pemikiran: Kerancuan Pemikiran Islam Liberal-Sekular:
|
Minggu, April 15, 2007Kamis, April 12, 2007“Menolak Ayat-ayat Pluralisme [3]”: Menyoal Konsep “Syir‘ah-Minhâj” dan Perselisihan Umat dan Syariat Manusia Dalam tulisan yang lalu telah dijelaskan konsep al-Qur’an sebagai “muhaymin”. Kali ini, tulisan ini mencoba menyelisik konsep “syir‘ah-minhâj” dan “perselisihan umat manusia dan syariat” yang dianggap oleh kaum pluralis-inklusif sebagai bentuk ‘sunnatullah’. Hemat penulis, klaim seperti ini masih debatable dan perlu dibahas lebih lanjut. Syir‘ah dan Minhâj Dalam buku Fiqih Lintas Agama, Nurcholish Madjid menulis: “Sementara dîn atau inti agama itu sama, kepada setiap golongan dari kalangan umat manusia Allah menetapkan syir‘ah (atau syarî‘ah, yakni jalan) dan minhâj (cara) yang berbeda-beda, sebab Allah tidak menghendaki umat manusia itu satu dan sama semua dalam segala hal. Allah menghendaki agar mereka saling berlomba-lomba menuju kepada berbagai kebaikan. Seluruh umat manusia akan kembali kepada Allah dan kelak Dialah yang akan membeberkan hakikat perbedaan antara manusia itu (QS. 5: 48). Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa untuk setiap umat telah ditetapkan Allah upacara-upacara keagamaan atau mansak (jamak: manâsik) mereka yang harus mereka laksanakan (QS. 22: 34 dan 68). Berkaitan dengan ini adalah keterangan dalam al-Qur’an bahwa setiap golongan atau umat mempunyai wijhah (titik “orientasi”, tempat mengarahkan diri), yang dilambangkan dalam konsep tentang tempat suci seperti Makkah dengan Masjid Haram dan Ka‘bah untuk kaum Muslim. Umat manusia tidak perlu mempersoalkan adanya wijhah untuk masing-masing golongan itu, dan yang penting ialah semuanya berlomba-lomba menuju berbagai kebaikan. Di mana pun manusia berada, Allah akan mengumpulkan semua mereka menjadi satu (jamî‘an).”[1] Karena konsep “Pluralisme Agama” dibangun oleh kaum inklusif-pluralis lewat ayat-ayat al-Qur’an, maka ada baiknya untuk melihat pandangan para ulama (mufassir) dalam menyikapi ayat-ayat tersebut. Apalagi oleh Nurcholish, Qs. 2: 148 dan 4: 48 dipandang sebagai “pluralitas agama” dalam “berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan, koeksistensi damai, dan keadilan, serta perlakuan yang sama”.[2] Menurut imam al-Qurthubi, kata [likullin ja‘alnâ minkum “syir‘atan wa minhâjan”] adalah ketidakbergantungan (ketidakberkaitan) dengan syariat-syariat umat – para nabi – yang terdahulu. Syir‘ah dan syarî‘ah maknanya al-tharîqah al-zhâhirah (“jalan yang jelas, terang”) yang menyampaikan kepada keselamatan (al-najâh). Secara etimologi, kata syarî‘ah adalah: jalan yang membawa kepada pengairan. Dan syariat adalah apa yang disyariatkan oleh Allah kepada hamba-Nya, dalam bentuk agama...”[3] Menurut Abu al-‘Abbas Muhammad ibn Yazîd, syariat adalah titik permulaan satu jalan dan minhâj adalah jalan yang bersambung. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan al-Hasan dan selain mereka, “syir‘atan wa minhâjan” adalah: “sunnatan wa sabîlan” (sunnah/kebiasaan dan jalan). Makna dari ayat tersbut adalah: Allah menjadikan Taurat untuk pemiliknya, Injil untuk pemiliknya dan al-Qur’an untuk pemiliknya. Hal ini dalam masalah syariat dan ibadah. Dalam dasar (konsep genuine) tauhid tidak ada perbedaan. Makna tersebut diriwayatkan dari Qatâdah. Menurut Mujahid, al-syir‘ah wa al-minhâj adalah “agama Muhammad saw.” Dengan agamanya ini, seluruh agama telah di-naskh (dihapus).[4] Menurut Ibnu Abî Hâtim, dari Abu Sa‘îd al-Asyaj → Abu Khâlid al-Ahmar → Yûsuf ibn Abî Ishâq → bapaknya → al-Tamîmî → Ibnu ‘Abbas: [likullin ja‘alnâ minkum syir‘atan] “sabîlan” (jalan). Juga dari Abu Sa‘îd → Wakî‘ → Sufyân ibn Abî Ishâq → al-Tamîmî → Ibnu ‘Abbas: [wa minhâjan]: “sunnatan” (sunnah: tradisi/kebiasaan).[5] Satu riwayat yang perlu dicermati adalah apa yang dicatat oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya. Beliau mencatat: “Sa‘îd ibn Abi ‘Arûbah → Qatâdah: [likullin ja‘alnâ minkum syir‘atan wa minhâjan]: “sabîlan wa sunnatan”. Sunnah-sunnah itu berbeda-beda di dalam Taurat, Injil dan al-Furqân (al-Qur’an), dimana Allah menghalalkan dan mengharamkan apa saja di dalam kitab-kitab tersebut menurut kehendak-Nya, untuk mengetahui siapa yang “menaati-Nya” dan siapa yang “membangkang” kepada-Nya. Agama yang tidak diterima oleh Allah adalah “tauhid dan keikhlasan” kepada-Nya, yang dibawa oleh para rasul.”[6] Ulama sepakat bahwa syariat setiap agama (Yahudi, Kristen dan Islam) berbeda, tapi tauhid tidak. Karena pada hakikatnya para nabi itu berada dalam satu agama (Islam) untuk ‘banyak keluarga’. Hal ini dengan sangat gamblang dijelaskan dalam Shahîh Bukhari dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. bersabada: “Kami para nabi adalah bersaudara, namun berbeda keluarga (dari banyak keluarga), agama kami adalah satu.” (HR. Bukhari: [3187], tanpa kata ‘innaâ ma’syir’: kami para....).[7] Namun, dengan adanya berbagai tahrîf (korupsi, penyelewengan dan penyimpangan)[8] dalam agama kaum Ahli Kitab, maka tidak ada ajaran tauhid yang benar kecuali dalam Islam, yang dibawa oleh Kanjeng Nabi saw. Maka wajar jika al-Qur’an dijadikan oleh Allah sebagai muhaymin (“batu ujian”). Karena, menurut al-Zamaksyari (467-538 H), al-Qur’an menjadi raqîb (“pengawal, penjaga”) bagi seluruh kitab. Dan karena al-Qur’an memberikan kesaksian tentang kebenaran dan ketetapan (ajaran) yang ada di dalam kitab-kitab tersebut.[9] Jika tauhid kemudian dirubah menjadi dogam Trinitas dalam agama Kristen, dan Tuhan menjadi “Tuhan Material dan Nasionalistik” dalam agama Yahudi, apakah masih dikatakan “tauhid”?. Ketika Allah menyatakan bahwa kaum Ahli Kitab ada yang melakukan tahrîf terhadap kitab suci mereka, secara otomatis ini menerangkan kebenaran al-Qur’an: yang tidak ‘dimasuki’ kebatilan; baik dari depan maupun dari belakangnya (Qs. Fushshilat [41]: 42). “Perselisihan Umat Manusia dan Syariat”; Apa Tujuannya? Jika Nurcholish menyatakan bahwa perbedaan syariat, minhâj dan wijhah merupakan cara Allah agar manusia “berlomba-lomba menuju berbagai kebaikan”, maka ini perlu dilihat kembali. Benarkah demikian? Atau ada tujuan khusus di balik itu semua? Ketika mengomentari kata ayat laja‘alakum ummatan wâhidah wa lâkin liyabluwakum fîmâ âtakum fa’stabiqû al-khayrât, ilâ Allâhi marji‘ukum fayunabbi’ukum bimâ kuntum fîhi takhtalifûn, al-Zamakhsyari memberikan komentar yang sangati baik: “[laja‘alakum ummatan wahidatan]: kelompok yang sepakat atas satu syariat, atau memiliki satu umat atau satu agama yang tidak ada pertentangan di dalamnya [wa lâkin], namun Allah menginginkan [liyabluwakum fîmâ âtâkum, Allah ingin menguji terhadap pemberian-Nya kepadamu] dari syariat-syariat yang berbeda-beda itu. Apakah kalian mau beramal (bekerja) secara patuh dan penuh keyakinan bahwa syariat-syariat yang berbeda tersebut merupakan kebaikan (mashâlih) yang berbeda menurut pelbagai keadaan dan waktu, sembari mengakui bahwa Allah dengan perbedaan tersebut melakukannya berdasarkan satu hikmah? Atau kalian malah mengikuti “ketidakjelasan” (al-syubah) dan bersikap berlebih-lebihan dalam beramal? [fastabiqû al-khayrât]: bergegaslah dan berlomba-lombalah ke arahnya (berbuat berbagai kebajikan), [ilâ Allâhi marji‘ukum]: kalimat pembuka (isti’nâf) dalam makna “sebab” untuk berlomba-lomba dalam melakukan berbagai kebajikan itu, [fayunabbi’ukum]: niscaya Dia akan membeberkan apa yang tidak kalian ragukan bersama itu, yaitu ganjaran ‘pemisah’ (akhir, pemutus) antara orang yang benar dan salah di antara kalian, yang benar-benar beramal dan berlebih-lebihan dalam beramal.”[10] Artinya, perbedaan syir‘ah dan minhâj merupakan “ujian” dari Allah swt., apakah umat (penganut) agama sebelum Islam yang dibawah oleh Nabi saw. mau ikut agama beliau atau tidak. Sama halnya ketika Allah swt. menurunkan ajaran agama Masehi kepada Yesus, apakah umat Yahudi mau menerima beberapa syariat yang berbeda dari agama yang selama ini mereka anut atau tidak. Karena tujuan perbedaan tersebut, kata al-Qurthubi, Allah ingin menguji keimanan satu kaum dan kekufuran kaum yang lain.[11] Oleh karena itu, kata fastabiqû al-khayrat menurut Ibnu Katsir adalah: ketaatan kepada Allah dan mengikuti syariat-Nya yang dijadikannya sebagai “penghapus” (nâsikh) bagi syariat sebelumnya dan pembenaran kitab-Nya, al-Qur’an, yang merupakan kitab terakhir yang diturunkannya.[12] Hal ini semakin jelas, ketika Allah memerintahkan Nabi saw. untuk menjalankan hukum al-Qur’an di tengah-tengah kaum Ahli Kitab (Qs. Al-Mâ’idah [5]: 49). Jika kaum Ahli Kitab tetap pada agamanya masing-masing (Yahudi pada Judaisme, dan Kristen pada Kristianitas), maka itu merupakan hak mereka. Itu lah konsep “kebebasan beragama” yang sangat dijunjung tinggi oleh al-Qur’an. Dan itu akan dipertanggungjawabkan oleh mereka di hadapan Allah swt. Itu lah, hemat penulis, mengapa Allah tidak menjadikan agama itu satu saja, atau satu syariat saja. Karena Allah benar-benar Mahakuasa untuk menjadikan umat manusia menjadi “satu umat”, dan menjadikan agama dan syariat menjadi “satu agama-satu syariat”. Mengapa umat Kristen dan Islam tidak disuruh mengikuti agama Yahudi yang dibawa Musa saja? Dengan begitu Allah tidak perlu menurunkan agama Masehi dan tidak perlu menurunkan Injil atau al-Qur’an. Tujuannya adalah satu: menguji ketaataan umatnya. Oleh karena itu, fastabiqû al-khayrât! Taati dan ikuti kebenaran Islam dan al-Qur’an yang diturunkan kepada baginda Rasulillah saw! Berlomba-lombalah memburu pelbagai kebaikan yang ada di dalam agama terakhir ini, Islam.[] Wallâ a‘lamu bi al-shawâb. (Egypt, 9 April 2007) [1] Mun‘im A. Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, bekerjasama dengan The Asia Foundation, cet. IV, 2004), hlm. 20. Sebelum menulis dalam Fiqih Lintas Agama ini, Nurcholish juga pernah menulis tentang “pluralisme agama” ini dalam buku Passing Over: Melintasi Batas Agama. Lihat: Komaruddin Hidayat dan Ahamad Gaus AF (ed.), Passing Over: Melintasi Batas Agama, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina, cet. III, 2001), hlm. 181-182 [dalam tulisannya yang berjudul: “Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam”]. Setelah mengutip komentar Muhammad Asad terhadap Qs. Al-Mâ’idah [5]: 48, Nurcholish menyatakan: “Itu secara langsung berkaitan dengan prinsip bahwa Allah dalam al-Qur’an sangat mencerca Rasul ketika ia berhasrat memaksa umat menerima dan mengikuti agamanya. “Jika Tuhanmu menghendaki, niscaya semua manusia yang ada di bumi beriman seluruhnya. Hendak kau paksa jugakah orang supaya beriman?” (Qs. Yûnus [10]: 99) [ibid.]. Secara terang-terangan di sini Nurcholish malah memutarbalikkan permasalahan, dari konsep “pluralisme” yang ditawarkannya kepada “kebebasan beragama”. Dalam masalah kebebasan beragama, sikap Islam sangat jelas dan tegas: “Lakum dînukum waliya dîn.” (Qs. Al-Kâfirûn [109]: 6). [2] Ibid., hlm. 21. [3] Abu ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, pengantar: Hânî al-Hâj, tahqîq dan takhrîj hadits: ‘Imâd Zakî al-Bârûdî dan Khayrî Sa‘îd, (Cairo: al-Maktabah al-Tawfîqiyyah, ttp), 6: 185. [4] Ibid. [5] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, takhrîj hadits: Mahmûd ibn al-Jamîl, Walîd ibn Muhammad ibn Salâmah, Khâlid ibn Muhammad ibn ‘Utsmân, (Cairo: Maktabah al-Shafâ, cet. I, 2004), 3: 78. Lihat juga ulasannya pada halaman 78-79. [6] Ibid. Ini merupakan riwayat yang benar dari dua riwayat yang disebutkan oleh Ibnu Katsir. [7] Ibid. [foot-note]. [8] Lihat: Qs. al-Baqarah [2]: 75, Al-Nisâ’ [4]: 46, dan al-Mâ’idah [5]: 13 & 41. [9] Imam Abu al-Qâsim Jâr Allâh Muhmud ibn ‘Umar Muhammad al-Zamaksyari, Tafsîr al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq Ghawâmidh al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl, (Beirut-Libanon: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. III, 1995), 1: 627. [10] Ibid. [11] Al-Qurthubi, loc. cit. [12] Ibnu Katsir, op. cit., 79. Bandingkan dengan al-Shâbûnî, Shafwah al-Tafâsîr, (Cairo: Dâr al-Shâbûnî, ttp), 1: 347.
