW membawa dagangan Khadijah bersama Maisarah. Sesampainya di sana, beliau kemudian bersandar di bawah sebatang pohon dekat gereja seorang pendeta – namanya Nestor [Nestorius]. Kemudian pendeta itu bertanya kepada Maisarah: “Siapa orang yang berteduh di bawah pohon ini?” “Dia adalah seorang laki-laki dari suku Quraisy, keluarga pengurus ‘al-Haram’ (Ka‘bah)”, jawab Maisarah. “Tidak ada seorang pun yang datang berteduh di bawah pohon ini, kecuali dia (adalah) seorang nabi”, kata Nestorius. (Ibnu Hisyam, ibid: 1: 225). Di sini pun tidak ada proses interaksi yang bisa dijadikan bukti kuat bahwa Nabi SAW terpengaruh oleh tradisi Kristen. Sedangkan ke Yaman, Nabi SAW tidak pernah dikabarkan pergi ke sana. Apalagi dikatakan bahwa beliau terpengaruh oleh tradisi Kristen yang ada di sana.

Beberapa Kritik

Pendapat Khalil Abdul Karim, penulis Marxis Mesir, yang dikutip oleh Guntur perlu dicermati dan dikritisi. Pasalnya, dia mengklaim bahwa Khalil membeberkan pendapatnya berdasarkan sumber-sumber sejarah primer, seperti al-Thabari, sirah Ibnu Ishaq, al-Ya‘qubi dan yang lainnya.

Khalil, kutip Guntur, dalam bukunya Fatrah al-Takwin fi Hayati al-Shadiq al-Amin (Periode Kreatif dalam Kehidupan Muhammad) menyatakan bahwa Khadijah adalah “arsitek” kenabian yang dibantu oleh “komunitas intelegensia Kristen”. Mereka adalah Waraqah bin Naufal, Qatilah, seorang rahibah, serta saudara sepupu mereka, Utsman bin al-Huwairits, yang mengikuti aliran Kekristenan Bizantium (Melkitis) hingga diangkat menjadi kardinal.

Khadijah memiliki dua budak Kristen: Nashih yang jauh-jauh hari meminta tuannya menikah dengan Muhammad, dan Maisarah yang bertugas mengamati Muhammad dalam perniagaan ke Syam. Selain dengan anggota keluarganya, Khadijah juga membangun korespondensi dengan beberapa pendeta: Adas di Thaif, Buhaira di Bushra, Syam, dan Sirgius di Mekkah. Itulah kutipan Guntur dari buku Khalil. Benarkah yang dikatakan oleh Khalil dan Guntur?!

Di sini Guntur tidak kritis dan tidak selektif dalam ‘mencomot’ pendapat Khalil. Waraqah, Utsman ibn al-Huwairits, Abdullah ibn Jahsy, Zaid ibn Amru ibn Nufail ibn Abd al-‘Uzza memprotes kebiasaan orang-orang Quraisy yang setiap tahun merayakan hari raya mereka di depan salah satu patung (berhala) mereka. Sebagian mereka berkata kepada yang lainnya: “Belajarlah, sungguh kaum kalian tidak memiliki pegangan apa-apa! Mereka telah menyalahai agama moyang mereka, Ibrahim! Apa itu batu yang mereka ukir; tidak dapat mendengar dan melihat, tidak mampu mendatangkan bahaya dan memberikan manfaat. Wahai kaum, carilah satu agama untuk kalian. Sungguh, kalian tidak memiliki satu pegangan. Lalu mereka berpencar di kota-kota besar untuk mencari agama yang lurus (al-hanifiyyah), agama Ibrahim. (Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, 1997, 1: 259-260). Fakta ini sangat menarik untuk diungkap.

