Al-Quran dan Orientalis
Al-Qur’an dan Orientalis
(Kritik terhadap Framework Studi Al-Qur’an Orientalis)
Qosim Nursheha
Dzulhadi
“Then again we must show that it (Al-Qur’an_red) had its origin in
Judaism and not Christianity”
―Abraham Geiger―[1]
Pendahuluan
Salah
satu faktor yang menjadikan agama Islam kekal-abadi sampai akhir zaman,
dikarenakan fondasinya yang begitu kuat dan membumi. Fondasi itu adalah
Al-Qur’an, kitab suci Allah yang terakhir diturunkan sebagai petunjuk (hudā)
dan pemberi penjelasan bagi manusia (bayyināt) sekaligus pembeda antara
yang haqq (benar) dan yang bāthil (tidak benar).[2]
Lebih dari itu, sebagai kitab suci, Al-Qur’an terhindar dari berbagai distorsi
dan interpolasi, karena ia berasal dari Allah swt.[3]
Dengan demikian, Al-Qur’an menjadi solusi terbaik bagi kehidupan manusia.[4]
Dari sana, Al-Qur’an dapat dibuktikan sebagai Kitābullāh yang
benar-benar berbeda dengan kitab suci (yang sekarang dianggap suci oleh para
penganutnya) lain, khususnya Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB)[5]
yang dimiliki oleh kaum Yahudi dan Kristen.
Dengan fakta-fakta di atas, kaum
Muslimin dapat berbangga bahwa hanya kitab suci mereka yang murni dan bersih
dari ketidakbenaran dan kebatilan. Bagaimana tidak, karena Al-Qur’an diturunkan
oleh Allah dan dijaga oleh-Nya.[6]
Fakta ini mula yang membuat para sarjana, intelek, dan teolog Yahudi-Kristen
tidak mau menerima kebenaran kitab suci Al-Qur’an. Salah satu kelompok intelek
(sarjana) mereka itu lah yang dikenal dengan “orientalist”, khususnya yang
memiliki concern terhadap studi Al-Qur’an. Lewat usaha-usaha ilmiah
(penelitian), mereka mencoba untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai “bahan kajian”
mereka, yang menghasilkan berbagai karya dan penemuan – yang menurut mereka –
‘ilmiah’, karena didasarkan pada banyak referensi Islam. Untuk mengkaji
Al-Qur’an ini, mereka mencoba menggunakan berbagai framework
(bingkai-kerja) yang khas Barat dan berbeda dengan metode para ulama’ Islam
dalam mengkaji Al-Qur’an. Mengenai sejauh mana validitas kajian (research,
study) lewat framework dan metode yang mereka lakukan, tulisan ini
mencoba memberikan jawabannya.
Sejarah
dan Fase Gerakan Orientalisme
Para
peneliti (sejarawan) berbeda pendapat dalam menentukan dan memastikan tanggal
awal kemunculan gerakan orientalisme (harakat al-istisyrāq).
Setidaknya, ada beberapa teori yang menjelaskan awal-mula gerakan orientalisme
ini. Pertama, orientalisme dipicu oleh penerjemahan Al-Qur’an ke
dalam bahasa Latin. Jika ini patokannya, maka gerakan ini dimulai di Barat
sejak abad ke-12 M. Pandangan ini dikemukakan oleh Rudi Paret.[7]
Kedua, orientalisme
dimuali oleh seorang pendeta Perancis, Jerbert, yang dipilih sebagai Paus Roma
pada tahun 999 M, setelah belajar di berbagai sekolah yang ada di Andalusia.
Kemudian, dilanjutkan oleh Petrus Venerabilis atau Pierrele Vénéré (1092-1156)
dan Gérard de Grémona (1114-1187).[8]
Ketiga, orientalisme dimulai sejak pertemuan kaum Muslimin dengan
orang Romawi dalam Perang Mu’tah dan Tabūk.[9]
Keempat, lahirnya orientalisme disebabkan oleh perang Salib (al-Íurūb
al-Îalībiyyah).[10]
Kelima, orientalisme lahir karena kebutuhan Barat untuk: (1)
menghujat Islam, (2) mengetahui kekuatan yang membangkitkan kaum Kristen-Eropa,
terutama setelahnya jatuhnya Konstantinopel tahun 857 H/1453 M. Karena pasukan
Turki Utsmani merayap masuk hingga perbatasan Viena, sehingga Islam dianggap
sebagai ‘benteng’ yang amat kokoh dalam menghambat laju penyebaran Kristen. Keenam,
orientalisme lahir dari rahim gereja dan biara-biara Kristen Romawi-Barat.
Untuk teori keenam dapat
dibuktikan dengan banyak fakta, mengapa orientalisme lahir dari gereja dan
biara Kristen Romawi-Barat. Secara rinci, misalnya, dijelaskan oleh Norman
Daniel dalam karnya Islam and the West (London, 1963) dan karya
Southern, Western Views of Islam in the Middle Ages (Harvard, 1962).[11]
Hal ini juga, tentunya, dapat dibenarkan dengan tokoh-tokoh orientalis yang
secara mayoritas berasal dari sarjana atau pemikir Yahudi dan Kristen. Maka
sangat mafhūm jika gereja memiliki kepentingan untuk mempelajari Islam
dan ajarannya, terutama Al-Qur’an.
Selain keenam teori mengenai
asal-mula gerakan orientalisme, ternyata gerakan ini juga memiliki beberapa
fase[12]
perkembangannya, yang dapat dilihat berikut ini.
Fase Pertama, dimulai
pada abad ke-16, yang dikenal dengan fase anti-Islam yang dimotori oleh Yahudi
dan Kristen. Pada fase ini, Eropa memandang Islam sebagai terror, perusak, dan
barbarian.