“Menolak Ayat-ayat Pluralisme [2]”Menolak Ayat-ayat Pluralisme [2]: Islam “Dîn” Terakhir dan Al-Qur’an The Last Testament Pada tulisan pertama, telah dibahas satu ayat yang diklaim sebagai “Ayat Pluralisme”, yaitu Qs. Al-Baqarah [2]: 62. Dalam tulisan ini akan dibahas tentang konsep “al-dîn” dan “Qs. Al-Mâ’idah [5]: 48”, yang juga – oleh kaum pluralis – disalahpahami dan dianggap sebagai “Ayat Pluralisme”. Memahami Konsep “Agama” (al-Dîn) Alwi Shihab dalam bukunya Islam Inklusif menolak syariat Nabi Muhammad saw. sebagai syariat “pamungkas”. Artinya, dia menolak konsep naskh syarî‘ah yang ada dalam konsep Islam. Dalam bukunya itu, Alwi menulis bahwa ayat al-Qur’an yang selalu digunakan untuk mengklaim dan mendukung ekslusivisme Islam adalah: “Barangsiapa yang mencari selain agama Islam sebagai agama (dîn), maka mereka tertolak.” Menurutnya, Islam tidak saja diperuntukkan bagi kaum Muslim saja, tetapi juga mereka yang percaya kepada Tuhan sepanjang sejarah umat manusia.[1] Tentu saja ini pendapat yang misleading alias keliru. Jika pendapatnya demikian, maka seyogyanya umat Yahudi dan Kristen juga menerima “Islam” sebagai agama mereka. Realitsnya lebih kompleks dari itu. Nabi Muhammad sendiri telah menyatakan dengan sangat tegas, “Kami, seluruh para nabi agama kami adalah satu. Dan aku manusia yang paling berhak terhadap Ibnu Maryam (Yesus Kristus, Islam: ‘Isa al-Masih). Tidak ada seorang nabipun diantara aku dan dia.”[2] Apa sebenarnya “Dîn al-Islâm” itu? Menurut “Syeikhul Islam”, Ibnu Taimiyyah (661-728 H), agama yang diridhai oleh Allah memang “Islam”. Secara mendetail beliau menjelaskan: “Agama-Nya yang diridhai oleh-Nya adalah agama Islam, yang dengannya Allah telah mengutus para rasul yang awal (al-awwalîn) dan yang kemudian (al-âkhirîn). Dia tidak menerima dari seseorang agama selain Islam; tidak dari orang-orang terdahulu tidak pula dari yang kemudian (belakangan). Islam adalah agama para nabi dan para pengiktunya, sebagaimana yang dikabarkan oleh Alah tentang Nûh dan umat setelahnya dari para Hawâriyyîn – pengikut setia Yesus Kristus_red. Allah swt. berfirman: “Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun dari padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya).” (Qs. Yûnus [10]: 71-72). Tentang Ibrahim, Allah swt. berfirman: “Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya‘qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 130-132). Tentang Yûsuf “Si Jujur” (al-Shiddîq) Allah swt. berfirman: “Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (Qs. Yûsuf [12]: 101). Tentang Mûsâ, Allah swt. berfirman: “Berkata Musa: “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang Muslim.” (Qs. Yûnus [10]: 84). Tentang para penyihir, Allah menjelaskan bahwa mereka berkata kepada Fir‘aun: “Dan kamu tidak menyalahkan kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami.” (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan Islam (kepada-Mu).” (Qs. Al-A‘râf [7]: 126). Tenang Balqis, Ratu Yaman, Allah swt. berfirman: “Dikatakan kepadanya: “Masuklah ke dalam istana.” Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: “Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca.” Berkatalah Balqis: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri (ber-Islam) bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (Qs. Al-Naml [27]: 44). Tentang para nabi Bani Israil, Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Qs. Al-Mâ’idah [5]: 44). Dan tentang Kristus (al-Masîh), Allah swt. berfirman: “Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri (Muslimûn).” (Qs. Āli ‘Imrân [3]: 52) dan “Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia: “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku.” Mereka menjawab: Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu).” (Qs. Al-Mâ’idah [5]: 111). Itulah agama para nabi yang terdahulu dan kemudian dan para pengikutnya. Dialah agama Islam, dan merupakan peribadatan kepada Allah semata, tanpa sekutu bagi-Nya. Dan ibadah kepada Allah di setiap zaman dan tempat dengan cara menaati para rasul-Nya ‘alayhimussalâm. Tidak dianggap sebagai seorang hamba (‘Ābid) siapa yang menyembah-Nya bertentangan dengan apa yang dibawa oleh para rasul-Nya, seperti yang – tentang mereka – disebutkan oleh Allah swt: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (Qs. Al-Syûrâ [42]: 21). Maka, tidak dianggap sebagai seorang yang beriman (Mukmin) kepada-Nya, kecuali yang menyembah-Nya dengan cara menaati – ajaran – para rasul-Nya. Tidak dianggap sebagai seorang Mukmin kepada-Nya dan seorang hamba-Nya, kecuali yang beriman kepada seluruh rasul-Nya dan taat kepada siapa yang diutus kepadanya. Maka, dia – seyogyanya – taat kepada setiap rasul, sampai tiba seorang rasul setelahnya. Jika sudah tiba, maka ketaatannya beralih kepada rasul kedua – yang datang setalah rasul petama. Allah swt. berfirman: “Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (Qs. Al-Nisâ’ [4]: 64). Barangsiapa yang memisahkan – membeda-bedakan – para rasul-Nya, lalu dia beriman kepada sebagian dan kafir – tidak beriman – kepada sebagian yang lain, maka dia adalah “kafir”. Seperti dijelaskan oleh Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Nisâ’ [4]: 150-152).[3] Dalam Qs. Ali ‘Imrân [3]: 85 Allah secara jelas berfirman, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” Imam Ibnu Katsir memberikan penafsiran yang sangat baik terhadap ayat ini. Beliau menulis: “Artinya: barangsiapa yang melalui jalan selain yang disyariatkan oleh Allah, maka tertolak (tidak diterima darinya) [wa huwa fî al-âkhirati min al-khâsirîn]. Sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi saw dalam hadits shahîh: “Barangsiapa yang beramal tidak berdasarkan perintah (ajaran) kami, maka ia tertolak.”[4] Imam Ahmad berkata: dari Abû Sa‘îd, hamba – yang dimerdekakan, mawlâ – Banî Hâsyim → ‘Ibâd ibn Râsyid→ al-Hasan → Abu Hurayrah, ketika itu kami berada di Madinah. Dia berkata: “Rasulullah saw. bersabda: “Seluruh amalan datang pada Hari Kiamat. Maka datanglah shalat, lalu berkata: “Wahai Rabb, aku shalat.” Kemudian Allah berfirman: “Engkau baik.” Kemudian datang sedekah dan berkata: “Ya Rabb, aku sedekah.” Engkau baik,” kata Allah. Lalu datang puasa dan berkata: “Ya Rabb, aku puasa.” “Engkau baik,” kata Allah. Seluruh amal datang dan semua dikatakan oleh Allah dalam keadaan baik. Kemudian datang “Islam” dan berkata: “Wahai Allah, engkau adalah keselamatan (al-Salâm) dan aku adalah Islam.” Lalu Allah berfirman: “Engkau baik. Pada hari ini aku memberi siksa karena engkau, dan memberi karena engkau.” Allah befirman di dalam kitab-Nya: [“wa man yabtaghi ghayra al-Islâm dînan falan yuqbala minhu wa huwa fî al-âkhirati min al-khâsirîn”].”[5] Abdullah Yusuf Ali memberi komentar yang sangat baik terhadap ayat di atas. Ali berkomentar: “The Muslim position is clear. The Muslim does not claim to have a religion peculiar to himself. Islam is not a sect or an ethnic religion. In its view all Religion is one, for the Truth is one. It was the religion preached by all the earlier Prophets. It was the truth taught by all the inspired Books. In essence it amounts to a consciousness of the Will and Plan of Allah and a joyful submission to that Will and Plan. If any one wants a religion other than that, he is fales to his own nature, as he is false to Allah’s Will and Plan. Such a one cannot expect guidance, for he has deliberately renounced guidance.”[6] Jadi, memang sudah merupakan iradah dan rencana Allah menurunkan agama terakhir itu Islam namanya. Tentu saja ini bertolak-belakang dengan klaim kaum pluralis yang menyatakan bahwa “semua agama benar”. Nurcholish Madjid malah mengartikan kata “din” sebagai “inti agama”.[7] Tentu saja salah besar mengartikan kata “dîn” dengan “inti agama”. Hal ini akan sangat kontras, ketika Qs. Āli ‘Imrân [3]: 85 diartikan demikian: “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai satu “inti agama”...”. Keliru dalam mengartikan kata “dîn” membawa konsekwensi yang fatal. Oleh karena Abu al-A‘la al-Maududi mengusulkan agar dapat memahmi konsep “al-dîn” secara benar. Menurutnya, ada empat terminologi dalam al-Qur’an yang harus dikuasai bagi siapa saja yang ingin mempelajari al-Qur’an dan mendalami maknanya, salah satunya adalah terma “al-dîn”.[8] “Islam” adalah nama satu agama (al-dîn) yang sudah final diberikan untuk “agama Islam”.[9] Ibnu Taimiyyah memberikan catatan yang sangat baik tentang Qs. Āli ‘Imrân [3]: 85 – sebagai bantahan beliau kepada orang yang menolak bahwa Islam hanya untuk bangsa Arab[1] – di atas. Beliau menyatakan bahwa firman Allah [wa man yabtaghi ghayra al-Islâmi dînan falan yuqbala minhu wa huwa fî al-âkhirati min al-khâsirîn] shighah-nya (bentuk) umum dan bentuk (shighah) syarat merupakan bentuk umum (al-‘umûm) yang paling baik, seperti firman Allah swt.: “Faman ya‘mal mitsqâla dzarratin khayran yarahu. Wa man ya‘mal mitsqâla dzarratin syarran yarahu.” (Qs. Al-Zilzâlah [99]: 7-8). Kemudian, konteksnya menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh-Nya adalah kaum Ahli Kitab dan “yang lainnya”. Surah Āli ‘Imrân merupakan seruan (mukhâthabah) kepada Ahli Kitab dan perdebatan dengan kaum Nasrani. Ayat ini turun ketika utusan – Kristen – Najran datang kepada Nabi saw. Diriwayatkan, bahwa mereka berjumlah 60 orang, di dalamnya ada al-Sayyid, al-Ayham dan al-‘Āqib. Kisah mereka itu sangat masyhur...”[10] Jadi, penganut agama apapun – Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, Kejawen, dll – jika mencari selain Islam sebagai “agama”, maka tidak akan diterima. Al-Qur’an: The Last Testament (!) Allah swt. berfirman, “Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan “batu ujian” terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan “aturan” dan “jalan yang terang”. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” Dari ayat ini dapat dianalisis tiga hal. Pertama, al-Qur’an bukan sekedar ‘konfirmator’ (mushaddiq) kitab-kitab sebelumnya (Taurat, Zabur dan Injil), tetapi juga “muhayminan ‘alayhi” (‘batu ujian’). Kedua, konsep “syir‘ah” dan “minhâj”. Dan ketiga, rahasis di balik kata “ummah wahidah” dan syubhat perselihan.[11] Tetapi, kita hanya akan mengulas poin yang pertama saja. Imam al-Qurthubi mengutip pendapat Ibnu ‘Abbas tentang kata “muhayminan ‘alayhi”, artinya “mu’tamina ‘alayhi” (memelihar secara baik terhadap kitab-kita yang terdahulu). Sa‘îd ibn Jubayr menyatakan: “Al-Qur’an itu ‘mu’tamin ‘alayhi’ terhadap kitab-kitab sebelumnya.” Dari Ibnu ‘Abbas dan al-Hasan, maknanya juga: “al-muhaymin al-amîn” (yang terpercaya).[12] Ibnu Katsir mencatat beberapa riwayat yang menguatkan hal itu: “Menurut Sufyân al-Tsaurî dari yang lainnya dari Ibnu Ishâq → al-Taymî → Ibnu ‘Abbas: artinya adalah ‘mu’taminan ‘alayhi’. ‘Ali ibn Abî Thalhah dari Ibnu ‘Abbas menyatakan bahwa artinya: al-muhaymin al-amîn. Ibnu ‘Abbas menyatakan: “Al-Qur’an itu dipercayai untuk memelihara setiap kitab yang turun sebelumnya.” Diriwayatkan juga dari ‘Ikrimah, Sa‘îd ibn Jubayr, Mujahid, Muhammad ibn Ka‘ab, ‘Athiyyah, al-Hasan, Qatâdah, ‘Athâ’ al-Khurâsânî, al-Saddî dan Ibnu Zayd bahwa mereka menyatkan seperti itu juga. Ibnu Jurayj menyatakan: “Al-Qur’an memelihara kitab-kitab yang terdahulu. Apa yang – ajaran kitab-kita tersebut – yang sesuai dengan – isi dan kandungan al-Qur’an – maka dia benar (haqq), dan yang bertentangan maka dia salah (bâthil).” Dari al-Wâlibî dari Ibnu ‘Abbas [wa muhayminan] artinya “syahîd” (saksi). Seperti ini juga yang dikatakan oleh Mujahid, Qatâdah dan al-Saddî. Al-‘Awfî berkata dari Ibnu ‘Abbas berkata: [wa muhayminan] artinya “hâkiman” (yang menjadi hakim) atas kitab-kitab sebelumnya. Pendapat—pendapat ini semua dekat maknanya. Kata muhaymin mencakup semuanya: dia sebagai amîn, syâhid, dan hâkim terhadap kitab-kitab sebelumnya. Allah menjadi kitab yang agung ini (al-Qur’an) yang diturunkannya sebagai kitab terakhir, penutupnya, yang paling komprehensif, paling agung dan paling sempurna, dimana al-Qur’an mengumpulan seluruh kebaikan dan kesempurnaan yang ada di dalam kitab sebelumnya; yang tidak dimiliki oleh kitab sebelumnya. Oleh karena itu, Allah menjadikannya sebagai “saksi”, “penjaga yang terpercaya” dan “hakim” atas semuanya, dan Allah yang memeliharanya. Allah menjelaskan: “Sesungguhnya Kami yang menurunkan ‘al-Dzikra’ (al-Qur’an) dan Kami pulalah yang memeliharanya.” (Qs. Al-Hijr [15]: 9).”