Waraqah sendiri menjadi kuat kedudukannya dalam agama Kristen; Abdullah ibn Jahsy tetap dalam ketidakjelasan hingga masuk Islam dan hijrah bersama kaum Muslimin ke Habasyah beserta istrinya, Habibah binti Abi Sufyan. Ketika sampai di Habasyah, dia masuk Kristen; meninggalkan Islam dan mati dalam keadaan Kristen. Sedangkan Utsman ibn al-Huwairits, pergi mendatangi Kaisar, raja Romawi dan memeluk Kristen, sehingga mendapat kedudukan yang baik di Romawi. Dan Zaid ibn Amru memilih ‘tawaqquf’: tidak memeluk Yahudi juga – tidak memeluk – Kristen. (ibid: 260 & 261). Jadi, orang-orang yang disebutkan oleh Khalil pada awalnya tidak punya agama yang tetap, justru mereka sepakat untuk mencari ‘Hanifiyyah Ibrahim’. Dan tidak pernah disebutkan bahwa mereka mempengaruhi keyakinan (akidah), ritual ibadah dan tradisi agama Nabi SAW. Malah Khadijah akhirnya membenarkan wahyu yang turun kepada beliau, dan memeluk Islam. Lalu mengapa pendapat Khalil harus kontradiktif dengan pendapat Ibnu Hisyam dalam sirah, yang merupakan ‘revisi’ atas karya Ibnu Ishaq ini?!

Perlu dicatat, bahwa Tarikh al-Thabari meskipun merupakan karya yang “sarat nilai” kemungkinan banyak menampilkan riwayat-riwayat yang diragukan dan banyak memuat dokumen-dokumen yang tidak valid (watsa’iq ghair watsiqah) (Muhammad Hamidullah, Majmu‘ah al-Watsa’iq al-Siyasiyyah li al-‘Ahd al-Nabawiy wa al-Khilafah al-Rasyidah, Beirut, cet. VII, 2001: 29).

Hamidullah sendiri mengakui bahwa buku al-“Kharraj” karya Abu Yusuf dan “al-Sirah al-Nabawiyyah” karya Ibnu Hisyam merupakan dua karya yang paling awal, paling hati-hati dan paling otentik. Karena al-Thabari, menurut Prof. Dr. Akram Dhiyauddin Umari, sering menyebut suatu peristiwa yang diriwayatkan oleh perawi yang sangat lemah sekalipun, seperti Hisyam ibn Kalbi, Saif ibn Umar al-Tamimi, Nasr ibn Mazahim, dan lainnya. (Prof. Dr. Akram Dhiyauddin Umari, Madinan Society at the Time of the Prophet: Its Characteristics and Organization (Masyarakat Madani: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi), Terjemah: Mun’im A. Sirriy, GIP, 1999: 37).

Oleh karena itu, usaha Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah merupakan usaha yang sangat selektif dalam mengurai peristiwa sejarah, dibanding al-Thabari. Karya Ibnu Katsir ini, menurut Umari, merupakan satu karya agung dalam bidang sejarah dan memuat bagian tertentu yang secara khusus membahas sirah. Ibnu Katsir merupakan salah seorang imam besar yang dengan cermat meneliti teks-teks. Al-Dzahabi, Ibnu Hajar dan Ibnu Imad al-Hanbali menganggapnya sebagai ulama yang dapat dipercaya. (ibid: 58). Tapi buku ini sama sekali sekali tidak dirujuk oleh Khalil, konon lagi Guntur.

Guntur lebih suka ‘mengekor’ kepada Khalil, yang mencomot riwayat dari al-Sirah al-Halabiyyah karya Burhanuddin al-Halabi (w. 841 H). Padahal buku ini banyak memuat kisah-kisah isra’iliyyat. Burhanuddin al-Halabi tidak menyebut isnad riwayat-riwayat, dan hanya sesekali menyebut perawi akhbar. (Umari, ibid: 58-59). Buku Ansab al-Asyraf karya Ahmad ibn Yahya ibn Jabir al-Baladhuri (w. 279 H), yang dikutip Guntur, dianggap lemah oleh para ulama hadits (dha‘if). Ibnu Hajar (dalam karyanya, Lisan al-Mizan) menulis biografinya dalam bukunya tentang dhu‘afa’ ‘orang-orang lemah’. (Umari, ibid: 57).