Fase Kedua, pada abad ke-17
dan ke-18, yang bertepatan dengan gerakan modernisasi Barat. Di sini, Barat
punya kepentingan untuk belajar kepada Islam, yang telah membangun peradaban
handal selama 7 abad. Namun, walaupun Barat membutuhkan Islam, api perseteruan
masih tetap membara. Itu sebabnya, selain mengumpulkan informasi tentang Timur
(Islam), mereka juga menyebarkan informasi negatif tentang Timur kepada
masyarakat Barat. Di fase ini pula caci-maki terhadap Nabi begitu kentara. Alexander
Ross, misalnya, menulis buku berjudul The Prophet of Turk and Author of the
al-Qoran. Dalam bukunya ini, dia banyak menggunakan kata-kata kasar,
seperti: The Great Arabian Imposter, The Little Horn in Danial, Arabian
Swine, Goliath, Grand Hypocrite, Great Thief, dll.
Fase Ketiga, orientalisme
pada abad ke-19 dan seperempat abad ke-20, yang merupakan fase terpenting
orientalisme. Pada fase ini, banyak orientalis yang menyumbangkan karya dalam
bidang studi Islam. Dan orientalis yang terkenal pada fase ini adalah Goldziher
(1850-1908). Namun perlu dicatat, pada fase ini lah terjadi serangan sistematis
dan ilmiah dari kalangan orientalis terhadap Islam. Meskipun sistematis dan
ilmiah, tidak berarti tanpa “kesalahan” dan “bias”. Hal ini dibuktikan dengan
tulisan mereka yang bernada negatif mengenai Nabi Muhammad.
Fase Keempat, fase yang
ditandai dengan adanya Perang Dunia II, dimana Islam menjadi objek kajian yang
popular. Pada fase ini, kajian yang dilakukan oleh para orientalis bukan hanya
untuk kepentingan akademis, tapi juga untuk kepentingan perancang kebijakan
politik dan bisnis. Pada fase ini pula orientalisme berubah lagi: dari
sentiment keagamaan yang vulgar menjadi lebih lembut. Misalnya, Cantwell
Smith terang-terangan mengatakan, “Pencarian ilmu selalu siap mengubah
hypotesanya. Faktanya, memang orang-orang Barat non-Muslim baru saja
memperlembut (sikapnya terhadap Islam) dan bahkan menarik kata-kata
‘tidak’-nya.”
Senada dengan Smith, Sir Hamilton
Gibb secara diplomatis menerima pendapat bahwa wahyu adalah gambaran pengalaman
pribadi Nabi Muhammad, tapi Islam perlu menafsirkan ulang konsep yang tidak
bisa dipertahankan lagi itu.” Perubahan sikapnya begitu kentara, berubah dari
menuduh Nabi sebagai penipu, mereka kemudian mempersoalkan konsep wahyunya, dan
kini mereka mempersoalkan interpretasinya.
Dan, tentunya, sikap orientalis
modern-kontemporer juga tidak berbeda dengan para orientalis klasik. Hujatan
terhadap Islam dan Al-Qur’an masih mendapat porsi yang begitu besar. Di sini
juga harus ditegaskan bahwa orientalisme belum “berubah”, terus-menerus
menghujat Islam (khususnya Al-Qur’an dan Rasulullah). Maka, sangat keliru
pendapat yang menyatakan bahwa orientalisme telah berakhir. Karena faktanya,
orientalisme masih eksis hingga hari ini.
Hal di atas, misalnya, dapat dibuktikan dengan beberapa tulisan pejorative
terhadap Al-Qur’an. Pada Januari 1999, misalnya, Toby Lester menulis satu
artikel “What is the Koran” yang di dalamnya menyatakan, “…that Muslims,
despite believing in the Qur’ān as the unadultered Book of Allāh, were
thoroughly incapable of defending this view in any scholarly fashion.”[13]
(Kendati umat Islam percaya Al-Qur’an sebagai kitab suci Allah yang tak pernah
ternoda dari pemalsuan, mereka tak mampu mengemukakan pendapat secara ilmiah).
Tulisan-tulisan lain, semsial Robert Spencer, misalnya, semakin
menguatkan pandangan pejorative di atas. Dalam bukunya The Truth
About Muhammad, Spencer menyatakan bahwa kandungan Al-Qur’an adalah hasil
“pinjaman” dari Yahudi (borrowings from Judaism).[14]
Padahal, apa yang dikatakan oleh Spencer sangat tidak berdasar. Karena Nabi
Muhammad tidak pernah mengadopsi ajaran Yahudi untuk Al-Qur’an.[15]
Dan sejatinya, yang dilakukan oleh Spencer hanya “mengulang” apa yang dikatakan
oleh Abraham Geiger.
Sejalan dengan Robert Spencer adalah Joseph Qezzī yang menulis Masīh
al-Qur’ān wa Masīh al-Muslimīn. Dalam bukunya ini, Qezzī menyatakan
bahwa kaum Muslimin adalah umat Masehi itu sendiri. Karena sekte Kristen yang
ada di Arab dan dikenal oleh Muhammad bukan kaum “Kristen” (al-Nashārā),
melainkan kaum Masehi (al-Masīhiyyūn).[16]
Selain mereka, masih ada Ibn Warraq yang sangat terkenal hujatannya terhadap
Nabi Muhammad dan Al-Qur’an.[17]
Menurutnya juga, Al-Qur’an adalah hasil “pinjaman” dari Yahudi dan Kristen.
Berbagai pandangan ini lah yang menjadi dasar kajian para orientalis terhadap
Al-Qur’an, yang akan diulas lebih lanjut pada pembahasan khusus mengenainya.
Framework Studi Al-Qur’an Orientalis
Dalam
mengkaji Al-Qur’an, para orientalis memiliki framework atau “bingkai
kerja”. Jika ditelurusi lebih lanjut, maka framework mereka secara umum
dapat dituliskan dalam lima poin berikut ini.
1.