[13] Abdullah Yusuf Ali memiliki komentar yang sangat menarik. Ali mencatat: “After the corruption of the older revelations, the Qur’an comes with a twofold purpose: (1) To confirm the true and original Message, and (2) To guard it, or act as a check to its interpretation. The Arabic word Muhaimin is very comprehensive in meaning. It means one who safeguards, watches over, stands witness, preserves, and upholds. The Qur’an safeguards “the Books”, for it has preserved within in the teachings of all the former Books. It waches over these Books int the sense that it will not let their true teachings to be lost. It supports and and upholds these Books in the sense that it corrobrates the Word of Allah which has remained intact in them. It stands a witness because it bears testimony to the Word of Allah contained in these Books and helps to sort it out from the interpretations and commentaries of the people which were mixed with it: What is confirmed by the Qur’an is the Word of Allah and what is aginst it is that of the people.”[14] Jika Taurat (Torah) dianggap dan diakui sebagai Old Testament, Injil (Gospel) diyakini sebagai New Testament, maka al-Qur’an ‘sah’ dianggap dan dikui sertai diyakini sebagai The Last Testament. Hal ini tentunya tidak hanya sebatas subjektivisme, melainkan objektivitas yang benar-benar bisa dipertanggung-jawabkan. Komprehensivitas dan kesempurnaan isi dan kandungan al-Qur’an menguatkan fakta ini. Dalam satu debat lewat email dengan seorang penganut agama Kristen di Jakarta, penulis sempat bertanya, “Jika umat Islam berani untuk membaca Bible, kenapa umat Kristen tidak melakukan hal yang sama untuk membaca isi dan kandungan al-Qur’an?” Teman tersebut menjawab, “Saya tidak perlu membaca al-Qur’an, karena Alkitab sudah sempurna.” Saya jawab lagi, “Jika memang Alkitab sudah sempurna, coba carikan satu ayat di dalamnya yang membicarakan tentang “embriologi”. Jika Anda menemukannya, saya akan memberi Anda Rp. 1000.000,- cash.” Sampai hari ini, teman tersebut tidak mampu menemukan ayat tersebut. Hemat penulis, pendapat kaum pluralis yang menyatakan bahwa al-Qur’an tidak menghapus syari‘at agama-agama sebelumnya, Yahudi dan Kristen, adalah klaim yang rapuh. Wallâhu a‘lamu bi al-shawâb. [] (Egypt, 6 April 2007). [1] Hemat penulis, ini juga sebagai bantahan bagi mereka yang menyatakan bahwa “Islam” bukanya hanya untuk umat Islam saja, tapi untuk seluruh orang yang “berserah diri”, karena menurut mereka al-Islâm secera generic diartikan sebagai “ketundukan” atau “kepasrahan”. Dengan begitu, mereka menganggap bahwa Budha, Hindu, dan agama-agama konvensional – al-dîn al-wadh‘iy, buatan manusia – juga diangga ‘ber-Islam’, karena tunduk kepada Tuhan. [1] Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 103. [2] Dikeluarkan oleh Bukhari [3442] dan Muslim [236]. Hadits dari Abu Hurayrah ra. [3] Syeikhul Islâm Ahmad ibn ‘Abd al-Halîm “Ibnu Taimiyyah”, al-Jawâb al-Shahîh liman Baddala Dîna al-Masîh, tahqîq dan takhrîj hadits: Abû ‘Abd al-Rahmân ‘Ādil ibn Sa‘d, (Cairo: Dâr Ibnu al-Haytsam, 2003), 1 [2 jilid]: 24-26. [4] HR. Muslim [3243]. [5] Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, takhrîj hadits: Mahmud ibn al-Jamîl, Walîd ibn Muhammad ibn Salâmah dan Khâlid ibn Muhammad ibn ‘Utsmân, (Cairo: Maktabah al-Shafâ, cet. I, 2004), 2: 42. [6] Abdullah Yusuf Ali, The Glorious Qur’an, corrected and revised by: F. Amira Zrein Matraji, (Beirut-Libanon: Dâr al-Fikr, 2000), hlm. 150 [foot-note]. [7] Lihat tulisannya dalam Mun‘im A. Sirry (ed.) Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina Bekerjasama dengan The Asia Foundation, cet. IV, 2004), hlm. 20. Dalam sub judul “Tentang Dîn dan Syir‘ah”, Nurcholish menulis: “Inti agama (Arab: dîn) dari seluruh rasul adalah sama (QS. 42: 13), dan umat serta agama mereka itu seluruhnya adalah umat serta agama yang tunggal (QS. 21: 92; 23: 52). Kesamaan dan kesatuan semua agama para nabi juga ditegaskan oleh Nabi s.a.w. sambil digambarkan bahwa para nabi itu adalah satu saudara lain ibu, namun agama mereka satu dan sama. Salah satunya adalah hadis Bukhari, Rasulullah bersabda, “Aku lebih berhak atas Isa putera Maryam di dunia dan akhirat. Para nabi adalah satu ayah dari ibu yang berbeda-beda dan agama mereka adalah satu.” Sementara dîn atau inti agama itu sama, kepada setiap golongan dari kalangan umat manusia Allah menetapkan syir‘ah (atau syari‘ah, yakni jalan) dan minhâj (cara) yang berbeda-beda, sebab Allah tidak menghendaki umat manusia itu satu dan sama semua dalam segala hal. Allah menghendaki agar mereka saling berlomba-lomba menuju kepada berbagai kebaikan. Seluruh umat manusia akan kembali kepada Allah dan kelak Dialah yang akan membeberkan hakikat perbedaan antara manusia itu (QS. 5: 48).” [8] Abu al-A‘la al-Maududi, al-Mushthalahât al-Arba‘ah fî al-Qur’ân, terjemah: Muhammad Kâzhim Sibâq, (Kuwati: Dâr al-Qalam, cet. V, 2004), hlm. 9. Kata “al-dîn” di dalam al-Qur’an menempati posisi satu sistem secara sempurna, terdiri dari empat bagian: (1) kekuasaan (al-hâkimiyyah) dan otoritas tertingi (al-shulthah al-‘ulyâ); (2) ketaatan dan ketundukan terhadap kekusaan dan otoritas tersebut; (3) sistem pemikiran dan praksis (al-nizhâm al-fikriy wa al-‘amaliy) yang terbentuk di bawah otoritas kekuasaan tersebut; dan (4) retribusi (al-mukâfa’ah) yang diberikan oleh otoritas tertinggi untuk mengikuti sistem tersebut dan – menjalankannya – dengan ikhlas, atau membangkang dan ‘bermaksiat’ (tidak taat) kepadanya. Kata al-dîn, terkadang dinisbatkan kepada arti yang pertama dan kedua, terkadang pula dinisbatkan kepada makna yang ketiga dan keempat. Dan dalam satu waktu, kata itu digunakan untuk satu sistem yang sempurna, dengan mencakup keempat makna tersebut. Untuk menjelaskan makna-makan tersebut, berikut ini adalah ayat-ayat yang berbicara tentang masing-masing makna tersebut. Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta memberi kamu rezki dengan sebahagian yang baik-baik. Yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam. Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ‘agama’ kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.” (Qs. Ghâfir [40]: 64-65); “Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri.” Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku.” “Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ‘agama’ kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)…” (Qs. Al-Zumar [39]: 11-12, 17, 2-3); “Dan kepunyaan-Nya-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi, dan untuk-Nya-lah ‘agama’ itu selama-lamanya. Maka mengapa kamu bertakwa kepada selain Allah?” (Qs. Al-Nahl [16]: 52); “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (Qs. Āli ‘Imrân [3]: 83); “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Qs. Al-Bayyinah [98]: 5). Dalam ayat-ayat tersebut disebutkan kata “al-dîn” (agama) yang bermakna “otoritas tertinggi” (al-sulthah al-‘ulyâ), kemudiaan ketaatan terhadap otoritas tersebut, menerima ketaatan dan peribadatannya. Yang dimaksud dengan “mengikhlaskan agama” adalah: seseorang tidak boleh berserah diri kepada selain Allah dengan mengakui “kekuasaan” (al-hâkimiyyah), hukum dan perintah. Ia harus mengikhlaskan ketaatan dan peribadatan kepada-Nya. Keikhlasan yang dengannya dia tidak menghambakan dirinya kepada selain Allah, dan tidak menaatinya dengan ketaatan yang independen pula. Agama dalam makna ketiga contohnya: “Katakanlah: “Hai manusia, jika kamu masih dalam keragu-raguan tentang agamaku, maka (ketahuilah) aku tidak menyembah yang kamu sembah selain Allah, tetapi aku menyembah Allah yang akan mematikan kamu dan aku telah diperintah supaya termasuk orang-orang yang beriman”, dan (aku telah diperintah): “Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik.” (Qs. Yûnus [10]: 104-105); “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Qs. Yûsuf [12]: 40); “Dan kepunyaan-Nyalah siapa saja yang ada di langit dan di bumi. Semuanya hanya kepada-Nya tunduk. Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada diantara hamba-sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepadamu; maka kamu sama dengan mereka dalam (hak mempergunakan) rezeki itu, kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri? Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan…; Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Qs. Al-Rûm [30]: 26 & 28, 29 & 30); “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah…” (Qs. Al-Nûr [24]: 2); “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus…” (Qs. Al-Tawbah [9]: 36); “Demikianlah Kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut ‘agama’ raja…” (Qs. Yûsuf [12]: 76); “Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agama-Nya…” (Qs. Al-An‘âm [6]: 137); “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Qs. Al-Syûrâ [42]: 21); “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (Qs. Al-Kâfirûn [109]: 6). Yang dimaksud dengan “agama” (al-dîn) yang disebutkan seluruhnya oleh ayat-ayat tersebut adalah: undang-undang (al-qânûn, law), hukum-hukum (al-hudûd), syariat, jalan (al-tharîqah), sistem pemikiran dan praksis yang ‘mengingkat’ seorang manusia. Jika otoritas yang dijadikan seseorang itu dalam bentuk undang-undang, atau satu sistem dari otoritas Allah, maka dia tidak akan meragukan agama Allah ‘Azza wa Jalla. Tetapi, jika otoritas tersebut otoritas seorang raja, maka seseorang itu berada dalam ‘agama’ (baca: undang-undang) raja tersebut. Begitu pula jika otoritas tersebut otoritas keluarga atau kerabat atau satu kelompok besar, maka dia berada dalam ‘agama’ mereka itu. Secara ringkas, jika seseorang menganut satu sandaran sebagai sandaran tertinggi, dan hukumnya sebagai hukum final, lalu dia mengikuti satu cara untuk itu, maka – tidak diragukan lagi – dia dengan agamanya itu tunduk. Dan “agama” dalam arti yang keempat: “Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar. dan sesungguhnya (hari) ‘agama’ pasti terjadi.” (Qs. Al-Dzâriyât [51]: 5-6); “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (Qs. Al-Mâ‘ûn [107]: 1-3); “Tahukah kamu apakah hari ‘agama’ itu? Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari ‘agama’ itu? Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.” (Qs. Al-Infithâr [82]: 17-19). Kata “agama” (al-dîn) dalam ayat-ayat di atas artinya al-muhâsabah (‘penghitungan jiwa atau diri’), hukum (al-qadhâ’) dan retribusi (al-mukâfa’ah). [ibid., hlm. 109-114]. [9] Hal ini dikuatkan dan diterangkan oleh firman Allah swt. dalam Qs. Al-Mâ’idah [5]: 3. Dalam komentarnya, Yusuf Ali menjelaskan: “So long as Islam was not organised, with its own community and its own laws, the Unbelievers had hoped to wean the Believers from the new Teaching. (Now that hope was gone, with the complete organisation of Islam.” [Abdullah Yusuf Ali, op. cit., hlm. 252 (foot-note)]. [10] Ibnu Taimiyyah, op. cit., hlm. 219. [11] Masalah “syir‘ah dan minhâj” dan “ummah wahidah” serta syubhat perselisihan umat, akan diulas pada tulisan selanjutnya. Insya Allah. [12] Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, pengantar: Hânî al-Hâj, tahqîq dan takhrîj hadits: ‘Imâd Zakî al-Bârûdî dan Khayrî Sa‘îd, (Cairo: al-Maktabah al-Tawfîqiyyah, ttp), juz 6 [jilid V]: 184. [13] Imam Hâfizh ‘Imâd al-Dîn Abu al-Fidâ’ Ismâ‘îl ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî (700-774 H), Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, takhrîj hadits: Mahmûd ibn al-Jamîl, Walîd ibn Muhammad ibn Salâmah dan Khâlid ibn Muhammad ibn ‘Utsmân, (Cairo: Maktabah al-Shafâ, cet. I, 2004), 3: 78. [14] Abdullah Yusuf Ali, op. cit., hlm. 272 [foot-note].