Hal penting yang harus digarisbawahi juga adalah masalah “korespondensi” Khadijah dengan para pendeta yang disebutkan oleh Khalil dan di‘taklid’ oleh Guntur. Buku-buku sirah tidak membeberkan masalah ini. Apalagi dikatakan bahwa Khadijah berkorespondensi dengan Adas – menurut Guntur seorang pendeta. Adas adalah seorang Kristen dari Ninawi sekaligus “budak” dua orang anak Rabi‘ah: ‘Utbah dan Syaibah. Ketika Nabi SAW menjelaskan bahwa nabi Yunus adalah saudaranya – dalam kenabian – Adas langsung mencium kepala beliau, kedua tangan dan kakinya. (Lihat lebih detail, Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, op. cit., 3: 147 & 148). Apa yang disebutkan oleh Guntur adalah sebaliknya. Sirgius juga bukan di Mekah tempatnya. Sirgius adalah nama lain dari Buhaira, seorang rahib Yahudi, seperti yang dituturkan oleh al-Suhayli dari al-Zuhri. Dan menurut al-Mas‘udi, dia adalah dari ‘Abd al-Qais. (ibid., 2: 691).

Maka, tidak benar pendapat Guntur bahwa ketika Nabi SAW mendapat wahyu pertama, Khadijah memiliki inisiatif mendatangi anggota kaum cerdik pandai ketika itu satu persatu, dimulai dari Waraqah dan Sirgius di Mekah, Adas di Thaif, hingga Buhaira di Syam. Apa yang disebutkan oleh Guntur adalah pembajakan fakta historis. Apalagi buku al-Halabiyah yang – banyak mengandung isra’iliyyat – dijadikan rujukan bahwa Khadijahlah yang menguji wahyu yang turun kepada Baginda Rasul SAW. Ini bukan saja disebut sebagai “pembodohan umat” tapi “penyelewengan” yang tidak ilmiah, tidak bisa dipertanggung-jawabkan dan tidak dapat dibenarkan. Wallahu a‘lamu bi al-shawab.

* Penulis adalah alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo. Penulis juga peminat studi Qur’an-Hadits dan Kristologi. Sekarang menjadi staf pengajar di Pondok Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, Medan-Sumatera Utara/ www.hidayatullah.com]

http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=5341&Itemid=60

 

<<Kembali ke posting terbaru

“Allah” dalam Islam dan Kristen

Senin, 30 April 2007
Konsep ketuhanan yang ada dalam Yahudi dan Kristen lebih 'membingungkan; dibanding pengertian 'ketuhanan' yang dimengerti dalam Islam

Oleh:
Qosim Nursheha Dzulhadi *

Bukan rahasia lagi bahwa umat Islam secara umum, dan khusus di Indonesia banyak dihadapi berbagai tantangan teologis. Dari “kristenisasi” terang-terangan hingga penggunaan istilah keagamaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan dialektika Islam-Kristen di Indonesia menyisakan persoalan yang perlu diungkap dan diteliti secara serius.

Beberapa tulisan para pendeta Kristen di Indonesia banyak sekali menggunakan istilah-istilah Islam yang sudah resmi dan formal digunakan sebagai istilah “ekslusif” dalam Islam. Salah satu istilah yang sudah biasa digunakan adalah lafadz “Allah”. Lafadz ini adalah murni istilah Islam, tidak bisa sembarangan digunakan, meskipun ketiga agama Semit mengklaim masih menggunakannya.

Tulisan ini akan mengulas konsep “Allah” secara umum, yang biasa dikenal dalam agama-agama Semit (YahudiKristenIslam) yang dikenal sebagai Abrahamic religions. Dan kita akan melihat bahwa Islam benar-benar satu agama yang teguh ‘melestarikan’ konsep “Allah” ini.

Konsep “Allah” dalam Islam ini diakui dengan sangat baik oleh Dr. Jerald F. Dirk dalam bukunya “Salib di Bulan Sabit” (Serambi, 2006). Mantan diaken di ‘Gereja Metodis Bersatu’ ini mencatat bahwa “penggunaan kata Allah sering kali terdengar aneh, esoterik, dan asing bagi telinga orang Barat. Allah adalah kata dalam bahasa Arab yang berasal dari pemadatan al dan Ilah. Ia berarti Tuhan atau menyiratkan Satu Tuhan. Secara linguistik, bahasa Ibrani dan bahasa Arab terkait dengan bahasa-bahasa semitik, dan istilah Arab Allah atau al-Ilah terkait dengan El dalam bahasa Ibrani, yang berarti “Tuhan”.