Menolak Riwayat yang Qath‘ī
Dalam mengkaji Al-Qur’an, para orientalis cenderung untuk
mengenyampingkan berbagai riwayat yang valid-benar (qath‘ī), khususnya
yang berkenaan dengan sejarah Al-Qur’an (tārīkh al-Qur’ān). Dengan
begitu, mereka bebas menyatakan bahwa teks Al-Qur’an yang dibawa oleh Muhammad
mengalami perubahan dan editing – ditambah dan dikurangi – terutama pada bentuk
tulisannya.[18]
Hal di atas, misalnya, dilakukan oleh orientalis seperti Arthur
Jeffery, yang mengumpulkan berbagai perbedaan yang terdapat dalam beberapa Mushaf
Sahabat dan Tābi‘īn.[19]
Hal yang sama juga dilakukan oleh Alphonse Mingana (1881-1937) dan Agnes Smith
Lewis, yang pada tahun 1914 menerbitkan satu buku yang berjudul Leaves from
Three Ancient Qurans Possibly pre-‘Othmanic with a List of Their Variants.
Selain itu, Mingana juga menulis buku lain yang berjudul An Ancient Syiriac
Translation of the Kuran: Exhibiting New Verses and Variants.[20]
Disamping ada Ignaz Goldziher, yang menyatakan adanya perbedaan bacaan dalam
Mushaf-Mushaf pribadi selain Mushaf yang dihimpun oleh
‘Utsmān.[21]
Tentu saja, pandangan para orientalis di atas keliru. Karena
riwayat-riwayat yang shahīh, valid dan tegas (qath‘ī)
menyatakan sebaliknya. Pandangan mereka sejatinya menggiring umat Islam untuk
meyakini bahwa Mushaf ‘Utsmānī bukanlah satu-satunua yang valid dan
mutlak dipercaya. Padahal, berbagai referensi yang otoritatif menyatakan bahwa
para Sahabat Rasulullah sepakat bahwa hanya Mushaf ‘Utsmānī yang
benar-benar Al-Qur’an, bukan perbedaan qirā’at dan ayat yang ada pada
masing-masing Mushaf pribadi sebagian Sahabat.[22]
2.
Eklektik dalam Menggunakan Sumber
Selain menolak berbagai riwayat yang qath‘ī tentang sejarah
Al-Qur’an, para orientalis juga sangat “eklektik” (pintar memilah dan memilih)
sesuai dengan tujuan studi mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa
poin di bawah ini:
a.
Menggunakan Referensi yang Terbatas
Yakni, referensi yang mereka gunakan dalam mengkaji Al-Qur’an
adalah buku-buku yang tidak jeli terhadap kebenaran riwayat, kritik terhadap
riwayat, dan tidak memperhatikan riwayat yang benar (ar-riwāyah as-salīmah).
Misalnya, penelitian Dr. Hassan ‘Azūzī membuktikan bahwa jumlah
referensi yang digunakan oleh Régis Blachére dalam karyanya Introduction au
Coran (Paris, 1977) berjumlah 178 buku. Dari sekian referensi yang
digunakannya, yang berbahasa Arab hanya 47 buku, dan mayoritas buku yang
berbahasa Arab itupun tidak berkaitan langsung dengan studi Al-Qur’an, seperti:
Tārīkh karya al-Ya‘qūbī, Murūj al-Dzahab karya al-Mas‘ūdī, Usd
al-Ghābah karya Ibn al-Atsīr, al-Muqaddimah karya Ibn Khaldūn, dan al-Fihrist
karya Ibn an-Nadīm. Hal yang sama juga ditemukan dalam kajian Al-Qur’an yang
dilakukan oleh Theodor Nöldeke, Richard Bell, John Burton, dan John Wansbrough.
b.
Menggunakan Sumber yang Tidak Otoritatif
Misalnya, para orientalis – dalam mengkaji Al-Qur’an – menggunakan
karya-karya yang tidak ada kaitannya dengan studi Al-Qur’an, misalnya: Murūj
al-Dzahab karya al-Mas‘ūdī, al-Aghānī karya al-Ashfahānī, al-Fihrist
karya Ibn an-Nadīm, Ihyā ‘Ulūm al-Dīn karya Imām al-Ghazālī, dan al-Hayawān
karya al-Dumayrī. Buku-buku ini dijadikan referensi, misalnya, oleh Ignaz
Goldziher dan Régis Blachére dalam studi Al-Qur’an mereka.
c.
Menyingkirkan Sumber Qur’anik yang Orisinil
Adalah kebiasaan orientalis dalam mengkaji Al-Qur’an dengan
menggunakan referensi dan sumber sekunder, sebagaimana disinggung sebelumnya.
Atau, paling jauh, mereka mengutip kembali pandangan para orientalis
sebelumnya, yang mengkaji objek yang sama. Régis Blachére, umpamanya, cenderung
menggunakan buku Geschichte des Qorans (Tārīkh al-Qur’ān, Sejarah
Al-Qur’an) karya Theodor Nöldeke ketika kajiannya bersentuhan dengan hadīts-hadīts
dan berbagai riwayat yang berbicara tentang kodifikasi Al-Qur’an. Jadi,
Blachére lebih dulu mengutip pandangan Nöldeke, sementara pandangan ulama,
seperti: Imam at-Thabarī, Imam as-Suyūthī, Imam Abū Hayyān al-Andalusī,
dan Imam al-Wāhidī dijadikan sebagai “catatan kaki”.
3.
Menggunakan Teori Pengaruh
Salah satu framework yang paling masyhur, yang digunakan
oleh para orientalis ketika mengkaji Al-Qur’an adalah teori pengaruh dan
peminjaman (influence and borrowing theory). Melalui teori ini mereka
menyimpulkan bahwa Al-Qur’an “dipengaruhi” dan “meminjam” dari kitab-kitab sebelumnya,
seperti: ajaran Yahudi dan PL’nya, Kristen dan tradisinya, bahkan kandungan
Gospel Palsu (Apocryphal Gospels).
Teori di atas, misalnya, digemakan oleh Abraham Geiger, H.
Hirschfeld, J. Horovitz, C. C. Torrey, Abraham I. Katsch, John Wansbrough. Bahwa
Al-Qur’an dipengaruhi oleh agama Kristen, diwakili oleh: Karl Friedrick Gerock,
Manneval, Tor Andrae, J. Henninger, dan Richard Bell. Sedangkan teori yang
menyatakan bahwa Al-Qur’an dipengaruhi oleh tradisi dan agama Yahudi-Kristen,
dikemukakan oleh: W. Rudolph, D. Masson, William Montgomery Watt, Philip K.