Menolak Ayat-ayat Pluralisme [2]: Islam “Dîn” Terakhir dan Al-Qur’an The Last Testament Pada tulisan pertama, telah dibahas satu ayat yang diklaim sebagai “Ayat Pluralisme”, yaitu Qs. Al-Baqarah [2]: 62. Dalam tulisan ini akan dibahas tentang konsep “al-dîn” dan “Qs. Al-Mâ’idah [5]: 48”, yang juga – oleh kaum pluralis – disalahpahami dan dianggap sebagai “Ayat Pluralisme”. Memahami Konsep “Agama” (al-Dîn) Alwi Shihab dalam bukunya Islam Inklusif menolak syariat Nabi Muhammad saw. sebagai syariat “pamungkas”. Artinya, dia menolak konsep naskh syarî‘ah yang ada dalam konsep Islam. Dalam bukunya itu, Alwi menulis bahwa ayat al-Qur’an yang selalu digunakan untuk mengklaim dan mendukung ekslusivisme Islam adalah: “Barangsiapa yang mencari selain agama Islam sebagai agama (dîn), maka mereka tertolak.” Menurutnya, Islam tidak saja diperuntukkan bagi kaum Muslim saja, tetapi juga mereka yang percaya kepada Tuhan sepanjang sejarah umat manusia.[1] Tentu saja ini pendapat yang misleading alias keliru. Jika pendapatnya demikian, maka seyogyanya umat Yahudi dan Kristen juga menerima “Islam” sebagai agama mereka. Realitsnya lebih kompleks dari itu. Nabi Muhammad sendiri telah menyatakan dengan sangat tegas, “Kami, seluruh para nabi agama kami adalah satu. Dan aku manusia yang paling berhak terhadap Ibnu Maryam (Yesus Kristus, Islam: ‘Isa al-Masih). Tidak ada seorang nabipun diantara aku dan dia.”[2] Apa sebenarnya “Dîn al-Islâm” itu? Menurut “Syeikhul Islam”, Ibnu Taimiyyah (661-728 H), agama yang diridhai oleh Allah memang “Islam”. Secara mendetail beliau menjelaskan: “Agama-Nya yang diridhai oleh-Nya adalah agama Islam, yang dengannya Allah telah mengutus para rasul yang awal (al-awwalîn) dan yang kemudian (al-âkhirîn). Dia tidak menerima dari seseorang agama selain Islam; tidak dari orang-orang terdahulu tidak pula dari yang kemudian (belakangan). Islam adalah agama para nabi dan para pengiktunya, sebagaimana yang dikabarkan oleh Alah tentang Nûh dan umat setelahnya dari para Hawâriyyîn – pengikut setia Yesus Kristus_red. Allah swt. berfirman: “Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun dari padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya).” (Qs. Yûnus [10]: 71-72). Tentang Ibrahim, Allah swt. berfirman: “Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya‘qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 130-132). Tentang Yûsuf “Si Jujur” (al-Shiddîq) Allah swt. berfirman: “Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (Qs. Yûsuf [12]: 101). Tentang Mûsâ, Allah swt. berfirman: “Berkata Musa: “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang Muslim.” (Qs. Yûnus [10]: 84). Tentang para penyihir, Allah menjelaskan bahwa mereka berkata kepada Fir‘aun: “Dan kamu tidak menyalahkan kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami.” (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan Islam (kepada-Mu).” (Qs. Al-A‘râf [7]: 126). Tenang Balqis, Ratu Yaman, Allah swt. berfirman: “Dikatakan kepadanya: “Masuklah ke dalam istana.” Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: “Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca.” Berkatalah Balqis: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri (ber-Islam) bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (Qs. Al-Naml [27]: 44). Tentang para nabi Bani Israil, Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Qs. Al-Mâ’idah [5]: 44). Dan tentang Kristus (al-Masîh), Allah swt. berfirman: “Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri (Muslimûn).” (Qs. Āli ‘Imrân [3]: 52) dan “Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia: “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku.” Mereka menjawab: Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu).” (Qs. Al-Mâ’idah [5]: 111). Itulah agama para nabi yang terdahulu dan kemudian dan para pengikutnya. Dialah agama Islam, dan merupakan peribadatan kepada Allah semata, tanpa sekutu bagi-Nya. Dan ibadah kepada Allah di setiap zaman dan tempat dengan cara menaati para rasul-Nya ‘alayhimussalâm. Tidak dianggap sebagai seorang hamba (‘Ābid) siapa yang menyembah-Nya bertentangan dengan apa yang dibawa oleh para rasul-Nya, seperti yang – tentang mereka – disebutkan oleh Allah swt: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (Qs. Al-Syûrâ [42]: 21). Maka, tidak dianggap sebagai seorang yang beriman (Mukmin) kepada-Nya, kecuali yang menyembah-Nya dengan cara menaati – ajaran – para rasul-Nya. Tidak dianggap sebagai seorang Mukmin kepada-Nya dan seorang hamba-Nya, kecuali yang beriman kepada seluruh rasul-Nya dan taat kepada siapa yang diutus kepadanya. Maka, dia – seyogyanya – taat kepada setiap rasul, sampai tiba seorang rasul setelahnya. Jika sudah tiba, maka ketaatannya beralih kepada rasul kedua – yang datang setalah rasul petama. Allah swt. berfirman: “Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (Qs. Al-Nisâ’ [4]: 64). Barangsiapa yang memisahkan – membeda-bedakan – para rasul-Nya, lalu dia beriman kepada sebagian dan kafir – tidak beriman – kepada sebagian yang lain, maka dia adalah “kafir”. Seperti dijelaskan oleh Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Nisâ’ [4]: 150-152).[3] Dalam Qs. Ali ‘Imrân [3]: 85 Allah secara jelas berfirman, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” Imam Ibnu Katsir memberikan penafsiran yang sangat baik terhadap ayat ini. Beliau menulis: “Artinya: barangsiapa yang melalui jalan selain yang disyariatkan oleh Allah, maka tertolak (tidak diterima darinya) [wa huwa fî al-âkhirati min al-khâsirîn]. Sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi saw dalam hadits shahîh: “Barangsiapa yang beramal tidak berdasarkan perintah (ajaran) kami, maka ia tertolak.”[4] Imam Ahmad berkata: dari Abû Sa‘îd, hamba – yang dimerdekakan, mawlâ – Banî Hâsyim → ‘Ibâd ibn Râsyid→ al-Hasan → Abu Hurayrah, ketika itu kami berada di Madinah. Dia berkata: “Rasulullah saw. bersabda: “Seluruh amalan datang pada Hari Kiamat. Maka datanglah shalat, lalu berkata: “Wahai Rabb, aku shalat.” Kemudian Allah berfirman: “Engkau baik.” Kemudian datang sedekah dan berkata: “Ya Rabb, aku sedekah.” Engkau baik,” kata Allah. Lalu datang puasa dan berkata: “Ya Rabb, aku puasa.” “Engkau baik,” kata Allah. Seluruh amal datang dan semua dikatakan oleh Allah dalam keadaan baik. Kemudian datang “Islam” dan berkata: “Wahai Allah, engkau adalah keselamatan (al-Salâm) dan aku adalah Islam.” Lalu Allah berfirman: “Engkau baik. Pada hari ini aku memberi siksa karena engkau, dan memberi karena engkau.” Allah befirman di dalam kitab-Nya: [“wa man yabtaghi ghayra al-Islâm dînan falan yuqbala minhu wa huwa fî al-âkhirati min al-khâsirîn”].”[5] Abdullah Yusuf Ali memberi komentar yang sangat baik terhadap ayat di atas. Ali berkomentar: “The Muslim position is clear. The Muslim does not claim to have a religion peculiar to himself. Islam is not a sect or an ethnic religion. In its view all Religion is one, for the Truth is one. It was the religion preached by all the earlier Prophets. It was the truth taught by all the inspired Books. In essence it amounts to a consciousness of the Will and Plan of Allah and a joyful submission to that Will and Plan. If any one wants a religion other than that, he is fales to his own nature, as he is false to Allah’s Will and Plan. Such a one cannot expect guidance, for he has deliberately renounced guidance.”[6] Jadi, memang sudah merupakan iradah dan rencana Allah menurunkan agama terakhir itu Islam namanya. Tentu saja ini bertolak-belakang dengan klaim kaum pluralis yang menyatakan bahwa “semua agama benar”. Nurcholish Madjid malah mengartikan kata “din” sebagai “inti agama”.[7] Tentu saja salah besar mengartikan kata “dîn” dengan “inti agama”. Hal ini akan sangat kontras, ketika Qs. Āli ‘Imrân [3]: 85 diartikan demikian: “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai satu “inti agama”...”. Keliru dalam mengartikan kata “dîn” membawa konsekwensi yang fatal. Oleh karena Abu al-A‘la al-Maududi mengusulkan agar dapat memahmi konsep “al-dîn” secara benar. Menurutnya, ada empat terminologi dalam al-Qur’an yang harus dikuasai bagi siapa saja yang ingin mempelajari al-Qur’an dan mendalami maknanya, salah satunya adalah terma “al-dîn”.[8] “Islam” adalah nama satu agama (al-dîn) yang sudah final diberikan untuk “agama Islam”.[9] Ibnu Taimiyyah memberikan catatan yang sangat baik tentang Qs. Āli ‘Imrân [3]: 85 – sebagai bantahan beliau kepada orang yang menolak bahwa Islam hanya untuk bangsa Arab[1] – di atas. Beliau menyatakan bahwa firman Allah [wa man yabtaghi ghayra al-Islâmi dînan falan yuqbala minhu wa huwa fî al-âkhirati min al-khâsirîn] shighah-nya (bentuk) umum dan bentuk (shighah) syarat merupakan bentuk umum (al-‘umûm) yang paling baik, seperti firman Allah swt.: “Faman ya‘mal mitsqâla dzarratin khayran yarahu. Wa man ya‘mal mitsqâla dzarratin syarran yarahu.” (Qs. Al-Zilzâlah [99]: 7-8). Kemudian, konteksnya menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh-Nya adalah kaum Ahli Kitab dan “yang lainnya”. Surah Āli ‘Imrân merupakan seruan (mukhâthabah) kepada Ahli Kitab dan perdebatan dengan kaum Nasrani. Ayat ini turun ketika utusan – Kristen – Najran datang kepada Nabi saw. Diriwayatkan, bahwa mereka berjumlah 60 orang, di dalamnya ada al-Sayyid, al-Ayham dan al-‘Āqib. Kisah mereka itu sangat masyhur...”[10] Jadi, penganut agama apapun – Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, Kejawen, dll – jika mencari selain Islam sebagai “agama”, maka tidak akan diterima. Al-Qur’an: The Last Testament (!) Allah swt. berfirman, “Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan “batu ujian” terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan “aturan” dan “jalan yang terang”. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” Dari ayat ini dapat dianalisis tiga hal. Pertama, al-Qur’an bukan sekedar ‘konfirmator’ (mushaddiq) kitab-kitab sebelumnya (Taurat, Zabur dan Injil), tetapi juga “muhayminan ‘alayhi” (‘batu ujian’). Kedua, konsep “syir‘ah” dan “minhâj”. Dan ketiga, rahasis di balik kata “ummah wahidah” dan syubhat perselihan.