“El-Elohim berarti Tuhannya para tuhan atau sang Tuhan. Ia adalah kata Ibrani yang dalam Perjanjian Lama diterjemahkan Tuhan. Karena itu, menurutnya, kita bisa memahami bahwa penggunaan kata Allah adalah konsisten, bukan hanya dengan Al-Quran dan tradisi Islam, tetapi juga dengan tradisi-tradisi biblikal tertua”, kutipnya.

F. Dirk mungkin benar. Akan tetapi konsep Allah dalam Islam jauh lebih mendalam, karena bukan hanya sebagai ‘nama diri’ (proper noun). Dalam pembahasan ilmu Tauhid, konsep al-Ilah terkait erat dengan peribadatan. Oleh karenanya, dalam penjelasan “Laa ilaaha illa Allah” para ulama menjelaskan dengan “laa ma‘buda bihaqqin illa Allah”. (Tidak ada seorang tuhanpun yang berhak “diibadahi” secara benar (mutlak), kecuali hanya Allah saja).

Ini tentu berbeda dengan kata El dalam bahasa Ibrani, yang kemudian bisa menjadi El-Elohim, yang diartikan sebagai “Tuhannya para tuhan”. Berarti ada tuhan selain tuhan yang disebut El-Elohim itu. Namun dalam Islam, Allah atau Ilah hanya satu. Apalagi jika ditelusuri konsep Tuhan dalam agama Yahudi, yang banyak menyiratkan bahwa “Tuhan” Yahudi adalah ‘Tuhan nasionalistik’, atau private God bagi Yahudi. Di luar Yahudi Tuhannya berbeda.

Konsep keimanan kepada “wujud Allah” dalam Islam tidak pernah mengalami problem serius, karena konsep dasarnya sudah jelas dan fixed, tidak bisa ditawar lagi.

Imam al-Sanusi misalnya, menjelaskan bahwa tentang konsep “wujud” itu sangat jelas. Menurut mazhab Syeikh Abu al-Hasan al-Asy‘ariy, mengganggap wujud sebagai salah satu sifat merupakan satu bentuk tasamuh (toleransi). Sebab menurutnya, wujud adalah diri zat (mawjud) itu sendiri, bukan sesuatu yang lain dari zat; dan zat, jelas bukan sifat. Akan tetapi, karena dalam ucapan, wujud selalu disebut sebagai sifat zat, seperti dalam kalimat “Zat Tuhan kita Jalla wa ‘Azza adalah mawjud (ada)”, maka tidak ada salahnya kalau secara global ia dihitung sebagai salah satu sifat. Adapun menurut mazhab yang menganggap bahwa wujud itu lain dari zat, seperti imam al-Raziy, maka menghitungnya sebagai sifat adalah benar sepenuhnya, tanpa tasamuh. Ada pula yang berpendapat bahwa pada yang baharu, wujud itu lain dari zat, tetapi pada yang qadim tidak. Ini adalah mazhab para filosof. (Lihat, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Yusuf al-Sanusi, Syarh Umm al-Barahin (Bahasan tentang Sifat Allah yang Duapuluh), terjemah: Lahmuddin Nasution, PT. Grafindo Persada, 1999: 32). Semua pendapat ini dapat dipahami dengan jelas dan mudah.

Absurditas ‘Trinitas’

Dalam agama Kristen, konsep Allah jauh lebih problematis. Ini disebabkan adanya konsep “Trinitas” yang hingga hari ini menjadi ‘teka-teki silang’ yang tak berujung.

Seorang penulis Kristen Koptik (Qibti), Arab-Mesir, Nashrullah Zakariya menulis satu buku yang berjudul al-Tsâlûts fî al-Masîhiyyah: Tawhîd am Syirkun bi’l-Lâh? (Trinitas dalam Kristen: Monoteis atau Syirik?), menulis, jika konsep keimanan kepada Allah terjadi lewat ‘advertensi Tuhan’ (al-I‘lân al-Ilâhiy). Tanpa ini, manusia tidak bisa mengenal Allah. ‘

Menurutnya, advertensi Tuhan’ ini terjadi lewat dua cara: Pertama, ‘advertensi umum’ (al-i‘lân al-‘âm). Ini adalah advertensi yang dengannya Allah menyingkap diri-Nya lewat dua hal: (1) Alam. Tentang ini, wahyu yang kudus (al-wahyu al-muqaddas) mencatat: “Langit menyatakan, keagungan Allah dan cakrawala mewartakan karya-Nya” (Mazmur 19: 1-2); dan (2), sejarah. Maksud dari sejarah adalah: berbagai interaksi Allah dengan manusia lewat pengalaman historiknya. Kitab suci menyatakan, “Ia tidak lupa memberi bukti-bukti tentang diri-Nya...” (Kisah Rasul-Rasul 14: 17).