Hitti, dan Bambang Noorsena (Indonesia). Selain itu, setting sosial Nabi Muhammad
selama di Mekah dan Madinah menjadi sumber kritik para orientalis akan
keterpengaruhan isi dan kandungan Al-Qur’an oleh kondisi sosial yang ada. Di
Mekah, misalnya, kaum Pagan (penyembah berhala) memiliki pengaruh yang dalam
dalam diri Rasulullah dan ajarannya. Karena menurut mereka, ada kesamaan antara
ritual kaum Jāhiliyyah dan kandungan Al-Qur’an, seperti: ibadah haji, shalat,
dan puasa. Al-Qur’an juga, menurut mereka dipengaruhi oleh syari-syair para
penyair pra-Islam (al-syi‘r al-jāhilī). Pandangan ini, misalnya,
disebarkan oleh St. Clair-Tisdall, Richard Bell, Lois Sprenger, M. Clément
Huart, dan Louis Cheikho (m. 1927).
Komunitas Yahudi dan Kristen yang ada di Jazirah Arabia juga,
menurut mereka, menjadi rujukan Muhammad dalam mengadopsi ajaran mereka yang
kemudian menjadi isu dan kandungan Al-Qur’an. Pandangan ini dianut oleh C. C.
Torrey, J. Lisler, E. Monte, Henri Massé, Hamilton Gibb, Abraham I. Katsch,
Guillaume, Clair-Tisdall, Geiger, Samuel Zwemmer, Ignaz Goldziher, Blachére,
Bernat Heller, Joseph Schacht, Wansbrough, Robert Spencer, dan Christopher
Hitchens.
Sejatinya, pandangan mereka tersebut ditolak oleh fakta sejarah
yang ada. Menolak pandangan Bell, Torrey, dan Watt, Fazlur Rahman menulis di
bawah ini:
“The main
difficultie’s with Torrey’s theory is what whereas we know very well what
happened to the large-scale Jewish community that existed, for example in
Madina and Khaibar, there is no word whatever in either the Qur’ān or Muslim
historical literature as to the fate of any large Jewish community of Mecca.”[23]
Selain hal di atas, para orientalis juga berpandangan bahwa
Al-Qur’an juga dipengaruhi oleh ajaran Kristen Heretik (bid‘ah), kaum Hunafā’,
penganut agama Sabea (as-Shābi’ūn), dan penganut agama Majūsī. Sementara
pada periode Madinah, yang mempengaruhi Nabi Muhammad dan Al-Qur’an adalah:
komunitas Yahudi-Kristen, Bible, dan Gospel Palsu (Apocryphal Gospels).
Padahal, justru Bible yang dipengaruhi oleh unsur-unsur eksternal. Misalnya,
bunyi Mazmur 137 sangat identik dengan “kidung” yang dibuat oleh salah seorang
korban pembuangan ke Babylonia, yang dicatat oleh Will Durant dalam karyanya
besarnya, The Story of Civilization. Mari perhatikan bunyi Mazmur 137 di
bawah ini,
137:1 Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil
menangis, apabila kita mengingat Sion. 137:2 Pada pohon-pohon gandarusa di
tempat itu kita menggantungkan kecapi kita. 137:3 Sebab di sanalah orang-orang
yang menawan kita meminta kepada kita memperdengarkan nyanyian, dan orang-orang
yang menyiksa kita meminta nyanyian sukacita: “Nyanyikanlah bagi kami nyanyian
dari Sion!” 137:4 Bagaimanakah kita menyanyikan nyanyian TUHAN di negeri asing?
137:5 Jika aku melupakan engkau, hai Yerusalem, biarlah menjadi kering tangan
kananku! 137:6 Biarlah lidahku melekat pada langit-langitku, jika aku tidak
mengingat engkau, jika aku tidak jadikan Yerusalem puncak sukacitaku!”
Lalu, bandingkan dengan catatan Will Durant berikut ini,
“By the rivers of Babylon, there we sat down, yea, we wept, when
we remembered Zion
We hanged our harps upon the willows in the midst thereof.
For there they carried us away captive required of us a song;
and they what wasted us required of us mirth, saying, sing us one
of the songs of Zion.
How shall we sing the Lord’s song in a strange land?
If I forgot thee, O Jerusalem, let my tongue cleave to the roof of
my
mouth; if I prefer not Jerusalem above my chief joy.”[24]
Dari kesesuaian antara kidung yang ditulis oleh salah seorang yang
diasingkan ke Babylonia dan bunyi Mazmur 137 yang begitu identik, dapat
dipahami bahwa sebenarnya Daud tidak menulis Mazmur. Karena pada masanya belum
terjadi pembuangan dan ia tidak terpaksa harus duduk di pinggiran tepi
sungai-sungai Babel. Karena antara Babel dengan Palestina, pusat Kerajaan Daud,
jaraknya sekitar 1000 KM.