[11] Tetapi, kita hanya akan mengulas poin yang pertama saja. Imam al-Qurthubi mengutip pendapat Ibnu ‘Abbas tentang kata “muhayminan ‘alayhi”, artinya “mu’tamina ‘alayhi” (memelihar secara baik terhadap kitab-kita yang terdahulu). Sa‘îd ibn Jubayr menyatakan: “Al-Qur’an itu ‘mu’tamin ‘alayhi’ terhadap kitab-kitab sebelumnya.” Dari Ibnu ‘Abbas dan al-Hasan, maknanya juga: “al-muhaymin al-amîn” (yang terpercaya).[12] Ibnu Katsir mencatat beberapa riwayat yang menguatkan hal itu: “Menurut Sufyân al-Tsaurî dari yang lainnya dari Ibnu Ishâq → al-Taymî → Ibnu ‘Abbas: artinya adalah ‘mu’taminan ‘alayhi’. ‘Ali ibn Abî Thalhah dari Ibnu ‘Abbas menyatakan bahwa artinya: al-muhaymin al-amîn. Ibnu ‘Abbas menyatakan: “Al-Qur’an itu dipercayai untuk memelihara setiap kitab yang turun sebelumnya.” Diriwayatkan juga dari ‘Ikrimah, Sa‘îd ibn Jubayr, Mujahid, Muhammad ibn Ka‘ab, ‘Athiyyah, al-Hasan, Qatâdah, ‘Athâ’ al-Khurâsânî, al-Saddî dan Ibnu Zayd bahwa mereka menyatkan seperti itu juga. Ibnu Jurayj menyatakan: “Al-Qur’an memelihara kitab-kitab yang terdahulu. Apa yang – ajaran kitab-kita tersebut – yang sesuai dengan – isi dan kandungan al-Qur’an – maka dia benar (haqq), dan yang bertentangan maka dia salah (bâthil).” Dari al-Wâlibî dari Ibnu ‘Abbas [wa muhayminan] artinya “syahîd” (saksi). Seperti ini juga yang dikatakan oleh Mujahid, Qatâdah dan al-Saddî. Al-‘Awfî berkata dari Ibnu ‘Abbas berkata: [wa muhayminan] artinya “hâkiman” (yang menjadi hakim) atas kitab-kitab sebelumnya. Pendapat—pendapat ini semua dekat maknanya. Kata muhaymin mencakup semuanya: dia sebagai amîn, syâhid, dan hâkim terhadap kitab-kitab sebelumnya. Allah menjadi kitab yang agung ini (al-Qur’an) yang diturunkannya sebagai kitab terakhir, penutupnya, yang paling komprehensif, paling agung dan paling sempurna, dimana al-Qur’an mengumpulan seluruh kebaikan dan kesempurnaan yang ada di dalam kitab sebelumnya; yang tidak dimiliki oleh kitab sebelumnya. Oleh karena itu, Allah menjadikannya sebagai “saksi”, “penjaga yang terpercaya” dan “hakim” atas semuanya, dan Allah yang memeliharanya. Allah menjelaskan: “Sesungguhnya Kami yang menurunkan ‘al-Dzikra’ (al-Qur’an) dan Kami pulalah yang memeliharanya.” (Qs. Al-Hijr [15]: 9).”[13] Abdullah Yusuf Ali memiliki komentar yang sangat menarik. Ali mencatat: “After the corruption of the older revelations, the Qur’an comes with a twofold purpose: (1) To confirm the true and original Message, and (2) To guard it, or act as a check to its interpretation. The Arabic word Muhaimin is very comprehensive in meaning. It means one who safeguards, watches over, stands witness, preserves, and upholds. The Qur’an safeguards “the Books”, for it has preserved within in the teachings of all the former Books. It waches over these Books int the sense that it will not let their true teachings to be lost. It supports and and upholds these Books in the sense that it corrobrates the Word of Allah which has remained intact in them. It stands a witness because it bears testimony to the Word of Allah contained in these Books and helps to sort it out from the interpretations and commentaries of the people which were mixed with it: What is confirmed by the Qur’an is the Word of Allah and what is aginst it is that of the people.”[14] Jika Taurat (Torah) dianggap dan diakui sebagai Old Testament, Injil (Gospel) diyakini sebagai New Testament, maka al-Qur’an ‘sah’ dianggap dan dikui sertai diyakini sebagai The Last Testament. Hal ini tentunya tidak hanya sebatas subjektivisme, melainkan objektivitas yang benar-benar bisa dipertanggung-jawabkan. Komprehensivitas dan kesempurnaan isi dan kandungan al-Qur’an menguatkan fakta ini. Dalam satu debat lewat email dengan seorang penganut agama Kristen di Jakarta, penulis sempat bertanya, “Jika umat Islam berani untuk membaca Bible, kenapa umat Kristen tidak melakukan hal yang sama untuk membaca isi dan kandungan al-Qur’an?” Teman tersebut menjawab, “Saya tidak perlu membaca al-Qur’an, karena Alkitab sudah sempurna.” Saya jawab lagi, “Jika memang Alkitab sudah sempurna, coba carikan satu ayat di dalamnya yang membicarakan tentang “embriologi”. Jika Anda menemukannya, saya akan memberi Anda Rp. 1000.000,- cash.” Sampai hari ini, teman tersebut tidak mampu menemukan ayat tersebut. Hemat penulis, pendapat kaum pluralis yang menyatakan bahwa al-Qur’an tidak menghapus syari‘at agama-agama sebelumnya, Yahudi dan Kristen, adalah klaim yang rapuh. Wallâhu a‘lamu bi al-shawâb. [] (Egypt, 6 April 2007). [1] Hemat penulis, ini juga sebagai bantahan bagi mereka yang menyatakan bahwa “Islam” bukanya hanya untuk umat Islam saja, tapi untuk seluruh orang yang “berserah diri”, karena menurut mereka al-Islâm secera generic diartikan sebagai “ketundukan” atau “kepasrahan”. Dengan begitu, mereka menganggap bahwa Budha, Hindu, dan agama-agama konvensional – al-dîn al-wadh‘iy, buatan manusia – juga diangga ‘ber-Islam’, karena tunduk kepada Tuhan. [1] Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 103. [2] Dikeluarkan oleh Bukhari [3442] dan Muslim [236]. Hadits dari Abu Hurayrah ra. [3] Syeikhul Islâm Ahmad ibn ‘Abd al-Halîm “Ibnu Taimiyyah”, al-Jawâb al-Shahîh liman Baddala Dîna al-Masîh, tahqîq dan takhrîj hadits: Abû ‘Abd al-Rahmân ‘Ādil ibn Sa‘d, (Cairo: Dâr Ibnu al-Haytsam, 2003), 1 [2 jilid]: 24-26. [4] HR. Muslim [3243]. [5] Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, takhrîj hadits: Mahmud ibn al-Jamîl, Walîd ibn Muhammad ibn Salâmah dan Khâlid ibn Muhammad ibn ‘Utsmân, (Cairo: Maktabah al-Shafâ, cet. I, 2004), 2: 42. [6] Abdullah Yusuf Ali, The Glorious Qur’an, corrected and revised by: F. Amira Zrein Matraji, (Beirut-Libanon: Dâr al-Fikr, 2000), hlm. 150 [foot-note]. [7] Lihat tulisannya dalam Mun‘im A. Sirry (ed.) Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina Bekerjasama dengan The Asia Foundation, cet. IV, 2004), hlm. 20. Dalam sub judul “Tentang Dîn dan Syir‘ah”, Nurcholish menulis: “Inti agama (Arab: dîn) dari seluruh rasul adalah sama (QS. 42: 13), dan umat serta agama mereka itu seluruhnya adalah umat serta agama yang tunggal (QS. 21: 92; 23: 52). Kesamaan dan kesatuan semua agama para nabi juga ditegaskan oleh Nabi s.a.w. sambil digambarkan bahwa para nabi itu adalah satu saudara lain ibu, namun agama mereka satu dan sama. Salah satunya adalah hadis Bukhari, Rasulullah bersabda, “Aku lebih berhak atas Isa putera Maryam di dunia dan akhirat. Para nabi adalah satu ayah dari ibu yang berbeda-beda dan agama mereka adalah satu.” Sementara dîn atau inti agama itu sama, kepada setiap golongan dari kalangan umat manusia Allah menetapkan syir‘ah (atau syari‘ah, yakni jalan) dan minhâj (cara) yang berbeda-beda, sebab Allah tidak menghendaki umat manusia itu satu dan sama semua dalam segala hal. Allah menghendaki agar mereka saling berlomba-lomba menuju kepada berbagai kebaikan. Seluruh umat manusia akan kembali kepada Allah dan kelak Dialah yang akan membeberkan hakikat perbedaan antara manusia itu (QS. 5: 48).” [8] Abu al-A‘la al-Maududi, al-Mushthalahât al-Arba‘ah fî al-Qur’ân, terjemah: Muhammad Kâzhim Sibâq, (Kuwati: Dâr al-Qalam, cet. V, 2004), hlm. 9. Kata “al-dîn” di dalam al-Qur’an menempati posisi satu sistem secara sempurna, terdiri dari empat bagian: (1) kekuasaan (al-hâkimiyyah) dan otoritas tertingi (al-shulthah al-‘ulyâ); (2) ketaatan dan ketundukan terhadap kekusaan dan otoritas tersebut; (3) sistem pemikiran dan praksis (al-nizhâm al-fikriy wa al-‘amaliy) yang terbentuk di bawah otoritas kekuasaan tersebut; dan (4) retribusi (al-mukâfa’ah) yang diberikan oleh otoritas tertinggi untuk mengikuti sistem tersebut dan – menjalankannya – dengan ikhlas, atau membangkang dan ‘bermaksiat’ (tidak taat) kepadanya. Kata al-dîn, terkadang dinisbatkan kepada arti yang pertama dan kedua, terkadang pula dinisbatkan kepada makna yang ketiga dan keempat. Dan dalam satu waktu, kata itu digunakan untuk satu sistem yang sempurna, dengan mencakup keempat makna tersebut. Untuk menjelaskan makna-makan tersebut, berikut ini adalah ayat-ayat yang berbicara tentang masing-masing makna tersebut. Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta memberi kamu rezki dengan sebahagian yang baik-baik. Yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam. Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ‘agama’ kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.” (Qs. Ghâfir [40]: 64-65); “Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri.” Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku.” “Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ‘agama’ kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)…” (Qs. Al-Zumar [39]: 11-12, 17, 2-3); “Dan kepunyaan-Nya-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi, dan untuk-Nya-lah ‘agama’ itu selama-lamanya. Maka mengapa kamu bertakwa kepada selain Allah?” (Qs. Al-Nahl [16]: 52); “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (Qs. Āli ‘Imrân [3]: 83); “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Qs. Al-Bayyinah [98]: 5). Dalam ayat-ayat tersebut disebutkan kata “al-dîn” (agama) yang bermakna “otoritas tertinggi” (al-sulthah al-‘ulyâ), kemudiaan ketaatan terhadap otoritas tersebut, menerima ketaatan dan peribadatannya. Yang dimaksud dengan “mengikhlaskan agama” adalah: seseorang tidak boleh berserah diri kepada selain Allah dengan mengakui “kekuasaan” (al-hâkimiyyah), hukum dan perintah. Ia harus mengikhlaskan ketaatan dan peribadatan kepada-Nya. Keikhlasan yang dengannya dia tidak menghambakan dirinya kepada selain Allah, dan tidak menaatinya dengan ketaatan yang independen pula. Agama dalam makna ketiga contohnya: “Katakanlah: “Hai manusia, jika kamu masih dalam keragu-raguan tentang agamaku, maka (ketahuilah) aku tidak menyembah yang kamu sembah selain Allah, tetapi aku menyembah Allah yang akan mematikan kamu dan aku telah diperintah supaya termasuk orang-orang yang beriman”, dan (aku telah diperintah): “Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik.” (Qs. Yûnus [10]: 104-105); “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Qs. Yûsuf [12]: 40); “Dan kepunyaan-Nyalah siapa saja yang ada di langit dan di bumi. Semuanya hanya kepada-Nya tunduk. Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada diantara hamba-sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepadamu; maka kamu sama dengan mereka dalam (hak mempergunakan) rezeki itu, kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri? Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan…; Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Qs. Al-Rûm [30]: 26 & 28, 29 & 30); “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah…” (Qs. Al-Nûr [24]: 2); “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus…” (Qs. Al-Tawbah [9]: 36); “Demikianlah Kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut ‘agama’ raja…” (Qs. Yûsuf [12]: 76); “Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agama-Nya…” (Qs. Al-An‘âm [6]: 137); “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Qs. Al-Syûrâ [42]: 21); “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (Qs. Al-Kâfirûn [109]: 6). Yang dimaksud dengan “agama” (al-dîn) yang disebutkan seluruhnya oleh ayat-ayat tersebut adalah: undang-undang (al-qânûn, law), hukum-hukum (al-hudûd), syariat, jalan (al-tharîqah), sistem pemikiran dan praksis yang ‘mengingkat’ seorang manusia. Jika otoritas yang dijadikan seseorang itu dalam bentuk undang-undang, atau satu sistem dari otoritas Allah, maka dia tidak akan meragukan agama Allah ‘Azza wa Jalla. Tetapi, jika otoritas tersebut otoritas seorang raja, maka seseorang itu berada dalam ‘agama’ (baca: undang-undang) raja tersebut. Begitu pula jika otoritas tersebut otoritas keluarga atau kerabat atau satu kelompok besar, maka dia berada dalam ‘agama’ mereka itu. Secara ringkas, jika seseorang menganut satu sandaran sebagai sandaran tertinggi, dan hukumnya sebagai hukum final, lalu dia mengikuti satu cara untuk itu, maka – tidak diragukan lagi – dia dengan agamanya itu tunduk. Dan “agama” dalam arti yang keempat: “Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar. dan sesungguhnya (hari) ‘agama’ pasti terjadi.” (Qs. Al-Dzâriyât [51]: 5-6); “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (Qs. Al-Mâ‘ûn [107]: 1-3); “Tahukah kamu apakah hari ‘agama’ itu? Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari ‘agama’ itu? Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.” (Qs. Al-Infithâr [82]: 17-19). Kata “agama” (al-dîn) dalam ayat-ayat di atas artinya al-muhâsabah (‘penghitungan jiwa atau diri’), hukum (al-qadhâ’) dan retribusi (al-mukâfa’ah). [ibid., hlm. 109-114]. [9] Hal ini dikuatkan dan diterangkan oleh firman Allah swt. dalam Qs. Al-Mâ’idah [5]: 3. Dalam komentarnya, Yusuf Ali menjelaskan: “So long as Islam was not organised, with its own community and its own laws, the Unbelievers had hoped to wean the Believers from the new Teaching. (Now that hope was gone, with the complete organisation of Islam.” [Abdullah Yusuf Ali, op. cit., hlm. 252 (foot-note)]. [10] Ibnu Taimiyyah, op. cit., hlm. 219. [11] Masalah “syir‘ah dan minhâj” dan “ummah wahidah” serta syubhat perselisihan umat, akan diulas pada tulisan selanjutnya. Insya Allah. [12] Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, pengantar: Hânî al-Hâj, tahqîq dan takhrîj hadits: ‘Imâd Zakî al-Bârûdî dan Khayrî Sa‘îd, (Cairo: al-Maktabah al-Tawfîqiyyah, ttp), juz 6 [jilid V]: 184. [13] Imam Hâfizh ‘Imâd al-Dîn Abu al-Fidâ’ Ismâ‘îl ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî (700-774 H), Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, takhrîj hadits: Mahmûd ibn al-Jamîl, Walîd ibn Muhammad ibn Salâmah dan Khâlid ibn Muhammad ibn ‘Utsmân, (Cairo: Maktabah al-Shafâ, cet. I, 2004), 3: 78. [14] Abdullah Yusuf Ali, op. cit., hlm. 272 [foot-note].
Menolak Ayat-ayat “Pluralisme” [1] Konsep pemikiran Barat yang sekular-liberal tampaknya telah menemukan ‘lahan empuk’ dalam ranah pemikiran Islam kontemporer. Terma liberalisme, sekularisme, pluralisme dan “isme-isme” lainnya diterima secara taken for granted. Euporia semacam itu melahirkan “skeptisisme teologis” yang sangat berbahaya. Istilah “pluralisme agama” di Indonesia, misalnya, kian mencuat dan –seolah– mendapatkan legitimasinya secara sah. Munculnya buku Jalaluddin Rahmat, “Islam dan Pluralisme Agama-Akhlak Qur’an Menyikapi Pluralisme” (Serambi, 2006)[1] semakin menguatkan tesis bahwa konsep “pluralisme agama” benar-benar sudah mengakar di kalangan beberapa pemikir Tanah Air. Buku ini hemat menulis cukup problematis, karena menyisakan beberapa hal yang perlu dikritisi. Tidak salah jika dikatakan bahwa Indonesia sedang ‘puber’ pluralisme. Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk mengkritisi konsep “pluralisme agama” secara global, yang diusung – dalam konsep kaum pluralis – lewat ‘konsep Qur’ani’ ini. Apakah benar al-Qur’an mendukung konsep ini? Atau malah menolaknya? Tulisan ini hanya akan mengulas Qs. Al-Baqarah: 62, yang juga diklaim oleh beberapa kalangan Islam Liberal-Sekular – termasuk Kang Jalal – sebagai “Ayat Pluralisme”. Di dalam Qs. 2: 62 Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Ayat ini banyak disalahpahami oleh kalangan yang mengaku sebagai “Muslim-Pluralis”. Mereka menyatakan bahwa orang-orang beriman, Yahudi, Nasrani, dan Shabi’un, jika “beriman kepada Allah” dan Hari Kiamat serta “beramal saleh”, maka mereka sama-sama mendapat keselamatan. Hemat penulis, pemahaman semacam ini penting untuk diperhatikan, agar tidak keliru dan salah kaprah. Para mufassir – sejak zaman Ibnu Jarir al-Thabari [w. 310 H] → Muhammad Thahir ibn ‘Āsyur [w. 1379 H] – tidak pernah mengklaim bahwa ayat di atas sebagai “ayat pluralisme”. Aneh, semakin banyak konsep-konsep Barat yang diadopsi dan diserap, semakin banyak model penafsiran asing dan nyeleneh. Akibatnya, umat semakin bingung tak karuan. Ibnu Katsir (700-774 H), misalnya, dengan sangat baik mengulas ayat ini. Beliau menulis: “Menurut Ibnu Abi Hatim → bapaknya → ‘Umar ibn Abi ‘Umar al-‘Adawî → Sufyan ibn Abi Najih → Mujahid, ia berkata: Salman ra. berkata, “Aku bertanya kepada Nabi saw. tentang orang-orang yang – dahulu – seagama dengan Salman. Lalu Salman menyebutkan tentang shalat dan ibadah mereka, lalu turunlah ayat: (Inna al-ladzina amanu wa al-ladzina hadu wa al-nashara wa al-shabi’ina man amana bi’l-Lahi wa’l-yaumi’l-akhiri wa ‘amila shalihan). Ayat ini turun dalam kisah para sahabat Salman al-Farisi. Dia berkata kepada Nabi saw. bahwa para sahabatnya melakukan shalat, berpuasa, beriman kepada Nabi saw. dan bersaksi bahwa beliau akan diutus sebagai seorang Nabi. Ketika Salman selesai memuji mereka, Nabi Allah saw. berkata: “Wahai Salman, mereka adalah ahli neraka.” Salman terkejut mendengar penjelasan itu. Lalu Allah menurunkan ayat tersebut. “Iman Yahudi” adalah: orang yang berpegang kepada Taurat dan sunnah Musa as. sampai datangnya ‘Isa as. Ketika ‘Isa datang, siapa yang berpegang kepada Taurat dan sunnah Musa, tidak meninggalkannya dan tidak mengikuti ‘Isa, maka dia adalah orang celaka. Dan “iman Nasrani”: siapa yang berpegang kepada Injil dan syariat-syariat ‘Isa, maka dia menjadi seorang yang beriman dan diterima – imannya – sampai datangnya Muhammad saw. Maka, siapa yang tidak mengikuti Muhammad saw. dari mereka, dan meninggalkan sunnah ‘Isa dan Injil dia menjadi orang yang celaka. Ibnu Abi Hatim dan diriwayatkan dari Sa‘id ibn Jubayr seperti riwayat ini.”[2] Jadi, agama Allah yang dibawa oleh Musa dan ‘Isa ‘alayhimassalam ‘belum final’ dan tidak sempurna. Ketika Nabi saw. diutus sebagai “nabi akhir zaman”, barulah Islam itu sempurna sebagai “din”.[3] Riwayat di atas menurut Ibnu Katsir, tidak menafikan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas: (Inna al-ladzina amanu wa al-ladzina hadu wa al-nashara wa al-shabi’ina man amana bi’l-Lahi wa’l-yaumi’l-akhiri), ia berkata: “Setelah turunnya ayat ini, Allah menurunkan ayat: (Wa man yabtaghi ghyar al-Islâma dînan falan yuqbala minhu wa huwa fi’l-akhirati mina’l-khasirin). Yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas adalah pengabaran (ikhbâr) bahwa tidak diterima dari seseorang satu bentuk “jalan” (tharîqah) atau “amal” kecuali yang sesuai dengan syariat Muhammad saw. setelah beliau diutus. Sebelum diutusnya beliau, siapa yang mengikuti seorang nabi yang ada pada zamannya, dia berada dalam satu petunjuk, jalan kebenaran (sabîl) dan keselataman (najâh).[4] Ketika Allah mengutus Muhammad saw. sebagai ‘pamungkas’ para nabi dan menjadi rasul bagi seluruh Bani Adam (manusia) secara mutlak, maka mereka wajib membenarkan apa yang beliau kabarkan; menaati apa yang beliau perintahkan serta menahan diri dari apa yang dilarangnya.[5] Jadi, sahnya keimanan umat Yahudi-Nasrani tergantung keimanan mereka terhadap Nabi Muhammad saw. Jika menolak, maka tidak bisa dikatakan sebagai orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Keimanan kepada Allah memiliki korelasi erat dengan keimanan kepada Nabi saw. Imam Muslim, meriwayatkan satu hadits Nabi saw. bahwa beliau bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan beriman kepadaku dan apa yang aku bawa. Jika mereka melakukan hal itu, maka mereka telah memelihara kehormatan darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan haknya. Dan perhitungan mereka – ada – pada Allah.”[6] Analisis kata Āmanû, Hâdû, al-Nashârâ dan al-Shâbi’ûn Perlu dicatat, bahwa kaum liberal-sekular kerap melupakan bagian terpenting dari ayat di atas, yaitu kata-kata: amanû, hâdu, al-nashârâ dan al-shâbi’în. Seharusnya, ini dibahas terlebih dahulu, sebelum diklaim bahwa ayat tersebut adalah “ayat pluralisme”. Pertama, kata “âmanû. Menurut al-Thabari (w. 310 H), adalah orang-orang yang membenarkan Rasulullah terhadap kebenaran yang dibawanya dari sisi Allah.[7] Al-Qurthubî juga berpendapat sama. Tapi menurut Sufyân, maksudnya adalah “orang-orang yang munafik”. Seakan-akan Ia menyatakan: orang-orang yang secara zahirnya saja mereka beriman. Oleh karenanya, Allah menggandengkan mereka dengan orang-orang Yahudi, Nasrani dan Sabian (Sabea).