Kedua, ‘advertensi khusus’. Jenis ini memiliki dua sumber: (1) tajassud (bersatunya Allah dengan Yesus, inkarnasi): dimana Allah mengenalkan diri-Nya kepada kita secara jelas dan eksplisit lewat inkarnasi (tajassud) Kristus.

Di dalam Injil, Yohanes berkata: “Pada mulanya adalah ‘Firman’. Dan firman itu bersama Allah, dan firman itu adalah Allah. Firman sudah menjadi manusia, Ia tinggal di antara kita dan kita sudah melihat keagungan-Nya, seperti yang ada pada seseorang berasal dari seorang ayah, yang penuh dengan karunia dan kebenaran” (Yohanes 1: 1-15, rujuk Ibrani 1: 1-4 dan 1 Timotius 3: 3-5); (2) firman Allah yang termaktub dan pembenar atas – eksistensi – Nya yang berasal dari Kristus.

Yesus berkata: “Janganlah kalian menganggap bahwa Aku datang untuk menghapuskan hukum Musa dan ajaran nabi-nabi. Aku datang bukan untuk menghapuskannya, tetapi untuk menyempurnakannya. Ingatlah! Selama langit dan bumi masih ada, satu huruf atau titik yang terkecil pun di dalam hukum itu, tidak akan dihapuskan, kalau semuanya belum terjadi.” (Matius 5: 17-18).

Itu lah dua bentuk ‘advertensi Tuhan’ kepada manusia menurut Nashrullah Zakariya, yang terdapat di dalam Taurat (Torah) dan Injil. Menurutnya, hal itu menyatakan bahwa Allah itu “esa” (wâhid). Tetapi, Allah juga tidak hanya ‘mengumumkan’ diri-Nya sebagai Tuhan yang esa (al-Ilah al-wahid), advertensi itu terjadi berulang-ulang dari dirinya hingga menjadi “trinitas” (tsâlûtsan).

Setelah menjelaskan itu, Nashrullah bingung dan menyatakan bahwa dogma “trinitas” dalam Kristen tidak bisa dianggap sebagai hasil studi filsafat atau konsep rasionalitas an sich. Karena hal itu menurutnya tidak mudah untuk diterima oleh akal. Sumber dogma ini menurutnya berasal dari Allah itu sendiri. Allah lah yang mengumumkan dirinya sebagai Tuhan yang memiliki tiga oknum: “trinitas” (tsâluts), bukan “trinisasi” (tatslîts). Dan dalam apologi kaum Nasrani dalam membela Allah yang trinitas itu (Allah al-tsâlûts) merupakan bukti keimanan mereka kepada Allah yang esa, seperti yang dinyatakan oleh Allah sendiri tentang diri-Nya lewat firman-firman-Nya: kitab suci.

Padahal, jika mencukupkan diri pada ayat Torah di atas, konsep Allah jelas dapat dipahami. Tapi ketika dikaitkan dengan dogma “trinitas” yang hanya ada dalam Perjanjian Baru (Injil) konsep Allah menjadi ‘kabur’.

Penulis lain, Nasyid Hana dalam “Khamsu Haqâ’iq ‘an Allah”, (cet. II, 1999) menulis bahwa ketika Allah menciptakan para malaikat, Dia mempraktekkan sebagian sifat-sifat-Nya. Dan ketika menciptakan manusia, Dia mempraktekkan sifat-sifatnya kepada manusia.

Bagaimana mungkin Allah butuh kepada makhluk-makhluk-Nya dan mempraktekkan sifat-sifatnya kepada diri-Nya?