Sebagai disunggung sebelum ini, para orientalis berasumsi bahwa
Al-Qur’an juga “dipengaruhi” oleh PB. Padahal banyak sekali, misalnya,
kisah-kisah dalam Al-Qur’an yang tidak terdapat dalam PB. Misalnya, kisah
Ibunda nabi ‘Īsā yang tidak ada dalam PB; kisah turunnya Injīl[25];
permintaan nabi ‘Īsā kepada para Hawāriyyūn untuk memberikan
pertolongan dan pembelaan.[26]
Sebaliknya, kisah-kisah dalam PB yang tidak ada dalam Al-Qur’an, misalnya:
suami Maria yang bernama Yusuf si Tukang Kayu[27];
kisah orang-orang Majusi yang menanti kedatangan al-Masīh (Kristus)[28];
kisah bintang yang muncul sebelum kelahirannya[29]
dan kisah penyalibannya.[30]
Jika kisah-kisah di atas, dilihat dari teori pengaruh (nazhariyyat
at-ta’tsīr wa at-ta’atstsur) yang dinisbatkan kepada Al-Qur’an, jelas tidak
sesuai. Lebih dari itu, ternyata banyak ayat dalam Al-Qur’an yang justru
bertentangan dengan Gospel, khususnya Gospel yang empat (Matius, Markus, Lukas,
Yohanes). Contohnya, ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Injīl yang turun kepada
nabi ‘Īsā hanya “satu”[31];
penafian dogma Trinitas (at-Tatslīts)[32];
penafian dogma Yesus sebagai ‘anak Tuhan’[33];
penafian Allah sebagai Bapak Yesus[34];
penolakan atas pembunuhan dan penyaliban Yesus[35];
dan pertolongan serta pembelaan para Hawāriyyūn terhadap Kristus.[36]
Dengan melihat contoh-contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa
Al-Qur’an tidak dipengaruhi oleh PB. Berkenaan dengan ini, pernyataan Kenneth
Cragg berikut ini menjadi penguat kebenaran tersebut. Dia mencatat,
“The Biblical
narratives reproduced in the Qur’ān differ considerably and suggest oral, not
direct acquaintance. There is no almost complete absence of what could be
claimed as direct quotation from the Bible.”[37]
Selain pengaruh PL dan PB, para orientalis juga berpandangan bahwa
Gospel Apokripa juga memiliki pengaruh dalam Al-Qur’an, seperti yang
dituduhkan oleh Nöldeke, Clair-Tisdall, Philip K. Hitt, Christy Wilson, dan
Bambang Noorsena. Berkenaan dengan ini, Christy Wilson, misalnya, menyatakan
bahwa sumber Al-Qur’an bukan Gospel Kanonik (Gospel resmi) dan bukan Bible
(baik PL maupun PB), tetapi Gospel-gospel Apokripa dan sumber-sumber
Talmud-Yahudi yang dikenal luas di kalangan Kristen.[38]
Namun demikian, Clair-Tisdall ternyata akhirnya menolak jika Al-Qur’an
dipengaruhi oleh Gospel Apokripa. Tisdall menulis,
“From the
careful examination of the subject dealt with in this chapter (i.e., The
influence of Christianity & Christian Apocryphal books) we therefore
conclude that the influence of true and genuine Christian teaching upon the
Qur’ān and upon Islam in general been very slight indeed.”[39]
Dengan demikian, pandangan orientalis mengenai keterpengaruhan
Al-Qur’an oleh Gospel Apokripa tidaklah benar dan tidak berdasar. Jika
Nabi Muhammad (570-632 M) terbukti tidak membaca Gospel-gospel yang resmi,
karena memang belum ada yang diterjemahkan, kecuali setelah empat abad setelah
masa kenabiannya, tepatnya tahun 1060 M. Dan, hasil terjemahannya saat ini ada
di Rusia, di St. Petersburg.[40]
Konon lagi beliau membaca Gospel-gospel palsu atau tradisi yang dianggap Apokripa:
khurafat dan mitos, karena wujudnya belum ada.
4.
Menggunakan
Teori Proyeksi
Selain menggunakan “teori pengaruh” dalam mengkaji Al-Qur’an, para
orientalis juga menggunakan “teori proyeksi” (Arab: nazhariyyat al-isqāth).
Yaitu, menafsirkan keadaan, sikap, dan peristiwa dengan cara menundukkannya di
bawah pengalaman dan perasaan pribadi. Keadaan, sikap, dan peristiwa tersebut
dilihat sebagai “refleksi” dari kondisi yang tengah bergolak dalam jiwa.[41]
Dan menurut psikolog, proyeksi itu adalah upaya kejiwaan yang digunakan
seseorang untuk membentengi dirinya dari perasaan yang tidak menyenangkan dalam
dirinya, seperti: perasaan berdosa atau minder. Kemudian dengan sengaja dia
menisbatkan ide-ide dan perasaan itu kepada orang lain, sebagai “tameng” untuk
membela diri di hadapan lawan-lawannya.[42]
Jika teori proyeksi di atas dikaitkan dengan studi orientalis
terhadap Al-Qur’an, maka dapat dipahami jika mereka berusaha “menutupi” aib,
keburukan, maupun kekurangan yang ada dalam kitab suci mereka sendiri, dengan
cara melemparkan berbagai asumsi dan pandangan yang pejorative bahkan
negatif terhadap Al-Qur’an. Contohnya adalah pandangan Goldziher, yang
menyatakan bahwa tidak ada satu kitab hukum pun – yang diakui oleh satu
kelompok secara teologis sebagai teks wahyu – yang teks awal masa
tersebarnya banyak mengandung “kerancuan” dan “tidak permanen” seperti yang ada
dalam Al-Qur’an.[43]
Dan dalam karyanya yang lain, orientalis asal Hungaria itu juga menyatakan
bahwa Al-Qur’an adalah buku Islam yang sakral dan undang-undang (hukum)nya yang
diwahyukan. Namun, secara umum, kandungannya penuh dengan “perbedaan” yang
sangat fundamental, dan ini telah ada dua abad pertama dari masa kelahiran
Islam.[44]
Sejatinya, apa yang dilakukan oleh Goldziher merupakan aplikasi
dari teori proyeksim guna menutupi problem Bible yang memang sulit untuk
dipecahkan. Dari segi sejarah, misalnya, Taurāt memiliki problem yang cukup rumit.