[8] Kedua, kata “hâdû. Orang-orang yang disebut hâdû adalah kaum Yahudi. Arti “hâdû” adalah: tâbû (orang-orang yang bertaubat).[9] Kata al-Yahûd disebut “Yahudi” berdasarkan perkataan mereka: [Innâ hudnâ ilayka] (Qs. Al-A‘râf [7]: 156). Dari al-Qâsim → al-Husayn → Hajjâj → Ibnu Juraij, dia berkata: “Mereka disebut “Yahudi” karena berkata: [Innâ hudnâ ilayka].[10] Menurut Abu ‘Amrû ibn al-‘Alâ’, karena mereka “yatahawwadûn” atau bergerak-gerak ketika membaca Taurat.[11] Hemat penulis, pendapat al-Thabari lebih dapat diterima, dengan adanya dalil dari Qs. Al-A‘râf [7]: 156). Perlu juga dicatat, bahwa kata “âmanû” dan “hâdû” merupakan bentuk (shighah) fi‘l mâdhî (past-tense). Dengan demikian, kedua kata ini harus diletakkan sepadan dan setara (sama-sama kata kerja).[12] Ketiga, kata “al-nashârâ. Kata ini penulis anggap sudah jamak diketahui secara otomatis, jadi tidak perlu penjelasan panjang lebar. Dapat dirujuk berbagai buku tafsir, seluruhnya mencatat bahwa mereka adalah pengikut setia nabi ‘Isa as. Keempat, kata al-Shâbi’ûn atau al-shâbi’în. Al-Shâbi’ûn adalah bentuk plural dari kata “shâbi’”: yang membuat agama baru yang bukan agamanya, seperti orang yang murtad dari agama Islam. Setiap orang yang keluar dari satu agama, maka dia berada dalam agama itu hingga melenceng kepada akhir agama lainnya. Orang Arab menyebutnya dengan shâbi’.[13] Para mufassir sepakat, bahwa al-shâbi’în atau al-shâbi’ûn adalah orang-orang yang menyimpang dari satu agama, bahkan tidak beragama sama sekali.[14] Bagi kaum pluralis, pendapat-pendapat itu tidak penting. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana agar teks al-Qur’an itu ‘ditekuk’ lehernya agar tunduk kepada realitas dan konteks yang tengah berlaku. Dengan sangat aneh, Alwi Shihab di dalam bukunya Islam Inklusif mengartikan Qs. Al-Baqarah [2]: 62 di atas seperti di bawah ini: “Sesungguhnya mereka telah beriman, Yahudi, Kristen, dan Kaum Shabiin; Mereka percaya pada Tuhan dan hari akhir dan berbuat kebaikan, akan menerima pahal dari Tuhan mereka. Mereka tidak akan merugi dan tidak akan berduka cita.”[15] Tentu saja, Alwi terlalu berani untuk mengartikan ayat di atas secara serampangan. Muhammad Yusuf Ali, yang cukup baik dalam menerjamahkan al-Qur’an, mengartikan ayat di atas seperti di bawah ini: “Those who believe (in the Qur’ân). And those who follow the Jewish (scriptures), and the Christians and the Sabians, any who belive in Allah and the last Day, and work righteosness, shall have their reward with their Lord on them shall be no fear, nor shall they grieve.”[16] Jadi, ada aturan dalam berinteraksi dengan teks al-Qur’an, tidak asal terjemah dan – asal – pahami. Menyatukan umat Islam, Yahudi, Nasrani dan Shabi’in dalam satu kata “âmanû” adalah ‘pemerkosaan’ terhadap semantik ayat, dan ini tidak bisa dibenarkan. Al-Thabari sendiri, ketika menjelaskan kata ‘man âmana bi’l-Lâhi’ menyebutkan pendapat yang menyatakan bahwa ‘mereka adalah orang beriman dari Ahli Kitab, yang – sempat – mengenal Rasulallah saw.’[17] Dengan demikian, ‘syubhat’ yang menyatakan bahwa kaum Yahudi dan Nasrani juga akan masuk surga, harus dilihat kembali. Karena Nabi saw. merupakan nabi akhir zaman, maka dia merupakan satu-satunya jalan untuk menuju kepada kebenaran iman kepada Allah, hari akhir dan cara beramal saleh yang benar. Islam; Agama Universal Dengan melihat penjelasan di atas, semakin kuat bukti bahwa Islam merupakan agama ‘pamungkas’: agama akhir zaman dan agama yang universal.[18] Jika agama Yahudi yang dibawa oleh nabi Musa as. banyak membawa konsep hukum, dan Kristen yang dibawa oleh nabi ‘Isa as. (Yesus Kristus) banyak membawa konsep ‘kasih-sayang’, maka Islam datang membawa keduanya. Oleh karena itu, Nabi saw. menyatakan bahwa beliau adalah ‘rahmat yang dihadiahkan untuk sekalian alam’. Beliau menyatakan: “Ana rahmatun muhdâh”.[19] Oleh karena itu, al-Sayyid Sâbiq memberikan tiga alasan penting kenapa Islam disebut sebagai risalah (misi) yang universal. Pertama, tidak ada perkara yang sulit untuk diyakini di dalam risalah Islam, atau sulit untuk diamalkan. Allah swt. berfirman, “Allah tidak membebani seseorang di atas kemampuannya.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 286); “Allah menginginkan kemudahan untuk kalian, dan tidak menginginkan kesusahan.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 185); dan “Allah tidak menjadikan di dalam agama – Islam – itu satu perkara yang menyulitkan.” (Qs. Al-Hajj [22]: 78). Di dalam Bukhari, dari hadits Abu Sa‘îd al-Muqbarî, dari Abu Hurayrah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya agama ini – Islam – adalah mudah. Tidak seorang pun yang mempersulit dirinya – dalam beramal dan beribadah – kecuali dia akan dikalahkan oleh agama itu.”[20] Dalam Muslim disebutkan secara marfû‘: “Agama yang paling dicintai oleh Allah adalah ‘yang lurus dan penuh toleransi’ (al-hanîfiyyah al-samhah).”[21] Kedua, hal-hal yang tidak berbeda meskipun berubah zaman dan tempat, seperti akidah dan bentuk-bentuk peribadatan muncul secara rinci dan sempurna serta dijelaskan dengan teks-teks yang melingkupinya. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk menambahinya atau menguranginya. Dan apa saja yang berbeda menurut – perbedaan zaman dan tempat – seperti maslahat-maslahat sipil, urusan politik dan perang, muncul secara global (mujmal); agar sesuai dengan maslahat manusia sepanjang zaman dan agar para pemimpin mendapatkan cara dan jalan dalam menegakkan kebenaran (al-haqq) dan keadilan (al-‘adl). Ketiga, bentuk-bentuk pengajaran yang ada di dalam risalah Islam, tujuannya adalah untuk: memelihara (menjaga) agama (al-dîn), jiwa (al-nafs), akal (al-‘aql), keturunan (al-nasl) dan harta (al-mâl). Maka, merupakan hal aksiomatik jika hal itu sesuai dengan fitrah, sejalan – mudah diterima – dengan akal, sejalan dengan perkembangan dan sesuai dalam setiap zaman dan tempat. Allah swt. berfirman, “Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. Al-A‘râf [7]: 32-33); dan “...Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Al-A‘râf [7]: 156-157).[22] Dengan begitu, sebenarnya Islam adalah agama yang bisa ‘inklusif’ dan ekslusif. Dalam masalah universalitas misi (‘umûm al-risâlah) Islam adalah inklusif; masalah akidah Islam adalah ekslusif. Secara ringkas, dalam hal-hal yang sifatnya tsawâbit (ajaran-ajaran agama yang permanen), Islam itu ‘ekslusif’. Dan dalam hal-hal yang sifatnya mutaghayyirat atau mutahawwilat, Islam adalah agama yang sangat ‘inklusif’. Dengan demikian, al-Qur’an sejatinya menolak konsep ‘Pluralisme Agama’. Di dalam al-Qur’an tidak ada satu ayat pun yang mengakui bahwa Yahudi dan Kristen itu “murni” benar. Universalits Islam sudah membuktikan bahwa ia merupakan satu-satunya agama yang benar. Dan merupakan hal yang wajar, jika setiap pemeluk agama mengklaim bahwa agamanya yang ‘paling benar’ dan agam di luar agamanya ‘salah’. Setiap agama dalam masalah truth-claim adalah sama. Yang tidak boleh adalah memaksakan ekslusivisme itu kepada pemeluk agama lain. Masalah benar-salah dalam tataran umum dan global, serahkan saja kepada ‘nalar-nalar’ sehat dan ‘dewasa’ untuk mencernanya secara baik dan benar. Bukankah ini lebih fair dan bijaksana? Wallahu a‘lamu bi al-shawab. [] (Cairo, 22 Maret 2007). [1] Sebelum Kang Jalal – julukan Jalaluddin Rakhmat – dua orang yang paling getol mengusung konsep “pluralisme agama” ini adalah Budhy Munawar-Rachman lewat bukunya Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) dan Alwi Shihab lewat bukunya Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999). [2] Imam Hâfizh ‘Imâd al-Dîn Abu al-Fidâ’ Ismâ‘îl ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî (700-774 H), Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, tahqîq: Muhammad Nâshir al-Dîn al-Albânî, takhrîj hadits: Mahmûd ibn al-Jamîl, Walîd Muhammad ibn Salâmah dan Khâlid Muhammad ibn ‘Utsmân, (Cairo: Maktabah al-Shafa, cet. I, 2004), 1: 128. [3] Qs. Al-Mâ’idah [5]: 3. [4] Ibid. [5] Ibid. [6] Imam al-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, tahqîq dan takhrîj hadits: ‘Ishâm al-Dhabâbithî, Hâzim Muhammad dan ‘Imâd ‘Āmir, (Cairo: Dâr al-Hadîts, cet. IV, 2001, kitâb al-Imân – bâb: al-amr biqitâl al-nâs, no. hadits: 32-36), 1: 232-234. Hadits-hadits tersebut berbeda-berbeda redaksinya, tapi dalam satu makna. [7] Abu Ja‘far Muhammad ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi‘ al-Bayân ‘an Ta’wîl Āyi al-Qur’ân, tahqîq: Ahmad ‘Abd al-Razzâq al-Bakarî, Muhammad ‘Ādil Muhammd, Muhammad ‘Abd al-Lathîf Khalaf, dan Mahmûd Mursî ‘Abd al-Hamîd, (Cairo: Dâr al-Salâm, cet. I, 2005), 1: 443. [8] Abu ‘Abdullâh Muhammad ibn Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, pengantar: Hânî al-Hâj, tahqîq dan takhrîj hadits: ‘Imâd Zakî al-Bârûdî dan Khayrî Sa‘îd, (Cairo: al-Maktabah al-Tawfîqiyyah, ttp), 1: 412. [9] Al-Thabarî, loc. cit. [10] Ibid. [11] Ibnu Katsîr, op. cit., hlm. [12] Menurut al-Zamakhsarî (467-538 H), [“wa al-ladzî hâdû”] artinya “al-ladzîna tahawwadû” (menjadi Yahudi). Maka disebutkan: [hâda-yahûdu]. Dan tahawwada, jika masuk ke dalam Judaisme (al-Yahûdiyyah), maka – ism al-fi‘l – adalah hâ’id, bentuk pluralnya “hûd”. Lihat, al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq Ghawâmidh al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl, (Beirut-Lebanon: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1995), 1: 148. Sebagai informasi bagi para pembaca, tafsir ini memuat empat buku – sebagai hâsyiah (catatan kaki) – : pertama, al-Intishâf karya imam Ahmad ibn al-Munîr al-Iskandarî; kedua, al-Kâfî al-Syâf fi Takhrîj Ahâdîts al-Kasysyâf karya Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalânî; Hâsyiah syeikh Muhammad ‘Alyân al-Marzûqî atas tafsir al-Kasysyâf; dan keempat, Masyâhid al-Inshâf ‘alâ Syawâhid al-Kasysyâf karya syeikh Muhammad ‘Alyân juga. [13] Al-Thabarî, op. cit., hlm. 444. Menurut al-Qurthubî juga, al-shâbi’în adalah bentuk plural dari kata shâbi’. Disebutkan pula dengan shâba. Oleh karena itu, huruf hamzah-nya menjadi perdebatan. Maka, mayoritas ulama menyatakan bahwa akhir katanya adalah huruf hamzah, kecuali Nâfi‘. Pihak yang meng-hamzah-kan huruf akhirnya, berarti diambil dari kalimat shaba’at al-nujûm, jika bintang-bintang itu terbit. [Al-Qurthubî, op. cit., hlm. 413]. Dan pihak yang tidak menjadikan huruf akhirnya hamzah, diambil dari kalimat shabâ-yashbû, yang bermakna mâla (miring atau condong). Maka, kata al-shâbi’ secara etimologi artinya: orang yang keluar dari satu agama kepada agama lain. Oleh karena itu, orang-orang Arab menyebut orang yang memeluk agama Islam dengan ungkapan qad shaba’a: ‘dia telah condong’ – berpaling dari agama nenek moyangnya, dan condong untuk memeluk Islam. jadi, al-shâbi’ûn adalah: orang-orang yang keluar – murtad – dari agama Ahli Kitab. [Ibid.] [14] Al-Thabari menyebutkan banyak riwayat dalam memaknai kata ini. Sebagian ulama, menurutnya, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang keluar dari satu agama kepada – satu keyakinan –yang “bukan agama”. Mereka juga menyatakan menyatakan bahwa yang dimaksud oleh Allah, adalah mereka yang tidak memiliki satu agama. Hal ini disebutkan oleh: 1. Muhammad ibn Bisyâr → ‘Abd al-Rahmân ibn Mahdî → al-Hassan ibn Yahya, dikabarkan oleh ‘Abd al-Razzâq seluruhnya dari Sufyân → Layts → Mujâhid, dia berkata: firman Allah: [wa al-shâbi’în]: bukan golongan Yahudi, bukan golongan Nasrani dan mereka tidak memiliki agama. 