Lebih aneh lagi, sebagaimana ditulis Nasyid Hana, “Oknum-oknum itu bukanlah bagian-bagian dalam diri Allah. Maha suci Allah. Allah tidak terdiri dari tiga oknum. Maha suci Allah, tetapi Allah itu esa, dan setiap oknum itu adalah Allah, bukan bagian dari Allah. Bapa adalah Allah, Anak adalah Allah dan Roh Kudus adalah Allah. Satu esensi tetapi tiga oknum.” Inilah konsep ketuhanan yang membingungan.

Membicarakan “oknum” saja dalam agama Kristen sudah berbelit-belit, karena memang sulit dinalar oleh akal sehat. Sampai sekarang, masalah “oknum Allah” ini masih terus dibahas dan diperdebatkan hingga kini.

Akibat kebingungan ini, banyak tokoh-tokoh Kristen menyikapi dogma “trinitas” lewat ekspresi rasa ‘ketidakpuasan. St. Anselm, misalnya, harus menulis Cur Deus Homo, St. Augustine juga menulis de Trinitate dan memproklamirkan slogan: “Credo ut intellegam” (aku percaya supaya aku bisa mengerti). Senada dengan Augustine, Tertullian menyatakan: “Credo quia absurdum” (aku beriman justru karena doktrin tersebut tidak masuk akal). Ini sangat kontra dengan Islam, dimana “rasio” sangat berperan dalam mengenal dzat Allah. Apa yang bertentangan dengan akal sehat, berarti ada yang “eror” dan harus dikritisi.

Dalam Islam, Allah menciptakan makhluk-Nya agar mereka mengenal-Nya lewat nama-nama-Nya yang baik (al-asma’ al-husna), sifatnya yang transenden: yang memiliki sifat kesempurnaan dan suci dari segala kekurangan.

Ketika mereka sudah mengetahui Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana mestinya, mereka melakukan ibadah kepada-Nya, yang tidak berhak diberikan kepada selain-Nya dan tidak mendekati-Nya kecuali dengan ibadah tersebut. Mereka juga memuji Allah swt. sebagaimna mestinya, sesuai dengan kemuliaan dzat-Nya dan keagungan otoritas-Nya. Ini dengan detail dijelaskan oleh Allah swt.: “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS: Al-Thalaq [65]: 12).

Kata agar kamu mengetahui merupakan dalil bahwa tujuan dari penciptaan alam ini, baik alam atas maupun bawah; adalah untuk mengetahui Allah swt. Lengkap dengan nama dan sifat-sifat-Nya; yang dalam ayat tersebut disebutkan sebagiannya, yakni: kekuasaan total (al-qudrah al-syamilah) dan ilmu yang meliputi segala sesuati (al-‘ilm al-muhith). (Lihat, Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Fushûl fî al-‘Ibâdah bayna al-Salaf wa al-Khalaf, dalam serial Nahwa Wahdah Fikriyyah li al-‘Āmilîna li al-Islâm (6), (Cairo: Maktabah Wahbah, 2005: 14).

Dengan demikian, terdapat perbedaan yang sangat prinsipil dalam konsep “Allah” dalam Yahudi, Kristen dan Islam. Dapat dibuktikan di dalam Al-Quran dan ulama-ulama klasik, bahwa Islam lah satu-satunya agama semit yang konsisten dalam melestarikan konsep “Allah”. Konsep Allah yang ‘nasionalistik’ adalah tidak benar dan harus ditolak. Dan konsep “Allah” yang ‘membutuhkan’ perantara (mediator) adalah mencederai kekuasaan dan keagungann-Nya. Maka, Islam menutup konsep “Allah” yang Mahasempurna dan tiada banding itu dengan firman Allah swt: “Laysa kamitslihi syai’un” (Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, ) (Qs. Al-Syura [42]: 11). Wallahu a‘lamu bi al-shawab. []

*) Penulis alumnus Al-Azhar University (Cairo-Egypt) jurusan Tafsir & ‘Ulumu’l-Qur’an. Peminat Qur’anic & Hadith Studies dan Christology. Tulisan ini diambil dari Majalah Suara Hidayatullah edisi Mei 2007

http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=4635&Itemid=60

 

<<Kembali ke posting terbaru

"BERPIKIRLAH SEJAK ANDA BANGUN TIDUR" (Harun Yahya)