Karena meski Mūsā meminta kepada kaum Lewi (Levites) untuk menyimpannya
di dalam peti (ark), ternyata hilang.[45]
Lebih dari itu, ternyata PL juga sudah tidak otentik, karena pernah hilang dan
ditemukan kembali. Setelah ditemukan mengalami banyak editing dan interpolasi
di sana-sini. Artinya, PL sudah tidak murni lagi sebagai firman Allah. Bahkan,
menurut Prof. Frederic Cryer dari Copenhagen, PL terpengaruh oleh literature
Hellenistik. Dia memberikan kesimpulan di bawah ini,
“…concludes
that the Hebrew Bible “cannot be shown to have achieved its present contents
prior to the Hellenistic period.” The people we call Israel did not use the
term for themselves, before the fourth century B.C.E. The Saul and David
narratives, for example, were written under “the probable influence” of
Hellenistic literature about Alexander the Great. That these Biblical texts
were composed so late “necessarily forces us to lower our estimation of the
work as an historical source.”[46]
Selain itu, dari segi bahasa, PL juga tidak disebut bahasa
“Ibrani”, melainkan dialek suku Kanaan.[47]
Karena memang bahasa tulisan kaum Yahudi awal adalah Kanaan dan Assyiria, bukan
Ibrani. Sementara bahasa Aramaik merupakan bahasa yang belum dominan di daerah
Timur Jauh kuno, kemudian kaum Yahudi mengadopsinya untuk kemudian dianggap
tulisannya dikenal dengan Assyiria.[48]
5.
Menggunakan Teori Prediksi
Maksudnya, dalam mengkaji Al-Qur’an, para orientalis menggunakan
“teori prediksi” alias dugaan, yaitu: mereka lebih percaya kepada riwayat dan
dalil yang lebih dekat kepada kesalahan. Para orientalis mengaplikasikan teori
ini ketika mengkaji susunan surat-surat Al-Qur’an. Diantara orientalis yang
menggunakan teori ini adalah: Nöldeke, Gustav Weil, Richard Bell, H. Grimme,
William Muir, dan Blachére.
Dalam Geschichte des Qorans-nya, Nöldeke berasumsi bahwa
susunan ayat dan surat yang ada dalam Mushaf ‘Utsmānī saat ini “tidak
tepat”. Karena, menurutnya, tidak sesuai dengan kronologis turunnya surat-surat
tersebut. Oleh karena itu, Nöldeke membuat urutan Al-Qur’an versi pribadinya,
yang menurutnya lebih rasional. Dan untuk melakukan usahanya ini, Nöldeke
bersandar pada transmisi sejarah dan interpretasi.[49]
Maka, dia membagi surat-surat Makkiyyah ke dalam tiga periode:
Pertama, surat Al-Qur’an
pada periode ini singkat-singat. Kedua, menggambarkan transisi
dari antusiasme Muhammad kepada keadaan yang lebih tenang. Ajaran fundamental
dari surat-surat periode kedua ini diberikan melalui berbagai ilustrasi
yang diambil dari alam dan sejarah. Dan ketiga, menggambarkan
karakteristik pada surat-surat di periode kedua, namun lebih intensif
dijelaskan.[50]
Pandangan Nöldeke tersebut diikuti dan diulangi oleh beberapa
orientalis lain, seperti: Gustav Weil, H. Grimme, Bell, Muir, dan Blachére. Dan
ternyata, pandangan seluruh orientalis ini merupakan ‘jiplakan’ dari pendapat
seorang ulama Muslim, Abū al-Qāsim al-Hassan ibn Muhammad ibn Habīb
al-Nīsābūrī dalam bukunya al-Tanbīh ilā Fadhl ‘Ulūm al-Qur’ān yang
menyatakan bahwa salah satu ilmu yang paling mulia dalam studi Al-Qur’an
adalah: ilmu (untuk) mengetahui turunnya Al-Qur’an, tempat turunnya, dan urutan
yang turun di Mekkah, yaitu awalnya, tengahnya, dan akhirnya. Juga, susunan
surat yang turun di Madinah.[51]
Hanya saja, para orientalis tidak mengaku bahwa mereka mengadopsi pandangan
ini.
Namun demikian, harus segera dicatat bahwa pandangan Abū al-Qāsim
al-Hassan ini adalah marginal (peripheral), yang tidak
dapat dijadikan pegangan, karena menyalahi pendapat mayoritas ulama’. Itu
sebabnya pendapat ini tidak masyhur di kalangan ulama’ Muslim. Jadi, para
orientalis ternyata mengutip pendapat ulama’ Muslim juga. Hanya saja, yang
dikutipnya adalah pendapat yang “tidak dikenal” luas di kalangan sarjana
Muslim. Karena, susunan surat dan ayat Al-Qur’an memang terjadi secara tawqīfī:
tidak ada campur-tangan Nabi Muhammad maupun malaikat Jibrīl. Oleh karena
itu, pandangan orientalis yang berusaha merestorasi susunan surat Al-Qur’an
adalah “keliru”.
Juga perlu ditegaskan di sini bahwa upaya untuk menyusun surat dan
ayat Al-Qur’an menurut kronologis turunnya bukan pandangan baru dari
orientalis, karena ternyata Imam ‘Alī ibn Abī Thālib adalah sahabat pertama
yang melakukannya di dalam Mushaf pribadinya.[52]
Dari sini menjadi jelas bahwa (ternyata) usaha orientalis dalam “merestorasi”
susunan surat dan ayat Al-Qur’an bukanlah hal yang baru. Apa yang mereka
upayakan, sejatinya, hanya mengulang pandangan ulama’ Muslim juga. Dengan
demikian, objektifitas kajian orientalis, khususnya framework mereka
dalam mengkaji Al-Qur’an benar-benar bias: bias pandangan-hidup (worldview),
kepentingan, dan politis Barat yang ingin merusak keyakinan umat Islam terhadap
kitab sucinya.
Penutup
Melihat
framework kajian Al-Qur’an orientalis dapat disimpulkan beberapa poin
penting. Pertama, kajian yang dilakukan orientalis terhadap
Al-Qur’an bias kepentingan. Kedua, objektifitas kajian
orientalis terhadap Al-Qur’an tidak dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya. Ketiga,
kajian Al-Qur’an orientalis merupakan upaya dalam meragukan dan merusak
akidah umat Islam. Karena tujuan akhirnya adalah: Al-Qur’an tidak benar, karena
merupakan hasil “jiplakan” (borrowing) dari kitab-kitab sebelumnya,
khususnya Bible. Dan terakhir, dengan demikian, dalam pandangan
orientalis, Al-Qur’an bukan Firman Allah.