2. Ibnu Bisyâr → ‘Abd al-Rahmân → Sufyân → al-Hajjâj ibn Arthâh → al-Qâsim ibn Abi Bazzah → Mujâhid seperti riwayat di atas – no. 1. 3. Ibnu Humayd → Hakkâm → ‘Anbasah → Hajjâj → Qatâdah → al-Hassan, seperti riwayat sebelumnya. 4. Muhammad ibn ‘Amrû → Abû ‘Āshim → ‘Isa → Ibnu Abi Najîh: al-Shâbi’în berada di antara Yahudi dan Majusi, dan mereka tidak memiliki satu agama. 5. al-Mutsannâ → Abû Hudzayfah → Syibl → Ibnu Abî Najîh → Mujâhid, seperti riwayat di atas. 6. al-Qâsim → al-Husayn → Hajjâj → Ibnu Najîh → Mujâhid: “al-Shâbi’în berada diantara Yahudi dan Majusi, mereka tidak memiliki satu agama.” Ibnu Jurayj berkata: “Saya bekata kepada ‘Athâ’ “al-Shâbi’în” adalah satu kabilah yang mengklaim berasal dari arah al-Sawâd. Mereka bukan Majusi, bukan Yahudi dan bukan Nasrani. ‘Athâ’ kemudian berkata: “Kami sudah mendengar hal itu. Orang-orang Musyrik sendiri telah mengatakan kepada Nabi saw. – karena dianggap berpaling dari agama nenek moyang mereka: membawa agama Islam – dia telah ‘shaba’a’ (telah berpaling dari agama nenek moyang kita). 7. Yûnus ibn ‘Abd al-A‘lâ → Ibnu Wahb → Ibnu Zayd tentang firman Allah: [wa al-Shâbi’în], ia mengatakan bahwa [al-Shâbi’ûn] adalah [pemikil, ahl] salah satu agama. Tempat mereka adalah di jazirah Mosul, mereka mengatakan: “Laa ilaaha illa Allah.” Mereka tidak memiliki satu amalan, tidak punya satu kitab dan tidak punya seorang nabi, kecuali lafadz “Laa ilaaha illa Allah”. Mereka tidak beriman kepada Rasulillah. Oleh karena itu, orang-orang musyrik menyebut Nabi saw. dan para sahabatnya sebagai “al-Shâbi’ûn”. Mereka menyerupakan mereka dengan kelompok “al-Shâbi’ûn” itu. 8. Satu pendapat lagi menyatakan: mereka adalah para penyembah malaikat dan melakukan shalat ke arah kiblat. Yang mengatakan pendapat ini adalah: 9. Muhammad ibn ‘Abd al-A‘lâ → al-Mu‘tamir ibn Sulayman → bapaknya → al-Hassan → Ziyâd, dia mengatakan bahwa “al-Shâbi’în” adalah: melakukan shalat ke arah kiblat dan shalat sebanyak lima waktu. Dia berkata: maka ia berkehendakan untuk tidak dibebani jizyah. Kemudian dikabarkan bahwa mereka “menyembah para malaikat”. 10. Busyr ibn Mu‘âdz → Yazîd → Sa‘îd → Qatâdah tentang firman Allah: [wa al-Shâbi’în] ia berkata: “al-Shâ’ibûn adalah satu kaum yang menyembah para malaikat, melaksanakan shalat ke arah kiblat dan membaca Zabur.” 11. al-Mutsannâ → Ādam → Abû Ja‘far → al-Rabî‘ → Abû al-‘Āliyyah, ia berkata: “al-Shâbi’ûn adalah satu kelompok (firqah) dari Ahli Kitab yang membaca Zabur.” Abu Ja‘far al-Râzî juga menyatakan: “Sampai satu kabar kepadaku bahwa al-Shâbi’în adalah satu kaum yang menyembah para malaikat, membaca Zabur dan melakukan shalat ke arah kiblat.” Penapat lain menyatakan: “Mereka itu adalah satu kelompok dari Ahli Kitab.” Yang menyatakan ini diantaranya: 12. Sufyân ibn Wakî‘ → bapaknya → ‘Utsmân, dia berkata: “al-Suddî ditanya tentang al-Shâbi’în, lalu ia menjawab: “Mereka adalah satu kelompok dari Ahli Kitab.” Lihat: al-Thabari, op. cit., hlm. 444-445. Dari beberapa pendapat yang dikumpulkan oleh al-Thabari ini tampak nyata bahwa banyak ‘kesan negatif’ terhadap kelompok “al-Shâbi’ûn” ini. Penulis sendiri lebih setuju kepada pendapat yang melakukan pendekatan linguistika, bahwa mereka adalah “kelompok yang menyimpang” dari Ahli Kitab. Al-Shâbûni di dalam tafsirnya – ketika membahas kata “al-Shâbi’în” – menyatakan: “Satu kaum yang menyimpang dari Judaisme (al-Yahûdiyyah) dan Kristianitas (al-Masîhiyyah) dan menyembah para malaikat.” Lihat: Syeikh Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî, Shafwah al-Tafâsîr, (Cairo: Dâr al-Shâbûnî, cet. IV, ttp), 1: 63. Kaum pluralis jelas tidak mau menerima model pendekatan nash seperti yang dilakukan oleh al-Thabari, al-Qurthubi, Ibnu Katsir maupun al-Shabuni. Mereka lebih mendahulukan ‘nalar’ mereka, karena bagi mereka nash adalah segalanya dan ‘akal’ merupakan satu-satunya ‘pisau analisis’ yang harus diperankan. Oleh karena itu, jika diteliti dengan ‘adil’, kesimpulan-kesimpulan yang muncul dari tulisan mereka sama sekali jauh dari [semangat] al-Qur’an dan sunnah, yang jelas-jelas menolak pluralisme agama. [15] Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999), 108. Lihat bantahan terhadap pemikiran Alwi ini dalam: Khalif Muammar, Atas Nama Kebenaran: Tanggapan Kritis Terhadap Wacana ISLAM LIBERAL, (Selangor-Malaysia: Akademi Kajian Ketamadunan, cet. I, 2006), hlm. 58-61. [16] Abdullah Yusuf Ali, The Glorious Qur’an, corrected and revised by: F. Amira Zrein Matraji, (Beirut-Lebanon: Dâr el-Fikr, 2000), p. 34-35. [17] Al-Thabari, op. cit., hlm. 447. [18] Dalam satu dialog dengan seorang teman dari Jakarta, dia agak keberatan dengan ungkapan salah seorang pemikir Islam Liberal Indonesia yang menyatakan bahwa konsep “universalisme Islam” harus ditinjau kembali. Saya menjelaskan bahwa dari sisi apa Islam dan agama-agama yang lain akan dibandingkan? Islam adalah universal dari segala sudut. Dari sisi interaksi sosial – muamalat – Islam adalah universal: al-Qur’an mengajarkan bagaimana etika jual-beli yang benar, hadits-hadits Nabi saw. banyak yang menjelaskan bagaimana cara melakukan “khiyar” (menentukan pilihan untuk meneruskan jual-beli atau tidak) dalam berjual-beli. Dengan begitu, dalam Islam muncul konsep khiyar: khiyar majelis dan khiyar aib. Nabi saw. sangat keras melarang umatnya melakukan jual-beli buah-buahan yang masih di atas pohon, ikan di dalam kolam atau anak hewan yang masih di dalam kandungan induknya. Bahkan, lanjut saya dalam dialog itu, sampai pada hal-hal yang private pun Islam sudah mengatur umatnya secara detail. Islam mengatur bagaimana seorang wanita yang haid, nifas dan wiladah harus bersuci dari hadats besarnya. Dalam Bibel dan ajaran Yahudi, orang yang berhadas besar tidak boleh didekati. Ini adalah konsep aneh dalam pergaulan suami-istri. Lihat, bagaimana Nabi saw. mengajarkan etik – maaf – bersetubuh dengan istri. Semuanya diatur oleh Islam – dari konsep keimanan kepada Allah sampai masalah private; yang hanya boleh diketahui oleh suami-istri. Lalu dimana letak ketidakuniversalan Islam itu? [19] Mustadrak al-Hâkim (1/35) lafadznya adalah: “Yâ ayyuha al-nâsu, innamâ ana rahmatun muhdâh.” Al-Hâkim menyatakan bahwa hadits ini adalah hasan-sahîh menurut syarat Bukahri-Muslim. Hadits ini dijadikan hujjah (dalil) oleh Malik dan Sa‘îd ibn Jubayr, dan sikap menyendiri – dalam meriwayatkan satu hadits – dari para perawi yang tsiqât itu adalah maqbûl (diterima), dan ini disepakati oleh Syamsuddin al-Dzahabi. Beliau menyatakan: “Hadits ini berdasarkan syarat Bukhari-Muslim dan sikap tsiqah yang menyendiri – dalam meriwayatkan hadits – adalah maqbûl.” Hadits ini juga dikeluarkan oleh al-Bayhaqî di dalam Syu‘ab al-Imân (2/164), Ibnu Sa‘d di dalam al-Thabaqât (3/192) dan di-sahîh-kan oleh al-Albânî di dalam Ghâyah al-Marâm, no: 1, dan Silsilah al-Ahâdîts al-Sahîhah (490). Lihat: al-Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, tashîh dan takhrîj hadits: Syeikh Muhammad Nâshir al-Dîn al-Albânî, (Cairo: Dâr al-Fath li al-I‘lâm al-‘Arabîy, cet. II, 1999), 1: 10. [20] Bukhari, kitâb “al-Imân” – bâb “al-Dînu yusrun” (1/116); al-Nasa’i: kitâb al-Imân – bâb al-Dînu yusrun (5034), (8/122) dan al-Bayhaqî, al-Sunan al-Kubrâ, kitâb al-Shalâh (3/18). [21] Syarh al-Sunnah (4/48). Dikomentari oleh Bukhari dalam: kitâb al-Imân – bâb al-Dînu yusrun, dan sabda Nabi saw.: “Ahabbu al-dîni ila Allâhi al-hanîfiyyah al-samhah.” Ibnu Hajar menyatakan: “Hadits ini adalah mu‘allaq, penulis – baca: Bukhari – tidak menyampaikan sanad-nya di dalam kitab ini – sahîh Bukhari – karena bukan menurut syaratnya. Ya, dia – Bukhari – menjadikan sebagai hadits yang bersambung (mawshûl) di dalam buku ‘al-Adab al-Mufrad’, juga di-mawshûl-kan oleh Ahmad ibn Hanbal dan yang lainnya lewat jalur Muhammad ibn Ishâq, dari Dawud ibn al-Hushayn; dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbâs. Isnad-nya adalah hasan dan digunakan oleh penulis di dalam biografi, karena – dianggap – mutaqâshir (tidak sampai menjadi syarat) dalam syarat yang menjadi standarnya. Dia menguatkanya berdasarkan maknanya, dan kesesuain kemudahannya.” Lihat, Fath bal-Bârîy (1/93). Al-‘Irâqî berkata: “al-Thabrânî memiliki satu hadits dari Ibnu ‘Abbâs yang berbunyi: ‘Ahabbu al-dîni ila Allâhi al-hanîfiyyah al-samhah.” Di dalamnya terdapat Muhammad ibn Ishâq, diriwayatkan olehnya secara ‘an-‘anah (menggunakan kata-kata ‘an) (4/149). Hadits ini tidak memiliki dasar di dalam sahîh Muslim dan di-hasan-kan oleh al-Albânî di dalam ‘Silsilah al-Ahâdîts al-Sahîhah’ (881). Seluruh takhrij hadits penulis kutip dari buku al-Sayyid Sâbiq. [22] Al-Sayyid Sâbiq, op. cit., hlm. 8-9.
|
||||||||||||||||||