Tentu saja, pandangan-pandangan
orientalis yang pejorative di
atas tidak dapat diterima oleh umat Islam. Karena menurut mereka, Al-Qur’an
adalah wahyu Allah. Karena demikian, pendekatan dalam mengkajinya pun
tidak boleh bias kepentingan. Selain itu, kajiannya harus dilakukan
secara “objektif”: menggunakan piranti dan ilmu yang benar. Karena tujuan dari
kajian terhadap Al-Qur’an adalah menguatkan iman dan mengukuhkan akidah. Satu
lagi, kaum Muslimin berpandangan dan benar-benar haqq al-yaqin bahwa
Al-Qur’an adalah Kitabullah. Dengan demikian, Al-Qur’an pasti benar,
pasti valid, dan pasti suci. Berdasarkan ini pula framework kajian
orientalis terhadap Al-Qur’an wajib ditolak.
—Wallāhu min war’āi-l-Qashdi wa minhu al-‘awun wi bihi al-Tawfīq—
[1] Abraham
Geiger, “What Did Muhammad Borrow from Judaism”, dalam Ibn Warraq (ed.), The
Origins of the Koran: Classic Essays on Islam’s Holy Book (New York:
Prometheus Books, 1998), hlm. 165. Tulisan Geiger ini aslinya dimuat sebagai
bagian dari buku Judaism and Islam (Madras, 1898).
[2] Lihat, Qs.
al-Baqarah (2): 185.
[3] Cermati, Qs.
al-Nisā’ (4): 82. Cermati juga, Qs. Muhammad (47): 24.
[4] Lihat lebih
lanjut, Qs. al-Isrā’ (17): 9.
[5] Bagaimana pun,
amat sulit untuk dikatakan bahwa Perjanjian Lama (Old Testament, al-‘Ahd
al-Qadīm) dan Perjanjian Baru (New Testament, al-‘Ahd al-Jadīd) saat
ini sebagai “kitab suci” yang masih memuat secara murni Firman Allah yang
pernah diwahyukan kepada nabi Mūsā dan nabi ‘Īsā. Tentunya dengan berbagai
alasan, dan yang terpenting: kedua Perjanjian tersebut memuat pelecehan
terhadap Allah, para nabi-Nya, dsb. Dengan begitu, PL tidak dapat dikatakan
sebagai “Taurāt” dan PB tidak layak disebut “Injīl”. Karena Taurāt dan Injīl
yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an memuat wahyu-Nya yang diturunkan kepada
nabi Mūsā dan nabi ‘Īsā.
[6] Cermati, Qs.
al-Hijr (15): 9.
[7] Lihat, ‘Abd
Allāh as-Syarqāwī, al-Istishrāq wa al-Ghārah ‘alā al-Fikr al-Islāmī,
hlm. 6-7.
[8] Mustafā
as-Sibā‘ī, al-Istisyrāq wa al-Mustasyriqūn, hlm. 18.
[9] Husayn
Haykal, Hayāt Muhammad, hlm. 29.
[10] Lihat,
as-Syarqāwī, al-Istisyrāq: Dirāsah, hlm. 7, 7-10.
[11] As-Syarqāwī, al-Istisyrāq:
Dirāsah, hlm. 10-11.
[12] Untuk
fase-fase perkembangan orientalisme, dapat dilihat dalam tulisan Hamid Fahmy
Zarkasyi, “Mengkritisi Kajian Islam Orientalis”, ISLAMIA 2, No. 3
(Desember, 2005), hlm. 5-7.
[13] Prof. Dr.
Muhammad Mustafā al-Azamī, The History of the Qur’ānic Text from Revelation
to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testaments
(Leicester-England: UK Islamic Academy, 1423 H/2003 M), hlm. xv. Lihat juga,
Muhammad Mohar Ali, The Qur’ān and the Orientalists (Ipswich: Jam‘iyat
Ihyaa’ Minhaj al-Sunnah, 2004), hlm. v.
[14] Lihat, Robert
Spencer, The Truth About Muhammad: Founder of the World’s Most Intolerant
Religion (Washington: Regnery Publishing, Inc., 2006), hlm. 47-71.
[15] Lihat
bantahannya dalam Moustafa Zayed, The Lies about Muhammad: An Answer to the
Robert Spencer book “The Truth About Muhammad” (USA, 2010).
[16] Lebih detail,
lihat Josep Qezzī, Masīh al-Qur’ān wa Masīh al-Muslimīn
(Lebanon: Diyār ‘Aql, 2006).
[17] Lihat, Ibn
Warraq (ed.), The Origins of the Koran: Classic Essays on Islam’s Holy Book
(New York: Prometheus Book, 1998). Lihat juga karyanya, Why I Am Not a
Muslim? (New York: Prometheus Book, 1995).
[18] Lihat, Encyclopédie
de l’Islam (Leiden: Meisonneveuvre et Larose, 2ème edition, 1985), 5: 405.
[19] Lihat, Arthur
Jeffery, Materials for the History of the Text of the Quran (Leiden:
E.J. Brill, 1937), hlm. 10, 26-208, 240-339.
[20] Dikutip dari
Labīb as-Sa‘īd, al-Jam‘ as-Shawtī al-Awwal li al-Qur’ān (Cairo: Dār
al-Kitāb al-‘Arabī li at-Thibā‘ah wa an-Nasyr, 1387 H/1967 M), hlm. 411. Lihat
juga, MusÏā al-A‘zhamī, The History of the Qur’ānic Text from Revelation to
Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testaments
(Leicester-England: UK Islamic Academy, 2003), hlm. 303-304.
[21] Ignaz
Goldziher, Madzāhib at-Tafsīr al-Islāmī, Terj. ‘Abd al-Halīm
an-Najjār (Mesir: Maktabah al-Khānajī/Baghdad: Maktabah al-Mutsinnā, ttp), hlm.
48. Buku ini kemudian didistribusikan oleh percetakan as-Sunnah al-Muhammadiyyah
(Cairo, 1374 H/1995 M).
[22] Lihat, Imam
Jalāl al-Dīn as-Suyūthī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, tahqīq:
Markaz ad-Dirāsāt al-Qur’āniyyah, 6 Jilid (al-Madīnah al-Munawwarah: Maktabah
al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, 1426 H), 2: 380.
[23] Lihat, Fazlur
Rahman, Major Themes of the Qur’ān (Minneapolis: Bibliotheca Islamica,
1994), hlm. 151. Lihat juga karyanya, Islam, Terj. Ahsin Mohammad
(Bandung: Penerbit Pustaka, 1424 H/2003 M), hlm. 2. Bandingkan dengan, ‘Abd
al-Rahmān Hulalī, “al-Mujtama‘ al-‘Arabī Qabla al-Islām: Dirāsah
Qur’āniyyah”, Al-Tasamoh IX (1426 H/2005 M), hlm. 132-133. Lihat juga,
Jawād ‘Alī, al-Mufashshal fī Tārīkh al-‘Arab Qabla al-Islām, 10 Jilid
(Iraq, 1413 H), 6: 586-587.
[24] Lihat, Will
Durant, The Story of Civilization, Part I, [Our Oriental Heritage]
(New York: Simon and Schuster, 1954), I: 322. Sebelum mengutip bait syair dari
salah seorang kafilah yang diasingkan ke Babylonia di atas, Durant mengawalinya
dengan kata-kata, “Later a Jewish poet sang one of the world’s great
songs about that unhappy caravan.” Lihat juga edisi Arabnya dalam Will
Durant dan Ariel Durant, Qishshat al-Hadhārah, Terj. Muhammad
Badrān (Beirut-Lebanon: Dār al-Jīl, 1408 H/1988 M), 1: 358.
[25] Qs. Āli ‘Imrān
(3): 3.
[26] Qs. Āli ‘Imrān
(3): 52.
[27] Gospel Matius
1: 8.
[28] Gospel Matius
2.
[29] Gospel Matius
2: 2.
[30] Gospel Matius
27.
[31] Kata Injīl
dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 12 kali, dalam Qs. Āli ‘Imrān (3): 3, 48,
65; al-Mā’idah (5): 46, 47, 66, 68, 110; al-A‘rāf (7): 157, at-Tawbah (9): 111;
al-Fath (48): 29; al-Hadīd (57): 37. Lihat, Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī,
al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm (Cairo: Dār al-Hadīts,
1428 H/2007 M), hlm. 783-784.
[32] Qs. an-Nisā’
(4): 171.
[33] Qs. al-Mā’idah
(5): 116-117.
[34] Qs. al-Mā’idah
(5): 72.
[35] Qs. an-Nisā’
(4): 152.
[36] Qs. Āli ‘Imrān
(3): 52.
[37] Kenneth Cragg,
The Call of Minaret (New York: Orbis Books, 2nd Edition,
1985), hlm. 66.
[38] Kata Christy
Wilson, “Scholars hold that a number of [Qur’ānic stories] may be traced to
Jewish Talmudic sources and apocryphal gospels rather than to the Olad and New
Testaments.” Lihat, Christy Wilson, Introducing Islam (New York:
Friendship Press, 1950), hlm. 30-31.
[39] Clair-Tisdall,
The Original Sources of the Qur’ān (London: Society for the Promotion of
Christian Knowledge, 1905), hlm. 210-211.
[40] Lihat,
Muhammad Fārūq Zayn, al-Masīhiyyah wa al-Islām wa al-Istisyrāq
(Beirut: Dār al-Fikr al-Mu‘āshir, 2003), hlm. 234.
[41] Lihat, ‘Abd
al-‘Azhīm Dīb, “al-Manhaj ‘inda al-Mustasyriqīn”, dalam Hawliyyāt
Kulliyyat al-Syarī‘ah wa al-Dirāsāt al-Islāmiyyah 5 (1409 H): 363.
[42] ‘Abd al-‘Azhīm
Dīb, “al-Manhaj ‘inda al-Mustasyriqīn”, hlm. 363.
[43] Ignaz
Goldziher, Madzāhib al-Tafsīr al-Islāmī, hlm. 4.
[44] Lihat,
Goldziher, al-‘Aqīdah wa al-Syarī‘ah fī al-Islām, Terj. Dr. Muhammad
Yūsuf Mūsā, Dr. ‘Alī Hassan ‘Abd al-Qādir, dan Prof. ‘Abd al-‘Azīz ‘Abd
al-Haqq (Mesir: Dār al-Kutub al-Hadītsah/Baghdad: Maktabah
al-Mutsinnā, tanpa tahun), hlm.
[45] Al-A‘zamī,
The History of the Qur’ānic Text, hlm. 228-229.
[46] Al-A‘zamī,
The History of the Qur’ānic Text, hlm. 231.
[47] Al-A‘zamī,
The History of the Qur’ānic Text, hlm. 232.
[48] Al-A‘zamī,
The History of the Qur’ānic Text, hlm. 234.
[49] Theodor
Nöldeke, Tārīkh al-Qur’ān, 1: 53.
[50] Theodor
Nöldeke, Tārīkh al-Qur’ān, 1: 69-104, 105-128-148.
[51] Lihat, Imam
Badr al-Dīn Muhammad ibn ‘Abd Allāh al-Zarkasyī, al-Burhān fī ‘Ulūm
al-Qur’ān, tahqīq: Muhammad Abū al-Fadhl Ibrāhīm, 4 Jilid (Cairo: Maktabah
Dār al-Turāts, 1404 H/1984 M), 1: 192.
[52] Imam
al-Suyūthī, al-Itqān, 2: 406.
1 Comments:
Rb88 - Best Betting Sites in the World 2021 - ThTopBet
Rb88 is a trusted online fun88 vin betting website with a varied sportsbook portfolio that includes some rb88 of the best sportsbooks around, such as Soccer, Boxing,
Posting Komentar
<<Kembali ke posting terbaru